Rabu, 16 Maret 2011

Korosi

Korosi merupakan penurunaan kualitas yang disebabkan oleh reaksi kimia bahan logam dengan unsur-unsur lain yang terdapat di alam.
Laju korosi bergantung pada suhu, konsentrasi reaktan, jumlah mula-mula partikel (massa) logam, dan faktor mekanik seperti tegangan.
Korosi dapat dianggap sebagai proses balik dari pemurnian logam atau ekstraksi. Pada umumnya logam yang terdapat di alam berbentuk senyawa, seperti senyawa oksida, sulfida, karbonat dan silikat. Energi logam sangat rendah dalam bentuk senyawa. Sedangkan dalam keadaan unsur tunggal, logam mempunyai ketidakstabilan sehingga energinya (energi potensial) sangat besar. Unsur-unsur logam bersenyawa dengan unsur lain untuk mencapai kestabilan dengan melepaskan energi. Misalkan untuk mereduksi besi oksida yang terdapat di alam menjadi unsur (bahan) besi dibutuhkan energi termal. Dengan demikian, keadaan unsur besi tersebut mempunyai energi yang tinggi.
Oleh karena itu, secara spontan logam besi akan bereaksi kembali dengan oksigen yang terdapat di alam membentuk besi oksida[4].
Bentuk-bentuk korosi dapat berupa korosi merata, korosi galvanik, korosi sumuran, korosi celah, korosi retak tegang (stress corrosion cracking), korosi retak fatik (corrosion fatique cracking), korosi akibat pengaruh hidrogen (corrosion induced hydrogen), korosi intergranular, selective leaching, dan korosi erosi.

Korosi merata
adalah korosi yang terjadi secara serentak di seluruh permukaan logam, oleh karena itu pada logam yang mengalami korosi merata akan terjadi pengurangan dimensi yang relatif besar per satuan waktu. Kerugian langsung akibat korosi merata berupa kehilangan material konstruksi, keselamatan kerja, dan pencemaran lingkungan akibat produk korosi dalam bentuk senyawa yang mencemarkan lingkungan. Sedangkan kerugian tidak langsung antara lain berupa penurunan kapasitas dan peningkatan biaya perawatan (preventive maintenance).
Korosi galvanik terjadi apabila dua logam yang tidak sama dihubungkan dan berada di lingkungan korosif. Salah satu dari logam tersebut akan mengalami korosi, sementara logam lainnya akan terlindung dari serangan korosi. Logam yang mengalami korosi adalah logam yang memiliki potensial yang lebih rendah dan logam yang tidak mengalami korosi adalah logam yang memiliki potensial yang lebih tinggi.
Korosi sumuran adalah korosi lokal yang terjadi pada permukaan yangn terbuka akibat pecahnya lapisan pasif. Terjadinya korosi sumuran ini diawali dengan pembentukan lapisan pasif di permukaannya, pada antar muka lapisan pasif dan elektrolit terjadi penurunan pH, sehingga terjadi pelarutan lapisan pasif secara perlahan-lahan dan menyebabkan lapisan pasif pecah sehingga terjadi korosi sumuran. Korosi sumuran ini sangat berbahaya karena lokasi terjadinya sangat kecil tetapi dalam, sehingga dapat menyebabkan peralatan (struktur) patah mendadak.
Korosi celah adalah korosi lokal yang terjadi pada celah diantara dua komponen. Mekanisme tejadinya korosi celah ini diawali dengan terjadi korosi merata diluar dan didalam celah, sehingga terjadi oksidasi logam dan reduksi oksigen. Pada suatu saat oksigen (O2) didalam celah habis, sedangkan oksigen(O2) didalam celah masih banyak, akibatnya permukaan logam yang berhubungan dengan bagian luar menjadi katoda dan permukaan logam didalam celah menjadi anoda sehingga terbentuk celah yang terkorosi.
Korosi retak tegang, korosi retak fatik, dan korosi akibat pengaruh hidrogen adalah bentuk korosi dimana material mengalami keretakan akibat pengaruh lingkungannya. Korosi retak tegang terjadi pada paduan logam yang mengalami tegangan tarik statis di lingkungan tertentu, seperti baja tahan karat sangat rentan terhadap lingkungan klorida panas, tembaga rentan dilarutkan amonia dan baja karbon rentan terhadap nitrat. Korosi retak fatik terjadi akibat tegangan berulang di lingkungan korosif, sedangkan korosi akibat pengaruh hidrogen terjadi karena berlangsungnya difusi hidrogen kedalam kisi paduan. Korosi intergranular adalah bentuk korosi yang terjadi pada paduan logam akibat terjadinya reaksi antar unsur logam di batas butirnya. Seperti yang terjadi pada baja tahan karat austenitik apabila diberi perlakuan panas.
Selective leaching adalah korosi yang terjadi pada paduan logam karena pelarutan salah satu unsur paduan yang lebih aktif, seperti yang biasa terjadi pada paduan tembaga-seng. Mekanisme terjadinya korosi selective leaching diawali dengan terjadi pelarutan total terhadap semua unsur. Salah satu unsur pemadu yang potensialnya lebih tinggi akan terdeposisi, sedangkan unsur yang potensialnya lebih rendah akan larut ke elektrolit. Akibatnya terjadi keropos pada logam paduan tersebut. Contoh lain selective leaching terjadi pada besi tuang yang digunakan sebagai pipa pembakaran. Berkurangnya besi dalam besi tuang akan menyebabkan paduan tersebut menjadi berpori dan lemah, sehingga dapat menyebabkan terjadinya pecah pada pipa.
Kombinasi antara fluida yang korosif dan kecepatan aliran yang tinggi menyebabkan terjadinya korosi erosi, seperti pada pipa baja yang digunakan untuk mengalirkan uap yang mengandung air. Pengukuran laju korosi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pengukuran yang paling sederhana biasanya dilakukan dengan cara mengukur kehilangan logam (berdasarkan perbedaan berat). Meskipun demikian beberapa metode pengukuran laju korosi yang dapat diterapkan antara lain adalah dengan mengukur ion logam yang terdapat di lingkungan, mengukur konduktivitas lingkungan, mengukur berat jenis lingkungan atau berdasarkan reaksi dengan metode elektrokimia.
Begitu banyak bentuk-bentuk korosi yang dapat terjadi, oleh karena itu korosi harus dikenali dengan baik untuk dikendalikan. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan umur (life time) peralatan yang digunakan dan dapat menghindari terjadinya akibat kegagalan material.
Korosi merupakan proses/reaksi elektrokimia yang bersifat alamiah dan berlangsung dengan sendirinya, oleh karena itu korosi tidak dapat dicegah/dihentikan sama sekali. Korosi hanya bisa dikendalikan atau diperlambat lajunya sehingga memperlambat proses perusakannya. Logam berlaku sebagai sel yang memberikan elektron/anoda dan lingkungannya sebagai penerima elektron/katoda .
Pengendalian korosi sumuran dan korosi celah dilakukan dengan metode yang sama. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah :
1. pemilihan material yang tahan korosi
2. agresifitas larutan dapat dikurangi dengan menurunkan kandungan klorida, keasaman dan atau temperaturnya, menghambat aliran proses pembentukan deposit, mengeliminasi terakumulasinya hidrolisa produk korosi, serta memurnikan pH.
3. memberi unsur penghambat di larutan (inhibitor), tetapi cara ini harus diperhitungkan dengan baik, karena apabila kandungan inhibitor yang terdapat di larutan tidak cukup maka pada beberapa bagian peralatan dapat terjadi kerusakan lubang kecil yang dalam.
4. proteksi katodik untuk peralatan yang digunakan di lingkungan laut tetapi cara ini tidak selalu menjadi pilihan yang memungkinkan untuk aliran proses kimia yang agresif.
5. korosi celah dapat dikontrol melalui perencanaan dengan cara menghindari adanya celah-celah perlatan harus direncanakan lengkap dengan saluran pembuangan dan menghindarkan daerah yang menyebabkan tertahannya atau mengedapnya larutan.
6. membersihkan permukaan logam apabila memungkinkan akan menurunkan terjadinya korosi.
Menghilangkan partikel padat yang dilakukan untuk meminimalkan pembentukan deposit/endapan. Pengendalian korosi galvanik dapat dilakukan dengan cara, yaitu :
1. menghindarkan terjadinya hubungan galvanik logam. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memilih material yang memiliki potensial yang ridak jauh berbeda (berdekatan pada galvanik series) pada saat perencanaan.
2. mengotrol anoda, apabila hubungan galvanik tidak dapat dihindarkan maka logam yang menjadi daerah anoda hendaknya diperluas/dibuat lebih tabal. Secara ekonomi akan lebih baik lagi melakukan dengan membuat anoda menjadi bagian yang mudah diganti.
3. pemasangan sekat antara dua bagian logam ynag berhubungan biasanya salah satu cara yang dilakukan untuk menghidari terjadinya hubungan galvanik.
4. menghindarkan terjadinya cacat lapisan. Pada pelapisan logam hubungan galvanik akan terjadi apabila lapisannya pecah, oleh karena itu pada saat proses pelapisan dilakukan harus dihindarkan terjadinya cacat pelapisan yang dapat menjadi anoda yang sangat kecil.
Pengedalian korosi retak tegang dapat dilakukan dengan mengeliminasi salah satu dari tiga faktor berikut, yaitu tegangan tarik, lingkungan kritis dan paduan yang erntan terhadap korosi.
1. mengeliminasi tegangan tarik yang terjadi pada bagian kritis komponen/peralatan dapat dilakukan dengan re-desain. Selain itu penurunan tegangan tarik sisa pada logam dapat dilakukan dengan perlakuan panas anil.
2. pengotrolan lingkungan dapat dilakukan dengan cara menurunkan oksidasi (yang membuat oksigen terlarut), menghindarkan adanya unsur-unsur kritis yang terdapat pada larutan, serta memberi unsur penghambabt di larutan. Pelapisan (coating) juga merupakan salah satu cara untuk membatasi interaksi logam yang dilindungi dengan lingkungannya, namun cara ini kurang efektif karena tidak dapat menahan zat kimia yang agresif.
3. memilih paduan yang memiliki ketahanan korosi terhadap lingkungan tertentu merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan. Selain itu merubah proporsi elemen pemadu pada paduan logam sehingga memiliki kekuatan yang lebih tinggi atau merubah struktur metalurginya dapat meningkatkan ketahanan logam tersebut terhadap korosi retak tegang
4. penerapan proteksi katodik juga dapat dilakukan untuk pengendalian korosi retak tegang, namun cara ini dapat mempercepat terjadinya hydrogen induced cracking. Oleh karena itu penerapan proteksi katodik hanya efektif dilakukan pada paduan yang memiliki tegangan tinggi dan mengalami retak oleh mekanisme anodik.
Pengendalian korosi retak fatik. Korosi retak fatik dpaat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. menurunkan laju korosinya dengan cara mengganti peralatan yang digunakan dengan paduan logam yang memiliki ketahanan korosi yang baik sehingga laju korosinya menjadi lebih lambat.
2. membatasi interaksi logam dengan lingkungannya. Cara ini dilakukan dengan memberi unsur penghambat di larutan atau membuat lapisan pelindung yang membatasi larutan korosif dengan permukaan logam. Pelapisan anoda timbal seng (galvanis) untuk melindungi baja (yang bersifat katodik) dapat melindungi baja tersebut dari korosi retak fatik.
3. melakukan re-desain terhadap peralatan yang digunakan untuk menurunkan/menghindarkan terjadinya tegangan berulang pada peralatan tersebut.
4. melakukan proteksi katodik adalah cara lain pengendalian korosi retak fatik yang dapat dilakukan, namun sebelum cara ini dilakukan harus dipastikan tidak mengekibatkan terjadinya hydrogen induced cracking, karena pada kasus tertentu penerapan proteksi katodik biasanya dapat menimbulkan hydrogen induced cracking.
5. mereduksi oksidator, dan
6. meningkatkan pH larutan.
Pengendalian retak yang disebabkan oleh hidrogen mengeliminasi terjadinya keretakan yang disebabkan oleh hidrogen pada logam dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :
1. menghilangkan sumber hidrogen atau membatasi interaksi hidrogen dengan logam. Cara ini dapat dilakukan dengan tidak menerapkan pengendalian korosi proteksi katodik atau melakukan proses pelapisa galvanis, karena kedua hal tersebut dapat menimbulkan pembentukan hidrogen di permukaan logam. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian unsur penghambat pada larutan atau membuat lapisan inert pada logam, sehingga tidak terjadi interaksi antara logam dan hidrogen yang terdapat dilingkungannya.
2. menurunkan tegangan tarik dapat dilakukan dengan cara memberikan perlakuan panas anil/pembakaran, karena proses tersebut dapat menghilangkan tegangan tarik sisa pada logam. Selain itu pada saat pemanasan akan terjadi peningkatan mobilitas hidrogen sehingga dapat melepaskan hidrogen terlarut pada logam
3. menurunkan level tegangan yang terjadi pada peralatan dapat dilakukan dengan merencanakan kembali peralatan yang digunakan, sehingga logam menjadi lebih kuat dan kemampuannya terhadap tegangan yang terjadi relatif (lebih baik).
4. memilih paduan yang memiliki ketahanan yang lebih baik.
7] American Society for Testing and Materials (ASTM), 1993, Annual Book of ASTM Standards. Vol. 03.01 “Metals Mechanical Testing: Elevated and Low-Temperature Tests; Metallography”, Philadelphia
[8] American Society for Testing and Materials (ASTM), 1993, Annual Book of ASTM Standards. Vol. 03.02 “Wear and Erosion; Metal Corrosion”, Philadelphia
2.6. Sifat Korosi Zirkonium
Zirkonium sangat tahan korosi pada suhu suhu kamar, tetapi pada suhu beberapa ratus derajat celsius mudah bereaksi dengan oksigen, nitrogen, dan hidrogen[5].
Ketahanan yang tinggi terhadap korosi tersebut disebabkan oleh adanya pembentukan (secara alamiah) suatu oksida yang tebal dan stabil pada permukaannya. lapisan oksida tersebut terbaharui dan selalu tumbuh secara perlahan-lahan pada suhu hingga sekitar 3000C serta akan melekat kuat[6].
Reaksi antara logam paduan zirkonium dengan air dapat dituliskan sebagai berikut (Machiels, 1987):
dengan x adalah fraksi terambilnya hidrogen (pick up fraction).
ketahanan korosi logam-logam paduan zirkonium bergantung pada sejumlah faktor yang diantaranya adalah konsentrasi dan distribusi unsur-unsur pemadu dan unsur-unsur pengotor. Sedangkan faktor-faktor tersebut bergantung pada cara pemrosesan dan perlakuan termomekanik yang merupakan bagian penting dari proses pembuatannya. Sehingga sifat korosi sangat dipengaruhi oleh parameter-parameter perlakuan termomekanik, seperti pengerolan, laju quenching, serta waktu dan suhu pemanasan kembali[9][10].
Efek dari ?-quenching adalah meningkatkan konsentrasi zat terlarut dalam logam[11], sehingga akan meningkatkan homogenitas. Perubahan fasa dapat menimbulkan perbedaan energi regangan, karena adanya cacat, presipitasi, dan adanya unsur-unsur terlarut sehingga logam paduan menjadi lebih keras, tidak ulet, dan tidak tahan terhadap korosi. Energi regangan dapat diturunkan dengan cara pemanasan pada suhu dan waktu tertentu[10].
Terdapat tiga metode yang direkomendasikan ASTM, yaitu metode perbandingan foto mikrostruktur bahan dengan perbesaran 100 kali. Nomor besar butir ditentukan dengan rumus :
N-2n-1
dengan N adalah jumlah butir per inch2 dengan perbesaran 100 kali. Metode ini cocok untuk sampel dengan butir beraturan. Metode Intercept (Heyne) untuk plastik transparan dengan garis (bergaris kotak-kotak) diletakkan diatas foto/sampel. Kemudian dihitung, dan semua butir yang berpotongan pada akhir garis dianggap setengah. Perhitungan dilakukan pada tiga daerah agar dapat mewakili. Nilai diameter rata-rata ditentukan dengan membagi jumlah butir yang berpotongan dengan panjang garis. Metode tersebut cocok untuk butir yang tidak beraturan. Metode Plenimetri (Jeffries) menggunakan lingkaran yang umumnya memiliki 5000 mm2. perbedaan perbesaran dipilih sedemikian, sehingga ada sedikitnya 75 butir yang berada di dalam lingkaran. Kemudian hitung jumlah total semua butir dalam lingkaran ditambah setengah dari jumlah butir dengan pengali Jeffries (f). Perlu diperhatikan bahwa ketiga metode diatas hanya merupakan besar butir pendekatan, sebab butir memiliki tiga dimensi bukan dua dimensi.
Brinnel
Pengujian kekerasan dengan metode Brinnel bertujuan untuk menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja atau indentor yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut (specimen). Idealnya, pengujian Brinnel diperuntukkan bagi material yang memiliki kekerasan brinnel sampai 400 HB, jika lebih dari nilai tersebut maka disarankan menggunakan metode pengujian Rockwell atau Vickers. Angka kekerasan Brinnel (HB) didefinisikan sebagai hasil bagi (koefisien) dari beban uji (f) dalam Newton yang dikalikan dengan angka faktor 0,102 dan luas permukaan bekas luka tekan (injakan) bola baja (A) dalam milimeter persegi. Identor (bola baja) biasanya telah di keraskan dan di platting ataupun terbuat dari bahan karbida tungsten. Jika diameter identor 10 mm maka bahan yang digunakan (pada mesin uji) adalah 750 N. Dalam prakteknya, pengujian Brinnel dinyatakan dalam (contoh) : HB5/750/15. Hal ini berarti bahwa kekerasan Brinnel hasil pengujian dengan bola baja (identor) berdiameter 5 mm, beban uji adalah sebesar 750 N per 0,102 dan lama pengujian 15 detik. Mengenai lama pengujian tergantung pada material yang akan di uji. Semua jenis baja, lama pengujiannya adalah 15 detik sedangkan untuk material bukan besi, lama penngujiannya adalah 30 detik.
Vickers
Pengujian kekerasan dengan metode vickers bertujuan menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap intan berbentuk piramida dengan sudut puncak 1360 yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut. Angka kekerasan Vickers (HV) didefinisikan sebagai hasil bagi (koefisien) dari beban ujji (f) dibagi dengan angka faktor 0,102 dan luas permukaan bekas luka tekan (injakan) bola baja (A) dalam milimeter persegi. Secara matematis dan setelah disederhanakan, HV sama dengan 1,854 dikalikan beban uji (f) dibagi dengan diagonal intan yang dikuadratkan. Beban uji (f) yang biasa dipakai adalah 5 N per 0,102; 10 N per 0,102; 30 N per 0,102; dan 50 N per 0,102. Dalam prakteknya, pengujian Vickers dinyatakan dalam (contoh) HV 30. Hal ini berarti bahwa kekerasan Vickers hasil pengujian dengan beban uji (f) sebesar 30 N per 0,102 dan lama pembebanan 30 detik.
Rockwell
Skala yang umum dipakai dalam pengujian Rockwell adalah sebagai berikut :
1. Hra (untuk material yang sangat keras)
2. Hrb (untuk material yang lunak). Identor berupa bola baja dengan diameter 1/16 inchi dan beban uji 100 kgf.
3. HRc (untuk material dengan kekerasan sedang). Indentor berupa kerucut intan dengan sudut puncak 1200 dan beban uji sebesar 150 kgf. Pengujian kekerasan dengan metode Rockwell bertujuan menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap benda uji (specimen) yang berupa bola baja ataupun kerucut intan yang ditekankan pada material uji tersebut.
2.12. Sifat Mekanik Logam
Ketika logam mendapatkan suatu gaya tarikan, terjadi perubahan bentuk pada logam tersebut. Jika logam tersebut bisa kembali ke dimensi asalnya ketika gaya tersebut dihilangkan, maka logam tersebut disebut sebagai telah mengalami deformasi elastik. Deformasi elastik yang bisa dialami oleh logam adalah kecil, akrena paad saat terjadi deformasi elastik, atom-atom logam dipindahkan dari posisi asalnya tetapi sampai terjadi perubahan posisi yang tetap. Jadi, ketika gaya yang bekerja pada logam yang tekah mengalami deformasi elastik tersebut dihilangkan, atom-atomnya kembali ke posisi asalnya dan logam tersebut kembali ke bentuknya semula.
Jika logam mengalami deformasi sedemikian rupa sehingga tak bisa kembali ke dimensi asalnya, maka logam tersebut telah mengalami deformasi plastik. Pada saat terjadi deformasi plastik, atom-atom logam dipindahkan dari posisi asalnya secara permanen dan menempati posisi baru. Kemampuan logam untuk mengalami deformasi plastik tanpa terjadi kerusakan adalah salah satu sifat logam yang sangat diperlukan dalam terapan. Misalnya, kemampuan baja untuk mengalami deformasi plastik secara baik memungkinkan bagian-bagian mobil seperti pintu atau penutup mesin dibentuk secara mekanis tanpa terjadi keretakan.
Korosi adalah kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi dengan lingkungan yang korosif. Korosi dapat juga diartikan sebagai serangan yang merusak logam …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar