Jumat, 27 Maret 2009

Ayat Cinta The Special One






Ayat Ayat Cinta

Novel Pembangun Jiwa





Karya

Habiburrahman Saerozi

Alumnus Universitas Al Azhar, Cairo






1. Gadis Mesir Itu Bernama Maria



Tengah hari ini, kota Cairo seakan membara. Matahari berpijar di tengah
petala langit. Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi. Tanah
dan pasir menguapkan bau neraka. Hembusan angin sahara disertai debu yang
bergulung-gulung menambah panas udara semakin tinggi dari detik ke detik.
Penduduknya, banyak yang berlindung dalam flat yang ada dalam apartemen-
apartemen berbentuk kubus dengan pintu, jendela dan tirai tertutup rapat.

Memang, istirahat di dalam flat sambil menghidupkan pendingin ruangan
jauh lebih nyaman daripada berjalan ke luar rumah, meski sekadar untuk shalat
berjamaah di masjid. Panggilan azan zhuhur dari ribuan menara yang bertebaran
di seantero kota hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati mereka yang
benar-benar tebal imannya. Mereka yang memiliki tekad beribadah sesempurna
mungkin dalam segala musim dan cuaca, seperti karang yang tegak berdiri dalam
deburan ombak, terpaan badai, dan sengatan matahari. Ia tetap teguh berdiri
seperti yang dititahkan Tuhan sambil bertasbih tak kenal kesah. Atau, seperti
matahari yang telah jutaan tahun membakar tubuhnya untuk memberikan
penerangan ke bumi dan seantero mayapada. Ia tiada pernah mengeluh, tiada
pernah mengerang sedetik pun menjalankan titah Tuhan.

Awal-awal Agustus memang puncak musim panas.

Dalam kondisi sangat tidak nyaman seperti ini, aku sendiri sebenarnya
sangat malas keluar. Ramalan cuaca mengumumkan: empat puluh satu derajat
celcius! Apa tidak gila!? Mahasiswa Asia Tenggara yang tidak tahan panas,
biasanya sudah mimisan, hidungnya mengeluarkan darah. Teman satu flat yang
langganan mimisan di puncak musim panas adalah Saiful. Tiga hari ini, memasuki
pukul sebelas siang sampai pukul tujuh petang, darah selalu merembes dari
hidungnya. Padahal ia tidak keluar flat sama sekali. Ia hanya diam di dalam
kamarnya sambil terus menyalakan kipas angin. Sesekali ia kungkum,
mendinginkan badan di kamar mandi.

Dengan tekad bulat, setelah mengusir segala rasa aras-arasen1 aku bersiap
untuk keluar. Tepat pukul dua siang aku harus sudah berada di Masjid Abu Bakar

1 Rasa malas melakukan sesuatu.


. Beliau adalah murid Syaikh Mahmoud Khushari, ulama
legendaris yang mendapat julukan Syaikhul Maqari’ Wal Huffadh Fi Mashr atau
Guru Besarnya Para Pembaca dan Penghafal Al-Qur’an di Mesir.
Ash-Shidiq yang terletak di Shubra El-Khaima, ujung utara Cairo, untuk talaqqi2
pada Syaikh Utsman Abdul Fattah. Pada ulama besar ini aku belajar qiraah
sab’ah3 dan ushul tafsir4

Jadwalku mengaji pada Syaikh yang terkenal sangat disiplin itu seminggu
dua kali. Setiap Ahad dan Rabu. Beliau selalu datang tepat waktu. Tak kenal kata
absen. Tak kenal cuaca dan musim. Selama tidak sakit dan tidak ada uzur yang
teramat penting, beliau pasti datang. Sangat tidak enak jika aku absen hanya
karena alasan panasnya suhu udara. Sebab beliau tidak sembarang menerima
murid untuk talaqqi qiraah sab’ah. Siapa saja yang ingin belajar qiraah sab’ah
terlebih dahulu akan beliau uji hafalan Al-Qur’an tiga puluh juz dengan qiraah
bebas. Boleh Imam Warasy. Boleh Imam Hafsh. Atau lainnya. Tahun ini beliau
hanya menerima sepuluh orang murid. Aku termasuk sepuluh orang yang
beruntung itu. Lebih beruntung lagi, beliau sangat mengenalku. Itu karena, di
samping sejak tahun pertama kuliah aku sudah menyetorkan hafalan Al-Qur’an
pada beliau di serambi masjid Al Azhar, juga karena di antara sepuluh orang yang
terpilih itu ternyata hanya diriku seorang yang bukan orang Mesir. Aku satu-
satunya orang asing, sekaligus satu-satunya yang dari Indonesia. Tak heran jika
beliau meng-anakemas-kan diriku. Dan teman-teman dari Mesir tidak ada yang
merasa iri dalam masalah ini. Mereka semua simpati padaku. Itulah sebabnya, jika
aku absen pasti akan langsung ditelpon oleh Syaikh Utsman dan teman-teman.
Mereka akan bertanya kenapa tidak datang? Apa sakit? Apa ada halangan dan lain
sebagainya. Maka aku harus tetap berusaha datang selama masih mampu
menempuh perjalanan sampai ke Shubra, meskipun panas membara dan badai
debu bergulung-gulung di luar sana. Meskipun jarak yang ditempuh sekitar lima
puluh kilo meter lebih jauhnya.

Kuambil mushaf tercinta.

Kucium penuh takzim. Lalu kumasukkan ke dalam saku depan tas
cangklong hijau tua. Meskipun butut, ini adalah tas bersejarah yang setia

2 Belajar langsung face to face dengan seorang syaikh atau ulama.

3 Membaca Al-Qur’an dengan riwayat tujuh Imam.

4 Ilmu tafsir paling pokok.


menemani diriku menuntut ilmu sejak di Madrasah Aliyah sampai saat ini, saat
menempuh S.2. di universitas tertua di dunia, di delta Nil ini. Aku mengambil satu
botol kecil berisi air putih di kulkas. Kumasukkan dalam plastik hitam lalu
kumasukkan dalam tas. Aku selalu membiasakan diri membawa air putih jika
bepergian, selain sangat berguna juga merupakan salah satu bentuk penghematan
yang sangat terasa. Apalagi selama menempuh perjalanan jauh dari Hadayek
Helwan sampai Shubra El-Khaima dengan metro5, tidak akan ada yang menjual
minuman.

Aku sedikit ragu mau membuka pintu. Hatiku ketar-ketir. Angin sahara
terdengar mendesau-desau. Keras dan kacau. Tak bisa dibayangkan betapa
kacaunya di luar sana. Panas disertai gulungan debu yang berterbangan. Suasana
yang jauh dari nyaman. Namun niat harus dibulatkan. Bismillah tawakkaltu ‘ala
Allah6, pelan-pelan kubuka pintu apartemen. Dan...

Wuss!

Angin sahara menampar mukaku dengan kasar. Debu bergumpal-gumpal
bercampur pasir menari-nari di mana-mana. Kututup kembali pintu apartemen.
Rasanya aku melupakan sesuatu.

“Mas Fahri, udaranya terlalu panas. Cuacanya buruk. Apa tidak sebaiknya
istirahat saja di rumah?” saran Saiful yang baru keluar dari kamar mandi. Darah
yang merembes dari hidungnya telah ia bersihkan.

“Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa. Aku sangat tidak enak pada
Syaikh Utsman jika tidak datang. Beliau saja yang sudah berumur tujuh puluh
lima tahun selalu datang. Tepat waktu lagi. Tak kenal cuaca panas atau dingin.
Padahal rumah beliau dari masjid tak kurang dari dua kilo,” tukasku sambil
bergegas masuk kamar kembali, mengambil topi dan kaca mata hitam.

“Allah yubarik fik7, Mas,” ujarnya serak. Tangan kanannya mengusapkan
sapu tangan pada hidungnya. Mungkin darahnya merembes lagi.

“Wa iyyakum!8” balasku sambil memakai kaca mata hitam dan memakai
topi menutupi kopiah putih yang telah menempel di kepalaku.

5 Kereta listrik, disebut juga trem.

6 Dengan menyebut nama Allah, aku berserah diri kepada Allah.

7 Semoga Allah melimpahkan berkah padamu.

8 Dan semoga melimpahkan (berkah-Nya) pada kalian semua.


“Sudah bawa air putih, Mas?”

Aku mengangguk.

“Saif, Rudi minta dibangunkan pukul setengah dua. Tadi malam dia
lembur bikin makalah. Kelihatannya dia baru tidur jam setengah sepuluh tadi.
Terus tolong nanti bilang sama dia untuk beli gula, dan minyak goreng. Hari ini
dia yang piket belanja. Oh ya, hampir lupa, nanti sore yang piket masak Hamdi.
Dia paling suka masak oseng-oseng wortel campur kofta9. Kebetulan wortel dan
koftanya habis. Bilang sama Rudi sekalian.”

Sebagai yang dipercaya untuk jadi kepala keluarga—meskipun tanpa
seorang ibu rumah tangga—aku harus jeli memperhatikan kebutuhan dan
kesejahteraan anggota. Dalam flat ini kami hidup berlima; aku, Saiful, Rudi,
Hamdi dan Mishbah. Kebetulan aku yang paling tua, dan paling lama di Mesir.
Secara akademis aku juga yang paling tinggi. Aku tinggal menunggu
pengumuman untuk menulis tesis master di Al Azhar. Yang lain masih program
S.1. Saiful dan Rudi baru tingkat tiga, mau masuk tingkat empat. Sedangkan
Misbah dan Hamdi sedang menunggu pengumuman kelulusan untuk memperoleh
gelar Lc. atau Licence. Mereka semua telah menempuh ujian akhir tahun pada
akhir Mei sampai awal Juni yang lalu. Awal-awal Agustus biasanya pengumuman
keluar. Namun sampai hari ini, pengumuman belum juga keluar.

Dan hari ini, kebetulan yang ada di flat hanya tiga orang, yaitu aku, Saiful
dan Rudi. Adapun Hamdi sudah dua hari ini punya kegiatan di Dokki, tepatnya di
Masjid Indonesia Cairo. Ia diminta untuk memberikan pelatihan kepemimpinan
pada remaja masjid yang semuanya adalah putera-puteri para pejabat KBRI. Siang
ini katanya selesai, dan nanti sore dia pulang. Sedangkan Mishbah sedang berada
di Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Katanya ia harus menginap di Wisma
Nusantara, di tempatnya Mas Khalid, untuk merancang draft pelatihan ekonomi
Islam bersama Profesor Maulana Husein Shahata, pertengahan September depan.
Masing-masing penghuni flat ini punya kesibukan. Aku sendiri yang sudah tidak
aktif di organisasi manapun, juga mempunyai jadwal dan kesibukan. Membaca
bahan untuk tesis, talaqqi qiraah sab’ah, menerjemah, dan diskusi intern dengan
teman-teman mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh S.2. dan S.3. di Cairo.

9 Daging yang telah dicincang halus dengan mesin.


Urusan-urusan kecil seperti belanja, memasak dan membuang sampah, jika tidak
diatur dengan bijak dan baik akan menjadi masalah. Dan akan mengganggu
keharmonisan. Kami berlima sudah seperti saudara kandung. Saling mencintai,
mengasihi dan mengerti. Semua punya hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada
yang diistimewakan. Semboyan kami, baiti jannati. Rumahku adalah surgaku.
Tempat yang kami tinggali ini harus benar-benar menjadi tempat yang
menyenangkan. Dan sebagai yang paling tua aku bertanggung jawab untuk
membawa mereka pada suasana yang mereka inginkan.

Aku melangkah ke pintu.

“Saif. Jangan lupa pesanku tadi!” kembali aku mengingatkan sebelum
membuka pintu.

“Insya Allah, Mas.”

Di luar sana angin terdengar mendesau-desau. Benar kata Saiful, cuaca
sebetulnya kurang baik.

Ah, kalau tidak ingat bahwa kelak akan ada hari yang lebih panas dari
hari ini dan lebih gawat dari hari ini. Hari ketika manusia digiring di padang
Mahsyar dengan matahari hanya satu jengkal di atas ubun-ubun kepala. Kalau
tidak ingat, bahwa keberadaanku di kota seribu menara ini adalah amanat. Dan
amanat akan dipertanggungjawabkan dengan pasti. Kalau tak ingat, bahwa masa
muda yang sedang aku jalani ini akan dipertanyakan kelak. Kalau tak ingat,
bahwa tidak semua orang diberi nikmat belajar di bumi para nabi ini. Kalau tidak
ingat, bahwa aku belajar di sini dengan menjual satu-satunya sawah warisan dari
kakek. Kalau tidak ingat bahwa aku dilepas dengan linangan air mata dan selaksa
doa dari ibu, ayah dan sanak saudara. Kalau tak ingat bahwa jadwal adalah janji
yang harus ditepati. Kalau tak ingat itu semua, shalat zhuhur di kamar saja lalu
tidur nyantai menyalakan kipas dan mendengarkan lantunan lagu El-Himl El-
Arabi atau El-Hubb El-Haqiqi, atau untaian shalawatnya Emad Rami dari Syiria
itu, tentu rasanya nyaman sekali. Apalagi jika diselingi minum ashir10 mangga
yang sudah didinginkan satu minggu di dalam kulkas atau makan buah semangka
yang sudah dua hari didinginkan. Masya Allah, alangkah segarnya.

Kubuka pintu apartemen perlahan.

10 Juice


Wuss!

Angin sahara kembali menerpa wajahku. Aku melangkah keluar lalu
menuruni tangga satu per satu. Flat kami ada di tingkat tiga. Gedung apartemen
ini hanya enam tingkat dan tidak punya lift. Sampai di halaman apartemen, jilatan
panas matahari seakan menembus topi hitam dan kopiah putih yang menempel di
kepalaku. Seandainya tidak memakai kaca mata hitam, sinarnya yang benderang
akan terasa perih menyilaukan mata.

Kulangkahkan kaki ke jalan.

“Psst..psst...Fahri! Fahri!”

Kuhentikan langkah. Telingaku menangkap ada suara memanggil-manggil
namaku dari atas. Suara yang sudah kukenal. Kupicingkan mataku mencari asal
suara. Di tingkat empat. Tepat di atas kamarku. Seorang gadis Mesir berwajah
bersih membuka jendela kamarnya sambil tersenyum. Matanya yang bening
menatapku penuh binar.

“Hei Fahri, panas-panas begini keluar, mau ke mana?”

“Shubra.”

“Talaqqi Al-Qur’an ya?”

Aku mengangguk.

“Pulangnya kapan?”

“Jam lima, insya Allah.”

“Bisa nitip?”

“Nitip apa?”

“Belikan disket. Dua. Aku malas sekali keluar.”

“Baik, insya Allah.”

Aku membalikkan badan dan melangkah.

“Fahri, istanna suwayya!11”

“Fi eh kaman?12”

Aku urung melangkah.

“Uangnya.”

“Sudah, nanti saja, gampang.”

“Syukran Fahri.”13

11 Tunggu sebentar.

12 Ada apa lagi?


“Afwan.”

Aku cepat-cepat melangkah ke jalan menuju masjid untuk shalat zhuhur.
Panasnya bukan main.

Gadis Mesir itu, namanya Maria. Ia juga senang dipanggil Maryam. Dua
nama yang menurutnya sama saja. Dia puteri sulung Tuan Boutros Rafael Girgis.
Berasal dari keluarga besar Girgis. Sebuah keluarga Kristen Koptik yang sangat
taat. Bisa dikatakan, keluarga Maria adalah tetangga kami paling akrab. Ya, paling
akrab. Flat atau rumah mereka berada tepat di atas flat kami. Indahnya, mereka
sangat sopan dan menghormati kami mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di
Al Azhar.

Maria gadis yang unik.

Ia seorang Kristen Koptik atau dalam bahasa asli Mesirnya qibthi, namun
ia suka pada Al-Qur’an. Ia bahkan hafal beberapa surat Al-Qur’an. Di antaranya
surat Maryam. Sebuah surat yang membuat dirinya merasa bangga. Aku
mengetahui hal itu pada suatu kesempatan berbincang dengannya di dalam metro.
Kami tak sengaja berjumpa. Ia pulang kuliah dari Cairo University, sedangkan
aku juga pulang kuliah dari Al Azhar University. Kami duduk satu bangku. Suatu
kebetulan.

“Hei namamu Fahri, iya ‘kan?”

“Benar.”

“Kau pasti tahu namaku, iya ‘kan?”

“Iya. Aku tahu. Namamu Maria. Puteri Tuan Boutros Girgis.”

“Kau benar.”

“Apa bedanya Maria dengan Maryam?”

“Maria atau Maryam sama saja. Seperti David dengan Daud. Yang jelas
namaku tertulis dalam kitab sucimu. Kitab yang paling banyak dibaca umat
manusia di dunia sepanjang sejarah. Bahkan jadi nama sebuah surat. Surat
kesembilan belas, yaitu surat Maryam. Hebat bukan?”

“Hei, bagaimana kau mengatakan Al-Qur’an adalah kitab suci paling
banyak dibaca umat manusia sepanjang sejarah? Dari mana kamu tahu itu?”
selidikku penuh rasa kaget dan penasaran.

13 Terima kasih.


“Jangan kaget kalau aku berkata begitu. Ini namanya objektif. Memang
kenyataannya demikian. Charles Francis Potter mengatakan seperti itu. Bahkan
jujur kukatakan, ‘Al-Qur’an jauh lebih dimuliakan dan dihargai daripada kitab
suci lainnya. Ia lebih dihargai daripada Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama.
Pendeta J. Shillidy dalam bukunya The Lord Jesus in The Koran memberikan
kesaksian seperti itu. Dan pada kenyataannya tak ada buku atau kitab di dunia ini
yang dibaca dan dihafal oleh jutaan manusia setiap detik melebihi Al-Qur’an. Di
Mesir saja ada sekitar sepuluh ribu Ma’had Al Azhar. Siswanya ratusan ribu
bahkan jutaan anak. Mereka semua sedang menghafalkan Al-Qur’an. Karena
mereka tak akan lulus dari Ma’had Al Azhar kecuali harus hafal Al-Qur’an. Aku
saja, yang seorang Koptik suka kok menghafal Al-Qur’an. Bahasanya indah dan
enak dilantunkan,” cerocosnya santai tanpa ada keraguan.

“Kau juga suka menghafal Al-Qur’an? Apa aku tidak salah dengar?”
heranku.

“Ada yang aneh?”

Aku diam tidak menjawab.

“Aku hafal surat Maryam dan surat Al-Maidah di luar kepala.”

“Benarkah?”

“Kau tidak percaya? Coba kau simak baik-baik!”

Maria lalu melantunkan surat Maryam yang ia hafal. Anehnya ia terlebih
dahulu membaca ta’awudz14 dan basmalah. Ia tahu adab dan tata cara membaca
Al-Qur’an. Jadilah perjalanan dari Mahattah15 Anwar Sadat Tahrir sampai Tura
El-Esmen kuhabiskan untuk menyimak seorang Maria membaca surat Maryam
dari awal sampai akhir. Nyaris tak ada satu huruf pun yang ia lupa. Bacaannya
cukup baik meskipun tidak sebaik mahasiswi Al Azhar. Dari Tura El-Esmen
hingga Hadayek Helwan Maria mengajak berbincang ke mana-mana. Aku tak
menghiraukan tatapan orang-orang Mesir yang heran aku akrab dengan Maria.

Itulah Maria, gadis paling aneh yang pernah kukenal. Meskipun aku sudah
cukup banyak tahu tentang dirinya, baik melalui ceritanya sendiri saat tak sengaja
bertemu di metro, atau melalui cerita ayahnya yang ramah. Tapi aku masih
menganggapnya aneh. Bahkan misterius. Ia gadis yang sangat cerdas. Nilai ujian

14 Yaitu membaca A’udzubillahi minasy syaithaanir rajiim.

15 Stasiun, terminal.


akhir Sekolah Lanjutan Atasnya adalah terbaik kedua tingkat nasional Mesir. Ia
masuk Fakultas Komunikasi, Universitas Cairo. Dan tiap tingkat selalu meraih
predikat mumtaz atau cumlaude. Ia selalu terbaik di fakultasnya. Ia pernah
ditawari jadi reporter Ahram, koran terkemuka di Mesir. Tapi ia tolak. Ia lebih
memilih jadi penulis bebas. Ia memang gadis Koptik yang aneh. Menurut
pengakuannya sendiri, ia paling suka dengar suara azan, tapi pergi ke gereja tidak
pernah ia tinggalkan. Sekali lagi, ia memang gadis Koptik yang aneh. Aku tidak
tahu jalan pikirannya.

Selama ini, aku hanya mendengar dari bibirnya yang tipis itu hal-hal yang
positif tentang Islam. Dalam hal etika berbicara dan bergaul ia terkadang lebih
Islami daripada gadis-gadis Mesir yang mengaku muslimah. Jarang sekali
kudengar ia tertawa cekikikan. Ia lebih suka tersenyum saja. Pakaiannya longgar,
sopan dan rapat. Selalu berlengan panjang dengan bawahan panjang sampai tumit.
Hanya saja, ia tidak memakai jilbab. Tapi itu jauh lebih sopan ketimbang gadis-
gadis Mesir seusianya yang berpakaian ketat dan bercelana ketat, dan tidak jarang
bagian perutnya sedikit terbuka. Padahal mereka banyak yang mengaku
muslimah. Maria suka pada Al-Qur’an. Ia sangat mengaguminya, meskipun ia
tidak pernah mengaku muslimah. Penghormatannya pada Al-Qur’an bahkan
melebihi beberapa intelektual muslim.

Ia pernah cerita, suatu kali ia ikut diskusi tentang aspek kebahasaan Al-
Qur’an di Fakultas Sastra Universitas Cairo. Pemakalahnya adalah seorang doktor
filsafat jebolan Sorbonne Perancis. Maria merasa risih sekali dengan kepongahan
doktor itu yang mengatakan Al-Qur’an tidak sakral karena dilihat dari aspek
kebahasaan ada ketidakberesan. Doktor itu mencontohkan dalam Al-Qur’an ada
rangkaian huruf yang tidak diketahui maknanya. Yaitu, alif laam miim, alif laam
ra, haa miim, yaa siin, thaaha nuun, kaf ha ya ‘ain shaad, dan sejenisnya.

Maria berkata padaku,

“Fahri, aku geli sekali mendengar perkataan doktor dari Sorbonne itu. Dia
itu orang Arab, juga muslim, tapi bagaimana bisa mengatakan hal yang stupid
begitu. Aku saja yang Koptik bisa merasakan betapa indahnya Al-Qur’an dengan
alif laam miim-nya. Kurasa rangkaian huruf-huruf seperti alif laam miim, alif
laam ra, haa miim, yaa siin, nuun, kaf ha ya ‘ain shaad adalah rumus-rumus


Tuhan yang dahsyat maknanya. Susah diungkapkan maknanya, tapi
keagungannya bisa ditangkap oleh mereka yang memiliki cita rasa bahasa Arab
yang tinggi. Jika susunan itu dianggap sebagai suatu ketidakberesan, orang-orang
kafir Quraisy yang sangat tidak suka pada Al-Qur’an dan memusuhinya sejak
dahulu tentu akan mengambil kesempatan adanya ketidakberesan itu untuk
menghancurkan Al-Qur’an. Dan tentu mereka sudah mencela bahasa Al-Qur’an
habis-habisan sepanjang sejarah. Namun kenyataannya, justru sebaliknya. Mereka
mengakui keindahan bahasanya yang luar biasa. Mereka menganggap bahasa Al-
Qur’an bukan bahasa manusia biasa tapi bahasa yang datang dari langit. Jadi
kukira doktor itu benar-benar stupid. Tidak semestinya seorang doktor sekelas dia
mengatakan hal seperti itu.”

Aku lalu menjelaskan kepada Maria segala hal berkaitan dengan alim laam
miim dalam Al-Qur’an. Lengkap dengan segala rahasia yang digali oleh para
ulama dan ahli tafsir. Maknanya, hikmahnya, dan pengaruhnya dalam jiwa. Juga
kuterangkan bahwa pendapat Maria yang mengatakan huruf-huruf itu tak lain
adalah rumus-rumus Tuhan yang maha dahsyat maknanya, dan hanya Tuhan yang
tahu persis maknanya, ternyata merupakan pendapat yang dicenderungi mayoritas
ulama tafsir. Maria girang sekali mendengarnya.

“Wah pendapat yang terlintas begitu saja dalam benak kok bisa sama
dengan pendapat mayoritas ulama tafsir ya?” komentarnya sambil tersenyum
bangga.

Aku ikut tersenyum.

Di dunia ini memang banyak sekali rahasia Tuhan yang tidak bisa
dimengerti oleh manusia lemah seperti diriku. Termasuk kenapa ada gadis seperti
Maria. Dan aku pun tidak merasa perlu untuk bertanya padanya kenapa tidak
mengikuti ajaran Al-Qur’an. Pertanyaan itu kurasa sangat tidak tepat ditujukan
pada gadis cerdas seperti Maria. Dia pasti punya alasan atas pilihannya. Inilah
yang membuatku menganggap Maria adalah gadis aneh dan misterius. Di dunia
ini banyak sekali hal-hal misterius. Masalah hidayah dan iman adalah masalah
misterius. Sebab hanya Allah saja yang berhak menentukan siapa-siapa yang patut
diberi hidayah. Abu Thalib adalah paman nabi yang mati-matian membela
dakwah nabi. Cinta nabi pada beliau sama dengan cinta nabi pada ayah


kandungnya sendiri. Tapi masalah hidayah hanya Allah yang berhak menentukan.
Nabi tidak bisa berbuat apa-apa atas nasib sang paman yang amat dicintainya itu.
Juga hidayah untuk Maria. Hanya Allah yang berhak memberikannya.

Mungkin, sejak azan berkumandang Maria telah membuka daun jendela
kayunya. Dari balik kaca ia melihat ke bawah, menunggu aku keluar. Begitu aku
tampak keluar menuju halaman apartemen, ia membuka jendela kacanya, dan
memanggil dengan suara setengah berbisik. Ia tahu persis bahwa aku dua kali tiap
dalam satu minggu keluar untuk talaqqi Al-Qur’an. Tiap hari Ahad dan Rabu.
Berangkat setelah azan zhuhur berkumandang dan pulang habis Ashar. Dan ini
hari Rabu. Seringkali ia titip sesuatu padaku. Biasanya tidak terlalu merepotkan.
Seperti titip membelikan disket, memfotocopykan sesuatu, membelikan tinta
print, dan sejenisnya yang mudah kutunaikan. Banyak toko alat tulis, tempat foto
copy dan toko perlengkapan komputer di Hadayek Helwan. Jika tidak ada di sana,
biasanya di Shubra El-Khaima ada.

Suhu udara benar-benar panas. Wajar saja Maria malas keluar. Toko alat
tulis yang juga menjual disket hanya berjarak lima puluh meter dari apartemen.
Namun ia lebih memilih titip dan menunggu sampai aku pulang nanti. Ini
memang puncak musim panas. Laporan cuaca meramalkan akan berlangsung
sampai minggu depan, rata-rata 39 sampai 41 derajat celcius. Ini baru di Cairo. Di
Mesir bagian selatan dan Sudan entah berapa suhunya. Tentu lebih menggila.
Ubun-ubunku terasa mendidih.

Panggilan iqamat16 terdengar bersahut-sahutan. Panggilan mulia itu sangat
menentramkan hati. Pintu-pintu meraih kebahagiaan dan kesejahteraan masih
terbuka lebar-lebar. Kupercepat langkah. Tiga puluh meter di depan adalah Masjid
Al-Fath Al-Islami. Masjid kesayangan. Masjid penuh kenangan tak terlupakan.
Masjid tempat aku mencurahkan suka dan deritaku selama belajar di sini. Tempat
aku menitipkan rahasia kerinduanku yang memuncak, tujuh tahun sudah aku
berpisah dengan ayah ibu. Tempat aku mengadu pada Yang Maha Pemberi rizki
saat berada dalam keadaan kritis kehabisan uang. Saat hutang pada teman-teman
menumpuk dan belum terbayarkan. Saat uang honor terjemahan terlambat datang.

16 Tanda bahwa shalat berjamaah segera didirikan.


Tempat aku menata hati, merancang strategi, mempertebal azam dan keteguhan
jiwa dalam perjuangan panjang.

Begitu masuk masjid...

Wusss!

Hembusan udara sejuk yang dipancarkan lima AC dalam masjid
menyambut ramah. Alhamdulillah. Nikmat rasanya jika sudah berada di dalam
masjid. Puluhan orang sudah berjajar rapi dalam shaf shalat jamaah. Kuletakkan
topi dan tas cangklongku di bawah tiang dekat aku berdiri di barisan shaf kedua.
Kedamaian menjalari seluruh syaraf dan gelegak jiwa begitu kuangkat takbir.
Udara sejuk yang berhembus terasa mengelus-elus leher dan mukaku. Juga
mengusap keringat yang tadi mengalir deras. Aku merasa tenteram dalam elusan
kasih sayang Tuhan Yang Mahapenyayang. Dia terasa begitu dekat, lebih dekat
dari urat leher, lebih dekat dari jantung yang berdetak.


2. Peristiwa di dalam Metro



Usai shalat, aku menyalami Syaikh Ahmad. Nama lengkapnya Syaikh
Ahmad Taqiyyuddin Abdul Majid. Imam muda yang selama ini sangat dekat
denganku. Beliau tidak pernah menyembunyikan senyumnya setiap kali berjumpa
denganku. Beliau masih muda, umurnya baru tiga puluh satu, dan baru setengah
tahun yang lalu ia meraih Magister Sejarah Islam dari Universitas Al Azhar.
Anaknya baru satu, berumur dua tahun. Kini beliau bekerja di Kementerian
Urusan Wakaf sambil menempuh program doktoralnya. Beliau juga menjadi
dosen Sejarah Islam di Ma’had I’dadud Du’at17 yang dikelola oleh Jam’iyyah
Syar’iyyah bekerjasama dengan Fakultas Dakwah, Universitas Al Azhar. Di
seluruh Mesir sampai sekarang ma’had ini baru ada dua: di Ramsis dan di
Hadayek Helwan.

Meskipun masih muda, namun kedalaman ilmu agama dan kefashihannya
membaca serta mentafsirkan Al-Qur’an membuat masyarakat memanggilnya
“Syaikh”. Kerendahan hati, dan komitmennya yang tinggi membela kebenaran
membuat sosoknya dicintai dan dihormati semua lapisan masyarakat Hadayek
Helwan dan sekitarnya. Yang menarik, dia dekat dengan kawula muda. Panggilan
‘Syaikh’ tidak membuatnya lantas merasa canggung untuk ikut sepak bola setiap
Jum’at pagi bersama anak-anak muda. Jika Maria adalah gadis Koptik yang aneh.
Aku merasa Syaikh Ahmad adalah ulama muda yang unik.

“Akh18 Fahri, mau ke mana?” tanya Syaikh ramah dengan senyum
menghiasi wajahnya yang bersih. Jenggotnya tertata rapi. Kutatap wajah beliau
sesaat. Sejatinya Syaikh Ahmad memang tampan. Tak kalah dengan Kazem
Saheer, penyanyi tenar asal Irak yang digandrungi gadis-gadis remaja seantero
Timur Tengah. Nada suaranya juga indah berwibawa. Tak heran jika beliau
disayangi semua orang. Seandainya suara indah Kazem Saheer digunakan untuk
membaca Al-Qur’an seperti Syaikh Ahmad mungkin akan lain cerita belantika
selebritis Mesir.

“Seperti biasa Syaikh, ke Shubra,” jawabku datar.

17 Sekolah Tinggi Juru Dakwah.

18 Saudara.


Beliau langsung paham aku mau ke mana dan mau apa. Sebab Syaikh
Ahmad dulu juga belajar qiraah sab’ah pada Syaikh Utsman di Shubra. Sesekali
bahkan masih datang ke sana.

“Cuacanya buruk. Sangat panas. Apa tidak sebaiknya istrirahat saja? Jarak
yang akan kau tempuh itu tidak dekat. Pikirkan juga kesehatanmu, Akh,” lanjut
beliau sambil meletakkan tangan kanannya dipundak kiriku.

“Semestinya memang begitu Syaikh. Tapi saya harus komitmen dengan
jadwal. Jadwal adalah janji. Janji pada diri sendiri dan janji pada Syaikh Utsman
untuk datang.”

“Masya Allah, semoga Allah menyertai langkahmu.”

“Amin,” sahutku pelan sambil melirik jam dinding di atas mihrab.

Waktunya sudah mepet.

“Syaikh, saya pamit dulu,” kataku sambil bangkit berdiri. Syaikh Ahmad
ikut berdiri. Kucangklong tas, kupakai topi dan kaca mata.

Syaikh Ahmad tersenyum melihat penampilanku.

“Dengan topi dan kaca mata hitammu itu kau seperti bintang film Hong
Kong saja. Tak tampak sedikit pun kau seorang mahasiswa pascasarjana Al Azhar
yang hafal Al-Qur’an.”

“Syaikh ini bisa saja,” sahutku sambil tersenyum, “mohon doanya.
Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh.”

Di luar masjid, terik matahari dan gelombang angin panas langsung
menyerang. Cepat-cepat kuayunkan kaki, berlari-lari kecil menuju mahathah
metro yang berada tiga puluh lima meter di hadapanku. Ups, sampai juga
akhirnya. Aku langsung menuju loket penjualan tiket.

“Ya Kapten, wahid Shubra!”19 seruku pada penjaga loket berkepala botak
dan gemuk. Wajahnya penuh keringat, meskipun tepat di belakangnya ada kipas
angin kecil berputar-putar. Ia tampak berkenan kusapa dengan kapten. Memang
untuk menyapa lelaki yang tidak dikenal cukup memakai ‘ya kapten’ bisa juga ‘ya
basya’ atau kalau agak tua ‘ya ammu’. Jika kira-kira sudah haji memakai ‘ya
haj’.”

19 Kapten, Shubra satu!


“Masyi ya Andonesy,”20 jawab penjaga loket sambil mengulurkan karcis
kecil warna kuning kepadaku. Ia mengambil uang satu pound yang kuberikan dan
memberi kembalian 20 piesters. Di pintu masuk karcis aku masukkan untuk
membuka pintu penghalang. Setelah melewati pintu penghalang karcis itu
kuambil lagi. Sebab tanpa karcis itu saya tidak akan bisa keluar di Shubra nanti.
Dan jika ada pemeriksaan di dalam metro karcis itu harus aku tunjukkan. Jika
tidak bisa menunjukkan, akan kena denda. Biasanya sepuluh pound. Itu pun
setelah dimaki-maki oleh petugas pemeriksa.

Bagi penduduk Mesir, khususnya Cairo, metro bisa dikatakan transportasi
kebanggaan. Lumayan canggih. Mahattah bawah tanah yang ada di Attaba, Tahrir
dan Ramsis kelihatan modern dan canggih. Itu wajar. Sebab arsiteknya, semuanya
orang Perancis. Orang-orang Mesir sering menyombongkan diri begini,

‘Kalau Anda berada di mahattah metro Tahrir atau Ramsis itu sama saja
Anda berada di salah satu mahattah metro kota Paris.’

Benarkah?

Aku tidak tahu, sebab aku tidak pernah pergi ke Paris. Tapi aku pernah
membaca sebuah majalah, memang ada stasiun bawah tanah di kota Paris yang
dibuat bernuansa Mesir kuno. Dinding-dindingnya diukir dengan Hieroglyph,
huruf-huruf Mesir kuno. Beberapa sisinya dihiasi dengan patung-patung dan
simbol-simbol Mesir kuno, seperti tugu Alexandria, kunci pyramid yang sekilas
tampak seperti salib, patung Tutankhmoun, Tutmosis, Ramses III, Amenophis III,
Cleopatra dan lain sebagainya. Nuansa seperti itu sangat kental di mahattah metro
Anwar Sadat-Tahrir, yang berada tepat di jantung kota Cairo.

Sebuah metro biru kusam datang. Pintu-pintunya terbuka perlahan.
Beberapa orang turun. Setelah itu, barulah para penumpang yang menunggu naik.
Aku masuk gerbong nomor lima. Aku yakin sekali akan dapat tempat duduk.
Dalam cuaca panas seperti ini pasti penumpang sepi. Begitu sampai di dalam, aku
langsung mengedarkan pandangan mencari tempat duduk. Sayang, semua tempat
duduk telah terisi. Bahkan ada lima penumpang yang berdiri. Sungguh
mengherankan, bagaimana mungkin ini terjadi? Di hari-hari biasa yang tidak
panas saja seringkali ada tempat duduk kosong.

20 Baik, Orang Indonesia.


Aku mengerutkan kening.

Dapat tempat duduk adalah juga rizki. Jika tidak dapat tempat duduk
berarti belum rizkinya. Aku menggeser diri ke dekat pintu di mana ada kipas
angin berputar-putar di atasnya. Namun kipas itu nyaris tak berguna. Udara panas
yang diputar tetap saja panas. Metro melaju kencang. Udara yang masuk dari
jendela juga panas. Padang pasir seperti mendidih. Semua penumpang basah oleh
air peluh.

Seorang pemuda berjenggot tipis yang berdiri tak jauh dari tempat aku
berdiri memandangi diriku dengan tersenyum. Aku membalas senyumnya. Ia
mendekat dan mengulurkan tangannya.

“Ana akhukum, 21 Ashraf,” ia memperkenalkan diri dengan sangat sopan.
Ia menggunakan kalimat ‘akhukum’ berarti ia sangat yakin aku seorang muslim
seperti dirinya.

“Ana akhukum, Fahri,” jawabku.

“Min Shin?”22

Orang Mesir terlalu susah membedakan orang Asia Tenggara dengan
orang China.

“La. Ana Andonesy.”23

Kami pun lantas berbincang-bincang. Mula-mula aku memancingnya
dengan masalah bola. Orang Mesir paling suka berbicara masalah bola. Terutama
membicarakan persaingan tiga klub besar Mesir yaitu Ahli, Zamalek dan Ismaili.
Ia ternyata pendukung Zamalek. Dengan bangga ia berkata, “Syaikh Muhammad
Jibril juga pendukung setia Zamalek.” Aku hanya tersenyum. Aku tidak perlu
mempertanyakan lebih lanjut kebenaran kata-katanya. Tidak penting. Pendukung
fanatik sebuah klub akan mencari banyak data untuk mendukung klub
kesayangannya. Maka aku langsung menyambungnya dengan memuji kehebatan
beberapa pemain andalan Zamalek. Terutama Hosam Hasan. Ia tampak senang.
Tujuanku memang membuat dia merasa senang. Tak lebih. Aku merasa tak rugi
membaca buku-buku Syaikh Abbas As-Sisi tentang bagaimana caranya
mengambil hati orang lain. Pembicaraan terus melebar ke mana-mana. Ia sangat

21 Aku saudaramu.

22 Dari China?

23 Tidak. Aku orang Indonesia.


senang ketika tahu bahwa aku mahasiswa pascasarjana Al Azhar. Lebih kaget
ketika ia tahu aku hendak ke Shubra untuk talaqqi pada Syaikh Utsman.

Ia berkata,

“Di Helwan saya belajar qiraah riwayat Imam Hafsh pada Syaikh Hasan
yang tak lain adalah murid Syaikh Utsman. Berkali-kali Syaikh Hasan memintaku
untuk ikut belajar qiraah sab’ah langsung pada Syaikh Utsman, tapi aku tak ada
waktu. Aku sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga. Jadi, kau
termasuk orang yang beruntung, orang Indonesia.”

Metro terus berjalan. Tak terasa sudah sampai daerah Thakanat Maadi.

“Akh Ashraf, kamu mau turun di mana?” tanyaku ketika metro perlahan
berhenti dan beberapa orang bersiap turun.

“Sayyeda Zaenab. Insya Allah.”

Pintu metro terbuka. Beberapa orang turun. Dua kursi kosong. Kalau mau,
aku bisa mengajak Ashraf mendudukinya. Namun ada seorang bapak setengah
baya masih berdiri. Dia memandang ke luar jendela, tidak melihat ada dua bangku
kosong. Kupersilakan dia duduk. Dia mengucapkan terima kasih. Kursi masih
kosong satu. Sangat dekat denganku. Kupersilakan Ashraf duduk. Dia tidak mau,
malah memaksaku duduk. Tiba-tiba mataku menangkap seorang perempuan
berabaya biru tua, dengan jilbab dan cadar biru muda naik dari pintu yang satu,
bukan dari pintu dekat yang ada di dekatku. Kuurungkan niat untuk duduk. Masih
ada yang lebih berhak. Perempuan bercadar itu kupanggil dengan lambaian
tangan. Ia paham maksudku. Ia mendekat dan duduk dengan mengucapkan,
“Syukran!”

Metro atau kereta listrik terus melaju.

Ashraf kembali mengajakku berbincang. Kali ini tentang Amerika. Ia
geram sekali pada Amerika. Seribu alasan ia beberkan. Kata-katanya menggebu
seperti Presiden Gamal Abdul Naser berorasi memberi semangat dunia Arab
dalam perang 1967.

“Ayatollah Khomeini benar, Amerika itu setan! Setan harus dienyahkan!”
katanya berapi-api. Orang Mesir memang suka bicara. Kalau sudah bicara ia
merasa paling benar sendiri. Aku diam saja. Kubiarkan Ashraf berbicara sepuas-
puasnya. Hanya sesekali, pada saat yang tepat aku menyela. Sesekali aku


menyapukan pandangan melihat keadaan sekeliling. Juga ke luar jendela agar tahu
metro sudah melaju sampai di mana. Sekilas ujung mataku menangkap
perempuan bercadar biru mengeluarkan mushaf dari tasnya, dan membacanya
dengan tanpa suara. Atau mungkin dengan suara tapi sangat lirih sehingga aku
tidak mendengarnya. Orang-orang membaca Al-Qur’an di metro, di bis, di stasiun
dan di terminal adalah pemandangan yang tidak aneh di Cairo. Apalagi jika bulan
puasa tiba.

Metro sampai di Maadi, kawasan elite di Cairo setelah Heliopolis, Dokki,
El-Zamalek dan Mohandesen. Sebagian orang malah mengatakan Maadi adalah
kawasan paling elite. Lebih elite dari Heliopolis. Tidak terlalu penting
membandingkan satu sama lain. Nama-nama itu semuanya nama kawasan elite.
Masing-masing punya kelebihan. Dokki terkenal sebagai tempatnya para diplomat
tinggal. Mohandesen tempatnya para pengusaha dan selebritis. Sedangkan Maadi
mungkin adalah kawasan yang paling teratur tata kotanya. Dirancang oleh
kolonial Inggris. Jalan-jalannya lebar. Setiap rumah ada tamannya. Dan dekat
sungai Nil. Tinggal di Maadi memiliki prestise sangat tinggi. Prestise-nya
seumpama tinggal di Paris dibandingkan dengan tinggal di kota-kota besar lainnya
di Eropa. Itu keterangan yang aku dapat dari Tuan Boutros, ayahnya Maria yang
bekerja di sebuah bank swasta di Maadi. Masalah prestise memang sangat
subjektif. Orang yang tinggal di kawasan agak kumuh Sayyeda Zaenab merasa
lebih prestise dibandingkan dengan tinggal di kawasan lain di Cairo. Alasan
mereka karena dekat dengan makam Sayyeda Zaenab, cucu Baginda Nabi Saw.
Demikian juga yang tinggal di dekat masjid Amru bin Ash. Mereka merasa lebih
beruntung dan selalu bangga bisa tinggal di dekat masjid pertama yang didirikan
di benua Afrika itu.

Begitu pintu metro terbuka, beberapa penumpang turun. Lalu beberapa
orang naik-masuk. Mataku menangkap ada tiga orang bule masuk. Yang seorang
nenek-nenek. Ia memakai kaos dan celana pendek sampai lutut. Wajahnya tampak
pucat. Mungkin karena kepanasan. Ia diiringi seorang pemuda dan seorang
perempuan muda. Mungkin anaknya atau cucunya. Keduanya memakai ransel.
Pemuda bule itu memakai topi berbendera Amerika dan berkaca mata hitam. Ia
juga hanya berkaos sport putih dan celana pendek sampai lutut. Yang perempuan


memakai kaos ketat tanpa lengan, you can see. Dan bercelana pendek ketat.
Semua bagian tubuhnya menonjol. Lekak-lekuknya jelas. Bagian pusarnya
kelihatan. Ia seperti tidak berpakaian. Mereka berdua mengitarkan pandangan.
Mencari tempat duduk. Sayang, tak ada yang kosong. Beberapa orang justru
berdiri termasuk diriku.

Aku tersenyum pada Ashraf sambil berkata,

“Ashraf kau mau titip pesan pada Presiden Amerika nggak?”

“Apa maksudmu?”

“Itu, mumpung ada orang Amerika. Minggu depan mereka mungkin sudah
kembali ke Amerika. Kau bisa titip pesan pada mereka agar presiden mereka tidak
bertindak bodoh seperti yang kau katakan tadi.”

Ashraf menoleh ke kanan dan memandang tiga bule itu dengan raut tidak
senang. Tiba-tiba ia berteriak,

“Ya Amrikaniyyun, la’natullah ‘alaikum!”24

Kontan para penumpang yang mendengar perkataan Ashraf itu melongok
ke arah tiga bule yang baru masuk itu. Gerakan persis anak-anak ayam yang kaget
atas kedatangan musang di kandangnya. Kusisir wajah orang-orang Mesir. Raut-
raut kurang simpati dan tidak senang. Apalagi pakaian perempuan muda Amerika
itu bisa dikatakan tidak sopan. Orang-orang Mesir memang menganggap Amerika
sebagai biang kerusakan di Timur Tengah. Orang-orang Mesir sangat marah pada
Amerika yang mencoba mengadu domba umat Islam dengan umat Kristen Koptik.
Amerika pernah menuduh pemerintah Mesir dan kaum muslimin berlaku semena-
mena pada umat Koptik. Tentu saja tuduhan itu membuat gerah seluruh penduduk
Mesir. Bapa Shnouda, pemimpin tertinggi dan kharismatik umat Kristen Koptik
serta merta memberikan keterangan pers bahwa tuduhan Amerika dusta belaka.
Sebuah tuduhan yang bertujuan hendak menghancurkan sendi-sendi persaudaraan
umat Islam dan umat Koptik yang telah kuat mengakar berabad-abad lamanya di
bumi Kinanah.25

Untung ketiga orang Amerika itu tidak bisa bahasa Arab. Mereka
kelihatannya tidak terpengaruh sama sekali dengan kata-kata yang diucapkan
Ashraf. Memang, kalau sedang jengkel orang Mesir bisa mengatakan apa saja. Di

24 Hai orang-orang Amerika, laknat Allah untuk kalian!

25 Kinanah: salah satu julukan untuk bumi Mesir.


pasar Sayyeda Zainab aku pernah melihat seorang penjual ikan marah-marah pada
isterinya. Entah karena apa. Ia menghujani isterinya dengan sumpah serapah yang
sangat kasar dan tidak nyaman di dengar telinga. Di antara kata-kata kasar yang
kudengar adalah: Ya bintal haram, ya syarmuthah, ya bintal khinzir...!26 Bulu
romaku sampai berdiri. Ngeri mendengarnya. Sang isteri juga tak mau kalah. Ia
membalas dengan caci maki dan serapah yang tak kalah keras dan kotornya. Dan
sumpah serapah yang mengandung laknat adalah termasuk paling kasar.

Telingaku paling tidak suka mendengar caci mencaci, apalagi umpatan
melaknat. Tak ada yang berhak melaknat manusia kecuali Tuhan. Manusia jelas-
jelas telah dimuliakan oleh Tuhan. Tanpa membedakan siapa pun dia. Semua
manusia telah dimuliakan Tuhan sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an, Wa laqad
karramna banii Adam. Dan telah Kami muliakan anak keturunan Adam! Jika
Tuhan telah memuliakan manusia, kenapa masih ada manusia yang mencaci dan
melaknat sesama manusia? Apakah ia merasa lebih tinggi martabatnya daripada
Tuhan?

Tindakan Ashraf melaknat tiga turis Amerika itu sangat aku sesalkan.
Tindakannya jauh dari etika Al-Qur’an, padahal dia tiap hari membaca Al-Qur’an.
Ia telah menamatkan qiraah riwayat Imam Hafsh. Namun ia berhenti pada cara
membacanya saja, tidak sampai pada penghayatan ruh kandungannya. Semoga
Allah memberikan petunjuk di hatinya.

Yang aku herankan, dalam kondisi panas seperti ini, kenapa bule-bule itu
ada di dalam metro. Seandainya mau bepergian kenapa tidak memakai limousin
atau taksi yang ber-AC. Dalam hati aku merasa kasihan pada mereka. Mereka
seperti tersiksa. Basah oleh keringat. Wajah dan kulit mereka kemerahan. Yang
paling kasihan adalah yang nenek-nenek. Beberapa kali ia menenggak air mineral.
Mukanya tetap saja pucat. Mereka tidak biasa kepanasan seperti ini. Aku jadi
teringat Majidov, teman dari Rusia. Ia sangat tidak tahan dengan panasnya Mesir.
Ia tinggal di Madinatul Bu’uts, atau biasa disebut Bu’uts saja. Yaitu asrama
mahasiswa Al Azhar dari seluruh penjuru dunia. Di Bu’uts tidak ada AC-nya. Jika
musim panas tiba dia akan hengkang dari Bu’uts dan menyewa flat bersama
beberapa temannya di kawasan Rab’ah El-Adawea. Mencari yang ada AC-nya.

26 Ya bintal haram (Hai anak haram/anak hasil perzinaan), Ya Syarmuthah (Hai pelacur), Ya
bintal khinzir (Hai anak babi).


Tapi tidak semua mahasiswa dari Rusia seperti Majidov. Banyak juga yang tahan
dengan musim panas.

Tak ada yang bergerak mempersilakan nenek bule itu untuk duduk. Ini
yang aku sesalkan. Beberapa lelaki muda atau setengah baya yang masih kuat
tetap saja tidak mau berdiri dari tempat duduk mereka. Biasanya, begitu melihat
orang tua, apalagi nenek-nenek, beberapa orang langsung berdiri menyilakan
duduk. Tapi kali ini tidak. Lelaki bule itu mengajak bicara seorang pemuda Mesir
berbaju kotak-kotak lengan pendek yang duduk di dekatnya. Sekilas di antara deru
metro kutangkap maksud perkataan si bule. Ia minta kepada pemuda Mesir itu
memberi kesempatan pada ibunya yang sudah tua untuk duduk. Mereka bertiga
akan turun di Tahrir. Tapi pemuda Mesir itu sama sekali tidak menanggapinya.
Entah kenapa. Apa karena dia tidak paham bahasa Inggris, atau karena
ketidaksukaannya pada orang Amerika? Aku tidak tahu.

Nenek bule itu kelihatannya tidak kuat lagi berdiri. Ia hendak duduk
menggelosor di lantai. Belum sampai nenek bule itu benar-benar menggelosor,
tiba-tiba perempuan bercadar yang tadi kupersilakan duduk itu berteriak
mencegah,

“Mom, wait! Please, sit down here!”

Perempuan bercadar biru muda itu bangkit dari duduknya. Sang nenek
dituntun dua anaknya beranjak ke tempat duduk. Setelah si nenek duduk,
perempuan bule muda berdiri di samping perempuan bercadar. Aku melihat
pemandangan yang sangat kontras. Sama-sama perempuan. Yang satu auratnya
tertutup rapat. Tak ada bagian dari tubuhnnya yang membuat jantung lelaki
berdesir. Yang satunya memakai pakaian sangat ketat, semua lekak-lekuk
tubuhnya kelihatan, ditambah basah keringatnya bule itu nyaris seperti telanjang.

“Thank you. It’s very kind of you!” Perempuan bule muda mengungkapkan
rasa terima kasih pada perempuan bercadar.

“You’re welcome,” lirih perempuan bercadar. Bahasa Inggrisnya bagus.
Sama sekali tak kuduga. Keduanya lalu berkenalan dan berbincang-bincang.
Perempuan bercadar minta maaf atas perlakuan saudara seiman yang mungkin
kurang ramah. Ternyata lebih dari yang kunilai. Perempuan bercadar itu benar-
benar berbicara sefasih orang Inggris. Biasanya orang Mesir sangat susah


berbahasa Inggris dengan fasih. Kata ‘friend’ selalu mereka ucapan ‘bren’. Huruf
‘f’ jadi ‘b’. Aku sering geli mendengarnya. Tapi perempuan bercadar ini sungguh
fasih. Lebih fasih dari pembaca berita Nile TV. Perempuan bule tersenyum dan
berkata,

“Oh not at all. It’s all right. Cuaca memang panas dan melelahkan.
Semuanya lelah. Dalam keadaan lelah terkadang susah untuk mengalah. Dan itu
sangat manusiawi.”

“Busyit! Hei perempuan bercadar, apa yang kau lakukan!”

Pemuda berbaju kotak-kotak bangkit dengan muka merah. Ia berdiri tepat
di samping perempuan bercadar dan membentaknya dengan kasar. Rupanya ia
mendengar dan mengerti percakapan mereka berdua.

Perempuan bercadar kaget. Namun aku tidak bisa menangkap raut
kagetnya sebab mukanya tertutup cadar. Yang bisa kutangkap adalah gerakan
kepalanya yang terperangah, kedua matanya yang sedikit menciut, kulit putih
antara dua matanya sedikit mengkerut, alisnya seperti mau bertemu.

“Hal a..ana khata’?”27 Ucap perempuan bercadar tergagap. Ia memakai
bahasa fusha28, bukan bahasa ‘amiyah.29 Maksudnya bisa dipahami, tapi
susunannya janggal. Apakah mungkin karena dirinya terlalu kaget atas bentakan
pemuda Mesir itu.

Mendengar jawaban seperti itu si pemuda malah semakin naik pitam. Ia
kembali membentak dan memaki-maki secara kasar dengan bahasa ‘amiyah,

“Yakhrab baitik!30 Kau telah menghina seluruh orang Mesir yang ada di
metro ini. Kau sungguh keterlaluan! Kelihatannya saja bercadar, sok alim, tapi
sebetulnya kau perempuan bangsat! Kau kira kami tidak tahu sopan-santun apa?
Sengaja kami mengacuhkan orang Amerika itu untuk sedikit memberi pelajaran.
Ee..bukannya kau mendukung kami. Kau malah mempersilakan setan-setan bule
itu duduk. Dan seolah paling baik, kau sok jadi pahlawan dengan memintakan
maaf atas nama kami semua. Kau ini siapa, heh?”

27 Hal ana khata’ ? Maksudnya, apakah saya salah? Susunannya yang tepat adalah Hal ana
mukhthi’ah?

28 Bahasa Arab yang fashih secara gramatikal, bukan bahasa pergaulan.

29 Bahasa Arab pergaulan, yang biasa digunakan dalam percakapan harian.

30 Yakhrab baitik! (Artinya secara bahasa semoga rumahmu roboh, biasanya digunakan untuk
mengumpat dalam bahasa Jawa senada dengan kata-kata: Bajingan! Dancouk! Dan sejenisnya).


Pemuda itu sudah keterlaluan. Aku berharap ada yang bertindak. Ashraf
dan seorang lelaki setengah baya berpakaian abu-abu mendekati pemuda dan
perempuan bercadar. Aku sedikit lega.

“Kau memang sungguh kurang ajar perempuan! Kau membela bule-bule
Amerika yang telah membuat bencana di mana-mana. Di Afganistan. Di
Palestina. Di Irak dan di mana-mana. Mereka juga tiada henti-hentinya
menggoyang negara kita. Kau ini muslimah macam apa, hah!?” Ashraf marah
sambil menuding-nuding perempuan bercadar itu.

Aku kaget bukan main. Aku tak mengira Ashraf akan berkata sekasar itu.
Kelegaanku berubah jadi kekecewaan mendalam.

“Meski kau bercadar dan membawa mushaf ke mana-mana, nilaimu tak
lebih dari seorang syarmuthah!”31 umpat lelaki berpakaian abu-abu.

Ini sudah keterlaluan. Menuduh seorang perempuan baik-baik sehina
pelacur tidak bisa dibenarkan.

Aku membaca istighfar dan shalawat berkali-kali. Aku sangat kecewa
pada mereka. Perempuan bercadar itu diam seribu bahasa. Matanya berkaca-kaca.
Bentakan, cacian, tudingan dan umpatan yang ditujukan padanya memang sangat
menyakitkan. Aku tak bisa diam. Kucopot topi yang menutupi kopiah putihku.
Lalu aku mendekati mereka sambil mencopot kaca mata hitamku.

“Ya jama’ah, shalli ‘alan nabi, shalli ‘alan nabi!”32 ucapku pada mereka
sehalus mungkin. Cara menurunkan amarah orang Mesir adalah dengan mengajak
membaca shalawat. Entah riwayatnya dulu bagaimana. Di mana-mana, di seluruh
Mesir, jika ada orang bertengkar atau marah, cara melerai dan meredamnya
pertama-tama adalah dengan mengajak membaca shalawat. Shalli ‘alan nabi,
artinya bacalah shalawat ke atas nabi. Cara ini biasanya sangat manjur.

Benar, mendengar ucapanku spontan mereka membaca shalawat. Juga
para penumpang metro lainnya yang mendengar. Orang Mesir tidak mau
dikatakan orang bakhil. Dan tiada yang lebih bakhil dari orang yang mendengar
nama nabi, atau diminta bershalawat tapi tidak mau mengucapkan shalawat.
Begitu penjelasan Syaikh Ahmad waktu kutanyakan ihwal cara aneh orang Mesir

31 Syarmuthah: Pelacur.

32 Wahai Jamaah (untuk menyapa orang banyak)! Bacalah shalawat ke atas nabi, bacalah
shalawat ke atas nabi!


dalam meredam amarah. Justru jika ada orang sedang marah lantas kita bilang
padanya, La taghdhab! (yang artinya: jangan marah!) terkadang malah akan
membuat ia semakin marah.

Lalu aku menjelaskan pada mereka bahwa yang dilakukan perempuan
bercadar itu benar. Bukanya menghina orang Mesir, justru sebaliknya. Dan
umpatan-umpatan yang ditujukan padanya itu sangat tidak sopan dan tidak bisa
dibenarkan. Aku beberkan alasan-alasan kemanusiaan. Mereka bukannya sadar,
tapi malah kembali naik pitam. Si pemuda marah dan mencela diriku dengan
sengit. Juga si bapak berpakaian abu-abu. Sementara Ashraf bilang, “Orang
Indonesia, sudahlah, kau jangan ikut campur urusan kami!”

Aku kembali mengajak mereka membaca shalawat. Aku nyaris kehabisan
akal. Akhirnya kusitir beberapa hadits nabi untuk menyadarkan mereka. Tapi
orang Mesir seringkali muncul besar kepalanya dan merasa paling menang
sendiri.

Pemuda Mesir malah menukas sengak, “Orang Indonesia, kau tahu apa
sok mengajari kami tentang Islam, heh! Belajar bahasa Arab saja baru kemarin
sore. Juz Amma entah hafal entah tidak. Sok pintar kamu! Sudah kau diam saja,
belajar baik-baik selama di sini dan jangan ikut campur urusan kami!”

Aku diam sesaat sambil berpikir bagaimana caranya menghadapi anak
turun Fir’aun yang sombong dan keras kepala ini. Aku melirik Ashraf. Mata kami
bertatapan. Aku berharap dia berlaku adil. Dia telah berkenalan denganku tadi.
Kami pernah akrab meskipun cuma sesaat. Kupandangi dia dengan bahasa mata
mencela. Ashraf menundukkan kepalanya, lalu berkata,

“Kapten, kau tidak boleh berkata seperti itu. Orang Indonesia ini sudah
menyelesaikan licence-nya di Al Azhar. Sekarang dia sedang menempuh program
magisternya. Walau bagaimana pun, dia seorang Azhari. Kau tidak boleh
mengecilkan dia. Dia hafal Al-Qur’an. Dia murid Syaikh Utsman Abdul Fattah
yang terkenal itu.”

Pembelaan Ashraf ini sangat berarti bagiku. Pemuda berbaju kotak-kotak
itu melirik kepadaku lalu menunduk. Mungkin dia malu telah berlaku tidak sopan
kepadaku. Tetapi lelaki berpakaian abu-abu kelihatannya tidak mau menerima
begitu saja.


“Dari mana kau tahu? Apa kau teman satu kuliahnya?” tanyanya.

Ashraf tergagap, “Tidak. Aku tidak teman kuliahnya. Aku tahu saat
berkenalan dengannya tadi.”

“Kau terlalu mudah percaya. Bisa saja dia berbohong. Program magister di
Al Azhar tidak mudah. Jadi murid Syaikh Utsman juga tidak mudah.” Lelaki itu
mencela Ashraf. Dia lalu berpaling ke arahku dan berkata, “Hei orang Indonesia,
kalau benar kau S.2. di Al Azhar mana kartumu!?”

Lelaki itu membentak seperti polisi intel. Berurusan dengan orang awam
Mesir yang keras kepala memang harus sabar. Tapi jika mereka sudah tersentuh
hatinya, mereka akan bersikap ramah dan luar biasa bersahabat. Itulah salah satu
keistimewaan watak orang Mesir. Terpaksa kubuka tas cangklongku. Kuserahkan
dua kartu sekaligus. Kartu S.2. Al Azhar dan kartu keanggotaan talaqqi qiraah
sab’ah dari Syaikh Utsman. Tidak hanya itu, aku juga menyerahkan selembar
tashdiq33 resmi dari universitas. Tasdiq yang akan kugunakan untuk
memperpanjang visa Sabtu depan.

Lelaki setengah baya lalu meneliti dua kartu dan tashdiq yang masih gres
itu dengan seksama. Ia manggut-manggut, kemudian menyerahkannya pada
pemuda berbaju kotak-kotak yang keras kepala yang ada di sampingnya.

“Kebetulan saat ini saya sedang menuju masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq
untuk talaqqi. Kalau ada yang mau ikut menjumpai Syaikh Utsman boleh
menyertai saya.” Ujarku tenang penuh kemenangan.

Kulihat wajah mereka tidak sepitam tadi. Sudah lebih mencair. Bahkan
ada gurat rasa malu pada wajah mereka. Jika kebenaran ada di depan mata, orang
Mesir mudah luluh hatinya.

“Maafkan kelancangan kami, Orang Indonesia. Tapi perempuan bercadar
ini tidak pantas dibela. Ia telah melakukan tindakan bodoh!” kata pemuda Mesir
berbaju kotak-kotak sambil menyerahkan kembali dua kartu dan tashdiq
kepadaku.

33 Tashdiq adalah surat keterangan resmi dari Universitas, bahwa pemiliknya benar-benar
mahasiswa pada fakultas, jurusan dan program tertentu di universitas itu. Tashdiq biasanya
diperlukan untuk urusan-urusan resmi. Misalnya perpanjangan visa belajar, pengambilan visa haji,
meminta atau memperpanjang beasiswa pada suatu lembaga dan lain sebagainya.


Aku menghela nafas panjang. Metro melaju kencang menembus udara
panas. Sesekali debu masuk berhamburan.

“Terus terang, aku sangat kecewa pada kalian! Ternyata sifat kalian tidak
seperti yang digambarkan baginda Nabi. Beliau pernah bersabda bahwa orang-
orang Mesir sangat halus dan ramah, maka beliau memerintahkan kepada
shahabatnya, jika kelak membuka bumi Mesir hendaknya bersikap halus dan
ramah. Tapi ternyata kalian sangat kasar. Aku yakin kalian bukan asli orang
Mesir. Mungkin kalian sejatinya sebangsa Bani Israel. Orang Mesir asli itu seperti
Syaikh Muhammad Mutawalli Sya’rawi yang ramah dan pemurah,” ucapku datar.
Aku yakin akan membuat hati orang Mesir yang mendengarnya bagaikan
tersengat aliran listrik.

“Maafkan kami, Orang Indonesia. Kami memang emosi tadi. Tapi jangan
kau katakan kami bukan orang Mesir. Jangan pula kau katakan kami ini sebangsa
Bani Israel. Kami asli Mesir. Kami satu moyang dengan Syaikh Sya’rawi
rahimahullah,” lelaki setengah baya itu tidak terima. Syaikh Sya’rawi memang
seorang ulama yang sangat merakyat. Sangat dicintai orang Mesir. Hampir semua
orang Mesir mengenal dan mencintai beliau. Mereka sangat bangga memiliki
seorang Sya’rawi yang dihormati di seantero penjuru Arab.

“Yang aku tahu, selama ini, orang Mesir asli sangat memuliakan tamu.
Orang Mesir asli sangat ramah, pemurah, dan hatinya lembut penuh kasih sayang.
Sifat mereka seperti sifat Nabi Yusuf dan Nabi Ya’qub. Syaikh Sya’rawi, Syaikh
Abdul Halim Mahmud, Syaikh Muhammad Ghazali, Syaikh Muhammad Hasan,
Syaikh Kisyk, Syaikh Muhammad Jibril, Syaikh Athea Shaqr, Syaikh Ismail
Diftar, Syaikh Utsman dan ulama lainnya adalah contoh nyata orang Mesir asli
yang berhati lembut, sangat memuliakan tamu dan sangat memanusiakan
manusia. Tapi apa yang baru saja kalian lakukan?! Kalian sama sekali tidak
memanusiakan manusia dan tidak punya rasa hormat sedikit pun pada tamu
kalian. Orang bule yang sudah nenek-nenek itu adalah tamu kalian. Mereka
bertiga tamu kalian. Tetapi kenapa kalian malah melaknatnya. Dan ketika saudari
kita yang bercadar ini berlaku sebagai seorang muslimah sejati dan sebagai
seorang Mesir yang ramah, kenapa malah kalian cela habis-habisan!? Kalian


bahkan menyumpahinya dengan perkataan kasar yang sangat menusuk perasaan
dan tidak layak diucapkan oleh mulut orang yang beriman! ”

“Tapi Amerika sudah keterlaluan! Apa salah jika kami sedikit saja
mengungkapkan kejengkelan kami dengan memberi pelajaran sedikit saja pada
orang-orang Amerika itu?!” Lelaki setengah baya masih berusaha membenarkan
tindakannya. Aku tidak merasa aneh. Begitulah orang Mesir, selalu merasa benar.
Dan nanti akan luluh jika berhadapan dengan kebenaran yang seterang matahari.

“Kita semua tidak menyukai tindak kezhaliman yang dilakukan siapa saja.
Termasuk yang dilakukan Amerika. Tapi tindakan kalian seperti itu tidak benar
dan jauh dari tuntunan ajaran baginda Nabi yang indah.”

“Lalu kami harus berbuat apa dan bagaimana? Ini mumpung ada orang
Amerika. Mumpung ada kesempatan. Dengan sedikit pelajaran mereka akan tahu
bahwa kami tidak menyukai kezhaliman mereka. Biar nanti kalau pulang ke
negaranya mereka bercerita pada tetangganya bagaimana tidak sukanya kami pada
mereka!”

“Justru tindakan kalian yang tidak dewasa seperti anak-anak ini akan
menguatkan opini media massa Amerika yang selama ini beranggapan orang
Islam kasar dan tidak punya perikemanusiaan. Padahal baginda Rasul
mengajarkan kita menghormati tamu. Apakah kalian lupa, beliau bersabda, siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hormatilah tamunya. Mereka
bertiga adalah tamu di bumi Kinanah ini. Harus dihormati sebaik-baiknya. Itu jika
kalian merasa beriman kepada Allah dan hari akhir. Jika tidak, ya terserah!
Lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan. Tapi jangan sekali-kali kalian
menamakan diri kalian bagian dari umat Islam. Sebab tindakan kalian yang tidak
menghormati tamu itu jauh dari ajaran Islam.”

Lelaki setengah baya itu diam. Pemuda berbaju kotak-kotak menunduk.
Ashraf membisu. Para penumpang yang lain, termasuk perempuan bercadar juga
diam. Metro terus berjalan dengan suara bergemuruh, sesekali mencericit.

“Coba kalian jawab pertanyaanku ini. Kenapa kalian berani menyakiti
Rasulullah?!” tanyaku sambil memandang ketiga orang Mesir bergantian. Mereka
agak terkejut mendengar pertanyaanku itu.


“Akhi, mana mungkin kami berani menyakiti Rasulullah yang kami
cintai,” jawab Ashraf.

“Kenapa kalian kelak di hari akhir berani berseteru di hadapan Allah
melawan Rasulullah?” tanyaku lagi.

“Akhi, kau melontarkan pertanyaan gila. Kita semua di hari akhir kelak
mengharap syafaat Rasulullah, bagaimana mungkin kami berani berseteru dengan
beliau di hadapan Allah!” jawab Ashraf.

“Tapi kalian telah melakukan tindakan sangat lancang. Kalian telah
menyakiti Rasulullah. Kalian telah menantang Rasulullah untuk berseteru di
hadapan Allah kelak di hari akhir!” ucapku tegas sedikit keras.

Lelaki setengah baya, Ashraf, pemuda berbaju kotak-kotak dan beberapa
penumpang metro yang mendengar ucapanku semuanya tersentak kaget.

“Apa maksudmu, Andonesy? Kau jangan bicara sembarangan!” jawab
lelaki setengah baya sedikit emosi.

“Paman, aku tidak berkata sembarangan. Aku akan sangat malu pada
diriku sendiri jika berkata dan bertindak sembarangan. Baiklah, biar aku jelaskan.
Dan setelah aku jelaskan kalian boleh menilai apakah aku berkata sembarangan
atau bukan. Harus kalian mengerti, bahwa ketiga orang bule ini selain tamu kalian
mereka sama dengan ahlu dzimmah. Tentu kalian tahu apa itu ahlu dzimmah.
Disebut ahlu dzimmah karena mereka berada dalam jaminan Allah, dalam
jaminan Rasul-Nya, dan dalam jaminan jamaah kaum muslimin. Ahlu dzimmah
adalah semua orang non muslim yang berada di dalam negara tempat kaum
muslimin secara baik-baik, tidak ilegal, dengan membayar jizyah dan mentaati
peraturan yang ada dalam negara itu. Hak mereka sama dengan hak kaum
muslimin. Darah dan kehormatan mereka sama dengan darah dan kehormatan
kaum muslimin. Mereka harus dijaga dan dilindungi. Tidak boleh disakiti sedikit
pun. Dan kalian pasti tahu, tiga turis Amerika ini masuk ke Mesir secara resmi.
Mereka membayar visa. Kalau tidak percaya coba saja lihat paspornya. Maka
mereka hukumnya sama dengan ahlu dzimmah. Darah dan kehormatan mereka
harus kita lindungi. Itu yang diajarkan Rasulullah Saw. Tidakkah kalian dengar
sabda beliau, ‘Barangsiapa menyakiti orang zhimmi (ahlu zhimmah) maka aku
akan menjadi seterunya. Dan siapa yang aku menjadi seterunya dia pasti kalah di


hari kiamat.’34 Beliau juga memperingatkan, ‘Barangsiapa yang menyakiti orang
dzimmi, dia telah menyakiti diriku dan barangsiapa menyakiti diriku berarti dia
menyakiti Allah.’35 Begitulah Islam mengajarkan bagaimana memperlakukan non
muslim dan para tamu asing yang masuk secara resmi dan baik-baik di negara
kaum muslimin. Imam Ali bahkan berkata, ‘Begitu membayar jizyah, harta
mereka menjadi sama harus dijaganya dengan harta kita, darah mereka sama
nilainya dengan darah kita.’ Dan para turis itu telah membayar visa dan ongkos
administrasi lainnya, sama dengan membayar jizyah. Mereka menjadi tamu resmi,
tidak ilegal, maka harta, kehormatan dan darah mereka wajib kita jaga bersama-
sama. Jika tidak, jika kita sampai menyakiti mereka, maka berarti kita telah
menyakiti baginda Nabi, kita juga telah menyakiti Allah. Kalau kita telah lancang
berani menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maka siapakah diri kita ini? Masih
pantaskan kita mengaku mengikuti ajaran baginda Nabi?”

Lelaki setengah baya itu tampak berkaca-kaca. Ia beristighfar berkali-kali.
Lalu mendekati diriku. Memegang kepalaku dengan kedua tangannya dan
mengecup kepalaku sambil berkata, “Allah yaftah ‘alaik, ya bunayya! Allah
yaftah ‘alaik! Jazakallah khaira!”36 Ia telah tersentuh. Hatinya telah lembut.

Setelah itu giliran Ashraf merangkulku.

“Senang sekali aku bertemu dengan orang sepertimu, Fahri!” katanya.

Aku tersenyum, ia pun tersenyum. Pemuda berbaju kotak-kotak lalu
mempersilakan pria bule yang berdiri di dekat neneknya untuk duduk di tempat
duduknya. Dua pemuda Mesir yang duduk di depan nenek bule berdiri dan
mempersilakan pada perempuan bercadar dan perempuan bule untuk duduk.

Begitulah.

Salah satu keindahan hidup di Mesir adalah penduduknya yang lembut
hatinya. Jika sudah tersentuh mereka akan memperlakukan kita seumpama raja.
Mereka terkadang keras kepala, tapi jika sudah jinak dan luluh mereka bisa
melakukan kebaikan seperti malaikat. Mereka kalau marah meledak-ledak tapi
kalau sudah reda benar-benar reda dan hilang tanpa bekas. Tak ada dendam di

34 Diriwayatkan oleh Al-Khathib dengan sanad baik.

35 Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dengan sanad baik.

36 Semoga Allah membuka hatimu (menambahkan ilmumu) Anakku! Dan semoga Allah
membalasmu dengan kebaikan!


belakang yang diingat sampai tujuh keturunan seperti orang Jawa. Mereka mudah
menerima kebenaran dari siapa saja.

Metro terus melaju. Tak terasa sudah sampai mahattah Mar Girgis. Ashraf
mendekatkan diri ke pintu. Ia bersiap-siap. Mahattah depan adalah El-Malik El-
Saleh, setelah itu Sayyeda Zeinab dan ia akan turun di sana. Aku menghitung
masih ada tujuh mahattah baru sampai di Ramsis. Setelah itu aku akan pindah
metro jurusan Shubra El-Khaima. Perjalanan masih jauh. Metro kembali berjalan.
Pelan-pelan lalu semakin kencang. Tak lama kemudian sampai di El-Malik El-
Saleh. Metro berhenti. Pintu dibuka. Beberapa orang turun. Lelaki setengah baya
hendak turun. Sebelum turun ia menyalami diriku dan mengucapkan terima kasih
sambil mulutnya tiada henti mendoakan diriku. Aku mengucapkan amin berkali-
kali. Topi dan kaca mata hitamku kembali aku pakai. Tak jauh dariku, perempuan
bercadar nampak asyik berbincang dengan perempuan bule. Sedikit-sedikit
telingaku menangkap isi perbincangan mereka. Rupanya perempuan bercadar
sedang menjelaskan semua yang tadi terjadi. Kejengkelan orang-orang Mesir pada
Amerika. Kekeliruan mereka serta pembetulan-pembetulan yang aku lakukan.
Perempuan bercadar juga menjelaskan maksud dari hadits-hadits nabi yang tadi
aku ucapkan dengan bahasa Inggris yang fasih. Perempuan bule itu mengangguk-
anggukkan kepala. Sampai di Sayyeda Zeinab, Ashraf turun setelah terlebih
dahulu melambaikan tangan padaku. Seorang ibu yang duduk di samping nenek
bule turun. Kursinya kosong. Aku bisa duduk di sana kalau mau. Tapi kulihat
seorang gadis kecil membawa tas belanja masuk. Langsung kupersilakan dia
duduk.

Metro kembali melaju. Perempuan bercadar dan perempuan bule masih
berbincang-bincang dengan akrabnya. Tapi kali ini aku tidak mendengar dengan
jelas apa yang mereka perbincangkan. Angin panas masuk melalui jendela. Aku
memandang ke luar. Rumah-rumah penduduk tampak kotak-kotak tak teratur
seperti kardus bertumpukan tak teratur. Metro masuk ke lorong bawah tanah.
Suasana gelap sesaat. Lalu lampu-lampu metro menyala. Tak lama kemudian
metro sampai mahattah Saad Zaghloul dan berhenti. Beberapa orang turun dan
naik. Tiga bule itu bersiap hendak turun, juga perempuan bercadar. Berarti mereka
mau turun di Tahrir. Perempuan bercadar masih bercakap dengan perempuan


bule. Keduanya sangat dekat denganku. Aku bisa mendengar dengan jelas apa
yang mereka bicarakan. Tentang asal mereka masing. Perempuan bercadar itu
ternyata lahir di Jerman, dan besar juga di Jerman. Namun ia berdarah Jerman,
Turki dan Palestina. Sedangkan perempuan bule lahir dan besar di Amerika. Ia
berdarah Inggris dan Spanyol. Keduanya bertukar kartu nama.

Perempuan bule tepat berada di depanku. Wajahnya masih menghadap
perempuan bercadar. Metro bercericit mengerem. Gerbong sedikit goyang. Tubuh
perempuan bule bergoyang. Saat itulah dia melihat diriku. Ia tersenyum sambil
mengulurkan tangannya kepadaku dan berkata,

“Hai Indonesian, thank’s for everything. My name’s Alicia.”

“Oh, you’re welcome. My name is Fahri,” jawabku sambil menangkupkan
kedua tanganku di depan dada, aku tidak mungkin menjabat tangannya.

“Ini bukan berarti saya tidak menghormati Anda. Dalam ajaran Islam,
seorang lelaki tidak boleh bersalaman dan bersentuhan dengan perempuan selain
isteri dan mahramnya.” Aku menjelaskan agar dia tidak salah faham.

Alicia tersenyum dan berseloroh, “Oh, never mind. And this is my name
card, for you.” Ia memberikan kartu namanya.

“Thank’s,” ujarku sambil menerima kartu namanya.

“It’s a pleasure.”

Metro berhenti.

Alicia, neneknya dan saudaranya mendekati pintu hendak keluar.
Perempuan bercadar masih berdiri di tempatnya. Ia melihat ke arah orang-orang
yang hendak turun. Perlahan pintu dibuka. Ketika orang-orang mulai turun,
perempuan bercadar itu bergerak melangkah, ia menyempatkan untuk menyapaku,

“Indonesian, thank you.”

Aku teringat dia orang Jerman. Aku iseng menjawab dengan bahasa
Jerman,

“Bitte!”

Agaknya perempuan bercadar itu kaget mendengar jawabanku dengan
bahasa Jerman. Ia urung melangkah ke pintu. Ia malah menatap diriku dengan
sorat mata penuh tanda tanya.


“Sprechen Sie Deutsch?”37 tanyanya dengan bahasa Jerman. Ia mungkin
ingin langsung meyakinkan dirinya bahwa apa yang tadi ia dengarkan dariku
benar-benar bahasa Jerman. Bahwa aku bisa berbahasa Jerman. Bahwa ia tidak
salah dengar.

“Ja, ein wenig.38 Alhamdulillah!” jawabku tenang. Kalau sekadar
bercakap dengan bahasa Jerman insya Allah tidak terlalu susah. Kalau aku disuruh
membuat tesis dengan bahasa Jerman baru menyerah.

“Sind Sie Herr Fahri?”39

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. Ia bertanya seperti itu. Berarti
ia benar-benar mendengarkan dengan baik pendebatanku dengan tiga orang Mesir
tadi sehingga tahu namaku. Atau dia mendengarkan aku berkenalan dengan
Alicia.

“Ja. Mein name ist Fahri.”40 Jawabku.

“Mein name ist Aisha,” sahutnya sambil menyerahkan kartu nama. Ia lalu
menyodorkan buku notes kecil dan pulpen.

“Bitte, schreiben Sie ihren namen!”41 katanya.

Kuterima buku notes kecil dan pulpen itu. Aku paham maksud Aisha,
tentu tidak sekadar nama tapi dilengkapi dengan alamat atau nomor telpon.
Masinis metro membunyikan tanda alarm bahwa sebentar lagi pintu metro akan
ditutup dan metro akan meneruskan perjalanan. Aku hanya menuliskan nama dan
nomor handphone-ku. Lalu kuserahkan kembali padanya. Aisha langsung
bergegas turun sambil berkata,

“Danke, auf wiedersehn!”42

“Auf wiedersehn!” jawabku.

Metro kembali berjalan. Ada tempat kosong. Saatnya aku duduk. Sudah
separuh perjalanan lebih. Sudah setengah dua lebih lima menit. Waktu masih
cukup. Insya Allah sampai di hadapan Syaikh Utsman tepat pada waktunya.
Kalaupun terlambat hanya beberapa menit saja. Masih dalam batas yang bisa

37 Kau berbicara bahasa Jerman.

38 Ya. Sedikit-sedikit.

39 Apakah Anda tuan Fahri.

40 Ya nama saya Fahri.

41 Maaf, bisa tuliskan nama Anda.

42 Terima kasih, sampai bertemu lagi.


dimaafkan. Dengan duduk aku merasa lebih tenang. Ini saatnya aku mengulang
dan memperbaiki hafalan Al-Qur’an yang akan aku setorkan pada Syaikh Utsman.




3. Keributan Tengah Malam



Aku sampai di flat jam lima lebih seperempat. Siang yang melelahkan.
Ubun-ubun kepalaku rasanya mendidih. Cuaca benar-benar panas. Yang
berangkat talaqqi pada Syaikh Utsman hanya tiga orang. Aku, Mahmoud dan
Hisyam. Syaikh Utsman jangan ditanya. Disiplin beliau luar biasa. Meskipun
cuma tiga yang hadir, waktu talaqqi tetap seperti biasa. Jadi, kami bertiga
membaca tiga kali lipat dari biasanya. Jatah membaca Al-Qur’an sepuluh orang
kami bagi bertiga. Untungnya masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq ber-AC. Jika tidak,
aku tak tahu seperti apa menderitanya kami. Mungkin konsentrasi kami akan
berantakan, dan kami tidak bisa membaca seperti yang diharapkan.

Seperti mengerti keinginan kami, begitu selesai talaqqi, Amu Farhat,
takmir masjid yang baik hati itu membawakan empat gelas tamar hindi43 dingin.
Bukan main segarnya ketika minuman segar itu menyentuh lidah dan
tenggorokan. Selesai minum aku pulang. Mahmoud, Hisyam, Amu Farhat dan
Syaikh Utsman meneruskan perbincangan menunggu ashar.

Perjalanan pulang ternyata lebih panas dari berangkat. Antara pukul
setengah empat hingga pukul lima adalah puncak panas siang itu. Berada di dalam
metro rasanya seperti berada dalam oven. Kondisi itu nyaris membuatku lupa
akan titipan Maria. Aku teringat ketika keluar dari mahattah Hadayek Helwan.
Ada dua toko alat tulis. Kucari di sana. Dua-duanya kosong.. Aku melangkah ke
Pyramid Com. Sebuah rental komputer yang biasanya juga menjual disket.
Malang! Rental itu tutup. Terpaksa aku kembali ke mahattah dan naik metro ke
Helwan. Di kota Helwan ada pasar dan toko-toko cukup besar. Di sana
kudapatkan juga disket itu. Aku beli empat. Dua untuk Maria. Dan dua untuk
diriku sendiri. Kusempatkan mampir ke masjid yang berada tepat di sebelah barat
mahattah Helwan untuk shalat ashar.

Terik matahari masih menyengat ketika aku keluar masjid untuk pulang.
Di tengah perjalanan aku melewati Universitas Helwan yang lengang. Hanya
seorang polisi berpakaian lusuh yang menjaga gerbangnya. Tampangnya
mengenaskan. Masih muda, tapi kurus kering. Seperti pohon pisang kering. Atau

43 Air buah asam.


seperti dendeng di Saudi kala musim haji. Mukanya tampak kering. Panas sahara
seperti menghisap habis darahnya. Ia pasti prajurit wajib militer yang biasa
disebut duf’ah. Polisi paling menderita karena bertugas dengan sangat terpaksa.
Tanpa gaji memadai. Hanya beberapa pound saja. Wajar jika tampangnya
mengenaskan. Bisa jadi ia masih berstatus mahasiswa. Karena memang seluruh
laki-laki Mesir terkena wajib militer. Seorang kumsari44 mendekat. Ia gemuk,
kepalanya bulat penuh keringat. Perutnya buncit seperti balon mau meletus. Beda
sekali dengan polisi penjaga gerbang universitas itu. Dunia ini memang penuh
perbedaan-perbedaan dan hal-hal kontras yang terkadang tidak mudah dimengerti.
Metro terus melaju.

Sampai di flat, tenagaku nyaris habis. Kulepas sepatu dan kaos kaki lalu
masuk kamar. Sampai di kamar langsung kunyalakan kipas angin, kulepas tas,
topi, kaca mata hitam, dan kemeja putihku. Kuusap mukaku dengan tissu. Hitam.
Banyak debu menempel. Aku lalu beranjak ke ruang tengah, membuka lemari es,
mencari yang dingin-dingin untuk menyegarkan badan. Begitu membuka pintu
lemari es mataku membelalak berbinar. Ada sebotol ashir ashab.45 Dingin.
Kutuangkan untuk satu gelas. Sambil membawa gelas berisia ashir ashab aku
berteriak,

“Siapa nih yang beli ashir ashab. Pengertian sekali. Syukran ya. Semoga
umurnya diberkahi Allah.”

Rudi keluar dari kamarnya dengan wajah ceria.

“Mas. Ashir ashab itu bukan kami yang beli.”

“Terus dapat dari mana?”

“Tadi diberi oleh Maria.”

“Apa? Diberi oleh Maria?”

“Iya. Katanya untuk Mas. Makanya masih utuh satu botol. Kami tidak
menyentuhnya sebelum dapat izin dari Mas. Sekarang kami boleh ikut mencicipi
‘kan Mas?”

“Ah kamu ini ada-ada saja. Kalau ambil ya ambil saja. Yang penting aku
disisain. Pakai menunggu izin segala.”

44 Kondektur.

45 Sari air tebu. (Minuman paling memasyarakat di Mesir saat musim panas).


“Masalahnya ini dari Maria, Mas. Sepertinya puteri Tuan Boutros itu
perhatian sekali sama Mas. Jangan-jangan dia jatuh hati sama Mas.”

“Hus jangan ngomong sembarangan! Mereka itu memang tetangga yang
baik. Sejak awal kita tinggal di sini mereka sudah baik sama kita. Bukan sekali ini
mereka memberi sesuatu pada kita.”

“Tapi kenapa Maria bilang untuk Mas. Bukan untuk kita semua?”

“Lha ketahuan ‘kan? Kau cemburu, jangan-jangan kau yang jatuh cinta.
Ya udah nanti biar kusampaikan sama Maria dan Tuan Boutros ayahnya, kalau
memberi sesuatu biar yang disebut namamu hehehe.”

“Jangan Mas. Bukan itu maksudku?”

“Terus?”

“Tapi Maria sepertinya punya perhatian lebih pada Mas.”

“Akh Rudi, kamu jangan berprasangka yang bukan-bukan. Kamu ‘kan
tahu. Maria berbuat begitu atas nama keluaganya, atas petunjuk ayahnya yang
baik hati itu. Dan karena kepala keluarga di rumah ini adalah aku, maka tiap kali
memberi makanan, minuman atau menyampaikan sesuatu ya selalu lewat aku, as
a leader here. Dia menyampaikan sesuatu atas nama keluarganya dan aku
dianggap representasi kalian semua. Jadi ini bukan hanya interaksi dua person
saja, tapi dua keluarga. Bahkan lebih besar dari itu, dua bangsa dan dua penganut
keyakinan yang berbeda. Inilah keharmonisan hidup sebagai umat manusia yang
beradab di muka bumi ini. Sudahlah kau jangan memikirkan hal yang terlalu jauh.
Tugas kita di sini adalah belajar. Kita belajar sebaik-baiknya. Di antaranya adalah
belajar bertetangga yang baik. Karena kita telah diberi, ya nanti kita gantian
memberi sesuatu pada mereka. Wa idza huyyitum bi tahiyyatin fa hayyu bi
ahasana minha!”46

“Saya mengerti, Mas. Afwan jika ucapan saya tadi ada yang kurang
berkenan.”

“Udah jangan dipikir. Emm..bagaimana makalahmu? Sudah selesai?”

“Alhamdulillah, Mas.”

“Kapan dipresentasikan?”

“Sabtu sore.”

46 Dan jika kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya (QS. An-Nisaa’: 86)


“Di mana?”

“Di Wisma Nusantara.”

“Ma’at taufiq.”47

Aku melangkah ke kamar sambil membawa segelas ashir ashab.
Kuselonjorkan kakiku di atas karpet. Punggungku kusandarkan ke pinggir tempat
tidur. Untung tembok apartemen ini tebal. Jendelanya rapat. Sehingga udara panas
di luar apartemen tidak mudah menembus masuk. Meskipun agak hangat tapi
tidak sepanas di luar. Dan dengan kipas angin sudah cukup membuat udara yang
hangat itu menjadi sejuk. Kuteguk ashir ashab. Perlahan. Dingin mengaliri
tenggorokan. Oh luar biasa nikmatnya. Di kawasan beriklim panas, seperti Mesir
dan negara Timur Tengah lainnya, air dingin memang sangat menyenangkan. Jika
air dingin itu membasahi tenggorokan yang kering rasanya seperti meneguk air
sejuk dari surga, tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Orang yang kehausan di
tengah sahara yang paling ia damba dan ia cinta adalah air dingin penawar
dahaga. Tak ada yang lebih ia cinta dari itu. Di sinilah baru bisa kurasakan betapa
dahsyat doa baginda Nabi,

‘Ya Allah jadikanlah cintaku kepada-Mu melebihi cintaku pada harta,
keluarga dan air yang dingin’.

Beliau meminta agar cintanya kepada Allah melebihi cintanya pada air
yang dingin, yang sangat dicintai, disukai, dan diingini oleh siapa saja yang
kehausan di musim panas. Di daerah yang beriklim panas, cinta pada air yang
sejuk dingin dirasakan oleh siapa saja, oleh semua manusia. Jika cinta kepada
Allah telah melebihi cintanya seseorang yang sekarat kehausan di tengah sahara
pada air dingin, maka itu adalah cinta yang luar biasa. Sama saja dengan melebihi
cinta pada nyawa sendiri. Dan memang semestinya demikianlah cinta sejati
kepada Allah Azza Wa Jalla. Jika direnungkan benar-benar, baginda Nabi
sejatinya telah mengajarkan idiom cinta yang begitu indah.

Setelah keringat hilang, dan ubun-ubun kepala mulai dingin aku bangkit
hendak mengambil handuk. Aku harus mandi, badan rasanya tidak nyaman. Harus
dibersihkan dan disegarkan. Baru menyentuh handuk, handphone-ku memerik
singkat. Ada sms masuk. Kubuka. Dari Maria,

47 Semoga sukses.


“Sudah pulang ya? Bagaimana dengan titipanku, dapat?”

Langsung kujawab,

“Dapat. Terima kasih atas ashir ashabnya.”

Kuletakkan handphone-ku di atas meja. Aku langsung bergegas mandi.
Baru menutup kamar mandi yang bersebelahan dengan kamarku, kudengar si
handphone memekik lagi. Maria pasti mengirim pesan balik. Ah, biar, nanti saja
setelah mandi. Kuputar kran wastafel. Aku ingin cuci tangan. Air mengalir.
Kusentuh. Hangat sekali. Berarti pipa-pipa yang berada di dalam tanah berpasir
yang mengalirkan air dari tandon raksasa itu telah panas. Aku jadi teringat saat
umrah ke Saudi di puncak musim panas tahun lalu. Baik siang atau pun malam,
kalau hendak mandi harus mendinginkan air dulu di ember besar. Sebab air yang
keluar dari kran sangat panas. Harus ditampung di ember besar dan ditunggu
sampai dingin. Kulihat bath-tub penuh dengan air. Alhamdulillah, teman-teman
sangat pengertian dan cerdas. Aku bisa langsung mandi tanpa menunggu air
dingin. Ketika air menyiram seluruh tubuh rasa segar itu susah diungkapkan
dengan bahasa verbal. Habis mandi tenaga rasanya pulih kembali.

Usai berganti pakaian kurebahkan diriku di atas kasur. Oh, alangkah
nikmatnya. Ini saatnya istirahat. Kunyalakan tape kecil di samping tempat tidur.
Enaknya adalah memutar murattal48 Syaikh Abu Bakar Asy-Syathiri. Suaranya
yang sangat lembut dan indah penuh penghayatan dalam membaca Al-Qur’an
sering membawa terbang imajinasiku ke tempat-tempat sejuk. Ke sebuah danau
bening di tengah hutan yang penuh buah-buahan. Kadang ke suasana senja yang
indah di tepi pantai Ageeba, pantai laut Mediterania yang menakjubkan di Mersa
Mathruh. Bahkan bisa membawaku ke dunia lain, dunia indah di dalam laut
dengan ikan-ikan hias dan bebatuan yang seperti permata-permata di surga. Dalam
keadaan lelah selalu saja suara Syaikh Abu Bakar Asy-Syathiri menjadi musik
pengantar tidur yang paling nikmat. Meski terkadang aku harus terlebih dahulu
meneteskan air mata, kala mendengar Syaikh Syathiri sesengukan menangis
dalam bacaannya. Kunyalakan murattal Syaikh Syatiri. Suaranya yang indah
langsung mengelus-elus syaraf-syarafku. Mataku mulai liyer-liyer hendak

48 Kaset yang merekam Al-Qur’an dibaca secara tartil.


terpejam. Tiba-tiba handphone-ku kembali memekik. Aku teringat sesuatu.
Titipan Maria. Kubaca pesan Maria.

Ada tiga pesan:

“Buka jendela sekarang. Aku akan turunkan keranjang.”

“Kau sedang apa? Aku sudah turunkan keranjang. Lama sekali.”

“Kenapa tidak ada respons?”

Aduh, kasihan Maria. Dia tadi sudah lama membuka jendelanya dan
menurunkan keranjang.

Langsung kujawab,

“Afwan. Tadi saya langsung mandi. Jadi tiga pesanmu terakhir baru
kubuka setelah mandi. Afwan. Sekarang bisa kau turunkan keranjang.”

Kutunggu respons darinya. Tak lama pesannya masuk,

“O, begitu. Tak apa-apa. Ini kuturunkan keranjangnya.”

Aku bangkit dari tempat tidur. Mengambil dua disket dalam tas. Lalu
menuju jendela. Kubuka jendela. Hawa panas langsung masuk. Sebuah keranjang
kecil dijulurkan dengan tambang kecil putih dari atas. Ada uang sepuluh pound di
dalamnya. Kuletakkan dua disket itu dalam keranjang tanpa menyentuh uang
sepuluh pound itu sama sekali.

Kamar Maria memang tepat di atas kamarku, dan jendela kamarnya tepat
di atas jendela kamarku. Orang Mesir yang berada di atas lantai dua biasanya
memiliki keranjang kecil yang seringkali digunakan untuk suatu keperluan tanpa
harus turun ke bawah. Jika ibu-ibu Mesir belanja buah-buahan atau sayur-sayuran
pada penjual buah atau penjual sayur keliling, biasanya mereka menggunakan
keranjang kecil itu, tanpa harus turun dari rumah mereka yang berada di atas.
Mereka cukup pesan berapa kilo, setelah sepakat harganya mereka menurunkan
keranjang kecil yang di dalamnya sudah ada uang untuk membayar barang yang
dipesannya. Tukang buah atau tukang sayur akan mengisi keranjang itu dengan
barang yang dipesan setelah mengambil uangnya. Jika uangnya lebih, mereka
akan mengembalikannya sekaligus bersama barang yang dipesan. Barulah si ibu
mengangkat keranjangnya seperti orang menimba. Transaksi yang praktis.
Pertama kali melihat aku heran. Yang aku herankan adalah begitu amanah-nya


penjual buah itu. Mereka tidak curang. Tidak berusaha nakal. Maria atau ibunya
juga biasa membeli sayur atau buah dengan cara seperti itu.

Maria mengangkat keranjangnya. Aku menutup jendela. Tak lama
kemudian handphone-ku kembali bertulalit. Maria lagi,

“Harganya berapa? Uangnya kok tidak diambil, kenapa?”

Kujawab,

“Harganya zero, zero, zero pound. Jadi tak perlu dibayar.”

Ia menjawab,

“Jangan begitu. Itu tidak wajar.”

Kujawab,

“Harganya seperti biasa. Uangnya kau simpan saja.

Kalau kau buat Ruzz bil laban49 titip ya. Bolehkan?”

Ia menjawab,

“Baiklah kalau begitu. Dengan senang hati. Syukran!”

Kujawab,

“Afwan.”

Klik. Handphone kunonaktifkan. Aku ingin tidur. Pada saat yang sama,
kudengar suara pintu terbuka. Lalu suara Hamdi mengucapkan salam. Kujawab
lirih. Alhamdulillah dia pulang. Dia nanti akan masak oseng-oseng wortel campur
kofta. Aku senang bahwa teman-teman satu rumah ini mengerti dengan kewajiban
masing-masing. Kewajiban memasak sesibuk apa pun adalah hal yang tidak boleh
ditinggalkan. Sepertinya remeh tapi sangat penting untuk sebuah tanggung jawab.
Masak tepat pada waktunya adalah bukti paling mudah sebuah rasa cinta sesama
saudara. Ya inilah persaudaraan. Hidup di negeri orang harus saling membantu
dan melengkapi. Tanpa orang lain mana mungkin kita bisa hidup dengan baik.

Sambil rebahan kunikmati suara Syaikh Syathiri membaca Al-Qur’an
mengalun indah. Maghrib masih lama. Dalam musim panas, siang lebih panjang
dari malam. Aku harus beristirahat. Nanti malam harus kembali memeras otak.
Menerjemah untuk biaya menyambung hidup. Ya, hidup ini—kata Syauqi, sang
raja penyair Arab—adalah keyakinan dan perjuangan. Dan perjuangan seorang

49 Ruzz bil laban: Bubur dari beras yang dibuat dengan susu. Setelah dingin dimasukkan
dalam kulkas.


mukmin sejati—kata Imam Ahmad bin Hanbal—tidak akan berhenti kecuali
ketika kedua kakinya telah menginjak pintu surga.

* * *



Seperti biasa, usai shalat maghrib berjamaah di masjid kami berkumpul di
ruang tengah untuk makan bersama. Kali ini kami hanya berempat. Masih kurang
satu, yaitu Si Mishbah. Ia belum pulang. Ia masih di Wisma Nusantara yang
menjadi sentral kegiatan mahasiswa Indonesia. Gedung yang diwakafkan oleh
Yayasan Abdi Bangsa itu terletak di Rab’ah El-Adawea, Nasr City.

Hamdi baru pulang dari Masjid Indonesia. Ia banyak bercerita tentang
anak-anak para pejabat KBRI yang lucu-lucu dan manja-manja. Dibandingkan
yang ada di negara lain, KBRI di Cairo bisa dibilang termasuk yang beruntung.
Komunitas yang mereka urusi adalah mahasiswa Al Azhar. Kegiatan keislaman
dan pengajian antaribu-ibu KBRI juga berjalan lancar. Tiap Ramadhan ada
tarawih bersama. Juga ada pesantren kilat untuk putera-puteri mereka. Semuanya
dipandu oleh mahasiswa dan mahasiswi Al Azhar. Masalah yang dihadapi KBRI
Cairo tidak serumit yang dihadapi oleh KBRI di Saudi Arabia misalnya, yang
setiap hari berurusan dengan TKI atau TKW dengan setumpuk masalahnya yang
sangat memuakkan. Misalnya, tidak dibayar majikan, disiksa majikan, diperkosa
majikan, diperlakukan seperti budak oleh majikan, dihamili oleh sesama tenaga
kerja dari Indonesia, ditangkap polisi karena tidak punya izin tinggal resmi, dan
lain sebagainya, dan lain sebagainya.

Masjid Indonesia yang dibangun oleh para pejabat KBRI bahkan telah
memiliki perpustakaan yang cukup mengasyikkan bagi putera-puteri mereka.
Manajemen masjidnya lumayan baik. Teks khutbah Jum’atnya dibukukan tiap
tahun. Masjid Indonesia bahkan biasa menjadi tempat rekreasi para mahasiswa
yang ingin melepas penat pikiran. Mereka yang mayoritasnya tinggal di Nasr
City, jika merasa bosan bisa main ke Dokki. Silaturrahmi ke rumah pejabat KBRI
yang dikenal. Atau ke Masjid Indonesia yang terletak di Mousadda Street. Pergi
ke Dokki pada hari Jum’at sangat tepat. Selain shalat Jum’at bersama dan
bersilaturrahim dengan sesama orang Indonesia, usai shalat Jum’at biasanya ada
makan bersama di belakang masjid. Makanan disediakan oleh para pejabat KBRI


muslim secara bergiliran. Jika keadaan ini terus bertahan niscaya sangat indah
untuk dikisahkan dan dikenang.

Usai makan, aku melakukan rutinitasku di depan komputer.
Mengalihbahasakan kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Kali ini
yang aku garap adalah kitab klasik karya Ibnu Qayyim, yaitu kitab Miftah Daris
Sa’adah. Dua jilid besar. Kitab berat. Menggarap kitab ini benar-benar menguras
pikiran dan tenaga. Aku harus ekstra serius dan hati-hati pada saat Ibnu Qayyim
membahas masalah ilmu perbintangan, horoskop, pengaruh planet-planet, ramalan
nasib, dan lain sebagainya. Bahasa ilmu falak dan astronomi adalah bahasa yang
tidak mudah. Aku terpaksa membuka kamus klasik berkali-kali. Apalagi bahasa
yang dipakai Ibnu Qayyim adalah bahasa Arab klasik. Itu saja tidak cukup, harus
juga didampingi dengan kamus dan buku astronomi modern. Dan tatkala yang
ditulis Ibnu Qayyim telah terang maksudnya, aku bagaikan menemukan mutiara
tidak ternilai harganya. Ibnu Qayyim ternyata juga seorang astronom yang luar
biasa.

Menerjemahkan sebuah kitab klasik terkadang terasa sangat menjemukan.
Namun ketika rasa jemu bisa teratasi kegiatan itu akan berubah menjadi sebuah
rekreasi yang sangat mengasyikkan. Andaikan Ibnu Rusyd masih hidup, aku ingin
bertanya, rasanya seperti apa ketika dia sedang menerjemahkan karya-karya
Aristoteles. Dan seperti apa rasanya ketika telah selesai semuanya?

Malam ini jadwalku sampai jam dua belas. Berhenti ketika shalat Isya.
Akhir bulan naskah harus sudah aku kirim ke Jakarta. Setelah itu ada dua buku
yang siap diterjemah. Buku kontemporer, bahasanya lebih mudah. Seorang teman
pernah mencibir diriku, bahwa menjadi penerjemah sama saja menjadi mesin
pengalih bahasa. Aku tak peduli dengan segala cibiran mereka. Aku merasa
nikmat dengan apa yang aku kerjakan. Aku bisa belajar menambah ilmu,
mentransfer ilmu pengetahuan dan berarti ikut serta mencerdaskan bangsa. Aku
bisa berkarya, sekecil apa pun bentuknya. Berdakwah, dengan kemampuan
seadanya. Dan yang terpenting aku bisa hidup mandiri dengan royalti yang aku
terima. Tidak seperti mereka yang bisanya mencibir saja. Menuruti kata orang
tidak akan pernah ada habisnya. Kamu tidak akan mungkin bisa memenuhi segala


kesesuaian dengan hati semua manusia! Kata-kata Imam Syafii mengingatkan
diriku.

* * *

Pukul 22.00 waktu Cairo. Handphone-ku berdering. Ada sms masuk. Dari
Musthafa, teman Mesir satu kelas di pasca. Ia memberikan kabar gembira,

“Mabruk. Kamu lulus. Kamu bisa nulis tesis. Tadi sore pengumumannya
keluar.”

Aku merasa seperti ada hawa dingin turun dari langit. Menetes deras ke
dalam ubun-ubun kepalaku lalu menyebar ke seluruh tubuh. Seketika itu aku
sujud syukur dengan berlinang air mata. Aku merasa seperti dibelai-belai tangan
Tuhan. Setelah puas sujud syukurku aku mengungkapkan rasa gembiraku pada
teman-teman satu rumah. Mereka semua menyambut dengan riang gembira.
Dengan tasbih, tahmid dan istighfar. Dengan mata yang berbinar-binar.
Kukatakan pada mereka,

“Malam ini juga kita syukuran. Kita beli firoh masywi50 dua. Lengkap
dengan ashir mangga. Kita makan nanti tengah malam, bersama-sama di sutuh
sana. Bagaimana. Eh ra’yukum51?”

“Kalau ini sih usul yang susah ditolak!” sahut Saiful senang. Siapa yang
tidak senang diajak makan ayam bakar gratis.

Kukeluarkan uang lima puluh pound.

“Biar aku sama Saiful saja yang beli. Mas Fahri sama Hamdi di rumah
saja. Kalian masih capek ‘kan karena perjalanan tadi siang. Okay?” Rudi
menawarkan diri.

“Okay. Oh ya jangan cuma ashir mangga, beli juga tamar hindi ya?
Jangan lupa!” sahut Hamdi. Ia memang paling suka sama tamar hindi. Waktu
musim dingin saja ia mencari tamar hindi, apa tidak aneh.

“Beres bos,” seru Saiful.

Keduanya membuka pintu dan keluar.

“Mas aku buat sambal sama menanak sedikit nasi ya?” kata Hamdi.

“Sip. Kita buat bareng,” sambutku sambil mengacungkan kedua jempolku.
Memang, tanpa membuat sambal ala Indonesia kurang mantap. Ayam bakar Mesir

50 Ayam bakar.

51 Apa pendapat kalian.


tidak pakai sambal. Padahal kami berempat adalah orang yang doyan sambal,
terutama Hamdi. Dia jebolan pesantren Lirboyo, harus pakai sambal.

Saat melangkah ke dapur aku teringat Mishbah. Tidak adil rasanya kami
berempat berpesta tampa mengikutsertakan dia. Namanya keluarga, ketika senang
harus dirasakan bersama. Aku tersenyum. Masalah yang mudah. Kutelpon
Wisma. Aku minta disambungkan pada Mishbah. Kuberitahukan padanya orang
satu rumah akan syukuran atas kelulusanku. Ia berteriak gembira,

“Mas apa aku pulang saja sekarang? Pakai taksi ‘kan cepat!”

“Kerjamu sudah selesai?” tanyaku.

“Belum sih sekarang aku lagi membuat estimasi dana sama Mas Khalid.”

“Kalau begitu kau selesaikan saja pekerjaanmu. Kalau kau pulang ke
Hadayek Helwan kau akan terlalu capek. Begini saja Akhi, kau ajak saja Mas
Khalid istirahat ke Babay atau ke mana terserah. Ajak makan firoh masywi. Pakai
uangmu atau uangnya Mas Khalid dulu. Nanti aku ganti. Jadi adil, bagaimana?”

“Kalau begitu siiip-lah Mas. Pokoknya alfu mabruk deh.” Suaranya
terdengar girang. Aku tersenyum. Ah, musim panas yang menyenangkan,
meskipun melelahkan.

Dalam segala musim, Tuhan selalu Penyayang.

Itu yang aku rasakan.

* * *

Tepat tengah malam kami pergi ke suthuh.52 Membawa tikar, nampan
besar, empat gelas plastik, ashir mangga, tamar hindi, dan dua bungkus firoh
masywi yang masih hangat dan sedap baunya.

Kami benar-benar berpesta. Dua ciduk nasi hangat digelar di atas nampan.
Sambal ditumpahkan. Lalu dua ayam bakar dikeluarkan dari bungkusnya. Tak
lupa acar dan lalapan timun. Satu ayam untuk dua orang.

“Sekali-kali kita jadi orang Mesir beneran, satu ayam untuk dua orang,”
komentar Rudi.

“Kalau ini bukan makan nasi lauk ayam. Ini makan ayam lauk nasi.
Nasinya dikit sekali. Mbok ditambah dikit,” sambung Saiful.

52 Lantai apartemen paling atas dan menghadap langit (atap apartemen).


“Tujuannya memang kita makan ayam bakar. Nasi pelengkap saja untuk
melestarikan budaya Indonesia. Bagi yang mau tambah nasi ambil saja sendiri.
Benar nggak Mas?” sahut Hamdi.

“Sekarang bukan saatnya diskusi. Kalau mau diskusi besok Sabtu di
Wisma Nusantara. Rudi presentatornya. Bismillah, ayo jangan banyak cingcong
langsung kita ganyang saja!” ucapku sambil mencomot daging ayam di
hadapanku. Serta merta mereka melakukan hal yang sama. Kami makan sambil
ngobrol, di belai udara malam yang tidak dingin dan tidak panas. Semilir sejuk.
Keindahan musim panas memang pada waktu malam. Kala langit cerah. Bulan
terang. Bintang-bintang gemerlapan. Dan debu tidak berhamburan. Menikmati
suasana alam di atas suthuh apartemen sangat menyenangkan. Nun jauh di sana
cahaya lampu-lampu rumah dan gedung-gedung dekat sungai Nil tampak
berkerlap-kerlip diterpa angin. Sayup-sayup kami mendengar bunyi irama musik
rakyat mengalun di kejauhan sana. Mungkin ada yang sedang pesta. Alunan itu
ditingkahi puja-puji syair sufi. Sangat khas senandung malam di delta Nil.

Suasana nyaman ini akan jadi kenangan tiada terlupakan. Dan kelak ketika
kami sudah kembali ke Tanah Air, kami pasti akan merindukan suasana indah
malam musim panas di Mesir seperti ini.

Usai makan kami tidak langsung turun. Kami tetap bercengkerama
ditemani semilir angin dari sungai Nil dan satu botol air segar tamar hindi. Kami
bercerita tentang malam-malam berkesan yang pernah kami lewati. Rudi
Marpaung yang berasal dari Medan menceritakan pengalamannya menginap
bersama teman-temannya ketika masih aliyah di Brastagi. Menyewa vila dan
mengadakan shalat tahajjud bersama dalam dinginnya malam. Suasana jadi
semakin asyik ketika Hamdi mengisahkan pengalamannya yang menegangkan
selama tersesat di lereng Gunung Lawu selama dua hari.

“Kami berempat belas. Dibagi dalam dua kelompok. Kami mencoba jalur
baru. Kelompok kami istirahat terlalu lama. Kami mengejar kelompok pertama.
Sayang kurang kompak. Kami bertiga tertinggal dan terlunta selama dua hari
dalam hutan Gunung Lawu. Hanya pertolongan dari Allah yang membuat kami
tetap hidup.”


Sedangkan Saiful yang waktu SMP pernah diajak ayahnya ke Turki
bercerita tentang indahnya malam di teluk Borporus. Ia bercerita detil teluk
Borporus. Lalu mengajak kami membayangkan bagaimana Sultan Muhammad
Al-Fatih merebut Konstantinopel dengan memindahkan puluhan kapal di malam
hari lewat daratan dan menjadikan kapal itu jembatan untuk menembus benteng
pertahanan Konstantinopel.

Di tengah asyiknya bercengkerama, tiba-tiba kami mendengar suara orang
ribut. Suara lelaki dan perempuan bersumpah serapah berbaur dengan suara jerit
dan tangis seorang perempuan. Suara itu datang dari bawah. Kami ke tepi suthuh
dan melihat ke bawah.

Benar, di gerbang apartemen kami melihat seorang gadis diseret oleh
seorang lelaki hitam dan ditendangi tanpa ampun oleh seorang perempuan. Gadis
yang diseret itu menjerit dan menangis. Sangat mengibakan. Gadis itu diseret
sampai ke jalan.

“Jika kau tidak mau mendengar kata-kata kami, jangan sekali-kali kau
injak rumah kami. Kami bukan keluargamu!” sengit perempuan yang
menendangnya.

Kami kenal gadis itu. Kasihan benar dia. Malang nian nasibnya. Namanya
Noura. Nama yang indah dan cantik. Namun nasibnya selama ini tak seindah
nama dan paras wajahnya. Noura masih belia. Ia baru saja naik ke tingkat akhir
Ma’had Al Azhar puteri. Sekarang sedang libur musim panas. Tahun depan jika
lulus dia baru akan kuliah. Sudah berulang kali kami melihat Noura dizhalimi
oleh keluarganya sendiri. Ia jadi bulan-bulanan kekasaran ayahnya dan dua
kakaknya. Entah kenapa ibunya tidak membelanya. Kami heran dengan apa yang
kami lihat. Dan malam ini kami melihat hal yang membuat hati miris. Noura
disiksa dan diseret tengah malam ke jalan oleh ayah dan kakak perempuannya.
Untung tidak musim dingin. Tidak bisa dibayangkan jika ini terjadi pada puncak
musim dingin.

Noura sesengukan di bawah tiang lampu merkuri. Ia duduk sambil
mendekap tiang lampu itu seolah mendekap ibunya. Apa yang kini dirasakan
ibunya di dalam rumah. Tidakkah ia melihat anaknya yang menangis tersedu
dengan nada menyayat hati. Tak ada tetangga yang keluar. Mungkin sedang lelap


tidur. Atau sebenarnya terjaga tapi telah merasa sudah sangat bosan dengan
kejadian yang kerap berulang itu. Ayah Noura yang bernama Bahadur itu memang
keterlaluan. Bicaranya kasar dan tidak bisa menghargai orang. Seluruh tetangga di
apartemen ini dan masyarakat sekitar jarang yang mau berurusan dengan Si Hitam
Bahadur. Kulitnya memang hitam meskipun tidak sehitam orang Sudan. Hanya
kami yang mungkin masih sesekali menyapa jika berjumpa. Itu pun kami
terkadang merasa jengkel juga, sebab ketika disapa ekspresi Bahadur tetap dingin
seperti algojo kulit hitam yang berwajah batu. Sejak kami tinggal di apartemen ini
belum pernah Si Muka Dingin Bahadur tersenyum pada kami. Kalau suara
tawanya yang terbahak-bahak memang sering kami dengar.

Aku paling tidak tahan mendengar perempuan menangis. Kuajak teman-
teman turun kembali ke flat. Mereka bertanya apa yang harus dilakukan untuk
menolong Noura. Aku diam belum menemukan jawaban. Aku masuk kamar,
kubuka jendela, angin malam semilir masuk. Noura masih terisak-isak di bawah
tiang lampu. Aku dan teman-teman tidak mungkin turun ke bawah menolong
Noura. Meskipun dengan sepatah kata untuk menghibur hatinya. Atau untuk
memberitahukan padanya bahwa sebenarnya ada yang peduli padanya. Tidak
mungkin. Jika ada yang salah persepsi urusannya bisa penjara. Apalagi Si Hitam
Bahadur bisa melakukan apa saja tanpa pertimbangan akal sehatnya.

Aku teringat Maria. Ia gadis yang baik hatinya. Rasa ibaku pada Noura
menggerakkan tanganku untuk mencoba mengirim sms pada Maria.

“Maria. Apa kau bangun. Kau dengar suara tangis di bawah sana?”

Kutunggu. Lima menit. Tak ada jawaban. Kuulangi lagi. Kutunggu lagi.
Ada jawaban.

“Ya aku bangun. Aku mendengarnya. Aku lihat dari jendela Noura
memeluk tiang lampu.”

“Apa kau tidak kasihan padanya?”

“Sangat kasihan.”

“Apa kau tidak tergerak untuk menolongnya.”

“Tergerak. Tapi itu tidak mungkin.”

“Kenapa?”


“Si Hitam Bahadur bisa melakukan apa saja. Ayahku tidak mau berurusan
dengannya.”

“Tidakkah kau bisa turun dan menyeka air matanya. Kasihan Noura. Dia
perlu seseorang yang menguatkan hatinya.”

“Itu tidak mungkin.”

“Kau lebih memungkinkan daripada kami.”

“Sangat susah kulakukan!” Maria menolak.

“Kumohon turunlah dan usaplah air matanya. Aku paling tidak tahan jika
ada perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon. Andaikan aku halal
baginya tentu aku akan turun mengusap air matanya dan membawanya
ke tempat yang jauh dari linangan air mata selama-lamanya.”

“Untuk yang ini jangan paksa aku, Fahri! Aku tidak bisa!”

“Kumohon, demi rasa cintamu pada Al-Masih. Kumohon!”

“Baiklah, demi cintaku pada Al-Masih akan kucoba. Tapi kau harus tetap
mengawasi dari jendelamu. Jika ada apa-apa kau harus berbuat sesuatu.”

“Jangan kuatir. Tuhan menyertai orang yang berbuat kebajikan.”

Benar dugaanku. Sebenarnya banyak tetangga yang terbangun oleh
teriakan-teriakan Bahadur dan jeritan Noura. Tapi mereka tidak tahu harus berbuat
apa. Pernah seorang tetangga memanggil polisi, tapi Noura tidak mau ayahnya
diperkarakan, Noura malah mengaku dia yang salah dan ayahnya berhak marah.
Mau bagaimana? Noura sepertinya tidak mau dibela padahal apa yang dilakukan
ayahnya padanya telah melewati batas. Tuan Boutros, ayah Maria pernah menegur
Si Hitam Bahadur atas perlakuannya yang tidak baik pada anak bungsunya. Tapi
apa yang terjadi? Bahadur malah melontarkan sumpah serapah yang tidak enak
didengar telinga.

Dari jendela aku melihat Maria berjalan mendekati Noura. Ia memakai
jubah biru tua. Rambutnya yang hitam tergerai ditiup angin malam. Maria lalu
duduk di samping Noura. Ia kelihatannya berbicara pada Noura sambil mengelus-
elus kepalanya. Noura masih memeluk tiang lampu. Maria terus berusaha.
Akhirnya kulihat Noura memeluk Maria dengan tersedu-sedu. Maria
memperlakukan Noura seolah adiknya sendiri. Sambil memeluk Noura Maria
menengok ke arahku. Aku menganggukkan kepala. Kulihat jam dinding, pukul


dua empat puluh lima menit. Teman-teman sudah terlelap. Mereka kekenyangan
makan. Maria masih memeluk Noura. Cukup lama mereka berpelukan. Maria
melepaskan pelukannya. Tangan kanannya memenjet handphone-nya dan
meletakkan di telingannya.

Handphoneku menjerit. Maria bertanya,

“Sekarang apa yang harus kulakukan?”

“Tidak bisakah kau ajak dia ke kamarmu?”

“Aku kuatir Bahadur tahu.”

“Aku yakin dia sudah terlelap. Dan biasanya akan bangun sekitar jam
sepuluh pagi. Dia pekerja malam. Tadi jam setengah dua baru pulang terus
membuat keributan.”

“Baiklah akan kucoba.”

“Tunggu! Sekalian kau bujuk Noura menceritakan apa yang sebenarnya
dialaminya selama ini, agar kita semua para tetangga yang peduli pada nasibnya
bisa menolongnya dengan bijaksana.”

“Akan kucoba.”

Sebenarnya Maria bisa bicara langsung tanpa melalui handphone. Tapi dia
harus bersuara sedikit keras, dan itu akan mengganggu tetangga yang tidur. Maria
memang tidak seperti Mona dan Suzana, dua kakak perempuan Noura yang genit
dan keras bicaranya. Seringkali Mona atau Suzana memanggil orang di rumah
mereka dari bawah dengan suara keras. Tidak siang tidak malam. Padahal rumah
mereka hanya di lantai dua tapi suaranya seperti memanggil orang di lantai tujuh.

Kulihat Maria berhasil membujuk Noura untuk ikut dengannya dan
berjalan memasuki gerbang apartemen. Hatiku sedikit lega. Masih ada waktu satu
jam setengah sampai subuh tiba. Kupasang beker. Aku ingin melelapkan mata
sebentar saja.

* * *




4. Air Mata Noura



Meskipun cuma terlelap satu jam setengah, itu sudah cukup untuk
meremajakan seluruh syaraf tubuhku. Setelah satu rumah shalat shubuh berjamaah
di masjid, kami membaca Al-Qur’an bersama. Tadabbur sebentar, bergantian.
Teman-teman sangat melestarikan kegiatan rutin tiap pagi ini. Selama ada di
rumah, membaca Al-Qur’an dan tadabbur tetap berjalan, meskipun pagi ini
kulihat mata Saiful dan Rudi melek merem menahan kantuk.

Usai tadabbur Saiful, Rudi, dan Hamdi merebahkan diri di tempat tidur
masing-masing. Di musim panas, karena malamnya pendek, tidur selepas shubuh
adalah hal biasa bagi kebanyakan mahasiswa Indonesia. Tidak putera, tidak
puteri, semua sama. Wa bilkhusus para aktivis yang sering begadang sampai
shubuh. Mereka para raja dan para ratu tidur pagi hari. Orang Mesir pun juga
banyak melakukan hal yang sama. Begitu mendengar azan shubuh mereka yang
tidak mau berjamaah langsung shalat lalu tidur dan bangun sekitar pukul setengah
sembilan. Kantor-kantor dan instansi benar-benar membuka pelayanan setelah
jam sembilan. Toko-toko juga banyak yang baru buka jam sembilan. Meskipun
tidak semua. Ada beberapa instansi dan toko yang telah buka sejak jam tujuh.
Yang paling disiplin buka pagi adalah warung penjual roti isy dan ful.53 Mereka
telah buka sejak pagi-pagi sekali.

Kebiasaan tidur setelah shalat shubuh kurang baik ini sering disindir para
Imam. Dalam sebuah khutbah Jum’at, imam muda kami, yaitu Syaikh Ahmad
Taqiyyuddin pernah mengatakan,

‘Seandainya Israel menggempur Mesir pada jam setengah tujuh pagi
maka mereka tidak akan mendapatkan perlawanan apa-apa. Mereka akan sangat
mudah sekali memasuki kota Cairo dan membunuh satu per satu penduduknya.
Karena pada saat itu seluruh rakyat Mesir sedang terlelap dalam tidurnya dan
baru akan benar-benar bangun pukul sembilan.’

Kata-kata itu mungkin tidak seratus persen benar, tapi cukup mewakili
untuk menggambarkan kelengangan kota Cairo pada jam setengah tujuh di musim

53 Roti Isy dan Ful adalah makanan pokok orang Mesir.


panas. Padahal pada saat yang sama, di Jakarta sedang sibuk-sibuknya orang
berangkat kerja, dan kemacetan terjadi di mana-mana.

Aku termasuk orang yang anti tidur langsung setelah shalat shubuh. Aku
tidak mau berkah yang dijanjikan baginda Nabi di waktu pagi lewat begitu saja.
Hal ini juga kutanamkan pada teman-teman satu rumah. Jadi seandainya semalam
begadang dan mata sangat lelah, tetaplah diusahakan shalat shubuh berjamaah,
membaca Al-Qur’an, dan sedikit tadabbur. Semoga yang sedikit itu menjadi
berkah. Barulah tidur. Jika bisa tahan dulu sampai waktu dhuha datang, shalat
dhuha baru tidur.

Kunyalakan komputer untuk kembali menerjemah. Baru setengah halaman
bel berbunyi. Ada tamu. Ternyata Tuan Boutros dan Maria. Kupersilakan
keduanya duduk.

“Fahri, maaf menganggu. Ada yang perlu kita bicarakan,” kata Tuan
Boutros.

“Apa itu Tuan?”

“Noura.”

Maria langsung menyahut,

“Begini Fahri. Aku sudah berusaha keras. Tapi Noura tidak mau
menceritakan segalanya. Dia hanya bilang telah diusir oleh ayah dan kakaknya
karena tidak bisa melakukan hal yang ia tidak bisa melakukannya.”

“Hal yang ia tidak bisa melakukan itu maksudnya apa?” tanyaku.

“Ia tidak mau mengaku. Hanya itu yang bisa kudapat. Kami sekeluarga
hanya bisa membantu sampai di sini.”

“Terus terang sebelum Si Bahadur bangun, Noura harus sudah
meninggalkan rumah kami?” sahut Tuan Boutros.

“Bukannya kami tidak peduli. Kau tentu tahu sifat Si Bahadur itu. Di
samping itu Noura memang ingin pergi untuk sementara. Ia kelihatan ketakutan
dan cemas sekali. Ia tidak mau ayahnya tahu kalau ia ada di rumah kami,”
sambung Maria.

“Lantas apa yang harus kita lakukan?” tanyaku.

“Untuk itulah kami berdua kemari. Mau tidak mau, pagi ini Noura
memang harus pergi. Untuk kebaikan dirinya, dan untuk kebaikan seluruh


penghuni apartemen ini. Jika sampai ia masih ada di sini, ayahnya akan kembali
membuat keributan. Noura akan jadi bulan-bulanan. Masalahnya, semua orang
sudah bosan. Yang jadi pikiran kami adalah Noura harus pergi ke mana. Kami
tidak tega dia pergi tanpa tujuan dan tanpa rasa aman,” jelas Tuan Boutros.

“Anda benar Tuan Boutros. Dia harus pergi ke suatu tempat yang aman
dan tinggal di sana beberapa waktu sampai keadaan membaik. Hmm..apakah dia
tidak punya sanak saudara. Paman, bibi, atau nenek misalnya?”

“Di Cairo ini dia tidak memiliki siapa-siapa selain keluarga yang telah
mengusirnya. Dia masih punya paman dan bibi. Tapi sangat jauh di Mesir selatan,
dekat Aswan sana. Tepatnya di daerah Naq El-Mamariya yang terletak beberapa
puluh kilo di sebelah selatan Luxor. Bahadur dan isterinya yaitu Madame Syaima
berasal dari sana. Tapi Noura tidak bisa ke sana. Katanya, seingatnya ia baru dua
kali ke sana dan tidak tahu jalannya. Ia tidak bisa sendirian ke sana,” jawab Maria.

“Teman sekolahnya?” tanyaku.

“Kami sudah memberikan saran itu padanya. Tapi Noura tidak mau. Ia
ingin pergi ke tempat yang tidak akan ditemukan ayah dan kedua kakaknya
sementara waktu. Seluruh rumah temannya telah diketahui ayahnya. Dia pernah
diseret ayahnya saat tidur di rumah salah seorang temannya di Thakanat Maadi.
Itu akan membuatnya malu pada setiap orang. Begitu katanya.”

Aku mengerutkan kening.

“Bagaimana dengan saudara atau kenalan kalian? Pasti kalian punya
saudara dan kenalan yang tidak akan terlacak oleh ayahnya Noura. Dan itu bisa
membantu Noura,” selorohku.

Tuan Boutros dan Maria sedikit kaget mendengar usulku. Keduanya
berpandangan.

“Fahri, mohon kau mengertilah posisi kami. Sungguh kami ingin
menolong Noura. Tapi menempatkan Noura di rumah kami, atau rumah saudara
dan kenalan kami itu tidak mungkin kami lakukan. Karena ini akan menambah
masalah?”

“Maksud Tuan Boutros?”

“Fahri, sebetulnya bisa saja kami membawa Noura ke tempat saudara
kami. Tapi kalau nanti sampai ketahuan Bahadur masalahnya akan runyam.


Bahkan kalau ada orang tidak bertanggung jawab yang suka memancing ikan di
air keruh masalahnya bisa berkembang tidak hanya antara kami dan Bahadur. Bisa
lebih gawat dari itu. Kau ‘kan tahu, kami sekeluarga ini penganut Kristen Koptik.
Bahadur sekeluarga adalah muslim. Seluruh sanak saudara dan kolega kami yang
paling dekat adalah orang-orang Koptik. Jika Noura bersembunyi di rumah kami
atau rumah saudara kami bisa mendatangkan masalah. Meskipun kami tidak
melakukan apa-apa kecuali menyediakan tempat dia berlindung. Kami nanti bisa
dianggap merekayasa meng-Kristen-kan Noura. Kami harus menjaga perasaan
Noura sendiri dan perasaan semuanya. Kau tentu tahu Noura siswi Ma’had Al
Azhar. Dia tentu akan merasa asing di rumah orang yang bukan satu keyakinan
dengannya. Dia akan merasa canggung untuk shalat, membaca Al-Qur’an dan lain
sebagainya. Di rumah kami saja yang tetangganya, yang kenal baik dengannya,
dia merasa canggung. Untuk shalat dia merasa tidak enak. Tadi kami yang
mempersilakan dia untuk shalat. Kami tidak ingin ini terjadi pada Noura. Apa pun
alasannya, yang paling bijak adalah menempatkan Noura di tempat orang yang
satu keyakinan dengannya. Yang bisa mengerti keadaannya. Terus terang untuk
ini kami minta bantuanmu. Meskipun kamu bukan orang Mesir tapi kamu tentu
punya kenalan orang Mesir yang muslim. Menurut kami semua orang muslim itu
baik kecuali Si Bahadur itu,” jelas Maria panjang lebar.

Aku merenungkan penjelasan Maria. Sungguh bijak dia. Kata-kata adalah
cerminan isi hati dan keadaan jiwa. Kata-kata Maria menyinarkan kebersihan
jiwanya. Sebesar apa pun keikhlasan untuk menolong tapi masalah akidah,
masalah keimanan dan keyakinan seseorang harus dijaga dan dihormati.
Menolong seseorang tidak untuk menarik seseorang mengikuti pendapat,
keyakinan atau jalan hidup yang kita anut. Menolong seseorang itu karena kita
berkewajiban untuk menolong. Titik. Karena kita manusia, dan orang yang kita
tolong juga manusia. Kita harus memanusiakan manusia tanpa menyentuh sedikit
pun kemerdekaannya meyakini agama yang dianutnya. Tak lebih dan tak kurang.
Ah, andaikan umat beragama sedewasa Maria dalam memanusiakan manusia,
dunia ini tentu akan damai dan tidak ada rasa saling mencurigai. Diam-diam aku
bersimpati pada sikap Maria.


Aku lalu berpikir sejenak mencari jalan keluar. Sebenarnya aku bisa ke
tempat Syaikh Ahmad. Tapi masalahnya, waktu sangat mendesak. Noura harus
segera pergi sebelum keluarganya bangun. Dan dia harus pergi sendiri, agar tidak
ada yang disalahkan, atau terseret ke dalam pusaran masalahnya dengan
keluarganya. Aku teringat sesuatu.

“Oh ya aku ada ide,” kataku.

“Apa itu?” tuan Boutros dan Maria menyahut bareng.

“Bagaimana kalau sementara waktu Noura tinggal di salah satu rumah
mahasiswi Indonesia di Nasr City.”

“Saya kira ini usul yang bagus. Mungkin mahasiswi Indonesia itu bisa
mendekatinya dan Noura bisa menceritakan semua derita yang dialaminya.
Setelah itu bisa dicarikan pemecahan bersama yang lebih baik. Sebab dia
kelihatannya sudah benar-benar dimusuhi keluarganya. Noura berkata, bahkan
ibunya sendiri yang dulu sering membelanya kini berbalik ikut memusuhinya.
Kita tidak tahu apa yang terjadi pada Noura sebenarnya,” ujar Maria.

“Baiklah aku akan menghubungi seorang mahasiswi Indonesia di Nasr
City.”

“Lebih cepat lebih baik. Waktunya semakin sempit.”

Aku langsung bergegas mengambil gagang telpon dan memutar nomor
rumah Nurul, Ketua Wihdah, induk organisasi mahasiswi Indonesia di Mesir.
Seorang temannya bernama Farah yang menerima, memberitahukan Nurul baru
sepuluh menit tidur, sebab tadi malam ia bergadang di sekretariat Wihdah.

“Tolong, ini sangat mendesak!” paksaku.

Akhirnya beberapa menit kemudian Nurul berbicara,

“Ada apa sih Kak. Tumben nelpon kemari?”

Aku lalu mengutarakan maksudku, meminta bantuannya, agar bisa
menerima Noura bersembunyi di rumahnya beberapa hari. Mula-mula Nurul
menolak. Ia takut kena masalah. Di samping itu, tinggal bersama gadis Mesir
belum tentu mengenakkan. Aku jelaskan kondisi Noura. Akhirnya Nurul
menyerah dan siap membantu.

“Begini saja Kak Fahri. Si Noura suruh turun di depan Masjid Rab’ah.
Aku dan Farah akan menjemputnya tepat pukul setengah sembilan.”


“Baiklah.”

Hasil pembicaraanku dengan Nurul aku jelaskan pada Tuan Boutros dan
Maria. Mereka tersenyum lega. Mereka mengajakku ke atas ke flat mereka untuk
menjelaskan segalanya pada Noura. Di ruang tamu rumah Tuan Boutros, Noura
menunduk dengan wajah sedih. Ada bekas biru lebam di pipinya yang putih.
Matanya memerah karena terlalu banyak menangis. Aku meyakinkan, dia akan
aman di tempat Nurul. Mereka semua mahasiswi Al Azhar dari Indonesia yang
halus perasaannya dan baik-baik semua. Noura mengucapkan terima kasih atas
pertolongan dan meminta maaf karena merepotkan. Kujelaskan di mana dia akan
dijemput Nurul dan Farah.

“Biar cepat, kau naik metro sampai Ramsis. Setelah itu naik Eltramco
jurusan Hayyul Asyir atau Hayyu Sabe’ yang lewat masjid Rab’ah. Turun di
masjid Rab’ah dan cari dua mahasiswi Indonesia. Kau tentu tahu ‘kan muka orang
Indonesia. Nurul memakai kaca mata jilbabnya panjang. Farah tidak pakai kaca
mata, dia suka jilbab kecil. Ditunggu setengah sembilan tepat. Ini nomor telpon
rumahnya,” kataku sambil menyerahkan selembar kertas bertuliskan nomor telpon
dan selembar uang dua puluh pound. “Terimalah untuk ongkos perjalanan dan
untuk menelpon kalau ada apa-apa.”

Noura terlihat ragu.

“Jangan ragu. Aku tidak bermaksud apa-apa. Kita ini satu atap dalam
payung Al Azhar. Sudah selayaknya saling menolong,” kataku meyakinkan.

“Noura, terimalah. Fahri ini orang yang baik. Dia hafal Al-Qur’an. Apa
kamu tidak percaya dengan orang yang hafal Al-Qur’an?” ucap Maria
meyakinkan Noura.

Akhirnya Noura mau menerima kertas dan uang dua puluh pound itu
dengan mata berlinang. Bibirnya bergetar mengucapkan rasa terima kasih. Pagi itu
juga Noura pergi ke Nasr City dengan langkah gontai. Saat menatap Maria ia
mengucapkan rasa terima kasih dan berusaha tersenyum.

* * *

Pukul sembilan Nurul menelpon, Noura sudah berada di tempatnya. Dia
minta saya datang, sebab ada seorang anggota rumahnya yang belum bisa
menerima Noura tinggal di sana. Terpaksa saat itu juga aku meluncur ke Nasr


City. Sampai di sana aku menjelaskan panjang lebar apa yang menimpa Noura.
Aku jelaskan penderitaannya seperti yang telah berkali-kali aku lihat. Tentang
ayahnya, ibunya dan kakak perempuannya yang tiada henti menyiksa fisik dan
batinnya. Tentang betapa baiknya keluarga Maria dan betapa dewasanya mereka
menyarankan agar Noura tinggal di rumah orang yang seiman dengannya agar
lebih at home. Mendengar itu semua mereka menitikkan air mata dan siap
menerima Noura.

Dari Nasr City aku langsung ke kampus Al Azhar di Maydan Husein.
Langsung ke syu’un thullab dirasat ulya.54 Mereka mengucapkan selamat atas
kelulusanku. Aku diminta segera mempersiapkan proposal tesis. Setelah itu aku
ke toko buku Dar El-Salam yang berada di sebelah barat kampus, tepat di samping
Khan El-Khalili yang sangat terkenal itu. Untuk melihat buku-buku terbaru Dar
El-Salam adalah tempat yang paling tepat dan nyaman. Buku terbaru Prof. Dr. M.
Said Ramadhan El-Bouthi menarik untuk dibaca. Kuambil satu.

Keluar dari Dar El-Salam matahari sudah sangat tinggi mendekati pusar
langit. Udara sangat panas. Tak jauh dari Dar El-Salam ada penjual tamar hindi.
Aku tak bisa mengekang keinginanku untuk minum. Satu gelas saja rasanya luar
biasa segarnya. Aku pulang lewat Attaba. Aku teringat jadwal belanja.
Kusempatkan mampir di pasar rakyat Attaba. Dua kilo rempelo ayam, satu kilo
kibdah55 dan dua kilo suguq56 kukira cukup untuk lauk beberapa hari.

Begitu masuk mahattah metro, azan zhuhur berkumandang. Dalam
perjalanan, panas matahari kembali memanggang. Sampai di rumah pukul dua
kurang seperempat. Aku masuk kamar dengan ubun-ubun kepala terasa mendidih.
Musim panas memang melelahkan. Sampai di flat aku langsung teler. Telentang
di karpet dengan dada telanjang menikmati belaian hawa sejuk yang dipancarkan
kipas angin kesayangan yang membuatku terlelap sesaat.

Dalam lelap, aku melihat Noura di pucak Sant Catherin, Jabal Tursina. Ia
melepas jilbabnya, rambutnya pirang, wajahnya bagai pualam, ia tersenyum
padaku. Aku kaget, bagaimana mungkin Noura berambut pirang, padahal ayah
dan ibunya mirip orang Sudan. Hitam dan rambutnya negro. Aku menatap Noura

54 Syuun thullab dirasat ulya: Bagian yang mengurusi mahasiswa pascasarjana.

55 Hati.

56 Semacam sausage, bentuknya bundar memanjang.


dengan heran. Lalu Nurul datang. Ia menangis padaku, lalu marah-marah pada
Noura. Aku terbangun membaca ta’awudz dan beristighfar berkali-kali. Jam
setengah tiga. Aku belum shalat. Setan memang suka memanfaatkan kelemahan
manusia. Tak pernah merasa kasihan. Untung waktu zhuhur masih panjang. Aku
beranjak untuk shalat.

Usai shalat aku kembali menelentangkan badan. Kali ini di atas tempat
tidur, entah kenapa kepalaku terasa nyut-nyut. Atau mungkin karena kelelahan dua
hari ini. Mimpi bertemu Noura masih ada dipikiran. Juga Nurul, kenapa ia
menangis dan marah. Apakah ini hanya kebetulan, atau jangan-jangan betulan.
Aku jarang sekali bermimpi yang bukan-bukan. Mimpi bertemu perempuan
bagiku adalah mimpi yang bukan-bukan. Aku masih bisa menghitung berapa kali
aku bermimpi bertemu perempuan. Tak ada sepuluh kali. Semuanya bertemu
perempuan yang satu, yaitu ibuku. Kali ini aku bertemu Noura yang
memperlihatkan rambutnya yang pirang dan Nurul yang menangis dan marah.
Yang kupikirkan adalah Nurul. Apakah Nurul sejatinya menerima kehadiran
Noura dengan terpaksa. Hatiku tidak tenang. Aku bangkit. Tidak jadi tidur lagi.
Kutelpon Nurul.

“Tidak ada acara Nur?”

“Sore ini tidak ada Kak. Jadwalnya istirahat.”

“Bagaimana dengan Noura?”

“Baik. Dia sekarang sedang tidur di kamarku. Benar katamu Kak, dia
memang patut di kasihani. Punggungnya penuh luka cambuk.”

“Benarkah?”

“Ya.”

“Apa dia sudah bercerita banyak pada kalian?”

“Belum. Masih dalam taraf mencoba saling kenal. Tapi dia tidak tahan
merasakan sakit di punggungnya akhirnya dia sedikit bercerita kalau ayahnya
suka mencambuknya dengan ikat pinggang. Ayah yang kejam!”

“Sudah dibawa ke dokter?”

“Belum, rencananya nanti sore.”

“Nur, boleh aku tanya sedikit. Ini soal pribadi.”

“Apa itu Kak?”


“Apa kau sedang marah?”

“Marah kenapa?”

“Karena Noura. Apa kalian menerimanya dengan terpaksa?”

“Jangan suudhan pada saya dan teman-teman Kak. Keberadaan Noura di
sini tidak ada masalah kok. Kenapa sih Kakak terlalu berprasangka begitu?”

“Ya aku kuatir saja kalian merasa terganggu dan direpotkan.”

“Nggak. Nggak apa-apa. Sure nggak apa-apa. Jangan kuatir!”

“Syukran kalau begitu.”

“Afwan.”

Benar, tadi itu yang datang dalam lelapku dari setan.

Nurul tidak apa-apa.

Suaranya juga bening ceria seperti biasa. Tidak ada rasa jengkel atau
marah sedikit pun. Sekarang Noura berambut pirang. Benarkah? Selama ini aku
tidak pernah melihat Noura lepas jilbab. Dari mana aku akan cari info. Tanya pada
ibu atau kedua kakaknya, gila apa. Tanya Maria. Ya Maria, mungkin dia tahu.
Aku balik ke kamar. Mengambil handphone dan mengirim pesan pada Maria.

“Maria boleh tanya?”

Lima menit kemudian,

“Boleh. Tanya apa?”

“Jangan kaget ya? Mungkin pertanyaan aneh.”

“Apa itu?”

“Apa Noura berambut pirang?”

“Pertanyaanmu memang aneh. Jawabnya ya, dia berambut pirang.
Kenapa kau tanyakan itu?”

“Ingin tahu saja. Tapi jika dia berambut pirang memang aneh.”

“Aneh bagaimana? Orang Mesir biasa berambut pirang.”

“Bukan itu maksudku. Bukankah ayah dan ibunya seperti orang Sudan?
Hitam dan berambut negro?”

“Kau ingin mengatakan Noura bukan anak mereka.”

“Entahlah. Ini hanya firasat.”

“Tapi firasatmu mungkin ada benarnya.”

“Hanya Tuhan yang tahu.”


Aku kembali menelentangkan badan di atas kasur. Saatnya tidur. Baru dua
detik mata terpejam, handphoneku menjerit. Nomor tak kukenal. Siapa ya?
Kuangkat,

“Assalamu’alaikum.”

Suara bening perempuan. Logatnya agak aneh. Siapa ?

“Wa ‘ailakumussalam. Ini siapa ya?” jawabku balik bertanya.

“Sind Sie Herr Fahri?”57 Dia malah balik bertanya dengan bahasa Jerman.
Aku langsung teringat perempuan bercadar biru muda yang kemarin bertemu di
dalam metro. Dia pasti Aisha.

“Ja. Sie Aisha?” jawabku dengan bahasa Jerman.

“Ja. Herr Fahri, haben Sie zeit?58” Pertanyaannya mengandung maksud
mengajak bertemu.

“Heute?”59

“Ja. Heute, ba’da shalat el ashr.”60

Aku ingin tertawa mendengar dia mencampur bahasa Jerman dengan
bahasa Arab. Tapi memang tepat. Kata-kata shalat sejatinya susah diterjemahkan
ke dalam bahasa lain secara pas.

“Nein danke, heute ba’da shalat el ashr habe ich leider keine Zeit! Ich
habe schon eine verabredung!” 61 Maksudku adalah janji pada jadwal untuk
menerjemah.

Aisha lalu menjelaskan ia ingin bertemu denganku secepatnya. Ia minta
aku bisa meluangkan sedikit waktu. Karena sangat penting. Berkaitan dengan
Alicia yang katanya ingin berbincang seputar Islam dan ajaran moral yang
dibawanya. Alicia ingin sekali bertanya banyak hal padaku sejak kejadian di atas
metro itu. Aisha memohon dengan sangat, sebab menurutnya ini kesempatan yang
baik untuk menjelaskan Islam yang sebenarnya pada orang Barat. Aisha
mengatakan Alicia seorang reporter berita. Ia wartawan dan ini kesempatan emas.
Mau tak mau aku mengiyakan dan menawarkan bagaimana jika bertemu besok. Ia
senang sekali mendengarnya. Kami membuat kesepakatan bertemu di mahattah

57 Apakah Anda Tuan Fahri.

58 Tuan Fahri, apakah kau punya waktu?

59 Hari ini?

60 Ya. Hari ini setelah shalat ashar.

61 Tidak, terima kasih, sayang aku tidak ada waktu selepas shalat ashar! Aku punya janji.


metro bawah tanah Maydan Tahrir tepat jam setengah sebelas. Aku minta padanya
untuk datang tepat waktu. Ia tertawa. Sedikit ia meledek, bukankah seharusnya dia
yang meminta padaku untuk datang tepat waktu. Aku tersenyum kecut. Memang
orang Indonesia terkenal jam karetnya. Aku tidak sangka kalau orang seperti
Aisha tahu akan hal itu. Aku tidak perlu bertanya padanya dari mana ia tahu itu.
Sebuah pertanyaan bodoh di dunia global seperti sekarang ini. Bukankah dengan
kecanggihan teknologi jarum jatuh di pelosok Merauke sana bisa terdengar
sampai ke New York dan ke seluruh penjuru dunia?

Aku langsung menulis janji bertemu Aisha pada planning kegiatan esok
hari. Ternyata padat. Besok jadwal khutbah di masjid Indonesia. Berarti nanti
malam mempersiapkan bahan khutbah. Pagi diketik dan langsung di-print. Lantas
istirahat. Tidak ke mana-mana. Tidak juga sepak bola. Untuk stamina khutbah.
Kalaupun ingin melakukan sesuatu lebih baik menerjemah beberapa halaman. Jam
sembilan berangkat. Sampai di Tahrir kira-kira jam sepuluh. Kalau misalnya
metro sedikit terlambat, aku bisa tetap datang tepat waktu. Lantas berbincang
dengan Aisha dan Alicia sampai jam sebelas. Setelah itu pergi ke Dokki untuk
khutbah. Aku harus datang di awal waktu biar tidak gugup. Begitu rencananya.
Jika tidak dibuat outline yang jelas seperti itu akan membuat hidup tidak terarah
dan banyak waktu terbuang percuma.

Kulihat kalender. Melihat kalender adalah hal yang paling kusuka. Karena
bagiku dengan melihatnya optimisme hidup itu ada.

Jum’at tanggal sembilan dan Sabtu tanggal sepuluh. Ada tanda pada
tanggal sepuluh. Hmm..kapan aku memberi tanda dan untuk apa? Jangan-jangan
aku ada janji dengan seseorang. Aku berusaha mengingat-ingat. Rancangan
kegiatan satu bulan aku lihat. Juga tidak ada janji khusus. Terus itu tanda apa ya?
Hari Minggunya, tanggal sebelas juga ada tanda yang sama. Dua hari berturut-
turut. Aku teringat sesuatu. Ya itu tanda yang aku bubuhkan tiga bulan lalu begitu
tahu tanggal lahir seluruh keluarga Tuan Boutros. Aku berniat memberikan hadiah
untuk mereka, tepat di hari ulang tahun mereka. Madame Nahed, ibunya Maria,
ulang tahun tanggal 10 Agustus. Si Yousef adik lelaki Maria tanggal 11 Agustus,
satu hari setelah ibunya. Sedangkan Tuan Boutros 26 Oktober, dan Maria 24
Desember. Tanggal-tanggal itu telah aku beri tanda. Aku paling suka memberi


kejutan pada teman atau kenalan. Teman satu rumah sudah mendapatkan hadiah
mereka pada hari istimewa mereka. Berarti besok kegiatannya bertambah satu,
mencarikan hadiah untuk Madame Nahed dan Yousef. Hadiah yang sederhana
saja. Sekadar untuk memberikan rasa senang di hati tetangga. Tiba-tiba aku
berpikir ingin memberikan hadiah pada Si Muka Dingin Bahadur, ayah Noura
yang mirip orang Sudan itu. Apa reaksinya kira-kira?

* * *


5. Pertemuan di Tahrir



Jam 10.10 aku sampai di mahattah metro bawah tanah Maydan Tahrir.
Sesuai dengan janji, kami akan bertemu di jalur metro menuju Giza Suburban.
Tempatnya lebih nyaman. Lebih indah. Aku mencari tempat duduk yang paling
mudah dilihat. Janjinya tepat setengah sebelas. Aku datang dua puluh menit lebih
awal. Sambil menunggu aku membaca kembali bahan khutbah yang telah
kupersiapkan. Keadaan mahattah tidak terlalu ramai. Menjelang shalat Jum’at
seperti ini biasanya memang agak lengang. Seorang polisi bersiaga dengan senjata
di pinggang. Petugas kebersihan berseragam menyapu pelan-pelan. Seorang
perempuan berjubah hitam bercadar hitam datang. Kukira dia Aisha, ternyata
bukan. Perempuan itu tidak melihat ke arahku sama sekali. Begitu metro datang,
ia langung naik dan hilang.

Sudah pukul sebelas Aisha belum juga datang. Aku akan menunggu
sampai seperempat jam ke depan jika ia tidak datang aku akan langsung pergi ke
Dokki. Pukul sebelas lima menit ada seorang perempuan berabaya cokelat tua
dengan jilbab dan cadar di kepalanya. Ia melangkah tergesa ke arahku. Ia
mengucapkan salam dan aku menjawabnya.

“Nehmen Sie platz!” 62 kupersilakan dia duduk.

“Danke schon.”63 Selorohnya sambil bergerak duduk di samping kananku.

“Bitte.”64

Aisha melihat jam tangannya. Dia minta maaf datang terlambat. Aku
hanya tersenyum. Kami lalu mulai berbincang-bincang. Aisha memilih pakai
bahasa Jerman.

“Wo ist Alicia?”65 Tanyaku karena aku tidak juga melihat bule Amerika
itu datang.

“Insya Allah, dia akan datang sepuluh menit lagi. Dia sedang dalam
perjalanan dari wawancara dengan Ibrahem Nafe’, Pemimpin Redaksi Harian
Ahram.”

62 Silakan duduk.

63 Terima kasih banyak.

64 Kembali.

65 Di mana Alicia?


Aku bisa memaklumi, namun aku perlu menjelaskan padanya bahwa tepat
setengah dua belas aku harus meninggalkan Tahrir. Sekali lagi Aisha minta maaf
atas keterlambatannya dan keterlambatan Alicia. Dalam hati aku senang, bahwa
memang perlu sekali-kali orang Barat minta maaf pada orang Indonesia, karena
mereka datang tidak tepat waktu. Makanya, jangan main-main dengan murid
Syaikh Utsman yang terkenal disiplin.

“Semoga lima belas menit cukup bagi Alicia untuk mendapatkan jawaban
atas ketidaktahuannya akan Islam,” kata Aisha dengan nada sedikit menyesal.

“Sebetulnya saya senang diajak berbincang untuk menjelaskan keindahan
Islam. Tapi kali ini saya ada jadwal khutbah. Maafkan saya.”

“Kalau waktunya tidak cukup, anggaplah ini pertemuan pengantar saja.
Semoga Anda tidak keberatan seandainya Alicia minta waktu lagi, entah kapan.”

“Insya Allah. Dengan senang hati.”

Aisha lalu bertanya-tanya tentang saya. Tentang Indonesia. Tentang Jawa.
Dia pun sempat sedikit mengenalkan dirinya. Dia baru empat bulan di Cairo.
Tujuannya untuk belajar bahasa Arab dan memperbaiki bacaan Al-Qur’annya. Di
Jerman ia sudah tingkat akhir Fakultas Psikologi. Ayahnya asli Jerman. Ibunya
asli Turki. Dari ibunya ia memiliki darah Palestina. Sebab neneknya atau ibu
ibunya adalah wanita asli Palestina. Ibunya bilang, neneknya lahir di Giza. Aku
bertanya sejak kapan memakai jilbab dan cadar. Ia menjawab memakai jilbab
sejak SMP dan memakai cadar sejak tiba di Mesir, mengikuti bibinya. Sementara
ia memang tinggal di Maadi bersama bibi dan pamannya. Bibinya sedang S.2. di
Kuliyyatul Banat Universitas Al Azhar, beliau adik bungsu ibunya. Sedangkan
pamannya sedang S.3., juga di Al Azhar. Aku mengenal beberapa orang Turki
yang ada di program pascasarjana. Aku teringat sebuah nama.

“Aku kenal seorang mahasiswa Turki. Dia cukup akrab denganku. Dia
pernah bilang tinggal di dekat Kentucky Maadi, mungkin pamanmu kenal,”
kataku.

“Dekat Kentucky? Siapa namanya? Coba nanti aku tanyakan pada
paman,” Aisha penasaran.

“Namanya Eqbal Hakan Erbakan?”

“Siapa?”


“Eqbal Hakan Erbakan.”

“La ilaaha illallah!”

“Kenapa?”

“Itu pamanku.”

“So ein zufall!66 ”

“Dunia begitu sempit bukan? Tak kukira kau kenal pamanku.”

“Sampaikan salamku untuknya. Katakan saja dari Fahri Abdullah Shiddiq,
teman i’tikaf di masjid Helmeya Zaitun tahun lalu. Juga sampaikan salamku pada
bibimu dan kedua puteranya yang lucu; Amena dan Hasan.”

“Insya Allah dengan senang hati.

Dari kejauhan aku melihat seorang perempuan bule datang.

“Apakah dia Alicia?”

“Kelihatannya.”

Penampilannya memang berbeda dengan waktu aku melihatnya di metro
dua hari yang lalu. Sekarang tampak lebih sopan. Memakai hem lengan panjang.
Tidak kaos ketat dengan bagian perut terlihat. Ia menyapa kami dengan
tersenyum. Aisha menjelaskan waktu yang ada sangat sempit, karena jam
setengah dua belas aku harus cabut ke Masjid Indonesia di Dokki. Alicia bisa
mengerti dan minta maaf atas keterlambatan. Ia langsung membuka dengan
sebuah pertanyaan,

“Begini Fahri, di Barat ada sebuah opini bahwa Islam menyuruh seorang
suami memukul isterinya. Katanya suruhan itu terdapat dalam Al-Qur’an. Ini jelas
tindakan yang jauh dari beradab. Sangat menghina martabat kaum wanita. Apakah
kau bisa menjelaskan masalah ini yang sesungguhnya? Benarkah opini itu, atau
bagaimana?”

Aku menghela nafas panjang. Aku tidak kaget dengan pertanyaan Alicia
itu. Opini yang sangat mendiskreditkan itu memang seringkali dilontarkan oleh
media Barat. Dan karena ketidakmengertiannya akan ajaran Islam yang
sesungguhnya banyak masyarakat awam di Barat yang menelan mentah-mentah
opini itu. Dengan kemampuan yang ada aku berusaha menjelaskan sebenarnya.
Aku berharap Alicia bisa memahami bahasa Inggrisku dengan baik,

66 Sungguh suatu kebetulan.


“Tidak benar ajaran Islam menyuruh melakukan tindakan tidak beradab
itu. Rasulullah Saw. dalam sebuah haditsnya bersabda, ‘La tadhribu imaallah!’67
Maknanya, ‘Jangan kalian pukul kaum perempuan!’ Dalam hadits yang lain,
beliau menjelaskan bahwa sebaik-baik lelaki atau suami adalah yang berbuat baik
pada isterinya.68 Dan memang, di dalam Al-Qur’an ada sebuah ayat yang
membolehkan seorang suami memukul isterinya. Tapi harus diperhatikan dengan
baik untuk isteri macam apa? Dalam situasi seperti apa? Tujuannya untuk apa?
Dan cara memukulnya bagaimana? Ayat itu ada dalam surat An-Nisa, tepatnya
ayat 34:

“Sebab itu, maka Wanita yang saleh ialah yang ta'at kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu kuatirkan nusyuznya, maka nasihatilah
mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”

Jadi seorang suami diperbolehkan untuk memukul isterinya yang telah
terlihat tanda-tanda nusyuz.”

Alicia menyela, “Nusyuz itu apa?”

“Nusyuz adalah tindakan atau perilaku seorang isteri yang tidak
bersahabat pada suaminya. Dalam Islam suami isteri ibarat dua ruh dalam satu
jasad. Jasadnya adalah rumah tangga. Keduanya harus saling menjaga, saling
menghormati, saling mencintai, saling menyayangi, saling mengisi, saling
memuliakan dan saling menjaga. Isteri yang nusyuz adalah isteri yang tidak lagi
menghormati, mencintai, menjaga dan memuliakan suaminya. Isteri yang tidak
lagi komitmen pada ikatan suci pernikahan. Jika seorang suami melihat ada gejala
isterinya hendak nusyuz, hendak menodai ikatan suci pernikahan, maka Al-Qur’an
memberikan tuntunan bagaimana seorang suami harus bersikap untuk
mengembalikan isterinya ke jalan yang benar, demi menyelamatkan keutuhan
rumah tangganya. Tuntunan itu ada dalam surat An-Nisaa ayat 34 tadi. Di situ Al-
Qur’an memberikan tuntunan melalui tiga tahapan,

67 Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah.

68 Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Hibban.


Pertama, menasihati isteri dengan baik-baik, dengan kata-kata yang
bijaksana, kata-kata yang menyentuh hatinya sehingga dia bisa segera kembali ke
jalan yang lurus. Sama sekali tidak diperkenankan mencela isteri dengan kata-kata
kasar. Baginda Rasulullah melarang hal itu. Kata-kata kasar lebih menyakitkan
daripada tusukan pedang.

Jika dengan nasihat tidak juga mempan, Al-Qur’an memberikan jalan
kedua, yaitu pisah tempat tidur dengan isteri. Dengan harapan isteri yang mulai
nusyuz itu bisa merasa dan interospeksi. Seorang isteri yang benar-benar
mencintai suaminya dia akan sangat terasa dan mendapatkan teguran jika sang
suami tidak mau tidur dengannya. Dengan teguran ini diharapkan isteri kembali
salehah. Dan rumah tangga tetap utuh harmonis.

Namun jika ternyata sang isteri memang bebal. Nuraninya telah tertutupi
oleh hawa nafsunya. Ia tidak mau juga berubah setelah diingatkan dengan dua
cara tersebut barulah menggunakan cara ketiga, yaitu memukul.

Yang sering tidak dipahami oleh orang banyak adalah cara memukul yang
dikehendaki Al-Qur’an ini. Tidak boleh sembarangan. Suami boleh memukul
dengan syarat:

Pertama, telah menggunakan dua cara sebelumnya namun tidak mempan.
Tidak diperbolehkan langsung main pukul. Isteri salah sedikit main pukul. Ini
jauh dari Islam, jauh dari tuntunan Al-Qur’an. Dan Islam tidak bertanggung jawab
atas tindakan kelaliman seperti itu.

Kedua, tidak boleh memukul muka. Sebab muka seseorang adalah
segalanya bagi manusia. Rasulullah melarang memukul muka.

Ketiga, tidak boleh menyakitkan. Rasulullah Saw. bersabda, ‘Bertakwalah
kepada Allah dalam masalah perempuan (isteri). Mereka adalah orang-orang
yang membantu kalian. Kalian punya hak pada mereka, yaitu mereka tidak boleh
menyentuhkan pada tempat tidur kalian lelaki yang kalian benci. Jika mereka
melakukan hal itu maka kalian boleh memukul mereka dengan pukulan yang tidak
menyakitkan (ghairu mubrah). Dan kalian punya kewajiban pada mereka yaitu
memberi rizki dan memberi pakaian yang baik.’69 Para ulama ahli fiqih dan ulama
tafsir menjelaskan kriteria ‘ghairu mubrah’ atau ‘tidak menyakitkan’ yaitu tidak

69 Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya.


sampai meninggalkan bekas, tidak sampai membuat tulang retak, dan tidak di
bagian tubuh yang berbahaya jika kena pukulan.

Dengan menghayati benar-benar kandungan ayat suci Al-Qur’an itu dan
makna hadits-hadits Rasulullah itu akan jelas sekali seperti apa sebenarnya ajaran
Islam. Apakah seperti yang dituduhkan dan diopinikan di Barat yang
menghinakan wanita? Apakah tuntunan mulia seperti itu, yang bertujuan
menyelamatkan bahtera rumah tangga karena ada gejala isteri hendak nusyuz,
tidak lagi bersahabat pada suaminya, hendak menodai ikatan suci pernikahan
dianggap tiada beradab?

Kapan seorang suami diperbolehkan memukul? Pada isteri macam apa?
Syaratnya memukulnya apa saja? Tujuannya apa? Itu semua haruslah diperhatikan
dengan seksama. Memukul seorang isteri jahat tak tahu diri dengan pukulan yang
tidak menyakitkan agar ia sadar kembali demi keutuhan rumah tangga, apakah itu
tidak jauh lebih mulia daripada membiarkan isteri berbuat seenak nafsunya dan
menghancurkan rumah tangga?

Ya inilah ajaran Islam dalam mensikapi seorang isteri yang berperilaku
tidak terpuji. Islam sangat memuliakan perempuan, bahwa di telapak kaki ibulah
surga anak lelaki. Hanya seorang lelaki mulia yang memuliakan wanita. Demikian
Islam mengajarkan.”

Rasanya sudah cukup panjang aku menjelaskan. Alicia tampak
mengangguk-anggukkan kepala. Sekilas kulihat mata Aisha berkaca-kaca. Entah
kenapa. Sebenarnya aku ingin memaparkan ratusan data tentang perlakuan tidak
manusiawi orang-orang Eropa pada isteri-isteri mereka. Namun kuurungkan.
Biarlah suatu saat nanti sejarah sendiri yang membeberkan pada Alicia dan orang-
orang seperti Alicia. Di Inggris, beberapa abad yang lalu isteri tidak hanya boleh
dipukul tapi boleh dijual dengan harga beberapa poundsterling saja. Ada seorang
Perdana Menteri Jepang yang mengatakan bahwa cara terbaik memperlakukan
wanita adalah dengan menamparnya. Dengan bangga Perdana Menteri itu
mengaku sering menampar isteri dan anak perempuannya. Ia bahkan menasihati
suami puterinya agar tidak segan-segan menampar isterinya. Untungnya Inggris
dan Jepang bukan negara yang mayoritas penduduknya muslim. Jika mereka
negara Islam atau mayoritas penduduknya muslim pastilah protes keras atas


perlakuan tidak beradab pada perempuan itu akan datang bagaikan gelombang
badai.

Aku menengok jam tangan. Pukul 11.35.

“Maaf. Aku harus pergi sekarang. Aku sudah terlambat lima menit dari
rencana,” ucapku pada Alicia dan Aisha sambil bangkit dari duduk.

“Dari jawaban yang kau berikan aku mendapatkan masukan yang sama
sekali baru aku mengerti. Sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin aku
tanyakan kepadamu.Tentang Islam memperlakukan perempuan. Tentang Islam
memperlakukan non-Islam. Tentang Islam dan perbudakan dan lain sebagainya.
Dan aku berharap akan mendapatkan jawaban yang baik dalam perspektif yang
adil,” Alicia mengungkapkan harapannya.

“Saya senang berjumpa dengan orang seperti Anda Nona Alicia. Sebisa
mungkin saya akan memenuhi harapan Anda itu, insya Allah. Tapi terus terang,
bulan ini saya sangat sibuk. Saya harus komitmen dengan jadwal yang telah ada.
Anda tentu bisa memaklumi. Apalagi saya sedang menyelesaikan magister saya.
Jadi terus terang saya akan berusaha mencuri-curi waktu. Saya ada ide.
Bagaimana kalau semua pertanyaan yang ingin Anda sampaikan, Anda tulis saja
dalam sebuah kertas. Anda print. Dan nanti serahkan pada saya. Saya akan
menjawabnya di sela-sela waktu senggang saya. Jika sudah terjawab semua akan
saya serahkan kembali pada Anda. Lalu kita bertemu dalam suatu tempat dan kita
diskusikan masalah yang belum clear. Bagaimana?”

“Saya kira ini ide yang bagus. Saya akan tuliskan pertanyaan saya
secepatnya. Dalam dunia jurnalistik wawancara tertulis lazim juga digunakan.
Terus bagaimana kita bisa bertemu lagi. Meskipun cuma sebentar untuk
menyerahkan pertanyaan-pertanyaan saya itu?”

Aku berpikir sesaat. Mengingat jadwal aku keluar.

“Anda sekarang tinggal di mana?” tanyaku setelah aku ingat jadwal keluar
dari Hadayek Helwan dalam waktu dekat.

“Saya menginap di Nile Hilton Hotel.”

“Sampai kapan?”

“Kira-kira masih sembilan hari di Mesir.”


“Baik. Bagaimana kalau kita berjumpa besok Senin, tepat pukul sebelas
pagi?”

“Okey. Di mana?”

“Di kafetaria National Library. Letaknya di Kornes Nil Street tak jauh dari
hotel Anda. Semua orang Mesir di hotel Anda, yang Anda tanya pasti tahu.”

“Baiklah.”

“Aku boleh datang ‘kan?” sela Aisha.

“Tentu saja,” jawabku dan Alicia hampir bersamaan.

“Kalau begitu aku pamit dulu. Bye!”

Aku beranjak pergi meninggalkan keduanya tepat pada saat sebuah metro
dari Shubra El-Khaima datang. Perlahan berhenti. Perlahan-lahan terbuka.
Kutunggu orang-orang yang turun habis. Baru aku naik. Ada banyak tempat
duduk kosong. Aku pilih paling dekat. Duduk melihat ke arah jendela. Masinis
membunyikan tanda. Ding dung...ding dung! Tanda metro sebentar lagi berjalan.

Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang perempuan menyapaku dengan
bahasa Arab minta izin duduk, “Hal tasmahuli an ajlis!”

Aku menengok ke asal suara. Perempuan bercadar. Aisha! Aku sedikit
kaget. Aku menggeser tempat dudukku. Aisha duduk di sampingku.

“Mau ke mana?” tanyaku. Kali ini kami berbincang dalam bahasa Arab.
Aku berusaha menggunakan kalimat-kalimat fusha yang mudah dipahami
olehnya. Kuhindari bahasa ‘amiyah sama sekali.

“Aku perlu ikut kamu ke Masjid Indonesia,” jawabnya.

“Untuk apa?”

Metro mulai berjalan. Dua menit lagi metro akan melintas di bawah sungai
Nil. Sayangnya pemandangan di luar jendela hanya gelap berseling cahaya lampu
neon menempel di dinding terowongan.

“Aku ingin tahu komunitas orang Indonesia di Mesir. Siapa tahu aku bisa
dapat bahan untuk tesis psikologi sosial S.2.-ku kelak. Aku lagi melengkapi data
tentang masyarakat Jawa. Jadi mumpung ada kesempatan. Aku tidak akan
melewatkan begitu saja. Siapa tahu nanti di masjid ada mahasiswi atau muslimah
Indonesia, aku bisa kenalan. Dan besok-besok jika aku ada perlu, bisa datang
sendiri.”


“O, begitu. Kalau ingin bertemu mahasiswi Indonesia, seandainya di
masjid nanti tidak ada, namun semoga ada, insya Allah aku bisa bantu.”

“Terima kasih. Aku dengar dari paman, di Nasr City banyak mahasiswi
Indonesia.”

“Benar. Mahasiswa Asia Tenggara mayoritas tinggal di sana.”

“Tadi kau bilang mau buat proposal tesis. Boleh tahu rencananya tema apa
yang hendak kau garap?”

“Mungkin Metodologi Tafsir Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi.”

“Ulama pembaru dari Turki itu?”

“Benar.”

“Pasti akan sangat menarik. Kebetulan keluarga kami di Turki adalah
pengikut setia jamaah Syaikh Said An-Nursi rahimahullah.”

“Aku tahu, Eqbal Hakan pernah cerita padaku.”

“Di rumahnya banyak buku-buku karangan Syaikh An-Nursi.”

“Ya. Suatu saat aku akan ke sana jika aku perlu data tambahan.”

“Apa kau yakin sekarang tidak perlu data tambahan?”

“Untuk sekadar proposal mengajukan judul, konsepnya sudah matang dan
tinggal saya ketik. Saya sudah punya empat ratus referensi. Jika diterima oleh tim
penilai, barulah perlu bahan selengkap-lengkapnya untuk penyusunan tesis.”

“Semoga diterima. Jika kelak tesismu jadi siapa tahu bisa diterbitkan di
Turki.”

“Amin.”

Metro sampai di mahattah Dokki. “Kita turun?” tanya Aisha.

“Tidak, mahattah depan. Tapi tidak ada salahnya siap-siap.”

Kami beranjak ke dekat pintu. Kami berdiri berdekatan. Di kaca pintu
metro aku melihat bayanganku sendiri. Sama tingginya dengan Aisha. Mungkin
aku lebih tinggi sedikit. Satu atau dua sentimeter saja. Metro berjalan lagi. Tak
lama kemudian sampai di mahattah El-Behous. Antara mahattah Dokki dan
mahattah El-Behous jaraknya memang tidak terlalu jauh. Keduanya masih dalam
satu kawasan, yaitu kawasan Dokki.

Metro berhenti. Kami turun. Mahattah El-Behous berada sekitar dua puluh
lima meter di bawah tanah. Dengan eskalator kami naik ke atas. Kami keluar ke


permukaan seperti vampire keluar dari sarangnya di siang bolong. Sinar matahari
terasa sangat menyilaukan. Panasnya menyengat dan menyiksa. Cepat-cepat
kuambil kaca mata hitam dari tas cangklongku. Lumayan, untuk menyejukkan
kornea mata. Aku berjalan dengan langkah cepat menuju Mousadda Street. Aisha
mengimbangi langkah dua meter di belakangku. Kami diam seribu bahasa.

11.30.14 waktu Cairo, kami tiba di Masjid Indonesia yang tak lain adalah
lantai dasar sebuah gedung yang disebut Sekolah Indonesia Cairo atau biasa
disebut SIC. Lantai dasar itu cukup luas dan benar-benar layak disebut masjid.
Beberapa kali Bapak Duta Besar Indonesia di Cairo mengundang diplomat negara
lain yang muslim untuk shalat Jum’at di masjid ini. Dari gerbang masjid aku
menangkap suara riuh anak-anak mengeja Al-Qur’an. Mereka adalah putera-puteri
para pejabat KBRI yang belajar mengaji dibimbing oleh mahasiswa dan
mahasiswi Indonesia yang sedang belajar di Al Azhar. Kupersilakan Aisha masuk.

Kulihat ada dua kelompok anak-anak mengaji. Di sebelah selatan dekat
mihrab, kelompok putera dibimbing oleh Fathurrahman dan Hasyim, keduanya
mahasiswa Al Azhar yang mengabdikan diri menjadi takmir. Di sebelah utara,
kelompok puteri dibimbing oleh seorang perempuan bercadar, aku tidak tahu
namanya dan seorang mahasiswi yang aku kenal yaitu Nurul, Ketua Wihdah.
Diam-diam aku salut pada Nurul. Meskipun ia jadi ketua umum organisasi
mahasiswi Indonesia paling bergengsi di Mesir, tapi ia tidak pernah segan untuk
menyempatkan waktunya mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an. Setelah
bersalaman dengan Fathurrahman dan Hasyim, kuajak Aisha menemui Nurul
yang sedang mengajar, dan beberapa kali melihat ke arah kami. Mungkin ia heran
melihat aku datang bersama seorang perempuan bercadar. Selama ini aku dikenal
tidak pernah jalan bersama seorang perempuan mana pun.

Kukenalkan Aisha pada Nurul dan Nurul pada Aisha. Kujelaskan siapa
Aisha pada Nurul dan kujelaskan siapa Nurul pada Aisha. Nurul menyambut
Aisha dengan senyum mengembang. Setelah mereka berbincang beberapa
kalimat, barulah aku minta diri pada mereka untuk mempersiapkan khutbah.
Sebelumnya aku jelaskan pada Aisha jika masih ingin berbincang, selepas shalat
Jum’at ada waktu, meskipun sebentar.


Meskipun telah mandi, aku merasa perlu mandi lagi agar segar kembali.
Musim panas selalu membuatku ingin mandi berkali-kali. Aku langsung ke ruang
takmir yang tidak asing lagi bagiku. Melepas pakaian ganti sarung dan mandi.
Masjid ini bisa dikatakan sangat lengkap peralatannya. Mulai dari peralatan
ibadah, sound system, dan lain sebagainya. Bahkan peralatan dapur pun ada.
Masjid memiliki dapur yang integral dengan dapur SIC. Memang kelebihan
materi jika dialirkan untuk ibadah membuat segalanya jadi indah. Usai mandi aku
kembali ke kamar takmir. Hasyim meminjamkan sarung baru, jas, serban dan
kopiah putih. Aku memang sudah memesannya Jum’at yang lalu. Hasyim sudah
paham, di antara sekian banyak mahasiswa yang mendapat jadwal khutbah hanya
aku yang paling aneh. Datang memakai pakaian santai. Mandi dan merapikan diri
di masjid. Sebab perjalanan dari Hadayek Helwan sampai Dokki cukup memakan
waktu. Aku tidak mau ribet.

Pukul 12.00 pengajian anak-anak selesai. Pukul 12.20 Hasyim membaca
Al-Qur’an dengan mujawwad menunggu jamaah datang. Pukul 12.35 ritual ibadah
shalat Jum’at di mulai. Bapak Duta ada di barisan ketiga. Beliau datang agak
terlambat. Tema khutbah yang diberikan takmir kepadaku adalah ‘Indahnya Cinta
Karena Allah.’ Selesai pukul 13.20. Kami lalu makan bersama di belakang
masjid. Menunya adalah Coto Makasar dan Es Buah.

Usai makan aku mendekati Aisha dan Nurul untuk pamitan. Kutanyakan
pada Aisha apa masih ada yang bisa kubantu. Sebuah pertanyaan basa-basi. Dia
bilang tidak. Kutanyakan apa mau pulang bersama. Sebab jalurnya sama. Sekali
lagi sebuah pertanyaan basa-basi. Dia jawab masih ada yang dibicarakan dengan
Nurul. Lalu Aku teringat Noura.

“Nur, bagaimana kabar Noura?”

“Dia sudah mulai dekat dengan kita-kita dan bisa tertawa.”

“Dia cerita tentang dirinya nggak?”

“Ya. Tapi baru sebatas sekolahnya.”

“Tentang perlakuan keluarganya padanya?”

“Belum.”

“Tolong dekati dia. Sepertinya dia memendam masalah serius. Perlakuan
keluarganya selama ini tidak wajar. Kata Tuan Boutros, kita tidak akan bisa


membantu kalau dia tidak jujur menjelaskan masalahnya. Kenapa malam-malam
sampai dicambuk dan diusir ayahnya. Dia cerita pada Maria, ayah dan dua kakak
perempuan menyuruh dia melakukan suatu pekerjaan yang dia tidak bisa
melakukannya. Pekerjaan apa itu? Dan kenapa dia tidak bisa melakukannya? Apa
masalah dia sesungguhnya. Kalau ayahnya menuntut dia harus kerja untuk dapat
uang, Madame Nahed, ibunya Maria menawarkan dia bisa kerja di kliniknya sore
hari. Tolong Nur, kau dekati dia dan bicaralah dari hati ke hati. Aku paling tidak
tahan kalau melihat ada orang tertindas dan menderita di depan mataku.”

“Insya Allah Kak.”

“Oh ya, ini, untuk biaya makan Noura satu bulan. Semoga cukup,” aku
mengulurkan amplop yang baru kuterima dari takmir.

“Tidak usah Kak.”

“Sudah jangan pakewuh. Kita sama-sama mahasiswa. Kita makan juga
iuran. Kalau uang dapur ngepres kita juga ketar-ketir. Ayo terimalah! Apalagi
Noura orang Mesir, dia tidak bisa selalu makan masakan kalian. Dia harus makan
makanan Mesir dan itu perlu biaya ‘kan? Terimalah!”

Akhirnya Nurul mau menerimanya.

Bagaimana mungkin aku yang sudah merepotkan mereka masih juga
membebankan biaya pada mereka. Dakwah ya dakwah. Ibadah ya ibadah. Tapi
elokkah ongkos dakwah dan ibadah dibebankan orang lain?

Aku jadi teringat sepenggal episode perjalanan hijrah Nabi. Ketika akan
berangkat hijrah ke Madinah beliau diberi seekor onta oleh Abu Bakar. Namun
beliau tidak mau menerimanya dengan cuma-cuma. Beliau mau menerima dengan
syarat onta itu beliau beli. Abu Bakar inginnya memberikan secara cuma-cuma
untuk perjalanan hijrah Nabi. Tapi baginda Nabi tidak mau beban sarana dakwah
dipikul oleh Abu Bakar yang tak lain adalah umatnya. Baginda Nabi tidak mau
menggunakan kesempatan pengorbanan orang lain. Abu Bakar punya keluarga
yang harus dihidupi. Dakwah harus berjalan profesional meskipun pengorbanan-
pengorbanan tetap diperlukan. Dan Nabi mencontohkan profesional dalam
berdakwah. Beliau tidak mau menerima onta Abu Bakar kecuali dibayar
harganya. Mau tak mau Abu Bakar pun mengikuti keinginan Nabi. Onta itu
dihargai sebagaimana umumnya dan Baginda Nabi membayar harganya. Barulah


keduanya berangkat hijrah. Itulah pemimpin sejati. Tidak seperti para kiai di
Indonesia yang menyuruh umat mengeluarkan shadaqah jariyah, bahkan
menyuruh santrinya berkeliling daerah mencari sumbangan dana dengan berbagai
macam cara termasuk menjual kalender, tapi dia sendiri cuma ongkang-ongkang
kaki di masjid atau di pesantren.

Ketika seseorang telah disebut ‘kiai’ dia lalu merasa malu untuk turun ke
kali mengangkat batu. Meskipun batu itu untuk membangun masjid atau
pesantrennya sendiri. Dia merasa hal itu tugas orang-orang awam dan para santri.
Tugasnya adalah mengaji. Baginya, kemampuan membaca kitab kuning di atas
segalanya. Dengan membacakan kitab kuning ia merasa sudah memberikan
segalanya kepada umat. Bahkan merasa telah menyumbangkan yang terbaik.
Dengan khutbah Jum’at di masjid ia merasa telah paling berjasa. Banyak orang
lalai, bahwa baginda Nabi tidak pernah membacakan kitab kuning. Dakwah nabi
dengan perbuatan lebih banyak dari dakwah beliau dengan khutbah dan perkataan.
Ummul Mu’minin, Aisyah ra. berkata, “Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an!” Nabi
adalah Al-Qur’an berjalan. Nabi tidak canggung mencari kayu bakar untuk para
sahabatnya. Para sahabat meneladani apa yang beliau contohkan. Akhirnya
mereka juga menjadi Al-Qur’an berjalan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia
Arab untuk dicontoh seluruh umat. Tapi memang, tidak mudah meneladani akhlak
Nabi. Menuntut orang lain lebih mudah daripada menuntut diri sendiri.

“Nanti kalau ada apa-apa, atau ada yang kurang bilang saja. Juga kalau
Noura sudah menceritakan masalahnya, langsung kontak secepatnya!” kataku
pada Nurul.

Nurul mengangguk. Aku minta diri. Aku berdoa semoga masalah Noura
segera selesai dan gadis malang itu tidak lagi menanggung derita yang
mengenaskan. Bagaimana mungkin seorang ayah tega menyambuk anak gadisnya
sampai mengelupas punggungnya. Di mana rasa kasih sayangnya? Apakah dia
tiada pernah mendengar sabda nabi, siapa yang tidak memiliki rasa kasih sayang
dia tidak akan disayang oleh Allah?

* * *




Dari El-Behous aku langsung ke Attaba. Aku harus mencari hadiah untuk
Madame Nahed dan Yousef menyambut hari istimewa mereka. Meskipun
sederhana, pasti akan jadi kejutan tersendiri, bahwa tetangganya dari Indonesia
memberikan hadiah yang tiada disangka.

Aku ingat acara dunia wanita yang ditayangkan Nile TV. Di antara benda-
benda yang disukai wanita adalah tas tangan. Kurasa tidak salah kalau aku
menghadiahi Madame Nahed dengan tas tangan. Dan untuk Yousef aku akan
belikan kaset percakapan bahasa Perancis dan kamusnya. Kuharap dia senang.
Sebab dia pernah bilang jika kuliah nanti ingin mengambil sastra Perancis.

Attaba adalah pasar rakyat terbesar di Mesir. Semua ada. Harganya relatif
lebih murah dibandingkan tempat yang lain. Meskipun begitu, seni menawar dan
bergurau tetap penting untuk memperoleh harga miring. Orang Mesir paling suka
dengan lelucon dan guyonan. Teater rakyat di Mesir sampai sekarang masih eksis,
penontonnya selalu penuh melebihi gedung bioskop. Itu karena sandiwara
humornya. Film Shaidi Fi Jamiah Amrika atau ‘Orang Kampung di Universitas
Amerika’ adalah film yang sukses besar karena kocaknya. Mona Zaki bintang Lux
Mesir itu tampil kocak di film itu. Aku sering mengumpulkan pepatah-pepatah
kocak Mesir yang membuat orang Mesir akan terkaget dan tertawa saat kuajak
bicara. Mereka akan terheran-heran aku dapat pepatah itu dari mana. Universitas
Al Azhar tidak mungkin mengajarkannya. Pernah, seorang pedagang gendut yang
kelihatannya enak diajak guyon kusapa dengan ‘Ya Kapten, kaif hal waz zaman
syurumburum!” 70 Ia kaget dan terheran-heran. Aku tertawa dia pun tertawa.
Kata-kata syurumburum adalah kata-kata aneh. Cara menyapa aneh ini aku dapat
dari seorang pemilik qahwaji71di Sayyeda Zaenab.

Ohoi, sebetulnya hidup di Mesir sangat menyenangkan. Penuh seni dan
hal-hal mengejutkan.

Di toko tas dan sepatu milik seorang lelaki muda bermuka bundar aku
berhasil membawa tas tangan putih cantik dengan harga 50 pound. Padahal di tiga
toko sebelumnya tas yang sama merk dan bentuknya tidak boleh 70 pound. Itu
karena guyonan renyah. Ketika berbincang-bincang aku tahu dia penggemar aktor
komedi legendaris Ismael Yaseen. Kubilang padanya aku ini cucu Ismael Yaseen.

70 Hei Kapten, apa kabar, zaman kok syurumburum (nggak jelas begini).

71 Kedai kopi.


Lalu aku perlihatkan tingkah, mimik dan gaya bicara seperti Ismael Yasin. Dia
terpingkal. Dan tas itu pun kena. Setelah dapat tas aku mencari kaset dan kamus
untuk Yousef. Kutemukan yang murah di toko kaset Sono Cairo. Dalam
perjalanan pulang di dalam metro ada anak kecil berjualan koran. Aku ambil dua,
Ahram dan Akhbar El-Yaum.

Menjelang Ashar aku tiba di flat dengan tenaga yang nyaris habis dan
darah menguap kepanasan. Benar-benar lemas. Rudi tahu aku pulang dan sangat
kelelahan. Ia membawakan segelas karikade dingin. Rasanya sangat segar.
Meskipun Rudi orang Medan yang kalau berbicara tidak bisa sehalus orang Jawa,
tapi hatinya halus dan penuh pengertian. Melihat bungkusan yang aku bawa dia
penasaran. Ia minta izin membukanya. Dia kaget aku beli tas wanita.

“Untuk siapa ini Mas? Sudah punya calon rupanya? Diam-diam
menghanyutkan. Tapi memang sudah saatnya. Oh iya, tadi Nurul nelpon. Jangan-
jangan dia nih calonnya. Terus ini beli kaset percakapan bahasa Perancis segala,
memangnya mau S.3. ke Sorbonne apa? Aku jadi ingat wawancara di bulletin
Citra bulan lalu, Si Ketua Wihdah itu katanya juga sedang kursus bahasa Perancis
di Ain Syams. Pas buanget. Benarlah kata orang Inggris, love and a cough cannot
be hid. Cinta dan batuk tidak dapat disembunyikan!”

“Sudahlah Akhi. Aku lagi capek sekali. Nanti habis maghrib aku jelaskan
semua. Tidak usah berprasangka yang bukan-bukan.”

Anak muda di mana-mana sama.

Mataku sudah liyer-liyer. Rudi bangkit, “Akh, aku istirahat sebentar. Jam
lima seperempat dibangunkan ya?”

“Kalau ada telpon dari Nurul bagaimana?”

“Sudah jangan terus menggoda.”

“Congratulation Mas. She is the star, she is the true coise, she will be a
good wife!”

Anak ini kalau menggoda tak ada habisnya. Agak keterlaluan sebenarnya.
Tapi aku malas meladeninya. Aku memejamkan mata. Tak perlu kutanggapi
sekarang, nanti juga dia akan tahu yang sesungguhnya.




6. Hadiah Perekat Jiwa



Senja musim panas sungguh indah meskipun tetap tidak seindah musim
semi. Aku membuka jendela kamar lebar-lebar. Semburat mega kemerahan
menghiasi langit. Bau uap pasir masih terasa. Angin bertiup semilir seolah
menghapus hawa panas. Jendela Maria kelihatannya juga terbuka. Habis maghrib
paling enak memang membuka jendela. Membiarkan angin semilir mengalir.
Sayup-sayup aku mendengar Maria bernyanyi.

Kalimatin laisat kal kalimaat!

Ia melantunkan lagu Majida Rumi dengan sangat indah. Suara Maria
memang seindah suara penyanyi tersohor dari Lebanon itu.

Di kamar sebelah Saiful masih membaca An-Naml. Spontan aku
menangkap makna ayat-ayat yang dibaca Saiful. Seekor semut berseru pada
teman-temannya, “Hai semut-semut sekalian cepat masuklah ke dalam liang
kalian. Sebentar lagi Sulaiman dan bala tentaranya akan lewat, kalian bisa terinjak
kaki mereka dan mereka sama sekali tidak merasa menginjak kalian!” Nabi
Sulaiman ternyata mendengar dan mengerti apa yang diucapkan semut itu. Nabi
Sulaiman tersenyum. Aku pun tersenyum.

Aku duduk di depan meja belajar. Menulis beberapa baris kalimat indah
untuk Yousef dan Madame Nahed dalam dua kertas berbeda. Masing-masing
kumasukkan amplop. Dan kumasukkan dalam dua kardus kecil yang siap
kubungkus. Hamdi dan Rudi masuk.

“Katanya mau membuat konferensi pers Mas?” canda Hamdi. Rudi
cengar-cengir.

“Panggil Saiful sekalian!” sahutku tenang. Agaknya Saiful mendengar
pembicaraan kami. Dia menyudahi bacaan Al-Qur’annya dan menyahut, “I’m
coming!”

“Rud, tolong sambil kau bantu membungkus yang satu! Kau ‘kan jagonya
membungkus kado,” pintaku pada Rudi.

“Beres Mas.”

Sambil membungkus kado aku menjelaskan untuk siapa kado ini
sebenarnya. “Kita mengamalkan hadits Nabi, Tahaadu tahaabbu! Salinglah kalian


memberi hadiah maka kalian akan saling mencintai! Ini waktu yang tepat untuk
memberikan kejutan pada tetangga kita yang baik itu. Mereka sering sekali
memberi makanan dan minuman kepada kita. Mereka juga perhatian pada kita.
Jadi begitu sesungguhnya. Bukan untuk calon isteri. Jangan berprasangka sebab
sebagian prasangka itu dosa!”

Mereka semua menganggukkan kepala. Rudi minta maaf. Kubalas dengan
senyum.

“Kapan kado ini akan disampaikan Mas?” tanya Saiful.

“Insya Allah nanti menjelang mereka tidur,” jawabku.

“Bagaimana kita tahu mereka mau tidur?” sahut Hamdi.

“Jika aku mendengar Maria menutup jendela, biasanya dia siap untuk
tidur. Dan Maria bilang mamanya selalu tidurnya lebih lambat darinya.”

* * *

Kira-kira pukul sebelas kudengar suara jendela ditutup. Itu Maria. Dua
menit kemudian kukirim pesan ke nomor handphone-nya:

“Kalau mau tidur jangan lupa doa! Semoga mimpi bertemu Al-Masih.”

Tak lama kemudian datang balasan,

“Bagaimana kamu tahu aku akan tidur?”

Kujawab,

“Firasat orang beriman banyak benarnya.”

“Kau benar. Selamat malam.”

Saatnya telah tiba.

Kuajak teman-teman semua ke atas. Ke rumah Maria. Aku yakin Yousef
dan Madame Nahed belum tidur. Tuan Boutros mungkin baru akan tidur. Kami
menekan bel dua kali. Yousef membuka pintu dan melongok.

“Oh kalian. Ada perlu?” tanya Yousef. Ia belum melihat hadiah yang kami
bawa.

“Mama ada? Kami perlu bicara dengan beliau,” tukasku.

“Ayo masuk.”

Yousef ke dalam memanggil mamanya. Tak lama kemudian Madame
Nahed keluar dengan sedikit kaget. Biasanya kami selalu berurusan dengan Tuan
Boutros atau Maria. Jarang sekali dengan beliau.


“Malam-malam begini mencari saya ada apa ya? Apa ada yang sakit?”
tanya beliau yang memang seorang dokter, tapi tidak praktek di rumah.

“Maafkan kami Madame, jika kedatangan kami mengganggu. Kami
datang untuk mengungkapkan rasa cinta dan hormat kami pada keluarga ini.
Kebetulan kami telah menyiapkan hadiah ala kadarnya. Ini untuk Madame dan
yang satunya untuk Yousef. Hadiah sederhana untuk ulang tahun Madame dan
Yousef. Kami mendoakan semoga Madame dan Yousef bahagia dan berjaya.”
Aku menjelaskan maksud kedatanganku dan teman-teman.

Madame Nahed benar-benar terkejut. Ia menerima hadiah itu dengan mata
berkaca-kaca. Yousef mengucapkan terima kasih tiada terhingga. Setelah itu kami
mohon diri meskipun Madame Nahed ingin kami minum kopi dulu.

“Kami tahu sudah saatnya istirahat. Kami tidak ingin istirahat Madame
dan Yousef terganggu.”

Madame Nahed tidak bisa mengucapkan apa-apa kecuali terima kasih
berkali-kali. Saat kami menuruni tangga, kami mendengar Madame Nahed
berteriak-teriak senang memanggil Maria dan Tuan Boutros. Selanjutkan kami
tidak tahu apa yang terjadi dalam rumah Madame Nahed itu.

Ketika aku bersiap untuk tidur, handphone-ku memekik. Ada pesan
masuk. Kubaca. Dari Maria,

“Apa yang kalian lakukan sampai membuat Mama menangis haru?”

Aku merasa tidak perlu menjawab. Hatiku mengucapkah puji syukur
kepada Tuhan berkali-kali. Tidak sia-sia rasanya panas-panas ke Attaba.

Maria kembali mengirim pesan,

“Hai orang Indonesia, kenapa tidak dijawab? Kau sudah tidur ya?”

Aku jawab, “Ya.”

Apa pesan masuk lagi. Tidak kulihat. Aku harus istirahat. Tiba-tiba
mataku berkaca-kaca aku belum pernah memberikan kado pada ibuku sendiri di
Indonesia. Sebelum kenal Kairo aku adalah orang desa yang tidak kenal yang
namanya kado. Di desa hadiah adalah membagi rizki pada tetangga agar semua
mencicipi suatu nikmat anugerah Gusti Allah. Jika ada yang panen mangga ya
semua tetangga dikasih biar ikut merasakan. Ulang tahun tidak pernah diingat-
ingat oleh orang desa. Yang diingat adalah netu, atau hari lahir menurut hitungan


Jawa, misalnya Kamis Pon, Jum’at Wage dan seterusnya. Pada hari itu, seperti
yang kuingat waktu kecil dulu, ibu akan membuat bubur merah atau makanan
lengkap dengan lauk-pauknya di letakkan di atas tampah yang telah dialasi
dengan daun pisang. Tampah adalah wadah seperti nampan bundar besar yang
terbuat dari bambu Di bawah daun pisang ibu meletakkan uang recehan banyak
sekali. Setelah siap semua teman-temanku dipanggil untuk makan bersama.

Sebelum makan ibu mengingatkan agar kami tidak lupa membaca
basmalah bersama. Jika Mbah San kebetulan ada, ibu akan minta Mbak Ehsan
berdoa dan kami, anak-anak, mengamininya. Barulah kami makan berramai-
ramai. Setelah makanannya habis kami akan membuka daun pisang yang tadi
dibuat alas makan. Lalu kami berebutan mengambil uang receh dengan serunya.
Semua kebagian. Sebab jika ada yang dapat uang lebih dan ada yang tidak dapat
maka sudah jadi kewajiban yang dapat lebih untuk membaginya pada yang tidak
dapat. Biasanya ibu sudah menghitung jumlah anak yang akan diundang dan
uangnya sesuai dengan jumlah anak itu. Jadi semuanya dapat jatah sama.
Sebenarnya kami tahu jatah uang logamnya satu-satu. Tapi selalu saja dibuat
rebutan dahulu. Masa kecil yang seru. Begitulah cara ibu-ibu di desaku
menyenangkan hati anak-anak kecil. Kenangan indah yang tiada terlupakan. Lebih
indah dari pesta meniup lilin dan bernyanyi happy bird day to you.

Pernah ada kiai muda dalam suatu pengajian di surau melarang ibu-ibu
membuat pesta untuk anak-anak seperti itu. Katanya itu bid’ah. Ibu-ibu bingung
dan lapor pada Mbah Ehsan. Mbah Ehsan yang pernah belajar di Pesantren
Mambaul Ulum Surakarta itu hanya tersenyum dan bilang tidak apa-apa, tidak
bid’ah, malah dapat pahala menyenangkan anak kecil. Kanjeng Nabi adalah
teladan. Beliau paling suka menyenangkan hati anak kecil.

Ketika aku sudah sampai Mesir, dan setelah membaca kitab Al I’tisham
karangan Imam Syathibi dan kitab As-Sunnah Wal Bid’ah yang ditulis Syaikh
Yusuf Qaradhawi aku merenungkan kembali jawaban Mbah Ehsan. Sungguh
suatu jawaban yang sangat arif. Sungguh tidak mudah untuk membid’ahkan suatu
perbuatan terpuji yang tiada larangan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Sungguh
tidak bijak bertindak sembarangan menghukumi orang.


Pada kenyataannya, ibu-ibu di desa tidak pernah menganggap pesta pada
netu anaknya sebagai suatu kewajiban agama yang harus dilakukan. Yang jika
dilakukan dapat pahala jika tidak dapat dosa. Atau sebagai ibadah sunah, jika
dilakukan dapat pahala jika ditinggal tidak apa-apa. Tidak ada anggapan itu
masuk bagian dari ajaran agama. Apa yang dilakukan ibu-ibu di desa tak lebih
dari ungkapan rasa sayangnya pada anaknya. Ia ingin anaknya merasa senang.
Dan teman anak-anaknya juga senang. Itu saja.

Orang desa adalah orang yang hidupnya susah dan pas-pasan. Jika punya
kelebihan rizki sedikit saja ingin berbagi kepada sesama. Ibu-ibu ingin
menanamkan hal itu dalam jiwa anak-anaknya. Ketika seorang ibu di desa
memiliki rizki ia ingin membahagiakan anaknya. Membuatkan sesuatu yang
istimewa untuk anaknya. Tapi ia juga ingin anaknya membagi kebahagiaan
dengan teman-temannya. Maka dibuatlah makanan yang agak banyak untuk
dibancak bersama-sama. Adapun itu dipaskan dengan hari netu anaknya adalah
agar anaknya merasa memiliki sesuatu istimewa. Ia merasa dihormati, dicintai dan
disayangi. Hari itu ia merasa memiliki rasa percaya diri. Ia merasa ada sebagai
manusia. Ia didoakan oleh teman-temannya yang mengamini doa Mbah Ehsan.
Atau ia merasa ketika seluruh teman-temannya membaca basmalah bersama-
sama, itu adalah doa mereka untuk dirinya. Pada hari itu anak orang paling miskin
di suatu desa sekalipun akan tumbuh rasa percaya dirinya. Sebab anak orang kaya
ikut serta makan satu nampan dengan seluruh anak-anak yang ada. Anak orang
kaya makan pada nampan yang dibuat ibunya untuk dirinya pada hari
istimewanya. Ia tidak merasa rendah diri. Seluruh anak-anak desa merasa sama.
Makan bersama. Cuil mencuil tempe. Saling tarik menarik secuil rambak. Dan
tertawa bersama. Lalu rebutan uang receh dan saling berbagi. Orang-orang desa
adalah orang-orang susah dan mereka kaya akan cara menutupi kesusahan mereka
dan menyulapnya menjadi kebahagian yang bisa dirasakan bersama-sama.

* * *

Pagi usai shalat shubuh ada orang menekan bel. Ternyata Yousef. Ia
datang untuk sekali lagi mengucapkan terima kasih dan mengabarkan kami
sesuatu,


“Mama ingin membuat pesta ulang tahun kami berdua di sebuah Villa di
Alexandria. Kalian satu rumah kami undang. Semua ongkos perjalanan jangan
dipikirkan Mama sudah siapkan,” ucapnya dengan mata berbinar-binar. Kulihat
wajah teman-teman cerah. Wisata gratis ke Alexandria siapa tidak mau. Lain
dengan diriku. Bulan ini jadwalku padat sekali. Terjemahan belum selesai.
Proposal tesis. Mengaji dengan Syaikh Utsman yang sangat sayang jika aku
tinggalkan, meskipun cuma satu hari. Dan lain sebagainya. Aku merasa tidak bisa
ikut. Tapi aku pura-pura bertanya,

“Kapan?”

“Minggu depan. Menurut ramalan cuaca sudah tidak terlalu panas.
Rencananya berangkat Sabtu, setengah dua siang. Menginap di sana semalam.
Minggu sore sebelum maghrib baru pulang. Bagaimana, kalian bisa ‘kan? Kalian
‘kan masih libur?” kata Yousef.

Meskipun wajah teman-teman tampak cerah, tapi mereka tidak spontan
menjawab. Mereka sangat menghargai diriku sebagai kepala rumah tangga dan
sebagai yang tertua.

“Kurasa teman-teman bisa ikut. Tapi mohon maaf, saya tidak bisa. Sebab
jadwal saya padat sekali. Terus terang saya sedang menyelesaikan proyek
terjemahan dan sedang menggarap proposal tesis. Sampaikan hal ini pada Mama
ya?” jawabku.

“Mas, kenapa tidak diluangkan satu hari saja sih. Kasihan mereka ‘kan?”
sahut Rudi.

“Rud, semua orang punya skala prioritas. Banyak hal penting di hadapan
kita, tapi kita tentu memilih yang paling penting dari yang penting. Aku punya
kewajiban menyelesaikan kontrak. Itu yang harus aku dahulukan daripada ikut ke
Alex. Jika ada rencana yang tertunda dua hari saja, maka akan banyak rencana
yang rusak. Tolonglah pahami aku. Silakan kalian ikut aku tidak apa-apa.
Sungguh!” jelasku mohon pengertian teman-teman satu rumah. Yousef mengerti
semua yang aku katakan sebab Rudi dan aku mengatakannya dalam bahasa Arab.

“Baiklah. Akan aku sampaikan ini pada Mama,” ujar Yousef sambil
bangkit minta diri. Aku beranjak ke kamar untuk menyalakan komputer.


Sementara Saiful ke dapur untuk piket masak. Rudi dan Hamdi tetap di ruang
tamu membaca-baca koran yang kemarin kubeli.

Baru saja aku mengetik tujuh baris. Bel kembali berbunyi.

“Mas Fahri, Yousef!” teriak Hamdi.

Aku bergegas ke depan.

“Begini Fahri. Setelah aku beritahukan semuanya, Mama memutuskan
untuk membatalkan rencana ke Alex,” ucap Yousef dengan kerut muka sedikit
kecewa.

“Kenapa?”

“Karena kau tidak bisa ikut.”

“Kan acara tetap bisa berjalan dengan baik tanpa keikutsertaanku.”

“Pokoknya itu keputusan mama.”

“Ana asif jiddan! Wallahi, ana asif jiddan!72” ucapku sedih. Sebetulnya
aku tidak ingin mengecewakan siapapun juga.

“Tak apa-apa. Mama ingin menggantinya dengan sebuah acara yang tidak
akan menyita waktu banyak. Dan untuk acara ini mama minta dengan sangat
kalian bisa ikut semua. Sekali lagi dengan sepenuh permohonan, tidak boleh ada
yang tidak bisa.”

“Acaranya apa, dan kapan?”

“Kami sekeluarga akan mengajak kalian sekeluarga ke sebuah restaurant
di Maadi untuk makan malam. Kalian tidak boleh menolak. Begitu pesan mama.”

Aku berpikir sejenak.

“Sudahlah Mas. Untuk yang ini sedikit toleranlah. Masak jadwal
menerjemahnya ketat buanget sih!” desak Hamdi.

“Baiklah. Insya Allah, kami sekeluarga bisa. Jam berapa kita berangkat?”
kulihat wajah Yousef lebih cerah. Ia tersenyum.

“Setelah kalian shalat maghrib kita langsung berangkat. Biar tidak
kemalaman,” ucapnya senang.

“Waktu yang tepat sekali,” gumamku.

“Kalau begitu aku naik dulu. Terima kasih atas kesediaannya.”

“Terima kasih atas ajakannya.”

72 Aku menyesal sekali. Demi Allah, saya sangat menyesal.


Hamdi, Rudi, dan Saiful tersenyum riang.

“Wah lumayan. Pengiritan uang dapur,” kata Saiful.

“Sekali-kali kita makan di restaurant mewah, masak cuma bisa makan
qibdah 35 piaster,” sahut Rudi.

“Memang enaknya punya tetangga baik,” tukas Hamdi.

“ Hei, jangan lupa sama teman. Si Mishbah diberi tahu suruh pulang.
Harus sampai rumah sebelum maghrib.” Selorohku sambil berjalan masuk kamar
untuk kembali menerjemah. Tak lama kemudian kudengar Si Hamdi berbicara di
telpon. Mishbah akan pulang selepas shalat ashar.

Baru lima halaman Rudi berteriak, “Mas Fahri telpon from the true coise!”
Rudi itu masih meledek aku rupanya ia menyebut Nurul “the true coise”. The true
coise bagi siapa? Aku mendesah panjang. Pagi-pagi mau tenang sedikit saja tidak
bisa. Kuangkat gagang telpon, “Halo. Siapa ya?”

“Alah, udah tahu pura-pura tanya pula!” celetuk Rudi dengan logat
Medannya yang membuat telingaku terasa gatal. Anak ini resek sekali.

“Ini Nurul. Ini dengan Kak Fahri ya?” suara di seberang sana.

“Ya. Kemarin katanya nelpon ya?Ada apa?”

“Ah enggak. Kemarin sebetulnya ada yang ingin Nurul tanyakan, tapi
jawabannya sudah ketemu.”

“Lha ini nelpon ada apa?”

“Tentang Noura.”

“Ada apa dengan Noura?”

“Tadi malam dia sudah menceritakan semuanya pada saya. Dia memang
gadis yang malang. Ceritanya sangat mengenaskan.”

“Bagaimana ceritanya?”

“Maaf Kak, aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Sangat panjang.”

“Oh aku paham. Kau tutup saja telponmu. Biar aku yang telpon.”

“Bukan pulsa masalahnya Kak.”

“Terus enaknya bagaimana?”

“Sore nanti kami, pengurus Wihdah diundang Pak Atdikbud di rumahnya
yang dekat SIC. Kakak bisa nggak ke SIC jam lima?”

“Sayang nggak bisa Nur.”


“Terus bagaimana?”

“Minggu-minggu ini jadwalku padat. Susah meluangkan waktu buat
appoinment baru. Bagaimana kalau segala yang diceritakan Noura kau tulis saja
semuanya. Pakai tulisan tangan tidak apa-apa. Kulihat cerpenmu pernah nampang
di bulletin Citra. Kayaknya lebih praktis. Lebih enak. Tapi kalau bisa secepatnya.”

“Akan Nurul usahakan. Kapan Kakak ingin mengambilnya?”

Aku berpikir sejenak. Kapan aku akan keluar ke Nasr City. Satu minggu
lagi. Terlalu lama. Oh ya, aku ingat, Mishbah masih di wisma dia akan pulang
selepas shalat ashar. Dan Rudi setelah makan pagi nanti akan pergi ke Wisma
untuk diskusi.

“Kalau kau bisa menulisnya sekarang juga, habis zhuhur aku bisa minta
teman untuk mengambilnya.”

“Insya Allah bisa. Siapa nanti yang mengambil Kak?”

“Kalau tidak Mishbah ya Rudi.”

“Bilang jangan lebih jam tiga. Aku sudah tidak dirumah. Itu saja Kak ya.”

“Terima kasih Nur.”

“Kembali.”

Aku menutup gagang telpon dengan hati penasaran. Apa sesungguhnya
yang dialami oleh gadis Mesir yang lemah lembut bernama Noura itu. Aku
berharap nanti sore atau nanti malam sudah mengetahuinya.




7. Di Cleopatra Restaurant



“Dia benar-benar anak pelacur sial! Dia benar-benar anak setan! Anak tak
tahu diuntung. Kalau sampai tampak batang hidungnya akan kurajah-rajah
mukanya biar tahu rasa!”

Kami mendengar Si Muka Dingin Bahadur menyumpah serapah dari
dalam flatnya dengan suara seperti guntur. Entah ada apa lagi. Lalu kami
mendengar suara perempuan membentak tak kalah sengitnya. Ia menyalahkan Si
Muka Dingin dan memakinya habis-habisan. Itu mungkin suara Madame Syaima,
isteri Si Muka Dingin. Madame Syaima tidak terima dibilang pelacur. Lalu
terdengar tamparan dan jeritan. Beberapa barang pecah. Kami berlima sudah
sampai di halaman. Baru Yousef yang turun menyusul. Pakaiannya fungky betul.
Tuan Boutros, Madame Nahed dan Maria belum turun.

“Maaf ya agak terlambat. Biasa, perempuan dandan dulu,” kata Yousef.

Kami manggut-manggut saja. Tak lama kemudian Tuan Boutros, Madame
Nahed dan Maria tampak menuruni tangga apartemen satu persatu. Mereka
berjalan mendekati kami. Tuan Boutros tampak lebih muda dari biasanya. Ia
memakai kemeja warna krem dengan lengan dilingkis. Madame Nahed
berpenampilan seperti aristokrat Perancis. Pafumnya menyengat. Ini yang aku
tidak suka. Wanita Mesir kalau memakai parfum seolah harus tercium dari jarak
seratus meter. Yang paling menawan tentu saja Maria. Dengan gaun malam merah
tua dan menggelung rambutnya ia terlihat sangat cantik. Wajah pualamnya seperti
bersinar di kegelapan malam. Mereka benar-benar siap ke pesta. Kami berlima
berpakaian biasa saja. Si Rudi malah memakai celana trening warna biru muda.
Trening yang terkadang buat main sepak bola. Memang benar-benar seadanya.

Tuan Boutros mengatur siapa yang ikut mobilnya dan siapa yang ikut
mobil Yousef. Keluarga itu memang memiliki dua mobil. Jeep Cheroke hijau
metalik yang biasa dibawa Tuan Boutos kerja dan sedan forsa hitam yang
seringkali dibawa Yousef. Empat orang dari kami ikut mobil Yousef. Madame
Nahed dan Maria ikut Tuan Boutros. Aku melangkah ke arah mobil Yousef.
Namun Tuan Boutros memanggil, “Fahri, kau ikut aku!”

“Ya, kau naik sini Fahri!” seru Madame Nahed.


Terpaksa aku belok ke mobil Cheeroke. Madame Nahed naik di depan dan
duduk di samping Tuan Boutros. Maria di belakang. Masak aku harus duduk di
samping Maria. Dan parfumnya itu. Nuraniku tidak setuju. Satu mobil tak apa,
tapi selama tempat duduk bisa di atur lebih aman di hati kenapa tidak. Aku
mendekati Madame Nahed dan berbicara dengan halus,

“Maaf Madame, boleh saya duduk di depan. Saya ingin berbincang-
bincang dengan Tuan Boutros selama dalam perjalanan.”

Madame Nahed tersenyum, “Oh ya, dengan senang hati.”

Dia lalu turun dan pindah ke belakang duduk di samping puterinya. Aku
naik dan duduk di samping Tuan Boutros. Belum sempat Tuan Boutros
menyalakan mesin terdengar suara Si Muka Dingin memanggil dengan suara
mengguntur,

“Hai Boutros tunggu!”

Kami semua menoleh ke asal suara. Si Muka Dingin datang dengan
tergopoh.

“Di mana Noura kau sembunyikan, Boutros!”

Kami berpandangan. Si Muka Dingin telah berdiri di dekat Tuan Boutros.
Dengan tenang Tuan Boutros menjawab, “Apa saya tidak memiliki urusan yang
lebih penting dari mengurusi anakmu, heh?”

“Kau pasti tahu di mana Noura berada?”

“Siapa yang peduli dengan anakmu?”

“Malam itu sebelum tidur Mona melihat Maria turun menghibur Noura di
jalan. Kalian pasti tahu sekarang di mana Noura berada!”

“Malam itu malam itu apa? Aku tidak tahu! Kalau begitu tanya saja sama
Maria. Jangan tanya aku!”

“Hai Maria bicara kau! Kalau tidak kusumpal mulutmu dengan sandal!” si
Muka Dingin menyalak keras seperti anjing.

Dadaku panas sekali mendengar kalimat Si Muka Dingin yang tidak tahu
sopan santun ini. Tuan Boutros kulihat menggerutukkan giginya, ia tentu marah
puterinya dibentak kasar begitu, tapi mukanya tetap tenang memandang ke depan.
Ia tidak menjawab sepatah kata pun.


“Tuan Bahadur, memang benar, malam itu aku turun menghibur Noura.
Tapi Noura tidak bisa dihibur. Ia menangis terus dan tidak berbicara sepatah kata
pun padaku. Aku jengkel, lalu ya kutinggal dia. Setelah itu aku tidak tahu kemana
dia. Kukira dia kembali ke rumah Anda.”

“Hmm...jadi begitu. Anak itu memang keras kepala dan menjengkelkan
bukan? Kau saja dibuat jengkel. Aku ayahnya dibuat jengkel setiap hari. Kalau
ketemu akan kubunuh anak itu biar tidak membuat jengkel lagi!”

“Sudah cukup bicaramu Bahadur? Kami ada urusan!” Kata Tuan Boutros.

Si Muka Dingin tidak menjawab. Ia hanya pergi begitu saja sambil
mengepalkan tinjunya, ia mendesis “Kalau kembali anak itu akan kukuliti biar
tahu rasa!”

“Puji pada Tuhan, Si Brengsek itu tidak macam-macam.” Madame Nahed
mendesah lega. Tuan Boutros cepat-cepat menyalakan mesin. Lalu perlahan
menjalankan mobil meninggalkan halaman apartemen dibuntuti oleh Yousef.
Selama dalam perjalanan Tuan Boutros banyak bercerita tentang hal
menjengkelkan Si Muka Dingin. Aku meminta beliau tidak usah meneruskan.
Aku minta topik pembicaraan yang menarik, yang mengasyikkan, yang
menyenangkan seirama dengan malam kebahagiaan Madame Nahed. Maria
memuji usulku. Madame Nahed lalu bercerita tentang Maria kecil. Hal-hal kecil
yang Maria lakukan. Maria sesekali menjerit manja minta mamanya tidak
meneruskan. Ia malu katanya. Tapi Madame Nahed malah seperti tertantang untuk
menceritakan semakin banyak. Tuan Boutros sekali menimpal kisah yang
diceritakan isterinya. Maria jadi lakon. Aku diam saja. Hanya sesekali bertanya,
benarkah? Maria akan langsung menyahut, tidak benar, mama bohong! Madame
Nahed dan Tuan Boutros akan menyahutnya dengan tawa terpingkal-pingkal.

“Maria ini waktu kecil sampai umur empat tahun masih menetek. Umur
lima tahun masih ngompol apa nggak menyebalkan!” kata Madame Nahed
memperolok puterinya.

“Benarkah itu?” sahutku santai sambil memandang sinar purnama yang
keperakan di atas riak sungai Nil yang memanjang di samping kiri jalan.

“Ah itu bohong. Tak mungkin itu terjadi!” tukas Maria cepat setengah
teriak.


“Itu benar. Kalau tidak percaya nanti kalau bibinya yang bernama Latefa
datang tanyakan padanya,” kata Tuan Boutros membela isterinya.

“Itu bukan sesuatu yang tidak baik. Tidak apa-apa. Menetek pada ibu
dalam waktu yang lama malah membuat cerdas. Begitu yang kubaca pada sebuah
majalah,” sahutku.

Maria berterima kasih padaku karena aku membelanya.

Akhirnya Tuan Boutros memarkir mobilnya di halaman sebuah restaurant
mewah. Cleopatra Restaurant. Terletak di pinngir sungai Nile. Bersebelahan
dengan Good Shot dan Maadi Yacht Club. Pantas saja mereka berpakaian dan
berpenampilan serius. Kami berlima berpandang-pandangan.

“Santai saja. Kita ini turis. Turis ‘kan biasa berpakaian santai?” bisik
Hamdi dalam bahasa Indonesia.

“Tapi masak pakai trening yang sudar pudar warnanya begitu?” lirih Saiful
sambil meringis memandang Rudi. Aku tersenyum. Baru kali ini kulihat Rudi
tidak percaya diri. Muka anak Medan ini seperti kepiting rebus. Di antara kami
berlima yang berpakaian paling mengenaskan memang dia. Hamdi lumayan necis,
tapi sandal kulit bututnya membuat hati yang melihatnya tidak tahan. Sudah
berkali-kali aku mengingatkan agar keduanya membuang jauh-jauh adat klowor
yang mereka bawa dari pesantren tradisional. Tapi mereka masih saja suka
klowor, padahal baginda Nabi mencontohkan kerapian, kebersihan dan
penampilan yang meyakinkan. Memang tidak mudah merubah watak dan gaya
hidup. Namun Rudi dan Hamdi jauh lebih baik dari saat pertama kali aku
mengenal dan serumah dengannya. Sekarang sudah mulai bisa membagi waktu
dan disiplin. Kalau mau diskusi mau menyeterika baju biar sedikit rapi. Tapi aku
sangat menyayangkan mereka tadi tidak mau mendengar nasihatku agar
berpenampilan sedikit necis. Mereka hanya menyahut, “Alah cuma mau makan
saja kok repot-repot!”

Untung Saiful dan Mishbah mengerti nasihatku. Aku sendiri berpakaian
tidak bagus sekali namun juga tidak akan memalukan. Kaos katun hijau muda dan
rompi santai hijau tua, warna kesayangan. Tak kalah fungkynya dengan Yousef .

Tuan Boutros membawa kami masuk restoran dan memilihkan tempat
duduk yang paling menjorok ke sungai Nil seperti dek kapal. Terbuka tanpa atap,


bintang-bintang kelihatan. Restauran ini ada dua bagian. Bagian tertutup dan
bagian terbuka. Mejanya juga beraneka. Namun warnanya sama. Ada yang untuk
dua orang. Empat orang. Dan ada yang bundar untuk enam orang. Kami memilih
dua meja bundar yang berdekatan. Tuan Boutros, Madan Nahed, dan Maria telah
duduk satu meja terlebih dahulu. Aku mengajak Yousef duduk di meja yang
satunya. Teman-teman mengikuti aku. Pas enam orang. Tuan Boutros meminta
satu di antara kami duduk satu meja dengan mereka. Kusuruh Rudi. Dia tidak
mau. Kupaksa Saiful. Dengan agak ragu-ragu akhirnya dia beranjak juga. Kulihat
para pengunjung yang ada. Mereka berpakaian bagus-bagus. Ada sepasang orang
bule. Yang lelaki pakai jas yang perempuan pakai gaun malam resmi. Di pojok
kanan orang Mesir gemuk botak dengan isterinya. Keduanya rapi. Yousef berbisik
kepadaku, “Ini restauran orang besar. Para diplomat dan bisnisman sering kemari.
Lihat siapa yang ada di meja dekat lampu hias itu, kau pasti mengenalnya!”

Aku melihat ke arah yang ditunjukkan Yousef. Aku nyaris tidak percaya
dengan apa yang kulihat. Di sana ada Adel Imam dan Yusra sedang menyantap
makanan dan berbincang. Dua artis Mesir itu makan malam di restauran ini.
Teman-teman melongok ke arah keduanya. Yousef mengingatkan, “Jangan terlalu
kelihatan heboh! Restauran ini menjaga ketenangan dan kenyamanan
pelanggannya.”

Seorang pelayan menanyakan menu. Madame Nahed berkata kepada kami,
“Silakan pilih sendiri menunya. Jangan malu-malu. Hai Hamdi, kau pilih apa?”

Hamdi bingung. Ini baru pertama kalinya dia makan di restauran elite.
Menunya juga asing semua.

“Semua masakan khas Timur Tengah ada,” bisik Yousef.

Tiba-tiba Saiful beranjak mendekati aku dan berbisik, “Mas, tolong kau
saja yang satu meja dengan Tuan Boutros, aku tidak enak. Aku tidak bisa bicara
banyak.”

Wajahnya kulihat pucat. Aku merasa kasihan juga melihatnya. Kalau dia
sampai malu, dan pulang masih lapar padahal baru saja dari restauran besar, apa
tidak kasihan. Aku jadi teringat dengan cerita teman satu pondok dulu. Namanya
Bayu. Pakdenya dari ibu dapat isteri kalangan keraton Kasunanan dan tinggal di
kawasan elite Jakarta. Suatu kali ia liburan ke tempat Pakdenya itu. Di sana semua


serba teratur. Waktu tidur, waktu belajar, waktu istirahat, baju tidur, baju santai,
dan makannya juga teratur waktu dan tata caranya. Saat itu dia kelas tiga SMP.
Dia yang biasa di desa serba tidak teratur jadi grogi. Biasa makan tanpa sendok
tanpa meja makan, tanpa garpu dan lain sebagainya jadi serba grogi. Dia
sebenarnya ingin tambah karena masih lapar, tapi tidak berani. Padahal menunya
sangat nikmat. Menu yang jarang sekali ia makan di desanya. Ia takut untuk
tambah. Ketika hendak tidur ia merasa masih lapar. Ia tidak bisa tidur dengan
perut lapar. Akhirnya ia minta izin pada Pakdenya untuk keluar rumah sebentar. Ia
pergi ke warteg dan makan sampai kenyang. Ternyata anak pakdenya yang paling
besar melihatnya saat baru pulang dari rumah temannya. Ia pun ditanya sama
budenya kenapa jajan padahal telah tersedia banyak makanan, apa makanan di
rumah budenya tidak enak? Ia tidak bisa menjelaskan, malah menangis. Aku tidak
mau teman-teman mengalami nasib tragis seperti Bayu kecil itu.

Sebelum beranjak ke meja Tuan Boutros, aku berpesan pada teman-teman
dengan bahasa Indonesia, “Nanti makan yang banyak santai saja. Jika masih ingin
tambah ya tambah saja seperti di rumah sendiri.”

Tuan Boutros heran Saiful pindah tempat duduk. Kubilang ia ingin
berbincang dengan Yousef. Tuan Boutros menganggukkan kepala.

Pelayan restauran beralih mendekati aku dan bilang,

“Anda pesan apa? Teman-teman Anda ikut Anda?”

Madame Nahed tersenyum. Maria kelihatannya ingin tahu aku suka menu
apa. Untung aku pernah diajak makan malam ke sebuah restauran tak kalah
elitenya di Mohandesen oleh Bapak Atdikbud yang jadi ketua takmir masjid
Indonesia di Cairo. Jadi, aku tidak merasa asing sekali dengan menu yang tertulis.

“Minumnya Seasonal Fresh Fruits. Makannya Chicken Mugharabieh with
Valanciane Rice dan menu penutupnya minta Pineapple Gateau,” kataku mantap.
Itu adalah menu yang dipilih Ibu Atdikbud yang waktu itu tidak aku rasakan.
Sebab waktu itu aku memilih menu utama Onion and Cheese Omelette yang tak
jauh beda dengan telur dadar, cuma lebih besar dan tebal. Waktu itu aku sedikit
menyesal memilih menu yang keliru. Ih jadi geli mengingatnya. Sekarang aku
yakin sekali, aku tidak keliru pilih menu.


“Fathi, kau memilih menu kesukaanku,” komentar Maria, ia lalu bilang
pada pelayan, “aku sama dengan dia.” Tuan Boutros pilih Lamb Stew sedangkan
Madame Nahed pesan Chicken Kofta with Tomato Sauce dan Yousef suka Kabab
Lahmul Ghanam73. Begitu hidangan tersedia kami menyantap dengan tenang
sambil menikmati semilir angin sungai Nil dan sesekali melihat riang
gelombangnya yang keperakan diterpa sinar rembulan. Ketika kami sedang asyik
makan seorang lelaki berdasi menghampiri Tuan Boutros. Tuan Boutros berdiri
dan berjabat tangan.

“Fahri, this is Mr. Rudolf from German, and Mr. Rudolf, this is Fahri
from Indonesia!” Tuan Boutros memperkenalkan kenalannya dengan pengucapan
yang sangat berlogat Arab.

Mr. Rudolf menjabat tanganku erat.

“Pleased to meet you Mr. Rudolf.” Sapaku pada bule di hadapanku dengan
tersenyum. Lalu aku berbasa-basi padanya dengan bahasa Jerman, “Sin Sie
Tourist?”74

Mr. Rudolf agaknya terkejut mendengar pertanyaanku.

“Nein. Sprechen Sie Deutsch?”75 Mr. Rudolf balik bertanya dengan nada
heran apa aku bisa berbahasa Jerman.

“Ja.” Jawabku sambil tersenyum. Lalu kami berbincang sesaat lamanya
dengan bahasa Jerman. Ia menerangkan dirinya adalah staf ahli atase perdagangan
Jerman di Kairo. Dia bertanya apa aku seorang diplomat. Kujelaskan statusku di
Mesir. Tuan Boutros menawarkan pada Mr. Rudolf untuk duduk bersama kami.
Mr. Rudolf mengucapkan terima kasih, ia ditunggu isterinya di meja yang lain,
lalu beranjak pergi. Madame Nahed menanyakan di mana aku belajar bahasa
Jerman. Dan menyayangkan Tuan Boutros yang tidak bisa berbahasa Jerman
padahal banyak koleganya yang berasal dari Jerman. Maria mengusulkan agar
ayahnya belajar bahasa Jerman padaku saja. Tuan Boutros hanya tersenyum
mendengar celoteh isteri dan puterinya.

Usai makan kami tidak langsung pulang. Madame Nahed memesan
koktail dan mengajak kami semua ke bagian dalam, di sana ada hiburan musik

73 Sate kambing.

74 Apakah Anda turis?

75 Tidak, kau bisa bicara bahasa Jerman?


klasik. Aku sebenarnya ingin langsung pulang. Tapi Madame Nahed dan Tuan
Boutros memaksa, “Kita lihat sebentar saja.”

Di bagian dalam, di tengah ruangan ada panggung kecil setinggi setengah
meter. Bentuknya bundar. Di atas panggung bundar itu ada seorang perempuan
muda berambut pirang menggesekkan biola dengan penuh penghayatan.

“Yang ia mainkan sekarang ini karya Bedhoven. Perempuan itu pemain
biola terkenal dari Rumania.” Seorang pelayan restoran berkata pada seorang
wanita setengah baya yang berada tak begitu jauh dariku.

Satu lagu selesai. Pengunjung bertepuk tangan. Pemain biola perempuan
itu kembali menggesek biolanya. Kali ini bernada riang. Beberapa orang
pengunjung berdiri dari kursinya menuju ke dekat panggung. Mereka berdansa.
Orang Mesir botak yang tadi kulihat juga berdansa dengan isterinya.

Tuan Boutros meraih tangan Madame Nahed. Madame Nahed tersenyum
dan menengok pada Maria, “Maria, ayo cobalah kau berdansa. Sekali ini saja.
Coba ajak Fahri atau siapa terserah!”

Aku terkejut mendengarnya. Tuan Boutros menimpal, “Ya Fahri, Maria itu
tidak pernah mau berdansa. Coba kau ajak dia! Mungkin kalau kau yang
mengajak dia mau.”

Aku diam. Kulirik teman-teman. Mereka senyam-senyum. Tuan Boutros
dan Madame Nahed sudah larut dalam irama musik dan berdansa mesra. Maria
mendekatiku.

“Fahri, mau coba berdansa denganku? Ini kali pertama aku mencoba
berdansa,” lirihnya malu. Aku harus berbuat apa. Apakah aku harus ikut budaya
Eropa. Aku teringat kisah awal-awal Syaikh Abdul Halim Mahmud muda saat
belajar di Perancis. Beliau juga mendapat godaan yang tidak jauh berbeda dengan
aku saat ini. Dan Syaikh Abdul Halim Mahmud muda mampu melewati ujian itu
dengan baik. Beliau yang dikenal sebagai ulama sufi modern yang arif billah itu
akhirnya dipilih sebagai Grand Syaikh Al Azhar. Jika ada ahli ibadah dan wali di
puncak gunung tanpa godaan itu bukan sesuatu yang mengagumkan. Tapi jika ada
ahli ibadah bisa berinteraksi dengan baik di tengah kota metropolitan dengan
segala hiruk pikuk budaya hedonisnya itu mengagumkan. Begitu Syaikh Ahmad
berkata padaku. Tawaran Maria bagi seorang pemuda adalah tawaran menarik.


Siapa tidak suka bergandeng tangan dan berdansa dengan gadis secantik dia. Di
sinilah letak ujiannya.

“Maaf aku tidak bisa,” jawabku sambil tersenyum dan menangkupkan dua
tangan di depan dada.

“Sama, aku juga tidak bisa. Kita belajar bersama pelan-pelan. Mari kita
coba!” sahut Maria yang belum memahami sepenuhnya penolakanku.

“Maafkan aku Maria. Maksudku aku tidak mungkin bisa melakukannya.
Ajaran Al-Qur’an dan Sunnah melarang aku bersentuhan dengan perempuan
kecuali dia isteri atau mahramku. Kuharap kau mengerti dan tidak kecewa!”
terangku tegas. Dalam masalah seperti ini aku tidak boleh membuka ruang
keraguan yang membuat setan masuk ke dalam aliran darah.

“Oh begitu. Maaf, aku tidak tahu. Kalau tahu, aku tak mungkin
menawarkan hal ini kepadamu. Aku salut atas ketegasanmu menjaga apa yang kau
yakini,” kata Maria. Tak ada gurat kecewa di wajahnya.

“Maria aku keluar dulu. Aku mau menikmati keindahan sungai Nil. Jika
ayahmu sudah selesai panggil saja aku di luar,” pesanku pada Maria sebelum aku
melangkah keluar. Yousef dan teman-teman membuntutiku. Lima belas menit
kemudian Maria memanggil kami untuk pulang. Pukul 22.45 kami sampai di
halaman apartemen. Teman-teman memuji menu yang kupilihkan. Aku yakin
mereka kenyang.

* * *

Sampai di flat teman-teman tidak langsung tidur, mereka berbincang di
ruang tamu. Sementara aku masuk kamar dan membaca surat Nurul yang
mengisahkan apa yang dialami oleh Noura yang malang.

Nurul menulis, bahwa Noura mengaku sampai berumur delapan tahun
sangat bahagia dan disayang ayah ibunya yaitu Si Muka Dingin Bahadur dan
Madame Syaima. Keduanya bahkan sangat menyayanginya melebihi dua
kakaknya. Dia memang berbeda dengan kedua kakaknya. Sejak kecil dikenal
cerdas, berkulit putih bersih, berambut pirang, lincah dan cantik. Tidak seperti dua
kakaknya yang hitam seperti orang Sudan. Petaka itu datang ketika kakak
sulungnya Mona pulang dari sekolah dan menangis sejadi-jadinya. Setelah
dibujuk ayah dan ibunya Mona mengaku dihina oleh teman satu bangkunya di


sekolah. Mona dihina sebagai anak syarmuthah. Hinaan itu disebar ke seluruh
kelas. Temannya itu mengatakan, ‘Tidak mungkin ibumu itu tidak melacur.
Buktinya adik bungsumu berkulit putih bersih dan berambut pirang. Dari mana
bisa begitu kalau tidak melacur dengan orang lain. Ayahmu ‘kan kulitnya hitam
dan negro seperti kamu dan ibumu!” tak ayal itu adalah penghinaan yang sangat
menyakitkan. Pada hari yang sama ayahnya sedang dipecat dari kerjanya di pabrik
baja. Dan pecahlah prahara itu. Malam harinya ayahnya memaki-maki ibunya dan
mencelanya sebagai pelacur. Ayahnya sejak itu tidak lagi menyayanginya.
Apalagi sebelumnya memang seringkali orang heran dengan ketidaksamaan
Noura dengan kedua orang tua dan kakaknya. Sejak itu Noura jadi bulan-bulanan
kedua kakaknya dan ayahnya. Ibunya seringkali melindungi dirinya. Namun
ketika ayahnya membawa perempuan lain yang cantik dan tidak hitam ke rumah,
ibunya menjadi terganggu pikirannya. Ia jadi seperti orang tidak waras. Kadang
menangis, marah, ngomel sendiri dan lain sebagainya. Kadang menyayangi Noura
dan terkadang tidak jarang ikut menyakitinya. Ayahnya akhirnya dapat pekerjaan
sebagai tukang pukul di sebuah Nigh Club yang mengapung di atas sungai Nil.
Mona, kakak sulungnya ikut kerja di sana. Sedangkan Suzan katanya kerja di
sebuah losmen di Sayyeda Zaenab. Berangkat menjelang maghrib dan pulang
sekitar jam dua dini hari. Menurut bisik-bisik para gadis tetangga kedua kakak
Noura itu kerjanya tak lain adalah menjual diri. Beberapa kali Noura melihat
Mona membawa teman lelaki ke rumah dan diajak tidur di kamarnya. Ayahnya
malah senang, sedangkan ibunya sudah semakin buruk ingatannya meskipun
sesekali datang kesadarannya dan menatapi nasib dirinya dan nasib Noura. Di
rumah itu Noura diperlakukan layaknya pembantu rumah tangga. Memasak,
mencuci, mengepel semua tanggung jawab Noura. Untungnya Noura masih
dibolehkan ayahnya sekolah di Ma’had Al Azhar, itu pun karena sekolah di sana
gratis dan kalau pulang agak terlambat akan mendapatkan hukuman dari ayah dan
kedua kakaknya. Beragam bentuk siksaan ia terima dari orang yang ia anggap
keluarganya. Puncak derita Noura adalah enam bulan terakhir ini, ketika ayahnya
memaksanya dia agar ikut bekerja di Night Club seperti kakaknya. Bahkan
ayahnya dapat tawaran dari manajernya agar Noura mau jadi penari perut tetap di
Night Clubnya. Bos ayahnya memang pernah ke rumahnya sekali dan melihat


Noura. Ayahnya pada waktu itu cerita pada bosnya kalau Noura saat TK dulu
pernah menang lomba menari. Jelas Noura tidak bisa memenuhi keinginan
ayahnya itu. Sejak itu ia sangat menderita. Puncaknya adalah malam itu. Sore
sebelum berangkat kerja, ayahnya memaksanya untuk ikut Mona berangkat
setelah maghrib, ada turis asing yang memesan perawan Mesir. Noura dihargai
sepuluh ribu pound. Harga yang menurut ayah dan kedua kakaknya sangat tinggi.
Ia menolak. Ayahnya lalu mencambuk punggungnya berkali-kali. Ia tidak tahan,
akhirnya ia pura-pura mau. Ayahnya berangkat. Tapi begitu shalat maghrib ia
mengurung diri di kamar. Tidak mau keluar. Tidak mau membukakan pintu.
Bagaimana mungkin dia yang muslimah dan sekolah di Al Azhar akan melakukan
perbuatan dosa besar itu. Mona tidak bisa berbuat apa-apa. Tengah malam
ayahnya pulang dan terjadilah penyiksaan dan pengusiran itu. Ayah
menyumpahinya sebagai anak setan, anak haram, anak tidak tahu diuntung. Mona
menampar mukanya dengan sandal berkali-kali sambil berkata, “Kau ini siapa?
Kau anak siapa hah? Kau bukan adik kami dan bukan keluarga kami? Aku akan
buktikan nanti lewat test DNA kau bagian dari keluarga kami!”

Aku menitikkan air mata membaca kisah penderitaan yang dialami Noura.
Aku tidak melihat bekas-bekas cambukan di punggungnya, tapi aku bisa
merasakan sakitnya. Aku tidak melihat wajahnya saat itu tapi hatiku bisa
menangkap rintihan batinnya yang remuk redam. Aku seolah ikut merasakan
kecemasan, ketakukan dan kesendiriannya selama ini dalam neraka yang dicipta
Si Muka Dingin Bahadur. Aku tiba-tiba merasa Noura itu seperti adik kandungku
sendiri. Entah bagaimana aku bisa merasakan begitu, padahal aku tidak memiliki
adik. Aku anak tunggal. Tapi aku seperti merasakan apa yang dirasakan Noura.
Seandainya dia adikku tentu tidak akan aku biarkan ada orang jahat menyentuh
kulitnya. Akan aku korbankan nyawaku untuk melindunginya.

Aku kembali menitikkan air mata. Oh Noura, semoga Allah menjagamu di
dunia dan di akhirat. Gadis berwajah putih dan innocence itu selalu berjalan
menunduk. Jika berpapasan kami hanya bersapa dengan tatapan mata sekilas.
Tanpa kata-kata. Tapi kami merasa dekat dan saling kenal. Aku tidak mungkin
membiarkan Noura terus jadi bulan-bulanan para serigala berkepala manusia. Aku
harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Dan sampai sejauh mana langkahku? Aku


adalah orang asing di sini. Aku menarik nafas panjang. Diam memejamkan mata
dengan pikiran terus mengembara mencari jalan keluar. Aku tidak bisa, dan tidak
akan mampu bertindak sendiri. Akan aku serahkan masalah ini pada Syaikh
Ahmad, dia adalah intelektual muda yang sangat peduli pada siapa saja. Beliau
pasti mau membantu Noura.


8. Getaran Cinta



Setelah shalat shubuh aku tidak langsung pulang, tapi menemui Syaikh
Ahmad. Kukabarkan pada beliau kelulusanku dan rencanaku membuat proposal
tesis. Imam muda berhati lembut itu mengecup kepalaku berkali-kali. Begitulah
cara orang Arab memberikan tanda penghormatan yang tinggi. Penghormatan
orang yang dianggap sangat dekat. Dari bibirnya keluar ucapan selamat dan doa
tiada henti. Beliau bahkan menawarkan agar jika naskah proposal selesai kususun
diserahkan terlebih dahulu padanya untuk dilihat bahasanya. Jika ada gaya bahasa
yang mungkin kurang tepat beliau akan mentashihnya. Aku sangat senang
mendengarnya. Barulah aku jelaskan padanya kisah derita Noura panjang lebar
dan mendetail seperti yang aku lihat dan aku ketahui. Beliau menitikkan air mata
mendengarnya.

“Di Mesir ini, banyak sekali orang mengakui muslim tapi akhlaknya tidak
muslim. Mengaku Islam tapi sangat jauh dari cahaya Islam. Bagaimana mungkin
seorang ayah yang mengaku umat Muhammad bisa begitu kejam pada anaknya,
pada seorang gadis yang semestinya dia lindungi dan dia sayangi. Fahri,
menghantarkan kesejukan ruh Islam ke dalam hati semua pemeluknya memang
tidak semudah membalik kedua telapak tangan. Tapi kita tidak boleh berpangku
tangan, apalagi berputus asa. Sebisa kita, kita harus terus berusaha,” kata Syaikh
Ahmad sambil menarik nafas.

“Tidak hanya di Mesir saja Syaikh, di Indonesia juga ada. Bahkan di
Indonesia lebih parah. Ada lelaki yang meniduri anak gadisnya dengan paksa.
Lebih parah lagi ada yang tega menjual isteri dan anak gadisnya pada lelaki
hidung belang. Setan memang ada di mana-mana. Dengan segala tipu dayanya,
setan selalu berusaha membutakan hati manusia sehingga mereka beranggapan
tindakan yang keji menjadi terpuji.”

“Laa haula wa laa quwwata illa billah!” ucap Syaikh Ahmad sambil
memejamkan mata. Beliau lalu menepuk pundakku dan mengatakan dirinya akan
terjun langsung membantu Noura secepatnya. Sebelum musim masuk sekolah tiba
derita Noura harus diakhiri. Syaikh Ahmad berterima kasih atas segala yang telah
kami lakukan. Beliau meminta agar jam sembilan nanti aku mengantarkan beliau


menemui Noura di Nasr City. Beliau hendak mengambil Noura dan
menempatkannya di tempat yang aman. Menurut beliau jika sampai nanti ayahnya
tahu Noura berada di tempat mahasiswi Indonesia akan membuat masalah.
Kasihan para mahasiswi jika terganggu belajarnya. Noura harus secepatnya
dipindahkan ke tempat yang tepat. Kami sepakat untuk bertemu di depan
mahattah Hadayek Helwan.

Aku segera pulang dan menelpon Nurul, memberitahukan rencana Syaikh
Ahmad. Aku minta padanya untuk tidak pergi. Sekitar pukul sepuluh, kami insya
Allah, sampai. Tepat pukul sembilan aku sampai di tempat yang dijanjikan.
Syaikh Ahmad telah menunggu di dalam mobil Fiat tuanya. Seorang wanita
berjilbab panjang duduk di samping beliau. Syaikh Ahmad memang hidup
sederhana meskipun kata masyarakat beliau orang berada. Isteri beliau seorang
dokter yang membuka praktek di Helwan dan membantu orang tidak mampu
dengan membuka praktek di klinik masjid. Syaikh Ahmad mengemudikan
mobilnya dengan kecepatan sedang.

Pukul sepuluh lebih sepuluh kami sampai di kediaman Nurul dan kawan-
kawannya yang berada di tingkat enam. Para mahasiswi itu dipeluk oleh isteri
Syaikh Ahmad dengan penuh kehangatan. Ketika memeluk Noura, isteri Syaikh
Ahmad menangis tersedu-sedu. Berkali-kali ia mencium pipi gadis innocent itu.
Syaikh Ahmad menjelaskan maksud kedatangan dia dan isterinya. Semuanya
mengerti termasuk Noura. Noura akan dibawa ikut serta ke kampung halaman
Syaikh Ahmad. Ke rumah orang tua Syaikh Ahmad di desa Tafahna El-Ashraf,
Zaqaziq. Noura menurut. Setelahlah Noura siap terjadilah perpisahan yang
mengharukan. Nurul dan teman-temannya terisak dan bergantian memeluk Noura.
Noura juga menangis sambil mengucapkan terima kasih tak terhingga. Nurul
bilang pada Noura, “Noura kau juga harus mengucapkan terima kasih tiada
terhingga pada Akh Fahri.”

Noura menatapku sekilas dengan mata berkaca lalu menunduk dan dengan
suara lirih dia menyampaikan rasa terima kasih dari hati yang terdalam. Kalau dia
adikku pasti sudah kupeluk dengan penuh rasa sayang. Aku hanya mengangguk
dan membesarkan hatinya bahwa Syaikh Ahmad dan isterinya akan membukakan
jalan yang baik baginya. Mereka berdua orang-orang yang baik dan berhati


lembut. Agar tidak mencurigakan, Noura diminta Syaikh Ahmad memakai cadar.
Nurul dan teman-temannya diminta tidak turun ke bawah. Cukup melihat dari
jendela saja. Kami berempat turun. Syaikh Ahmad masuk mobil diikuti isteri dan
Noura. Aku mengucapkan salam dan selamat jalan. Kali ini Noura memandang
diriku agak lama. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Aku terus berdoa
semoga ia terbebas dari derita yang membelenggunya. Aku kembali ke Hadayek
Helwan dengan hati lega. Syaikh Ahmad akan mengurus segalanya.

* * *

Sampai di rumah aku langsung melihat jadwal. Aku harus talaqqi ke
Shubra. Aku mencela diriku sendiri kenapa setelah dari Rab’ah El-Adawea tadi
tidak langsung ke Shubra saja. Namanya juga lupa. Telpon berdering. Nurul
menelpon menanyakan bagaimana dengan uang yang telah aku berikan padanya.
Padahal Noura hanya beberapa hari tinggal di rumahnya dan uang yang aku
berikan padanya nyaris belum digunakan untuk apa-apa. Aku bilang tidak usah
dipikirkan dan dikembalikan, terserah mau diapakan yang penting untuk
kebaikan. Nurul dan teman-temannya orang yang jujur dan amanah. Keuangan
negara tidak akan bocor jika ditangani oleh orang-orang seperti mereka. Aku salut
padanya. Tiba-tiba aku teringat ledekan Si Rudi kemarin, ‘Jangan-jangan dia
orangnya!.... Congratulation Mas. She is the star, she is the true coise, she will be
a good wife!’.

Ah, tidak mungkin! Kutepis jauh-jauh pikiran yang hendak masuk.
Memiliki isteri shalihah adalah dambaan. Tapi..ah, aku ini punguk dan dia adalah
bulan. Aku ini gembel kotor dan dia adalah bidadari tanpa noda. Aku melangkah
mengambil air wudhu. Tadi pagi aku baru membaca seperempat juz, aku harus
menyelesaikan wiridku. Nanti habis zhuhur aku harus ke Shubra. Syaikh Utsman
kurang berkenan jika ada hafalan yang salah, meskipun satu huruf saja.

Aku membukal mushaf. Handphone-ku berdering. Ternyata Aisha. Dia
mengingatkan janji bertemu dengan Alicia di National Library. Aku mengucapkan
terima kasih telah diingatkan. Dan siang itu aku kembali menantang panas sahara
untuk mengaji Al-Qur’an di Shubra yang jauhnya kira-kira lima puluh kilo dari
apartemenku. Hadayek Helwan tempat aku tinggal ada di ujung selatan kota Cairo
sementara Shubra ada di ujung utara. Menjelang maghrib aku baru pulang dengan


ubun-ubun kepala seperti kering tanpa ada darah mengalir di sana, telah menguap
sepanjang siang. Aku benar-benar capek. Satu hari ini melakukan perjalanan
hampir sejauh seratur kilo meter. Pagi bolak-balik Hadayek Helwan-Nasr City.
Habis zhuhur bolak-balik Hadayek Helwan-Shubra.

Ba’da shalat maghrib aku merasa kepalaku tak bisa diangkat. Terasa berat
dan sakit. Aku panggil Saiful, aku minta padanya untuk mengompres kepalaku.
Saifu menempelkan telapak tangannya ke keningku, “Panas sekali Mas.”

Ia lantas bergegas memenuhi permintaanku. Saiful duduk disampingku
sambil memijat kedua kakiku. Dia tahu persis apa yang kulakukan seharian ini.
Hamdi ikut serta memijat-mijat. Teman-teman memang sangat baik dan perhatian.
Kami sudah seperti saudara kandung. Seandainya Mishbah dan Rudi datang
keduanya pasti juga ikut menunggui atau membelikan buah yang kusuka.
Mishbah kembali ke Wisma untuk urusan pelatihannya. Dan Rudi pergi ke
sekretariat Kelompok Studi Walisongo atau KSW dia mewakili Himpunan
Mahasiswa Medan atau HMM untuk membicarakan kerjasama mengadakan tour
ke tempat-tempat bersejarah di Mesir.

Bel berbunyi. Yousef mencari aku. Hamdi membawanya masuk ke
kamarku. Yousef menyentuh tanganku. Ia ragu mengatakan sesuatu. Ia tersenyum
dan mendoakan semoga tidak apa-apa dan segera pulih lalu kembali ke rumahnya.
Tak lama kemudian bel kembali berbunyi. Hamdi beranjak membukanya. Hamdi
melongok di pintu kamar dan bilang, “Tuan Boutros sekeluarga Mas. Bagaimana?
Apa mereka boleh masuk kemari?”

Kalau kepalaku tidak seberat ini aku pasti keluar menemui mereka. Aku
mengisyaratkan pada Hamdi agar mempersilakan mereka masuk. Pak Boutros
masuk membawa satu botol madu. Madame Nahed membawa peralatan
dokternya. Dan Maria membawa nampan entah apa isinya. Tuan Boutros
menyentuh pipiku.

“Panas. Nahed, coba kau periksa!” katanya pada isterinya.

Madame Nahed meminta izin padaku untuk memeriksanya. Sambil
memasang tekanan darah di lengan kananku, dia menanyakan apa yang
kurasakan. Kujelaskan semua dengan pelan. Saiful memberitahukan diriku
melakukan perjalanan panjang di tengah terik siang, dari pagi sampai sore.


“Agaknya kau terlalu memforsir dirimu. Banyak-banyaklah istirahat. Ada
gejala heat stroke. Kau harus minum yang banyak dan makan buah-buahan yang
segar. Istirahatlah dulu, jangan bepergian menantang matahari!” kata Madame
Nahed lembut.

“Heat stroke itu apa, Madame?” tanya Saiful.

“Heat stroke adalah sengatan panas, yaitu penyakit yang terjadi akibat
penumpukan panas yang berlebihan di dalam badan yang ditimbulkan oleh
keadaan cuaca panas. Tapi tidak usah kuatir baru gejala,” jawab Madame Nadia.
Dia lalu menulis resep dan minta puteranya Yousef untuk keluar membelinya.
“Cepat ya. Sama ashir mangga!”

“Yousef, sebentar!” ujarku. Kepalaku semakin berat. “Tolong Saif
ambilkan uang di dompetku. Ada di lemari. Saiful mengambil uang seratus pound
dan menyerahkan pada Yousef. Tapi Tuan Boutros mencegahnya. Aku tidak bisa
berbuat apa-apa. Yousef keluar. Maria mendekat.

“Fathi, ini aku buatkan ruz billaban untukmu,” lirih Maria.

“Lha untuk kami mana? Masak untuk Akh Fahri saja,” sahut Hamid.

“Maksudku juga untuk kalian,” ucap Maria agak tersipu. Maria
meletakkan nampan berisi ruz billaban di atas meja belajarku. Saat itu kulihat dia
memandang dua lembar kertas karton besar yang menempel di depan meja
belajar.

“Oi Farhi, apa ini? Rancangan hidupmu? Sepuluh tahun ke depan. Dan
planning tahun ini,” katanya setengah kaget.

“Maria, jangan kau baca! Aib!” Madame Nahed mengingatkan.

“Biarkan. Nggak apa-apa!” kataku.

Yang kutempel memang arah hidup sepuluh tahun ke depan. Target-target
yang harus kudapat dan apa yang harus kulakukan. Lalu peta hidup satu tahun ini.
Ku tempel di depan tempat belajar untuk penyemangat. Dan memang kutulis
dengan bahasa Arab.

“Wow. Targetmu dua tahun lagi selesai master. Empat tahun berikutnya
selesai doktor dan telah menerjemah lima puluh buku serta memiliki karya
minimal lima belas karya. Dan empat tahun berikutnya atau sepuluh tahun dari
sekarang targetmu adalah guru besar. Fantastik. Hai Fahri kapan rencanamu


kawin. Kenapa tidak kau tulis dalam peta hidupmu?” celoteh Maria. Madame
Nahed geleng-geleng kepala.

“Baca yang teliti!” lirihku.

Maria membaca dengan teliti, tak lama kemudian ia berkata, “Okey aku
setuju. Ketika kau menulis tesis magister. Ya, untuk menemani perjuanganmu
yang melelahkan!”

“Berarti sudah dekat. Mungkin tahun ini mungkin tahun depan. Karena dia
sudah lulus ujian dan sudah diminta universitas membuat proposal tesis.” sahut
Saiful. Serta merta Tuan Boutros, Madame Nahed, dan Maria mengucapkan
selamat. Mereka senang mendengar aku mulai menulis tesis. Madame Nahed
menanyakan apa aku sudah ada calon. Kepalaku nyut-nyut. Kupaksakan untuk
tersenyum. Lalu aku bergurau, “Kebetulan tidak ada gadis yang mau dekat
denganku. Tak ada yang mau mengenalku dan baik denganku. Yang baik padaku
malah Maria. Bagaimana Madame, kalau calonnya Maria?”

Madame Nahed tersenyum, “Boleh saja. Tapi kusarankan tidak sama dia,
dia gadis yang kaku. Beda dengan dirimu yang kulihat bisa romantis, bisa
membuat kejutan-kejutan yang menyenangkan. Kemarin dalam perjalanan pulang
kami mendapat cerita yang banyak tentang dirimu dari Rudi. Dia bercerita tentang
kesan-kesannya padamu. Dia juga menjelaskan sesungguhnya yang merancang
dan membelikan hadiah ulang tahun untukku dan untuk Yousef itu kamu. Aku
takut kau kecewa dapat Maria. Dia gadis manja dan kaku. Saya tak tahu dia bisa
romantis apa tidak. Dia itu gadis yang tidak pernah jatuh cinta. Tak suka
dikunjungi teman lelaki. Tak suka diajak pergi kencan. Kau harus mendapatkan
gadis yang bisa mengimbangi kelembutan hatimu dan kekuatan visimu
mengarungi hidup. Kulihat kau pemuda yang sangat berkarakter dan kuat
memegang prinsip namun penuh toleransi. Kau jangan sembarangan memilih
pasangan hidup, itu saran dari Madame.”

“Terima kasih Madame atas sarannya, doakan saja.” jawabku. Kulirik
Maria. Sesaat mukanya merona tapi ia segera dapat menguasai dirinya.

“Fahri, kenapa sih kau buat peta hidup ke depan segala, bukankah hidup
ini enaknya mengalir bagaikan air?” tanya Maria.


Kepalaku sebenarnya semakin nyut-nyut tapi aku selalu tidak bisa
membiarkan kecewa orang yang bertanya padaku.

“Maaf, setiap orang berbeda dalam memandang hidup ini dan berbeda
caranya dalam menempuh hidup ini. Peta masa depan itu saya buat terus terang
saja berangkat dari semangat spiritual ayat suci Al-Qur’an yang saya yakini.
Dalam surat Ar Ra’ad ayat sebelas Allah berfirman, Sesungguhnya Allah tidak
akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah
nasibnya. Jadi nasib saya, masa depan saya, mau jadi apa saya, sayalah yang
menentukan. Sukses dan gagalnya saya, sayalah yang menciptakan. Saya
sendirilah yang mengaristeki apa yang akan saya raih dalam hidup ini.”

Belum selesai aku bicara Maria menyela, “Kalau begitu di mana takdir
Tuhan?”

“Takdir Tuhan ada di ujung usaha manusia. Tuhan Mahaadil, Dia akan
memberikan sesuatu kepada umat-Nya sesuai dengan kadar usaha dan ikhtiarnya.
Dan agar saya tidak tersesat atau melangkah tidak tentu arah dalam berikhtiar dan
berusaha maka saya membuat peta masa depan saya. Saya suka dengan kata-kata
bertenaga Thomas Carlyle: ‘Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat
kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan,
tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus!’ Peta
hidup ini saya buat untuk mempertegas arah tujuan hidupku sepuluh tahun ke
depan. Ini bagian dari usaha dan ikhtiar dan setelah itu semuanya saya serahkan
sepenuhnya kepada Tuhan.”

Maria mengangguk-anggukkan kepala.

“Apa kubilang, Fahri seorang visioner yang tegas. Tidak seperti dirimu
Maria, hidup manja tanpa visi. Kau ini sudah berada di jalan yang mulus.
Dikaruniai otak yang cerdas, hidup berkecukupan, disayang keluarga. Tapi kau
tidak akan membuat kemajuan tanpa visi yang jelas.” sahut Madame Nahed.

Aku tidak enak mendengarnya. Aku tidak tahu seperti apa wajah Maria,
mungkin memerah karena malu mendapat teguran dari ibunya yang ceplas-ceplos
seperti itu. Aku memejamkan kepala merasakan rasa nyeri di dalam tempurung
kepalaku.


Tuan Boutros menanyakan kemana Rudi dan Mishbah, keduanya tidak
kelihatan. Hamdi menjelaskan dengan rinci. Pembicaraan lalu beralih kepada
Hamdi dan Saiful. Aku mendengarkan dengan mata terpejam. Tangan Saiful
masih memijit kakiku. Tak lama kemudian Yousef datang membawa obat dan
satu botol ashir mangga. Madame Nahed memberikan petunjuk cara meminum
obatnya. Berapa hari sekali. Dia berpesan agar aku istirahat dulu sampai pulih
kembali. Mereka lalu pamitan. Saat mau pergi Maria berkata,

“Syukran Fahri, aku mendapatkan ilmu yang mahal sekali. Benar kata
pepatah dekat dengan penjual minyak akan mendapatkan wanginya.”

Setelah mereka kembali ke flatnya, aku makan ruz billaban pemberian
Maria. Enak. Lalu minum obat dan bersiap tidur. Aku telah meminta Hamdi
menyetel beker jam tiga. Aku bersyukur memiliki teman-teman yang baik dan
tetangga yang baik. Saiful memijat-mijat diriku sampai aku terlelap. Dalam tidur
aku mendengar Maria menangis. Air matanya membasahi kakiku. Jam tiga aku
terbangun. Heran dengan mimpiku. Sebelum tidur aku sudah baca shalawat dan
doa. Aku tak tahu mimpi itu tafsirnya apa. Kalau Ibnu Sirin masih hidup tentu aku
tanyakan padanya. Aku beristighfar berkali-kali memohon ampunan kepada Allah
jika guyonanku pada Madame Nahed tadi tidak semestinya aku lakukan. Jangan-
jangan menyakiti hati Maria. Aku bangkit. Kepalaku terasa lebih ringan. Aku tadi
memang kepanasan dan kelelahan. Ya Allah, kulihat Saiful tidur di karpet. Ia
begitu setia menunggui aku. Ana uhibbuka fillah ya Akhi!76 Aku harus shalat
Isya. Malam terasa sunyi. Aku teringat ayah bunda di kampung sana, di tanah air
tercinta. Terbayang mata bening bunda.

selalu saja kurindu

abad-abad terus berlalu

berjuta kali berganti baju

nun jauh di sana mata bening menatapku haru

penuh rindu

mata bundaku

yang selalu kurindu

76 Aku mencintaimu karena Allah, Saudaraku!


Dalam sujud kumenangis kepada Tuhan, memohonkan rahmat
kesejahteraan tiada berpenghabisan untuk bunda, bunda, bunda dan ayahanda
tercinta. Usai shalat Isya dan Witir aku tidur lagi. Aku bermimpi lagi. Bertemu
ayah ibu, berpelukan dan menangis haru.

* * *

Pagi hari aku merasa segar kembali. Aku melihat jadwal. Ada janji di
National Library. Kalau tak ada janji sebenarnya aku ingin istirahat saja. Kasihan
tubuh ini, kepanasan setiap hari. Tapi janji harus ditepati. Meskipun harus
merangkak akan aku jalani. Janjinya jam sebelas. Aku harus berangkat jam
sepuluh masih ada tiga jam. Lumayan untuk mengejar terjemahan.

Pukul sepuluh aku berangkat. Matahari sudah mulai menyengat. Sampai di
halaman Maria memanggil namaku dari jendelanya. Ia mengingatkan agar aku
tidak pergi. Kukatakan padanya aku ada janji. Aku harus menepatinya meskipun
untuk itu aku harus mati. Untung aku dapat tempat duduk. Lebih baik daripada
berdiri. Di tengah perjalanan seorang pemuda Mesir memakai jubah lusuh naik. Ia
membawa karung. Entah apa isinya. Sampai di dalam metro membuka karungnya.
Mengeluarkan boneka panda. Ia menawarkan pada penumpang barang
dagangannya. Boneka dan mainan anak-anak. Ia menawarkan dari ujung ke ujung.
Ia bilang harga promosi jauh lebih murah dari yang di toko resmi. Tak ada yang
beli. Ia mendekatiku dan menawatkan boneka panda itu padaku. Kukatakan
padanya aku belum punya anak. Penjual mainan itu menjawab,

“Belilah, kudoakan kau mendapatkan isteri yang shalihah dan cantik
seperti bidadari dan memiliki anak yang shalih shalihah, juga kudoakan umurmu
berkah rizkimu melimpah sehingga kau dan anak cucumu tidak akan perlu
berjualan di jalan seperti diriku. Belilah untuk penyemangat hidupku!”

Siapa yang tidak terenyuh mendengar kata-kata penuh muatan doa seperti
itu. Hatiku luluh. Aku akhirnya membeli boneka panda dan pistol air. Cuma
sepuluh pound. Boneka enam pound dan pistol airnya empat pound. Pemuda itu
tampak berbinar matanya, ia mengucapkan terima kasih. Setelah aku membeli ada
seorang ibu setengah baya tertarik dan membeli.

Aku memandangi boneka panda warna coklat dan putih di tanganku.
Boneka yang cantik. Kepada siapa akan kuberikan? Aku tersenyum sendiri. Biar


nanti kugantung di atas tempat tidur. Pemuda itu masih di dalam metro ia belum
turun. Mungkin turun di mahatah depan. Keringatnya bercucuran. Aku teringat
masa kecilku ketika aku masih SD. Kami keluarga susah. Kakek hanya
mewariskan sepetak sawah, kira-kira luasnya setengah bahu. Dibagi dua dengan
adil untuk ayah dan paman. Ayah tidak sekolah, dia hanya sampai kelas tiga
sekolah SR. Hanya bisa baca dan menulis saja. Demikian juga dengan ibu. Lain
dengan paman. Dia disekolahkan oleh kakek dengan bantuan ayah sampai SPG.
Dia jadi guru. Karena paman sudah disekolahkan maka rumah kakek diberikan
kepada ayah. Selama paman sekolah ayahlah yang menggarap sawah untuk
membiayai paman. Dan paman sangat pengertian, sebenarnya dia tidak minta apa-
apa. Apa yang dia punya sudah cukup. Dia kebetulan mendapatkan isteri teman
sekolahnya, anak penilik sekolah jadi lebih tercukupi. Tapi ayah tetap meminta
kepada paman agar sawah sepetak itu dibagi dua. Paman tidak boleh menolaknya.
Akhirnya yang kami punya adalah rumah peninggalan kakek yang sangat
sederhana dan sawah seperempat bahu. Apa yang bisa diharapkan dari sawah
setengah bahu. Ayah tetap menggarap sawah itu dengan menanam padi. Hasilnya
di makan sendiri. Untuk keperluan lain ibu jualan gorengan di pasar dan ayah
jualan tape77 dengan berkeliling dari kampung ke kampung. Jika hari minggu aku
diajak ayah ikut serta. Berjalan berkilo-kilo. Jika telah dekat dengan rumah
penduduk ayah akan berteriak, ‘Pe tape! Pe tape! Pe tape!’

Jika ayah lelah maka akulah yang bergantian berteriak menawarkan tape.
Jika ada yang beli hati senangnya bukan main. Rasa lelah seperti hilang begitu
saja. Apalagi jika ada yang memborong sampai belasan bungkus, kami akan
merasa menjadi orang paling beruntung di dunia. Mataku basah mengingat itu
semua.

Pukul sebelas kurang lima menit aku sampai di National Library. Aku
langsung menuju kafetaria. Alicia dan Aisha sudah ada di sana. Alicia tersenyum
padaku entah Aisha aku tidak tahu sebab ia bercadar. Mereka telah memesan
minuman. Aku pesan segelas karikade dingin. Alicia menyerahkan dua lembar
kertas berisi pertanyaannya. Kubaca sekilas. Pertanyaan yang sangat serius. Aku
menjanjikan akan menyerahkan jawabannya hari Sabtu, di tempat dan waktu yang

77 Makanan dibuat dari singkong rebus yang telah di beri ragi. Sangat mirip dengan payem
Bandung.


sama. Alicia setuju. Kami lalu berbincang-bincang. Alicia banyak bertanya
tentang studiku. Aisha bercerita tentang pamannya yang senang sekali
mendapatkan salam dariku, dan mengirim salam balik, juga dua keponakannya
yang masih ingat padaku. Katanya si Amena menyebutku “Ammu Fahri Al
Andonesy!”78 Aisha juga bertanya apakah aku telah berkeluarga? Setelah selesai
master apa yang akan aku kerjakan di Indonesia? Apakah aku akan melanjutkan
S3? Aku menjawab apa yang bisa kujawab. Sebelum berpisah aku teringat boneka
dan pistol air yang aku beli di dalam metro. Kutitipkan pada Aisha untuk
keponakannya, Si Amena dan Hasan yang lucu dan menggemaskan. Melihat
boneka panda yang cantik mata Aisha membesar dan berkata, “Wow cantik sekali,
Amena pasti senang menerimanya dan dia akan terus mengingat pamannya dari
Indonesia.”

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Sudah setengah tahun aku tidak
bertemu dua jundi kecil itu. Amena mungkin sudah hafal juz dua puluh sembilan.
Dan Si Hasan sudah bisa membaca tulisan. Aku tidak tahu sama sekali bahwa
boneka panda yang aku beli tanpa sengaja itu suatu saat nanti akan membawaku
ke kaki langit cinta yang tiada tara indahnya. Kaki langit cinta orang-orang yang
bercinta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.



78 Paman Fahri dari Indonesia.


9. Merancang Peta Hidup



Dari National Library aku langsung pulang. Di dalam metro aku
memaksakan diri membaca dengan seksama pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
nona Alicia dari Amerika itu. Rasa penasaran mengalahkan perut lapar belum
sarapan dan badan yang terasa meriang. Lembar pertama berisi pertanyaan tentang
bagaimana Islam memperlakukan wanita. Tentang beberapa hadits yang dianggap
merendahkan wanita. Tentang poligami, warisan dan lain sebagainya. Pertanyaan-
pertanyaan yang tidak asing namun terus menerus ditanyakan. Pertanyaan yang
seringkali memang dipakai oleh mereka yang tidak bertanggung jawab untuk
mendiskreditkan Islam. Di Barat masalah poligami dalam Islam dipertanyakan.
Mereka menganggap poligami merendahkan wanita. Mereka lebih memilih anak
puterinya berhubungan di luar nikah dan kumpul kebo dengan ratusan lelaki
bahkan yang telah beristeri sekalipun daripada hidup berkeluarga secara resmi
secara poligami. Menurut mereka pelacur yang memuaskan nafsu biologisnya
secara bebas dengan siapa saja yang ia suka lebih baik dan lebih terhormat
daripada perempuan yang hidup berkeluarga baik-baik dengan cara poligami.

Untuk semua pertanyaan tentang bagaimana Islam memperlakukan
perempuan aku sudah membayangkan semua jawaban yang aku akan tulis,
lengkap dengan sejarah perlakuan manusia terhadap perempuan. Sejak zaman
Yunani kuno sampai zaman postmo. Aku ingat bahwa para pendeta di Roma
sebelum Islam datang, pernah sepakat untuk menganggap perempuan adalah
makhluk yang najis dan boneka perangkap setan. Mereka bahkan
mempertanyakan, perempuan sebetulnya manusia apa bukan? Punya ruh apa
tidak? Sementara Baginda Nabi sangat memuliakan makhluk yang bernama
perempuan, beliau pernah bersabda bahwa siapa memiliki anak perempuan dan
mendidiknya dengan baik maka dia masuk surga.

Aku tinggal meringkas jawaban yang telah banyak ditulis para sejarawan,
cendekiawan dan ulama Mesir. Pertanyaan yang berkaitan dengan perempuan aku
anggap selesai. Nanti malam akan aku jawab lengkap dengan data dan dalil-dalil
utama dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hadits yang ditanyakan Alicia yang
mengatakan katanya Nabi pernah bersabda perempuan adalah perangkap setan


adalah bukan hadits. Itu adalah perkataan seorang Sufi namanya Basyir Al Hafi.
Sebagaimana dijelaskan dengan seksama dalam kitab Kasyful Khafa. Itu adalah
pendapat pribadi Basyir Al Hafi yang kemungkinan besar terpengaruh oleh
perkataan para pendeta Roma. Itu bukan hadits tapi disiarkan oleh orang-orang
yang tidak memahami hadits sebagai hadits. Bagaimana mungkin Islam akan
menghinakan perempuan sebagai perangkap setan padahal dalam Al-Qur’an jelas
sekali penegasan yang berulang-ulang bahwa penciptaan perempuan sebagai
pasangan hidup kaum lelaki adalah termasuk tanda-tanda kebesaran Tuhan.
Dalam surat Ar Ruum ayat dua puluh satu Allah berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir.”

Jika perempuan adalah perangkap setan atau panah setan bagaimana
mungkin baginda nabi menyuruh memperlakukan perempuan dengan baik.
Bahkan beliau bersabda dalam hadits yang shahih, “Orang pilihan di antara
kalian adalah yang paling berbuat baik kepada perempuan (isteri)nya.”79
Baginda nabi juga menyuruh umatnya untuk mengutamakan ibunya daripada
ayahnya. Ibu disebut nabi tiga kali. Ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu!.

Pada lembaran kedua, Alicia bertanya bagaimana Islam memperlakukan
nonmuslim? Bagaimana Islam memandang Nasrani dan Yahudi? Apa sebetulnya
yang terjadi antara umat Islam dan umat Koptik di Mesir, sebab media massa
Amerika memandang umat Islam berlaku tidak adil? Bagaimana pandangan Islam
terhadap perbudakan? Dan lain sebagainya.

Aku teringat sebuah buku yang menjawab semua pertanyaan Alicia ini.
Buku apa, dan siapa penulisnya? Aku terus mengingat-ingat. Otakku terus
berputar, dan akhirnya ketemu juga. Buku itu ditulis oleh Prof. Dr. Abdul Wadud
Shalabi yang pernah menjadi sekretaris Grand Syaikh Al Azhar, Syaikh Abdul
Halim Mahmud. Aku merasa sebaiknya menerjemahkan buku berjudul Limadza

79 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, beliau berkata: Hadits hasan shahih. Juga
diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Imam Baihaqi dan Thabrani.


yakhaafunal Islam80 itu ke dalam bahasa Inggris untuk menjawab pertanyaan
Alicia. Supaya Alicia dan orang-orang Barat tahu jawabannya dengan jelas dan
gamblang. Supaya mereka lebih tahu begaimana sebenarnya Islam memuliakan
manusia.

Untuk pertanyaan, apa sebetulnya yang terjadi antara umat Islam dan umat
Koptik di Mesir, yang paling tepat sebenarnya, biarlah umat koptik Mesir sendiri
yang menjawabnya. Dan Pope Shenouda pemimpin tertinggi umat kristen koptik
Mesir sudah membantah semua tuduhan yang bertujuan tidak baik itu. Pope
Shenouda tidak akan bisa melupakan masa kecilnya. Dia adalah anak yatim di
sebuah pelosok desa Mesir yang disusui oleh seorang wanita muslimah. Dan
wanita muslimah itu sama sekali tidak memaksa Shenouda untuk mengikuti
keyakinannya. Wanita muslimah itu mengalirkan air susunya ke tubuh si kecil
Snouda murni karena panggilan Ilahi untuk menolong bayi tetangganya yang
membutuhkan air susunya. Adakah toleransi melebihi apa yang dilakukan ibu
susu Pope Shenouda yang muslimah itu?

Dalam sejarah pemerintahan Mesir, pada tanggal 10 Mei 1911 ada laporan
kolonial Inggris ke London yang menjelaskan hasil sensus di Mesir. Dari sensus
penduduk waktu itu jumlah umat Islam 92 persen, umat kristen koptik hanya 2
persen, selebihnya Yahudi dan lain sebagainya. Pada waktu itu jumlah pegawai
yang bekerja di kementerian seluruhnya 17.569 orang. Dengan komposisi 9.514
orang dari kaum muslimin yang berarti 54,69 persen, dan selebihnya dari kaum
koptik, yaitu 8.055 orang dan berarti, 45,31 persen. Bagaimana mungkin jumlah
umat koptik yang cuma 2 persen itu mendapatkan jatah 45,31 persen di
departemen-departemen kementerian. Dan umat Islam mesir tidak pernah
mempesoalkan komposisi yang sangat menganakemaskan umat kristen koptik ini.
Apakah tidak wajar jika para pendeta koptik ebih dahulu bersuara lantang
menolak tuduhan Amerika sebelum Al Azhar bersuara?

Ulama-ulama besar dan terkemuka Mesir tidak pernah menyapa umat
kristen koptik sebagai orang lain. Mereka dianggap dan disapa sebagai ‘ikhwan’
sebagai saudara. Saudara setanah air, sekampung halaman, sepermainan waktu
kecil, bukan saudara dalam keyakinan dan keimanan. Syaikh Yusuf Qaradhawi

80 Kenapa mereka takut kepada Islam?


menyapa umat koptik dengan ‘ikhwanuna al Aqbath’, saudara-saudara kita umat
koptik. Sebuah sapaan yang telah diajarkan oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an mengakui
adanya persaudaraan di luar keimanan dan keyakinan. Dalam sejarah nabi-nabi,
kaum nabi Nuh adalah kaum yang mendustakan para rasul. Mereka tidak mau
seiman dengan nabi Nuh. Meskipun demikian, Al-Qur’an menyebut Nuh adalah
saudara mereka. Tertera dalam surat Asy Syuara ayat 105 dan 106: ‘Kaum Nuh
telah mendustakan para rasul. Ketika saudara mereka (Nuh) berkata pada
mereka, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa?’ Apakah ajaran yang indah dan sangat
humanis seperti ini masih juga dianggap tidak adil? Kalau tidak adil juga maka
seperti apakah keadilan itu? Apakah seperti ajaran Yahudi yang menganggap
orang yang bukan Yahudi adalah budak mereka. Atau ajaran yang diyakini ratu
Isabela yang memancung jutaan umat Islam di Spayol karena tidak mau
mengikuti keyakinannya?

Aku merasa isi buku Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi harus dibaca
masyarakat Amerika, Eropa, dan belahan dunia lainnya yang masih sering tidak
bisa memahami ruh ajaran Islam. Termasuk juga masyarakat Indonesia. Tapi aku
bimbang, apakah aku punya waktu yang cukup untuk menerjemahkan buku itu.
Kontrak terjemahan harus segera aku tuntaskan. Jakarta sedang menunggu naskah
yang aku kerjakan. Proposal tesis juga harus segera kuajukan ke universitas. Dan
kondisi kesehatan yang sedikit terganggu.

* * *

Metro yang kutumpangi sampai di Hadayek Helwan pukul dua. Panas
sengatan matahari semakin kurang ajar dan kurang ajar. Aku keluar mahattah
dengan memakai langkah cepat. Di perempatan jalan dekat rental dan toko
peralatan komputer Pyramid Com, aku mendengar seseorang memanggil namaku.
Suara yang tidak terlalu asing. Aku menengok ke kanan, ke arah Pyramid Com.
Seorang gadis Mesir sambil memegang payung berjalan cepat ke arahku. Aku
terus saja berjalan tak begitu mempedulikan dirinya. Sebab udara panas
menyengat muka.

“Hai Fahri, tunggu, baru pulang ya? Kepanasan? Ini pakai saja payungku
nanti kau sakit lagi?”


Gadis Mesir berpipi lesung kalau tersenyum itu telah berhasil mengejar
langkahku. Ia berjalan sejajar denganku dan menawarkan payungnya padaku.

“Sudahlah Maria, kau jangan berlaku begitu!” sahutku sambil
mempercepat langkah. Maria terus berusaha mengimbangi kecepatan langkahku.
Ia berusaha memayungi diriku dari sengatan matahari. Beberapa orang Mesir yang
berpapasan dengan kami melihat kami dengan pandangan heran. Maria
melakukan sesuatu yang tidak biasanya dilakukan gadis Mesir. Juga tidak akan
pernah ada lelaki di Mesir memakai payung untuk melindungi dari sengatan
matahari.

“Maria, please, hormatilah aku. Jangan bersikap seperti itu!”

Maria menarik payungnya dan menggunakan untuk melindungi dirinya.
Aku heran sendiri dengan perlakuan puteri Tuan Boutros ini padaku. Mamanya
bilang Maria tidak suka didatangi teman-teman lelakinya. Juga tidak suka pergi
atau kencan dengan mereka. Tidak suka menerima telpon dari mereka. Tidak bisa
mesra katanya, tapi kenapa dia bersikap sedemikian perhatian padaku. Aku
merasa ia seolah-olah menunggu kepulanganku di jalan yang pasti kulewati.

“Janji sama siapa Fahri, kalau aku boleh tahu?” tanyanya. Aku
mempercepat langkah. Jarak apartemen dan mahattah metro sekitar seratus dua
puluh lima meter.

“Sama teman. Kau panas-panas begini ke Pyramid Com ada apa? Kau
‘kan paling malas keluar di tengah panas yang menggila seperti ini?” tanyaku
tanpa memandang kepadanya. Itu tidak mungkin kulakukan kecuali terpaksa
misalnya ketika berjumpa begitu saja. Atau reflek menengok karena dia
memanggil namaku.

“Terpaksa. Tinta printku habis. Padahal aku harus ngeprint banyak saat
ini. Sialnya stok Pyramid Com juga habis. Aku mau ke Helwan malas sekali?”
jawabnya dengan nada kecewa.

“Kebetulan tintaku masih penuh. Baru beli. Pakai saja milikku.”

“Terima kasih Fahri. Kebetulan sekali kalau begitu. Aku perlu sekali.
Kalau aku tahu itu aku tidak akan capek-capek begini.”

“Kelihatannya kau sangat sibuk minggu dan banyak tugas minggu ini,
Maria?”


“Iya, sejak empat hari kemarin aku sibuk mengedit kumpulan tulisanku
yang tersebar di beberapa media selama satu tahun ini. Hari ini juga harus aku
print. Sebab habis maghrib nanti akan diambil Wafa untuk dimintakan kata
pengantar pada Anis Mansour, lalu diterbitkan. Setelah itu sampai kuliah aktif
kembali aku kosong. Ada apa kau tanya seperti itu. Ada yang bisa aku bantu?”

“Ya. Kalau kau berkenan. Aku perlu bantuanmu.”

“Apa itu? Kalau aku mampu, dengan senang hati.”

Aku lalu menjelaskan pertemuanku dengan Alicia dan segala
pertanyaannya. Aku menjelaskan keinginanku menyampaikan isi buku yang
ditulis Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi. Tapi kelihatannya aku tidak punya waktu
yang cukup. Buku itu setebal 143 halaman. Dan Maria bahasa Inggrisnya sangat
bagus. Selama di sekolah menengah ia kursus di British Council, dan pernah
terpilih pertukaran pelajar ke Skotlandia selama setengah tahun.

“Kapan dead linenya?”

“Jawaban harus aku sampaikan pada Alicia hari Sabtu depan. Kalau bisa
malam Jum’at sudah selesai diterjemahkan sehingga aku juga ada kesempatan
membacanya?”

“Baiklah. Nanti berikan buku itu padaku. Aku berjanji Kamis pagi
selesai.”

“Thank’s, Maria.”

“Forget it.”

Tak terasa kami telah sampai di halaman apartemen. Aku mempercepat
langkah. Aku tidak mau naik tangga di belakang Maria. Aku harus di depan, aku
teringat kisah nabi Musa dan dua gadis muda pencari air. Nabi Musa tidak mau
berjalan di belakang keduanya demi menjaga pandangan dan menjaga kebersihan
jiwa.

Sampai di dalam flat, Saiful menyambutku dengan segelas ashir mangga.
Aku langsung meminumnya. Rasa segar menjalar ke seluruh tubuh. Aku langsung
masuk kamar dan menyalakan kipas angin. Maria mengirim sms agar tinta dan
buku yang hendak diterjemah segera kusiapkan. Lima menit lagi ia akan
menurunkan keranjang. Aku langsung mencari buku itu di rak. Ketemu. Jendela
kubuka. Angin panas masuk serta merta. Maria telah menunggu dengan keranjang


kecilnya. Tinta dan buku kumasukkan ke dalamnya. Dan ia mengangkatnya. Aku
langsung shalat dan istirahat sampai ashar tiba.

* * *

Mishbah pulang dari Nasr City jam enam sore. Ketika aku sedang asyik
membaca beberapa buku untuk menjawab pertanyaan Alicia. Ia membawa pesan
dari Nurul yang secara tidak sengaja bertemu di depan Wisma agar aku menelpon
dia sebelum maghrib tiba. Kembali Rudi menggodaku, “Tidak salah lagi. Pasti
ada sesuatu. She is the true coise!” Aku beristighfar dalam hati. Semoga Allah
melindungi dari godaan setan yang terkutuk yang menyesatkan manusia dengan
berbagai macam cara. Dalam hati aku menegaskan, aku tidak akan menelponnya.

Setengah tujuh telpon berdering. Dari Nurul. Ia minta padaku agar ke
rumah Ustadz Jalal, katanya Ustadz Jalal ingin minta tolong dan membicarakan
sesuatu yang penting padaku. Kukatakan minggu ini aku tidak bisa. Ia bilang tidak
apa-apa, tapi minta diusahakan kalau ada kesempatan langsung ke sana. Ustadz
Jalal masih ada hubungan kerabat dengan Nurul, meskipun agak jauh. Mereka
bertemu di ayah kakek alias buyut. Sudah lama aku tidak bertemu Ustadz Jalal.
Beliau dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga yang mengambil S3 di
Sudan, dan selama menulis disertasi doktoralnya beliau tinggal di Kairo bersama
isteri dan ketiga anaknya. Aku akrab dengan beliau dimulai sejak kami umrah
bersama dua tahun yang lalu. Kami mengarungi laut merah untuk mencapai
Jeddah dengan kapal Wadi Nile. Saat itu beliau baru setengah tahun di Cairo.
Anak beliau baru dua. Anaknya yang bungsu lahir di Cairo tujuh bulan yang lalu.
Apa yang beliau inginkan dariku? Apakah beliau akan meminta tolong untuk ikut
mentakhrij hadits lagi? Aku tak tahu pasti. Jawabnya adalah ketika aku bertemu
dengannya. Sebenarnya yang membuatku sedikit heran, kenapa Ustadz Jalal tidak
langsung menelponku, kenapa berputar lewat Nurul. Benar, rumahnya tidak ada
telponnya, tapi dia tentunya bisa menelpon lewat Minatel yang tersebar di setiap
sudut kota Cairo. Keadaan dan jalan berpikir seseorang terkadang memang susah
dimengerti.

Usai mengangkat telpon aku tidak meneruskan pekerjaanku sebelumnya,
yaitu membaca. Tapi aku merasa perlu meninjau kembali planning bulan ini.
Utamanya adalah minggu yang sedang aku jalani ini. Aku melihat jadwal keluar


rumah. Ada lima kegiatan. Kurasa harus aku pangkas semua. Aku harus istirahat
dan mengejar terjemahan. Pengajian ibu-ibu KBRI hari Selasa. Pembanding
dalam diskusi yang diadakan FORDIAN, Forum Studi Ilmu Al-Qur’an, di Buuts,
hari Rabu pagi. Pergi ke warnet. Dan rapat Dewan Asaatidz Pesantren Virtual, di
mahattah Shurthah, Nasr City, Kamis malam Jum’at. Semuanya harus aku
batalkan. Yang perlu pengganti harus aku carikan ganti. Bahkan untuk talaqqi
pada Syaikh Utsman hari Rabu aku ingin izin, sekali ini. Aku benar-benar ingin di
rumah minggu ini, menghindari perjalanan panjang yang membuat ubun-ubun
terasa mendidih.

Sore itu juga aku telpon takmir masjid Indonesia yang mengurusi
pengajian ibu-ibu KBRI agar mengganti jadwalku dan memundurkan satu bulan
ke belakang. Pada koordinator FORDIAN aku minta diganti, kutawarkan sebuah
nama. Pada Gus Ochie El-Anwari sang penggagas rapat Dewan Asaatidz aku
minta izin, aku sampaikan beberapa ide dan pokok pikiran yang mengganjal di
kepala. Setelah semua beres aku merasa lega. Langsung kusambung dengan
menulis jawaban atas pertanyaan Alicia seputar Islam dan Perempuan. Aku hanya
istirahat untuk shalat, makan malam, dan minum air putih. Tekadku bulat harus
tuntas malam ini. Tak ada bedanya dengan membuat karya ilmiah. Jawaban
dengan bahasa Inggris itu selesai juga. Tepat pukul tiga malam. Dengan bahasa
Inggris. Setebal empat puluh satu halaman spasi satu Microsoft Word, Times New
Roman, Font 12. Seandainya tidak memakai bahasa Inggris kurasa pukul satu
malam sudah selesai. Beberapa kali aku harus membuka kamus Al Maurid untuk
sebuah kosa kata yang aku kurang yakin ketepatannya.

Sejak itu aku tidak keluar rumah kecuali untuk shalat berjamaah. Waktuku
habis di dalam kamar, di depan komputer. Aktifitasku adalah menerjemah,
menyelesaikan proposal, sesekali makan, ke kamar mandi dan tidur. Hari Selasa
sore Maria memberi tahu buku Prof. Dr. Abdul Wadud Shalabi telah selesai ia
terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Hanya saja ia tidak berani menerjemahkan
hadits dan ayat suci Al-Qur’an takut salah. Maria memberikan disket berisi
terjemahannya. Kekurangannya kutambal. Jawabanku dan hasil terjemahan Maria
langsung aku print dan ketika shalat shubuh aku berikan kepada Syaikh Ahmad
untuk diperiksa. Kebetulan bahasa Inggris beliau bagus tidak seperti Imam masjid


lainnya. Beliau bahkan pernah diutus oleh Al Azhar ke Australia untuk menjadi
Imam di masjid Malik Faishal yang terletak di Common Wealth Street, Surry
Hills, Sidney selama satu tahun. Aku jelaskan pada beliau pertemuanku dengan
Miss. Alicia dari Amerika dan kapan jawaban itu harus aku serahkan. Aku ingin
beliau mengoreksi dengan seksama. Beliau sangat senang dengan apa yang aku
lakukan. Beliau menjanjikan malam Jum’at ba’da shalat Isya bisa aku ambil
sehingga bisa diedit lagi dan diprint ulang.

Kekejaman pada diri sendiri untuk bekerja keras menampakkan hasilnya.
Hari Jum’at terjemahan selesai. Tinggal menunggu diedit saja. Proposal tesis juga
selesai, siap untuk diajukan ke tim penilai. Jika layak nanti pihak fakultas akan
mencarikan promotor yang sesuai. Dan jawaban untuk semua pertanyaan Alicia
yang telah dikoreksi dan diberi tambahan Syaikh Ahmad sudah aku print, aku
fotocopy dan aku jilid jadi empat. Untuk Alicia, untuk Aisha, untuk Maria, dan
untuk arsip pribadiku. Aku menatap peta hidup bulan ini. Aku tersenyum penuh
rasa syukur. Kukatakan pada diriku sendiri, “Man jadda wajad!”81

Aku merasa bersyukur kepada Allah yang mengilhamkan untuk merubah
strategi perangku minggu ini. Memang terkadang kita harus kejam pada diri
sendiri. Dan sedikit tegas pada orang lain. Aktifitas yang penting tetapi tidak
terlalu penting bisa dibuang atau di-pending.

* * *

Ketika aku mengambil naskah yang dikoreksi Syaikh Ahmad, beliau
bercerita sedikit tentang Noura. Gadis innocent itu senang di Tafahna. Kebetulan
satu hari sebelumnya, Ummu Aiman, isteri Syaikh Ahmad menjenguk ke sana.
Syaikh Ahmad sedang melacak sebenarnya siapa Si Muka Dingin Bahadur itu.
Apakah benar ayahnya atau bukan? Syaikh Ahmad mendapatkan informasi Noura
dilahirkan di klinik bersalin Heliopolis. Bagaimana sejarahnya Noura bisa terlahir
di klinik elite di kawasan elite itu? Syaikh Ahmad sedang menyelidikinya dengan
bantuan Ridha Shahata, sepupunya yang menjadi staf intelijen Dewan Keamanan
Negara atau yang disebut “Mabahits Amn Daulah”. Aku yakin tak lama lagi
Noura kembali hidupnya yang penuh ketenteraman. Sebelum aku pulang beliau

81 Pepatah Arab terkenal, artinya: “Siapa bersungguh-sungguh dia mendapat!”


menyerahkan sepucuk surat kepadaku, beliau bilang, “Surat ini yang membawa
Ummu Aiman, dari Noura, katanya ucapan terima kasih padamu!”

Inilah untuk pertama kalinya aku mendapatkan surat dari orang Mesir.
Asli. Dari gadis Mesir lagi. Meskipun cuma ucapan terima kasih. Aku penasaran
ingin tahu kata-kata apa yang ditulis oleh gadis innocent itu. Seperti apa
tulisannya. Ingin rasanya kubuka seketika itu, tapi pada Syaikh Ahmad aku
merasa malu. Kumasukkan surat itu begitu saja ke dalam saku.




10. Sepucuk Surat Cinta



Ini malam Sabtu. Besok pagi aku harus pergi. Memasukkan proposal tesis
ke kampus. Menemui Alicia dan Aisha di National Library. Dan mengirimkan
naskah terjemahan ke redaksi sebuah penerbit di Jakarta melalui email. Perjalanan
yang agak melelahkan kelihatannya. Semua telah siap, kecuali naskah terjemahan.
Belum selesai di edit. Aku ingin besok pagi semuanya berjalan seperti rencana.
Sekali melakukan perjalanan banyak yang diselesaikan. Malam ini mau tidak mau
aku harus sedikit keras pada diriku sendiri. Aku harus kerja lembut mengedit hasil
terjemahanku sampai benar-benar matang.

Untuk persiapan lembur ini, aku telah menyiapkan dopping andalan. Madu
murni, susu kambing murni yang dibelikan oleh Hamdi dari para penggembala
kambing yang biasa lewat di Wadi Hof, dan telur ayam kampung. Agar suasana
segar aku membuka jendela dan pintu kamar terbuka lebar-lebar. Pelan-pelan
kusetel nasyid Athfal Filistin. Semangat bocah-bocah cilik Palestina yang
membara dengan celoteh mereka yang menggemaskan menyanyikan lagu-lagu
perjuangan dan intifadhah membuat diriku bersemangat dan tidak mengantuk.
Aku sudah minta izin teman-teman untuk membunyikan nasyid ini sampai tengah
malam. Aku minta mereka menutup pintu kamar masing-masing agar tidak
terganggu tidurnya.

Ternyata mereka malah asyik meminjam film Ashabul Kahfi dari seorang
teman di Nasr City. Dan menontonnya di kamar Rudi. Mereka memerlukan waktu
16 jam untuk menonton film yang dibuat Iran dan Lebanon itu. Sebab film
Ashabul Kahfi adalah film yang diputar bersambung oleh stasiun TV Lebanon
selama bulan Ramadhan tahun kemarin. Hanya yang memiliki parabola yang bisa
menontonnya. Malam ini mereka menyediakan waktu khusus untuk menontonnya.
Aku belum pernah menontonnya, sebetulnya sangat ingin. Tapi apakah semua
keinginan harus dipenuhi? Komentar teman-teman yang sudah menontonnya, film
Ashabul Kahfi luar biasa indahnya, mampu menambah keimanan dan
memperhalus jiwa. Lain kali semoga ada kesempatan menontonnya. Malam ini
adalah malam kerja.


Malam ini, sementara teman-teman terbang ke zaman Ashabul Kahfi,
mereka berdialog dengan pemuda-pemuda pilihan itu, aku malah berlayar di
lautan kata-kata yang disusun Ibnu Qayyim. Aku harus membaca dengan teliti dan
mengedit tulisan sebanyak 357 halaman. Tengah malam aku kelelahan. Aku
istirahat dengan melakukan shalat. Ketika sujud kepala terasa enak. Darah
mengalir ke kepala. Syaraf-syarafnya menjadi lebih segar. Kudengar teman-teman
bertasbih atas apa yang mereka lihat di film itu. Aku melemaskan otot-otot
dengan menelentangkan badan di atas kasur. Menarik nafas dalam-dalam dan
mengeluarkannya pelan-pelan. Aku bangkit hendak meneruskan pekerjaan. Tak
sengaja aku melihat sepucuk surat permintaan mengisi pelatihan terjemah dari
sebuah kelompok studi. Aku jadi teringat dengan sepucuk surat dari Noura yang
masih berada di saku baju koko yang tergantung di dalam almari. Aku belum
membacanya. Segera kuambil surat itu dan kubaca.



Kepada

Fahri bin Abdillah, seorang mahasiswa

dari Indonesia yang lembut hatinya dan berbudi mulia



Assalamu’alaikum warahmatullah wa barakatuh.

Kepadamu kukirimkan salam terindah, salam sejahtera para penghuni
surga. Salam yang harumnya melebihi kesturi, sejuknya melebihi embun pagi.
Salam hangat sehangat sinar mentari waktu dhuha. Salam suci sesuci air telaga
Kautsar yang jika direguk akan menghilangkan dahaga selama-lamanya. Salam
penghormatan, kasih dan cinta yang tiada pernah pudar dan berubah dalam
segala musim dan peristiwa.

Wahai orang yang lembut hatinya,

Entah dari mana aku mulai dan menyusun kata-kata untuk
mengungkapkan segala sedu sedan dan perasaan yang ada di dalam dada. Saat
kau baca suratku ini anggaplah aku ada dihadapanmu dan menangis sambil
mencium telapak kakimu karena rasa terima kasihku padamu yang tiada taranya.

Wahai orang yang lembut hatinya,


Sejak aku kehilangan rasa aman dan kasih sayang serta merasa sendirian
tiada memiliki siapa-siapa kecuali Allah di dalam dada, kaulah orang yang
pertama datang memberikan rasa simpatimu dan kasih sayangmu. Aku tahu kau
telah menitikkan air mata untukku ketika orang-orang tidak menitikkan air mata
untukku.

Wahai orang yang lembut hatinya,

Ketika orang-orang di sekitarku nyaris hilang kepekaan mereka dan masa
bodoh dengan apa yang menimpa pada diriku karena mereka diselimuti rasa
bosan dan jengkel atas kejadian yang sering berulang menimpa diriku, kau tidak
hilang rasa pedulimu. Aku tidak memintamu untuk mengakui hal itu. Karena
orang ikhlas tidak akan pernah mau mengingat kebajikan yang telah
dilakukannya. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang saat ini kudera dalam
relung jiwa.

Wahai orang yang lembut hatinya,

Malam itu aku mengira aku akan jadi gelandangan dan tidak memiliki
siapa-siapa. Aku nyaris putus asa. Aku nyaris mau mengetuk pintu neraka dan
menjual segala kehormatan diriku karena aku tiada kuat lagi menahan derita.
Ketika setan nyaris membalik keteguhan imanku, datanglah Maria menghibur
dengan segala kelembutan hatinya. Ia datang bagaikan malaikat Jibril
menurunkan hujan pada ladang-ladang yang sedang sekarat menanti kematian.
Di kamar Maria aku terharu akan ketulusan hatinya dan keberaniannya. Aku
ingin mencium telapak kakinya atas elusan lembut tangannya pada punggungku
yang sakit tiada tara. Namun apa yang terjadi Fahri?

Maria malah menangis dan memelukku erat-erat. Dengan jujur ia
menceritakan semuanya. Ia sama sekali tidak berani turun dan tidak berniat turun
malam itu. Ia telah menutup kedua telinganya dengan segala keributan yang
ditimbulkan oleh ayahku yang kejam itu. Dan datanglah permintaanmu melalui
sms kepada Maria agar berkenan turun menyeka air mata dukaku. Maria tidak
mau. Kau terus memaksanya. Maria tetap tidak mau. Kau mengatakan pada
Maria: ‘Kumohon tuturlah dan usaplah air mata. Aku menangis jika ada
perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon. Andaikan aku halal baginya
tentu aku akan turun mengusap air matanya dan membawanya ke tempat yang


jauh dari linangan air mata selama-lamanya. Maria tetap tidak mau.” Dia
menjawab: “Untuk yang ini jangan paksa aku, Fahri! Aku tidak bisa.” Kemudian
dengan nama Isa Al Masih kau memaksa Maria, kau katakan, “Kumohon, demi
rasa cintamu pada Al Masih.” Lalu Maria turun dan kau mengawasi dari jendela.
Aku tahu semua karena Maria membeberkan semua. Ia memperlihatkan semua
kata-katamu yang masih tersimpan dalam handphone-nya. Maria tidak mau aku
cium kakinya. Sebab menurut dia sebenarnya yang pantas aku cium kakinya dan
kubasahi dengan air mata haruku atas kemuliaan hatinya adalah kau. Sejak itu
aku tidak lagi merasa sendiri. Aku merasa ada orang yang menyayangiku. Aku
tidak sendirian di muka bumi ini.

Wahai orang yang lembut hatinya,

Anggaplah saat ini aku sedang mencium kedua telapak kakimu dengan air
mata haruku. Kalau kau berkenan dan Tuhan mengizinkan aku ingin jadi abdi
dan budakmu dengan penuh rasa cinta. Menjadi abdi dan budak bagi orang
shaleh yang takut kepada Allah tiada jauh berbeda rasanya dengan menjadi
puteri di istana raja. Orang shaleh selalu memanusiakan manusia dan tidak akan
menzhaliminya. Saat ini aku masih dirundung kecemasan dan ketakutan jika
ayahku mencariku dan akhirnya menemukanku. Aku takut dijadikan santapan
serigala.

Wahai orang yang lembut hatinya,

Sebenarnya aku merasa tiada pantas sedikit pun menuliskan ini semua.
Tapi rasa hormat dan cintaku padamu yang tiap detik semakin membesar di
dalam dada terus memaksanya dan aku tiada mampu menahannya. Aku
sebenarnya merasa tiada pantas mencintaimu tapi apa yang bisa dibuat oleh
makhluk dhaif seperti diriku.

Wahai orang yang lembut hatinya,

Dalam hatiku, keinginanku sekarang ini adalah aku ingin halal bagimu.
Islam memang telah menghapus perbudakan, tapi demi rasa cintaku padamu
yang tiada terkira dalamnya terhunjam di dada aku ingin menjadi budakmu.
Budak yang halal bagimu, yang bisa kau seka air matanya, kau belai rambutnya
dan kau kecup keningnya. Aku tiada berani berharap lebih dari itu. Sangat tidak
pantas bagi gadis miskin yang nista seperti diriku berharap menjadi isterimu. Aku


merasa dengan itu aku akan menemukan hidup baru yang jauh dari cambukan,
makian, kecemasan, ketakutan dan kehinaan. Yang ada dalam benakku adalah
meninggalkan Mesir. Aku sangat mencintai Mesir tanah kelahiranku. Tapi aku
merasa tidak bisa hidup tenang dalam satu bumi dengan orang-orang yang
sangat membenciku dan selalu menginginkan kesengsaraan, kehancuran dan
kehinaan diriku. Meskipun saat ini aku berada di tempat yang tenang dan aman
di tengah keluarga Syaikh Ahmad, jauh dari ayah dan dua kakakku yang kejam,
tapi aku masih merasa selalu diintai bahaya. Aku takut mereka akan menemukan
diriku. Kau tentu tahu di Mesir ini angin dan tembok bisa berbicara.

Wahai orang yang lembut hatinya,

Apakah aku salah menulis ini semua? Segala yang saat ini menderu di
dalam dada dan jiwa. Sudah lama aku selalu menanggung nestapa. Hatiku selalu
kelam oleh penderitaan. Aku merasa kau datang dengan seberkas cahaya kasih
sayang. Belum pernah aku merasakan rasa cinta pada seseorang sekuat rasa
cintaku pada dirimu. Aku tidak ingin mengganggu dirimu dengan kenistaan kata-
kataku yang tertoreh dalam lembaran kertas ini. Jika ada yang bernuansa dosa
semoga Allah mengampuninya. Aku sudah siap seandainya aku harus terbakar
oleh panasnya api cinta yang pernah membakar Laila dan Majnun. Biarlah aku
jadi Laila yang mati karena kobaran cintanya, namun aku tidak berharap kau
jadi Majnun. Kau orang baik, orang baik selalu disertai Allah.

Doakan Allah mengampuni diriku. Maafkan atas kelancanganku.

Wassalamu’alaikum,

Yang dirundung nestapa,

Noura

Tak terasa mataku basah. Bukan karena inilah untuk pertama kalinya aku
menerima surat cinta yang menyala dari seorang gadis. Bukan karena kata-kata
Noura yang mengutarakan apa dirasakannya terhadapku. Aku menangis karena
betapa selama ini Noura menderita tekanan batin yang luar biasa. Ia sangat
ketakutan, merasa tidak memiliki tempat yang aman. Ia merasa berada dalam
kegelapan yang berkepanjangan. Tanpa cahaya cinta dan kasih dari keluarganya.
Ia merasa tidak ada yang peduli padanya. Ia telah kehilangan kepercayaan dirinya
sebagai manusia merdeka tanpa belenggu nestapa. Sesungguhnya tekanan psikis


yang menderanya selama ini lebih berat dari siksaan fisik yang ia terima. Maka
ketika ada sedikit saja cahaya yang masuk ke dalam hatinya, ada rasa simpati
yang diberikan orang lain kepadanya, ia merasa cahaya dan rasa simpati itu adalah
segalanya baginya. Ia langsung memegangnya erat-erat dan tidak mau kehilangan
cahaya itu, tidak mau kehilangan simpati itu dan ia sangat percaya dan
menemukan hidupnya pada diri orang yang ia rasa telah memberikan cahaya dan
rasa simpati.

Aku menyeka air mata kulipat kertas surat itu dan kumasukkan ke dalam
amplopnya. Setelah shalat shubuh aku harus menyampaikan hal ini pada Syaikh
Ahmad. Gadis itu perlu terus diberi semangat hidup dan dikokohkan ruhaninya.
Gadis itu perlu diyakinkan bahwa dia akan mendapatkan rasa aman dan kasih
sayang selama berada di tengah-tengah orang yang beriman. Aku mengambil air
wudhu untuk menenangkan hati dan pikiran. Aku harus kembali menyelesaikan
pekerjaan. Ketika azan shubuh berkumandang seluruh terjemahan telah selesai
aku edit. Langsung kupecah menjadi empat file. Kumasukkan ke dalam disket.
Mataku terasa berat dan perih. Seperti ada kerikil mengganjal di sana. Aku belum
memicingkan mata sama sekali. Aku bangkit kuajak teman-teman untuk turun ke
masjid.




11. Dijenguk Sahabat Nabi



Kepada Syaikh Ahmad aku berikan surat Noura untuk beliau baca. Jamaah
shalat shubuh sudah banyak yang pulang. Kecuali beberapa kakek-kakek yang
beri’tikaf dan membaca Al-Qur’an menunggu sampai waktu dhuha tiba. Aku
diajak Syaikh Ahmad masuk ke dalam kamar imam. Aku memohon kepada beliau
untuk memperlakukan gadis itu dengan lebih baik dan bijak. Aku memohon
kepada beliau agar gadis itu jangan dicela atas apa yang ditulis dan dilakukannya.
Gadis itu memang sedikit berbohong ketika mengatakan surat itu ucapan terima
kasih semata. Gadis itu perlu dikokohkan semangat hidupnya dan diyakinkan dia
tidak akan mendapatkan perlakuan buruk lagi. Dia akan aman di Mesir. Syaikh
Ahmad membaca surat itu dan menitikkan air mata. “Akan aku minta kepada
Ummu Aiman untuk mencurahkan perhatian yang lebih padanya. Dia memang
memerlukan rasa aman dan kasih sayang yang selama ini hilang. Dan dia
sepertinya belum merasa yakin dia akan mendapatkan rasa aman dan kasih sayang
di sini.” Syaikh Ahmad berjanji akan menyelesaikan masalah Noura sebaik-
baiknya dan meminta diriku agar tidak terganggu dan konsentrasi pada tesis. Dan
surat Noura itu aku berikan pada Syaikh. Aku tidak mau menyimpannya. Baru
aku pulang.

Sampai di rumah aku baca Al-Qur’an satu halaman. Aku ingin
memejamkan mata setengah jam saja. Aku pesan pada Saiful agar membangunkan
aku sampai aku benar-benar bangun pada pukul setengah tujuh.

Pukul setengah tujuh aku dibangunkan. Kerikil di mata belum sepenuhnya
hilang. Aku mandi. Sarapan belum jadi. Aku mempersiapkan segalanya untuk
pergi. Jawaban untuk Alicia. Proposal tesis. Dan disket berisi naskah terjemahan.
Karena perjalanan panjang aku harus berangkat pagi. Di metro aku tidak dapat
tempat duduk. Metro penuh oleh orang-orang yang berangkat kerja. Turun di
Tahrir aku langsung mencari Eltramco menuju Hayyu Sabe. Tujuanku adalah
@lfenia. Warnet yang dikelola teman-teman mahasiswa dari Indonesia. Pukul
delapan aku sampai di sana. Bertemu Furqon, penjaga warnet yang sudah seperti
saudara sendiri. Furqon memelukku dan berkata, “Pucat sekali sampean Mas.
Begadang ya?”


Aku menganggukkan kepala. Furqon mempersilakan aku memilih sendiri
tempat yang kuinginkan. Hanya ada tiga orang yang sedang berlayar di dunia
maya. Aku memilih yang paling dekat dari tempatku berdiri. Membuka
Yahoomail. Mengirim naskah terjemahan dengan attachment. Membuka beberapa
message di mailist Mutarjim, Qahwaji, dan Indonesia Cinta Damai. Melihat
Ahram, Time, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka dan Islam-online. Satu
jam aku di @lfenia. Furqan menyuguhkan segelas teh Arousa. Teh paling
merakyat di Mesir. Jika dibuat kental dan minum masih dalam keadaan agak
panas pelan-pelan. Sruput demi sruput. Teh Arousa mampu meringankan kepala
yang berat dan menyegarkan pikiran. Dari @lfenia aku langsung naik bis 926
menuju kampus Al Azhar di Maydan Husein. Kuserahkan proposal tesiskepada
Syuun Thullab Dirasat Ulya Fakultas Ushuluddin. Aku merasa aku akan terlambat
sampai di National Library. Aku kontak Aisha memberitahukan posisi
keberadaanku dan meminta mereka menunggu jika aku terlambat.

Benar aku terlambat sepuluh menit. Aku minta maaf. Kukeluarkan
jawaban atas pertanyaan Alicia yang telah kujilid.

“Semua pertanyaan tentang perempuan dalam Islam saya jawab dalam
empat puluh halaman. Pertanyaan lainnya saya jawab dengan menerjemahkan
buku yang ditulis oleh Prof.Dr. Abdul Wadud Shalabi.”

Alicia dan Aisha berdecak kaget dan gembira atas keseriusanku. Aku
jelaskan siapa sebenarnya yang menerjemahkan buku Prof. Shalabi ke dalam
bahasa Inggris. Sahamku dalam terjemahan itu hanyalah membaca ulang dan
mengoreksinya serta menerjemahkan hadits dan melengkapi terjemahan Al-
Qur’an yang ditinggalkan Maria. Korektor akhir atas semuanya adalah Syaikh
Ahmad Taqiyyuddin. Lalu kami berdiskusi selama dua jam setengah. Saat
berdiskusi aku merasa badanku terasa meriang sekali. Kepalaku berat tapi aku
tahan dan aku kuat-kuatkan. Alicia minta data diriku dan alamat lengkapku. Dua
hari lagi rencananya ia akan kembali ke Amerika. Aisha berkata suatu saat nanti
akan mengajak diriku untuk berdiskusi lagi. Kami berpisah. Di luar gedung terik
panas benar-benar menggila. Aku naik metro. Sampai di Maadi setengah tiga.Aku
belum shalat. Terpaksa aku turun untuk shalat di masjid yang ada di luar
mahattah.


Aku meneruskan perjalanan. Ubun-ubun kepalaku terasa sangat nyeri. Di
Tura El-Esmen badai panas bergulung menebar debu ke dalam metro. Sangat
tidak nyaman. Turun di Hadayek Helwan aku merasa tidak kuat untuk berjalan ke
apartemen. Aku panggil taksi. Kepalaku nyeri sekali. Tubuh seperti remuk. Aku
lupa belum sarapan sejak pagi. Sampai di halaman apartemen aku sempat melihat
jam tangan. Pukul tiga seperempat. Kepalaku seperti ditusuk tombak berkarat.
Sangat sakit. Begitu membuka pintu rumah aku merasa tidak kuat melangkahkan
kaki. Kepala terasa seperti digencet palu godam. Lalu aku tidak tahu apa yang
terjadi. Mataku menangkap kilatan cahaya putih lalu gelap.

* * *

Dalam keremangan gelap aku melihat ada cahaya. Perlahan aku membuka
mata. Aku melihat langit-langit berwarna putih. Bukan langit-langit kamarku.
Langit-langit kamarku biru muda. Kepalaku masih berat.

“Alhamdulillah. Kau sudah tersadar Mas,” suara Saiful serak. Aku
memandang wajahnya.

“A..aku di...di mana?” lidahku terasa kelu sekali.

“Di rumah sakit Mas,” lirih Saiful.

“Kenapa?”

“Sudah lah Mas istirahat dulu. Jangan memikirkan apa-apa dulu.”

Kepalaku terasa nyeri kembali. Aku berusaha berpikir, mengingat-ingat
apa yang terjadi padaku sehingga ada di rumah sakit ini. Perjalanan melelahkan,
kepanasan dengan perut kosong. Membuka pintu dengan kepala sakit luar biasa
seperti dihantam palu godam. Lalu gelap. Saiful menatapku dengan mata berkaca.

“Jam be..berapa?” tanyaku padanya.

“Setengah tiga malam Mas.”

Aku teringat belum shalat Ashar, Maghrib dan Isya. Aku ingin bangkit
tapi seluruh tubuhku terasa lumpuh. Kepalaku tiba-tiba terasa sakit sekali.

“Aduuh! Astaghfirullah!” aku menahan sakit tiada terkira.

“Kenapa Mas?”

Semuanya kembali terasa gelap. Aku berlayar dalam gelap dan
keheningan. Mengarungi dunia yang tiada aku tahu namanya. Aku mendengar
suara magic Syaikh Utsman Abdul Fattah. Fahri, baca surat Al Anbiya! Kubaca


surat Al Anbiya. Teruskan Surat Al Hajj, pakai qiraah Imam Warasy.82 Aku
membaca dengan qiraah Warasy sampai selesai. Semuanya gelap kembali. Aku
tidak mendengar apa tidak melihat apa-apa. Aku kembali mendengar suara Syaikh
Utsman, beliau membaca surat Al Furqan dengan qiraah Imam Hamzah aku
mendengar dengan seksama kefasihan tajwidnya. Sampai ayat enam puluh lima
beliau membaca dengan menangis tersedu-sedu. Aku ikut menangis. Beliau tiada
kuasa untuk melanjutkannya. Aku membacanya dan melanjutkannya dengan
qiraah yang sama. Selesai. Syaikh Utsman meminta aku meneruskan satu surat
lagi. Aku memenuhi titah beliau, kubaca surat Asy Syuara. Sampai pada ayat
seratus delapan puluh empat daun telingaku menangkap suara isak tangis sayup-
sayup. Aku merasa ada sentuhan halus di pipiku. Aku mengerjapkan mataku.

“Fahri, kau sudah sadar Fahri. Kau bangun Fahri. Ini aku,” suara halus
perempuan. Aku coba membuka mata lebih lebar. Semakin terang. Aku melihat
wajah putih bersih. Dia duduk di kursi dekat dengan dadaku

“Ma..Maria?!” aku memanggil namanya, tapi cuma bibirku yang kurasa
bergerak tanpa suara.

“Ya aku Maria,” ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.

.“Astaghfirullah!” lirihku.

“Ada apa Fahri?”

“Ma..mana Saiful?”

“Sedang keluar, dia kusuruh sarapan.”

“Jam berapa?”

“Jam delapan pagi.”

Maria tiada berkedip memandangi diriku yang terbujur tiada berdaya
seperti bayi. Matanya berkaca-kaca, hidungnya memerah dan pipinya basah.

“Kenapa kau kemari, Maria?”

“Aku ingin tahu keadaanmu. Aku mencemaskanmu.”

“Kau menangis Maria?”

82 Imam Warasy, seorang Imam Qiraah yang terkenal, mengambil qiraahnya dari Imam Nafi
bin Abdurrahman Al-Madani yang mengambil qiraah dari Imam Abu Ja’far Al-Qari dan tujuh
puluh tabiin. Dan mereka semua mengambil qiraah dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah dari Ubay
bin Kaab dari Rasulullah Saw.


“Kau membuatku menangis Fahri. Kau mengigau terus dengan bibir
bergetar membaca ayat-ayat suci. Wajahmu pucat. Air matamu meleleh tiada
henti. Melihat keadaanmu itu apa aku tidak menangis,” serak Maria sambil tangan
kanannya bergerak hendak menyentuh pipiku yang kurasa basah.

“Jangan Maria tolong, ja..jangan sentuh!”

“Maaf, aku lupa. Keadaan haru sering membuat orang lupa.”

Aku melihat di samping kiriku ada tiang besi putih, ada tabung infus
tergantung di sana. Di bawah tabung ada selang kecil mengalirkan air infus ke
dalam nadi tangan kiriku. Air infus terus menetes seperti embun di musim
penghujan. Aku kembali merasakan nyeri dalam tempurung kepalaku. Seperti ada
ratusan paku menancap. Aku berusaha menahan dengan memejamkan mata dan
otot rahang menegang. Tak kuat juga aku mengaduh, meskipun lirih.

“Ada apa Fahri, apa yang kau rasakan?” suara Maria serak.

“Kepalaku nyeri sekali.”

“Biar kupanggilkan petugas,” telingaku menangkap suara langkah kaki
Maria. Tak lama kemudian ia datang dengan seorang dokter lelaki. Dokter itu
memasang menempelkan tangannya di keningku. Memeriksa tekanan darahku.
Memasang termometer sebesar pena di ketiakku. Dan dengan suara yang lembut
menanyai apa yang kurasakan serta membesarkan hatiku. Ia mengambil
termometer dan melihatnya. Lalu menuliskan sesuatu di dalam berkas yang di
bawanya. Kemudian menyuntikkan sesuatu lewat jarum selang infus yang
menancap di tangan kiriku.

“Suntikan untuk meredakan rasa sakit. Kau akan cepat sembuh,” kata
dokter itu. Maria mengamati dengan seksama apa yang dilakukan dokter itu
padaku. Ia berdiri di samping ranjang. Rambutnya yang hitam terkucir rapi.
Setelah mendapat suntikan itu rasa sakit di kepalaku terasa mulai berkurang.
Saiful datang tepat saat dokter setengah baya yang mengenalkan dirinya bernama
Ramzi Shakir itu hendak pergi. Saiful menyalami dokter Ramzi dan berbincang
sebentar dengannya. Maria duduk di kursi di samping ranjang. Saiful mendekat. Ia
mengucapkan salam dan tersenyum.

“Maria, boleh aku bicara empat mata dengan Saiful?” lirihku pada Maria.


Maria mengangguk dan melangkah keluar. Ia tidak membawa serta tas
kecilnya.

“Saif, kenapa kau tinggalkan aku sendirian dengan Maria? Kenapa dia
yang menunggui aku? Dia bukan mahramku.” Aku memaksakan diri untuk
bersuara agak keras. Saiful sepertinya tahu kalau aku marah dan tidak berkenan.

“Maafkan saya Mas. Keadaannya darurat. Aku belum tidur sama sekali
semalam dan perutku perih sekali. Kebetulan Maria datang,” jawabnya.

“Teman-teman yang lain mana?”

Saiful lalu menceritakan kejadian itu.

“Saat Mas pulang dan terjatuh tak sadarkan diri di pintu, yang ada di
rumah cuma saya seorang. Saya langsung mengontak Mishbah yang saat itu ada
di Wisma agar pulang. Sedangkan Hamdi dan Rudi, hari itu sedang dalam
perjalanan ikut rihlah83 ke Luxor yang diadakan Majlis A’la. Mereka tidak
mungkin dihubungi. Saya bingung, saya naik ke atas. Untung saat itu Yousef dan
Maria ada. Maria langsung menelpon mamanya, Madame Nahed, yang sedang
kerja di Rumah Sakit Maadi. Madame Nahed meminta pada Maria agar seketika
itu juga membawa Mas Fahri ke rumah sakit. Madame Nahed mengurusi
semuanya dan memilihkan kamar kelas satu. Dia juga yang memilihkan dokter.
Madame Nahed tidak bisa langsung menanganimu sebab dia dokter spesialis
anak. Mas tak sadarkan diri dalam waktu yang lama sekali. Mas baru sadar jam
setengah tiga malam. Setelah itu tak sadarkan diri lagi. Mishbah sampai di rumah
sakit jam lima sore ikut menunggui sampai jam satu malam. Saya dan Mishbah
sepakat membuat jadwal. Malam itu saya minta Mishbah istirahat di rumah,
karena dia terlihat sangat kelelahan. Dan saya minta dia datang pukul sembilan
pagi untuk gantian jaga. Pukul setengah delapan tadi Maria datang tepat ketika
saya merasakan perut ini sedemikian perih karena sejak sore kemarin belum
kemasukan apa-apa. Melihat wajah saya pucat Maria minta saya keluar keluar
untuk makan dan membersihkan badan. Jadilah Maria menjaga Mas sendirian.”

Mendengar cerita itu aku maklum adanya. Saiful berjanji akan menjaga
diriku sebaik-baiknya bergantian dengan Mishbah. Dan tidak akan membiarkan
diriku dijaga oleh orang lain.

83 rekreasi.


Maria mengetuk pintu minta izin masuk. Aku minta Saiful untuk
mempersilakan dia masuk. Maria datang dengan menenteng kantong plastik putih.
Ia duduk dan mengeluarkan isinya; satu botol air mineral, satu kotak susu Juhayna
isi satu kilo, satu kotak ashir mangga, sebungkus roti tawar, satu kaleng vitrac
rasa strawberry, satu kaleng cokelat, sekotak keju president, dan satu kotak tissue
meja. Ia menatanya di atas meja yang masih kosong tidak ada apa-apa. Maria
menawariku makan atau minum. Aku sama sekali tidak berselera. Ia mengambil
selembar roti tawar, mengoleskan keju dan cokelat dan menutupnya dengan
selembar roti tawar di atasnya dan menyerahkan pada Saiful. Saiful tidak bisa
menolaknya. Maria kembali mengambil roti tawar. Kali ini untuk dirinya. Lalu ia
mengambil dua gelas dan bertanya pada Saiful mau minum apa. Saiful menjawab,
air putih saja. Maria menuangkan air mineral ke dalam gelas dan menyerahkan
pada Saiful. Ia sendiri menuangkan ashir mangga.

Kudengar mereka berdua berbincang sambil makan roti. Saiful
mengucapkan rasa terima kasih atas kebaikan Maria. Dengan sangat hati-hati ia
menjelaskan masalah mahram kepada Maria. Dengan bahasa halus ia meminta
agar jika bisa Maria datang bersama ayah atau adiknya. Jadi seandainya
berbincang atau berada dalam satu ruangan seperti itu ada mahram yang
menemaninya. Bukan karena tidak percaya pada Maria tapi demi kedamaian jiwa.
Aku diam saja. Sebab perlahan aku kembali merasakan kepalaku mulai bersenut-
senut. Aku masih bisa mendengar Saiful menyitir beberapa sabda Rasul yang
memberikan tuntunan cara berinteraksi pria dengan wanita. Batasan boleh dan
tidaknya.

Aku juga mendengar pertanyaan Maria tentang boleh tidaknya perempuan
menjenguk pria yang dikenalnya yang sakit. Aku mendengar Saiful menjawab
boleh, mendasarkan jawabannya bahwa Imam Bukhari dalam kitab shahihnya
secara khusus menulis “Bab Perempuan Membesuk Lelaki”. Beliau mengatakan,
“Ummu Darda’ menjenguk seorang lelaki ahli masjid dari kalangan Anshar.”
Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa ketika Ka’ab bin Malik Al Anshari
sakit keras dan dekat dengan kematiannya, Ummu Mubasyir binti Al Barra bin
Ma’rur Al Anshariyyah menjenguknya. Maka tidak ada masalah seorang


perempuan menjenguk saudaranya yang lelaki selama masih menjaga adab
kesopanan yang diajarkan Rasulullah.

Setelah itu aku tidak mendengar lagi apa yang mereka bicarakan. Aku
kembali merasakan nyeri yang luar biasa dalam tempurung kepalaku. Aku
mengaduh. Lalu semuanya terasa gelap.

* * *

Ketika aku sadar, aku tidak menemukan Saiful dan Maria. Yang ada di
sisiku adalah Mishbah dan beberapa teman dari Nasr City yang kukenal baik. Ada
Mas Khalid, Kang Kaji, Mas Junaedi, Sofwan, Iswan, Khalil, Bimo dan Chakim.
Mereka semua tersenyum padaku meskipun aku menangkap guratan sedih dalam
wajah mereka. Mereka mendekat satu persatu dan memelukku pelan sambil
berbisik, “Syafakallah syifaan ajilan, syifaan la yughadiru ba’dahu saqaman.”84

Kutanyakan pada Mishbah jam berapa sekarang. Mishbah menjawab jam
satu siang. Apakah ini hari Ahad? Mishbah menjawab iya. Aku minta pada
Mishbah untuk menghubungi Syaikh Utsman. Rabu lalu aku sudah tidak datang.
Aku minta Mishbah menjelaskan kondisiku pada beliau dan memohon agar beliau
memberikan doanya. Mishbah keluar. Aku mencoba mengangkat tanganku. Tidak
bisa juga. Rasanya seperti lumpuh. Aku meneteskan air mata. Aku belum berani
bertanya sakit apa aku sebenarnya.

Aku minta pada Mishbah dan teman-teman agar tidak mengabarkan
sakitku ini ke Indonesia. Aku merasa ingin buang air kecil. Aku katakan itu pada
Mas Khalid. Mas Khalid mengambilkan pispot. Teman-teman yang lain keluar.
Mas Khalid memasukkan pispot ke balik selimutku. Tangannya meraba tanpa
membuka auratku dan berusaha aku bisa buang air kecil di dalam pispot. Aku
tidak bisa membayangkan kalau dalam keadaan seperti ini yang ada di sampingku
hanyalah Maria seperti tadi pagi. Apakah aku harus buang air kecil begitu saja di
atas kasur seperti waktu aku masih bayi dulu, ataukah aku akan meminta tolong
padanya untuk memasangkan pispot. Selesai buang air kecil, aku minta pada Mas
Khalid mentayamumi aku.85 Tanganku sama sekali tidak bisa digerakkan. Lalu

84 Semoga Allah menyembuhkanmu secepatnya, dengan kesembuhan yang tiada sakit
setelahnya.

85 Tayamum adalah bersuci dengan menggunakan debu sebagai ganti wudhu.


aku shalat dengan menggunakan isyarat mata dan tubuh terlentang tiada berdaya
seperti seorang balita.

Teman-teman menemani sampai jam besuk habis. Tinggal Mishbah
seorang yang tetap menunggui diriku. Mishbah memberi tahu habis maghrib,
insya Allah, Syaikh Utsman Abdul Fattah akan datang. Aku meneteskan air mata,
diriku telah menyusahkan banyak orang. Mishbah mengusap air mata yang
meleleh dipipiku dengan tissue yang dibeli Maria, baunya wangi. Sambil
menghiburku bahwa semuanya akan kembali seperti sedia kala, aku akan sembuh
dan sehat kembali serta bisa main bola lagi. Saiful datang membawa bantal. Ia
bilang sejak sekarang ia dan Mishbah akan menjagaku berdua. Tidur dan istirahat
bergantian di dalam kamar kelas satu ini. Memang di kamar yang tidak terlalu
luas ini hanya aku seorang pasiennya. Aku tidak tahu bagaimana nanti membayar
ongkosnya. Kepalaku terasa berat lalu nyeri dan semuanya kembali terasa gelap.

Dalam gelap aku tidak tahu berada di alam apa. Tiba-tiba aku berjumpa
dengan orang yang kurus dan bercahaya wajahnya, orang yang belum pernah aku
berjumpa dengannya. Dia mengenalkan dirinya sebagai Abdullah bin Mas’ud.
Aku tersentak kaget. Abdullah bin Mas’ud adalah satu-satunya sahabat, yang
Baginda Nabi ingin mendengar bacaan Al-Qur’an darinya. Abdullah bin Mas’ud
adalah Guru Besar Tafsir dan Qiraah di kota Kufah. Imam-imam besar dari
kalangan tabiin banyak yang belajar membaca Al-Qur’an darinya. Abdullah bin
Mas’ud tersenyum padaku serta merta aku mencium tangannya, ia menyambutku
dan memeluk diriku. Aku bisa berdiri, aku tidak lumpuh. Ibnu Mas’ud
membisikkan syafakallah ke telingaku. Aku mencium bau harum dari jubah dan
tubuhnya.

Beliau melepaskan pelukannya dan memintaku membaca Al Baqarah. Aku
membacanya dengan hati bahagia. Beberapa kali dia membetulkan bacaanku. Aku
membaca sampai akhir Al Baqarah. Abdullah bin Mas’ud memintaku berhenti.
Abdullah bin Mas’ud mencium keningku dan hendak pergi. Aku menahannya.
Aku katakan aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Beliau tersenyum dan
menyilakan aku bertanya.

Aku tanyakan padanya, “Apakah benar riwayat yang mengatakan Anda
tidak mengakui mushaf Utsmani?”


Abdullah bin Mas’ud tersenyum padaku dan berkata dengan suara yang
sangat berwibawa,

“Yang tidak mengakui mushaf Utsmani dan tidak suka dengannya adalah
orang-orang munafik dan orang-orang yang memusuhi agama Allah. Mereka
mencatut namaku untuk membela tujuan-tujuan mereka yang jahat. Apa yang ada
di dalam mushaf Utsmani dari Al Fatihah sampai An Naas adalah wahyu yang
diturunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada Baginda Nabi. Tertulis utuh dan
sempurna. Tidak berkurang dan tidak bertambah meskipun cuma satu huruf. Dan
apa yang ada dalam mushaf Utsmani itulah yang aku ajarkan pada para tabiin dan
mereka mengajarkan pada murid-muridnya. Begitu seterusnya hingga sampai
kepadamu dan kepada jutaan umat Muhammad di seluruh penjuru dunia. Al-
Qur’an terjaga keasliannya. Memang akan selalu ada orang-orang jahat yang
berusaha meragukan kebenaran dan merusak kesucian Al-Qur’an. Namun
ketahuilah usaha mereka akan sia-sia. Sebab Allah sendiri yang akan menjaga
keutuhan dan kesuciannya sampai hari akhir. Dan orang-orang pilihan Allah di
dunia ini adalah mereka yang disebut Ahlul Quran. Orang-orang yang hatinya
selalu terpatri pada Al-Qur’an, mengimani Al-Qur’an, dan berusaha mengajarkan
dan mengamalkan isi Al-Qur’an dengan penuh keikhlasan.”

Sahabat nabi, Abdullah bin Mas’ud tersenyum. Aku pun tersenyum. Aku
ingin ikut dengannya, tapi beliau tidak memperbolehkannya. Aku lalu titip
padanya salam sejahtera, rasa cinta dan rasa rindu tiada terkira untuk Baginda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sahabat nabi itu lalu meninggalkan diriku.
Semakin lama semakin jauh. Mengecil. Menjadi titik. Dan hilang. Aku merasa
kehilangan dan sedih. Mataku basah.




12. Siapa Malaikat Itu?



Wajah itu Nurul. Ya Nurul. Ketika aku terbangun dari ketidaksadaran, aku
melihatnya, tak jauh dari kakiku bersama teman-temannya. Kulihat sekilas
wajahnya sendu. Ada juga ketua dan pengurus PPMI, Persatuan Pelajar dan
Mahasiswa Indonesia. Saiful duduk di dekat kepalaku. Ia paling dekat denganku.
Tangannya mengusap pipiku yang basah.

“Alhamdulillah, Mas Fahri sadar.” Aku mendengar mereka memuji Allah.

“Sabar Mas Ya? Insya Allah segera sembuh,” lirih Saiful dengan mata
berkaca-kaca.

“Aku sakit apa katanya Saif?”

“Dokter belum menjelaskannya Mas.”

Zaimul Abrar, Ketua PPMI, mendekat, mendoakan, dan atas nama seluruh
mahasiswa ikut merasa sedih atas sakit yang menimpaku. Lalu gantian Nurul
mewakili teman-temannya, ketika dekat dengan diriku ia menatapku dengan
penuh iba dan sorot mata yang aku tidak tahu maknanya. Kedua matanya berkaca-
kaca dan sendu. “Cepat sembuh Kak. Cepat selesaikan masternya dan cepat
mengabdi di tanah air tercinta,” katanya terbata-bata. Aku mendengarnya dengan
sesekali memejamkan mata.

“Mas kami pamit. Kami sudah lama di sini. Syafakallah!” ucap Zaim.

“Kami juga minta diri Kak,” ikut Nurul.

Mereka pun pulang. Aku merasa wujudku benar-benar ada dan berarti.
Aku merasa diperhatikan, disayang, dan dicintai semua orang.

Dua menit setelah mereka keluar, Syaikh Ahmad datang bersama Ummu
Aiman. Syaikh Ahmad berusaha tersenyum padaku. Beliau memelukku pelan
sambil mendoakan kesembuhanku. Ia tahu aku sakit dari Mishbah yang ketika
shalat shubuh mengabarkan padanya. Syaikh Ahmad memberikan sedikit
tadzkirah yang membesarkan hatiku dan menguatkan jiwaku.

“Pintu-pintu surga terbuka lebar untuk orang yang sabar menerima ujian
dari Allah!”

Syaikh Ahmad tidak lama berada di sisiku. Tak lebih dari seperempat jam.
Setelah itu pamitan. Beliau membawa dua kilo anggur yang sangat segar.


* * *

Menjelang maghrib Dokter Ramzi Shakir memberi tahu setelah melihat
hasil foto rontgen kepalaku, aku harus dioperasi. Ada gumpalan darah beku yang
harus dikeluarkan. Rencananya operasi besok pagi pukul delapan. Aku diminta
untuk puasa malam ini. Aku mungkin akan tinggal di rumah sakit sekitar satu
bulan lamanya. Aku menitikkan air mata. Saiful dan Mishbah menghibur,
meskipun kulihat mereka berdua juga menitikkan air mata.

Menjelang Isya, Syaikh Utsman Abdul Fattah benar-benar datang bersama
beberapa teman Mesir yang mengaji qiraah sab’ah pada beliau. Syaikh Utsman
mengusap kepalaku, persis seperti ayahku mengusap kepalaku. Beliau tersenyum
padaku. Beliau meminta kepada semuanya untuk keluar sebentar. Beliau ingin
berbicara hanya berdua denganku. Saiful, Mishbah dan teman-teman Mesir keluar
meninggalkan kami. Syaikh Utsman duduk di kursi dekat dadaku.

Sambil mengelus rambut kepalaku beliau berkata,

“Anakku, ceritakan padaku apa yang dilakukan sahabat nabi yang mulia,
Abdullah bin Mas’ud padamu?”

Aku kaget bukan main. Bagaimana Syaikh Utsman tahu kalau aku
bertemu sahabat nabi Abdullah bin Mas’ud dalam pingsanku.

“Tadi malam jam tiga saat aku tidur setelah tahajjud aku didatangi
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu. Aku hanya sempat bersalaman saja.
Beliau bilang akan menjengukmu sebelum aku menjengukmu.” Syaikh Utsman
seperti mengerti keherananku, beliau menjelaskan bagaimana beliau tahu aku
kedatangan Abdullah bin Mas’ud.

“Bagaimana Syaikh bisa yakin aku benar-benar di datangi Abdullah bin
Mas’ud?” tanyaku dengan suara serak untuk lebih meyakinkan diriku.

“Seperti keyakinan Rasulullah ketika bermimpi akan berhaji dan membuka
kota Makkah.”

Jawaban singkat Syaikh Utsman menyadarkan diriku akan kekuatan
mimpi orang-orang shaleh yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala. Untung aku
sudah membaca dan menelaah Kitab Ar Ruuh yang ditulis oleh Imam Ibnu
Qayyim Al Jauzi. Murid utama Imam Ahmad bin Hambal dan ulama terkemuka
pada zamannya itu membahas masalah ruh dengan tuntas disertai dalil-dalil yang


tidak bisa diragukan. Bahwa ruh orang yang telah wafat bisa bertemu dengan ruh
orang yang masih hidup. Semuanya atas izin dan kekuasaan Allah Swt. Kisah para
sahabat dan ulama salafush shalih menjadi bukti dan kenyataan yang terang tiada
keraguan seperti terangnya cahaya matahari di waktu siang.

Di antaranya, Imam Ibnu Qayyim menuliskan kisah nyata, dengan sanad
yang shahih, dari Imam Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Shahr bin
Hausyab:

Bahwa dua orang sahabat nabi yaitu Sha’b bin Jitsamah dan Auf bin Malik
adalah bersaudara. Sha’b berkata kepada Auf,

‘Saudaraku, jika salah satu di antara kita mati dahulu maka harus berusaha
datang menemui dalam mimpi.’

Auf berkata, ‘Apakah itu mungkin?’

Sha’ab menjawab, ‘Ya.’

Kemudian meninggallah Sha’b. Dan Auf melihatnya di dalam mimpi
seolah Sha’b mengunjunginya. Auf menyapa, ‘Wahai Saudaraku!’

‘Ya.’ Jawab Sha’ab.

‘Apa yang terjadi denganmu?’ tanya Auf.

‘Beberapa dosaku telah diampuni.’ Jawab Sha’ab.

Auf melihat ada noda hitam di lehar Sha’ab. Ia langsung bertanya,
‘Saudaraku, ini apa?’

Sha’b menjawab, ‘Ini adalah sepuluh dinar yang aku pinjam dari lelaki
Yahudi (dan belum aku kembalikan). Sepuluh dinar itu ada di dalam tanduk
milikku, berikanlah padanya. Ketahuilah Saudaraku, semua kejadian yang
menimpa keluargaku setelah kematianku telah kuketahui kabarnya, termasuk
kucing yang meninggal beberapa hari yang lalu. Dan ketahuilah, puteriku akan
meninggal enam hari lagi, maka berwasiatlah yang baik untuknya.’

Ketika bangun Auf berkata, ‘Dalam mimpi ini ada pemberitahuan.’

Auf lalu mendatangi keluarga Sha’b. Mereka menyambutnya dengan
hangat dan berkata, ‘Selamat datang Auf, apakah seperti ini perlakuanmu pada
keluarga yang ditinggal saudaramu? Kau tidak mendatangi kami sejak dia
meninggal.’ Auf memberikan alasan seperti orang-orang memberi alasan. Lalu


melihat tanduk dan menurunkan dari tempatnya. Dan menemukan kantung berisi
dinar di dalamnya. Lalu membawanya ke tempat orang Yahudi.

Auf bertanya pada orang Yahudi, ‘Apakah Sha’b punya hutang padamu?’

Orang Yahudi menjawab, ‘Semoga Allah merahmati Sha’b. Dia termasuk
sahabat nabi yang utama. Hutangku kuikhlaskan untuknya.’

Auf mendesak, ‘Katakanlah padaku berapa dia berhutang padamu?’

Orang Yahudi menjawab, ‘Sepuluh dinar.’

Auf lalu menyerahkan kantong berisi sepuluh dinar itu pada orang Yahudi.
Auf berkata, ‘Ini yang pertama!’

Kemudian Auf kembali menemui keluarga Sha’b dan bertanya, ‘Apakah
ada suatu kejadian di rumah kalian setelah kematian Sha’b?’

Mereka menjawab, ‘Ya, kucing kami mati beberapa hari yang lalu!’

Auf berkata, ‘Ini yang kedua!’

Lantas Auf bertanya, ‘Mana anak perempuan Saudaraku?’

“Dia sedang bermain.’ Jawab mereka.

Auf lalu mendatanginya dan mengusap-usapnya, anak puteri itu ternyata
sedang demam. Auf berkata pada mereka, ‘Berwasiat baiklah untuknya.’ Dan
anak perempuan itu meninggal enam hari kemudian.

Kisah serupa sangat banyak terjadi di zaman sahabat nabi dan zaman
tabiin. Imam Ibnu Abdul Bar yang mengarang kitab ‘Al Tamhid’ penjelas kitab
Muwatta’ Imam Malik menuturkan kisah tsabit bin Qaish bin Syamas yang mati
syahid dan mendatangi Abu Bakar dalam mimpinya karena punya hutang. Abu
Bakar pun menjalankan wasiat Tsabit.

Syaikh Utsman masih menunggu jawabanku.

“Anakku, apa yang kau dapat dari Abdullah bin Mas’ud yang
mendatangimu. Ceritakanlah pelan-pelan, aku ingin tahu?’ Syaikh Utsman
kembali mengulangi pertanyaannya. Aku lalu menceritakan semuanya. Syaikh
Utsman menitikkan air mata dan berkata, ‘Allah yubarik fik ya bunayya!’86 Lalu
beliau berpesan agar aku tidak menceritakan mimpi ini kepada siapa-siapa,
kecuali orang-orang yang bisa dipercaya. Mimpi seperti ini tidak semua orang
suka mendengarnya, dan tidak semua orang mempercayainya.

86 Allah memberkahimu, Anakku.


Syaikh Utsman lalu mengeluarkan botol kecil dari saku jubahnya.

‘Ini aku bawakan air zamzam. Tidak banyak, namun semoga bermanfaat.
Minumlah dengan terlebih dahulu membaca shalawat nabi dan berdoa minta
kesembuhan dan ilmu yang manfaat.’ Ucap beliau.

Aku belum bisa menggerakkan tanganku. Syaikh Utsman agaknya tahu.
Beliau sendiri yang meminumkan air zamzam itu ke mulutku. Setelah itu beliau
berpesan agar aku memperbanyak istighfar dan shalawat. Agar aku mengikuti
semua petunjuk dokter dan minum obat yang teratur. Aku beberkan semua
kecemasanku pada beliau, terutama tentang kepalaku yang mau dioperasi. Beliau
menenangkan diriku. Beliau minta kepadaku agar besok pagi minta kepada dokter
untuk memfoto rontgen sekali lagi. Jika tidak ada perubahan dan memang harus
dioperasi ya harus dijalani. Beliau akan berdoa semoga Allah memberikan jalan
kesembuhan yang lebih mudah. Beliau mencium keningku seperti seorang kakek
mencium cucunya. Setelah itu memanggil kembali teman-teman untuk masuk.
Teman-teman Mesir berusaha menghibur. Si Mahmoud bercerita tentang Juha
yang lucu, aku tersenyum mendengarnya. Pukul setengah sepuluh Syaikh Utsman
dan teman-teman Mesir pamitan.

Menjelang tidur Himam datang. Ia bersama Hamim dan Mahmudi. Himam
pernah satu bulan satu rumah denganku di Hayyul Asyir sebelum aku pindah ke
Hadayek Helwan. Ia punya buku pijat refleksi dan suka mencoba-coba pada
teman-teman satu rumah yang kelelahan. Itu pula yang dilakukan Himam
terhadapku. Ia menyibak selimut di kakiku dan mencoba-coba mencari syaraf
yang ia rasa ganjil di telapak kaki. Himam memijat dan aku menahan sakit. Begitu
berulang-ulang. Lalu Himam memijit dengan santai ke seluruh kakiku, sampai
aku tertidur.

* * *



Pagi hari aku merasa badanku lebih enak. Kepalaku lebih ringan. Jam
enam pagi, aku minta Mishbah memberi tahukan pada dokter atau petugas bahwa
aku minta dirontgen ulang. Aku tidak akan menandatangani surat kesediaan
operasi sebelum dirontgen ulang dan hasilnya dilihat kembali dengan teliti.


Dengan senang hati, Dokter Ramzi memenuhi permintaanku. Aku
digeledek ke ruang rontgen. Dua orang perawat mengangkatku ke meja yang
menyatu dengan alat foto berukuran besar itu. Seorang petugas mengepaskan titik
fokus di kepalaku. Aku di foto dalam tiga posisi. Lalu dibawa kembali ke kamar.

Sampai di kamar sudah ada Maria dan keluarganya. Maria menatapku
dengan wajah sedih, juga Yousef, Tuan Boutros dan Madame Nahed. Mereka tahu
kalau pagi ini aku akan dioperasi maka mereka datang untuk melihatku sebelum
masuk ke ruang operasi. Maria menitikkan air mata ia takut terjadi apa-apa
padaku. Aku bilang pada mereka semua, insya Allah, tidak akan terjadi apa-apa
dan aku akan sembuh seperti sedia kala.

Pukul setengah sembilan Dokter Ramzi datang dengan wajah cerah. Beliau
menyerahkan hasil rontgen dan membawa kabar gembira, “Entah ini mukjizat
atau apa, gumpalan darah beku di bawah tempurung kepalanya itu telah tiada.”
Dokter Ramzi minta aku mencoba menggerakkan tanganku, meskipun sangat
pelan aku bisa. “Tak perlu operasi, kau akan sembuh seperti sedia kala. Tinggal
perawatan medis secara intensif untuk penyembuhan.”

Aku mengucapkan syukur berkali-kali kepada Allah atas anugerah ini.
Kudengar Tuan Boutros memuji tuhannya; Bapa, Yesus dan Roh Kudus. Kuminta
kepada Saiful dan Mishbah untuk sujud syukur. Madame Nahed masih melihat
foto rontgen. Dia membandingkan foto pertama dan foto kedua. Bibirnya
berdesis, “Mahabesar kekuasaan Tuhan, ini mukjizat!”

Dokter Ramzi bilang aku telah melewati masa kritis, dia mengucapkan
selamat kepadaku. Sejak itu keadaanku semakin membaik. Teman-teman
mahasiswa Indonesia banyak yang berdatangan menjenguk. Beberapa staf KBRI
yang kenal baik juga menjenguk. Teman-teman dari Malaysia, Patani dan
Singapura juga.

Hari kelima aku sudah bisa bangkit dari tempat tidur. Aku sudah bisa
makan sendiri dengan kedua tanganku. Dari hari ke hari perkembangan
kesehatanku terus membaik. Hari ke sembilan aku sudah bisa ke toilet sendiri.
Hari ke sebelas aku sudah bisa jalan-jalan keluar kamar, ke taman dan duduk-
duduk di sana ditemani Saiful dan Mishbah. Hari itu juga Rudi, dan Hamdi pulang
dari Luxor. Mereka sangat terkejut dan menyesal tidak berada di sisiku melewati


masa kritis. Aku minta kepada Saiful untuk bertanya kapan aku boleh pulang dan
kira-kira biaya semuanya berapa? Saiful memberi tahu dua hari lagi bisa pulang
dan biaya semuanya sekitar seribu dua ratus dollar. Aku mengerutkan kening.
Dalam tabunganku hanya ada lima ratus dollar. Aku bertanya mereka berempat
ada uang berapa. Hamdi kosong, tinggal dua puluh lima pound saja. Rudi ada
cadangan seratus dollar. Saiful lima puluh dollar. Dan Mahmoud juga lima puluh
dollar. Berarti semua baru ada enam ratus dollar. Masih kurang enam ratus dollar.
Dan bisa jadi totalannya nanti lebih dari itu. Mau tidak mau harus mencari
pinjaman. Aku minta pada Rudi untuk menemui Pak Jayid Hadiwijaya, Atase
Pendidikan yang baik hatinya, agar meminjam uang secukupnya dari beliau untuk
biaya perawatan rumah sakit. Siang Rudi berangkat, sore kembali dengan
membawa uang seribu dollar.

Pagi hari H aku boleh pulang ke rumah sakit Saiful mengurusi semua
administrasi. Ia kembali ke kamar dengan wajah heran.

“Mas, biayanya semua sudah dilunasi seseorang,” lapornya dengan wajah
ceria bercampur bingung.

“Siapa yang melunasinya?” tanyaku heran.

“Pihak rumah sakit tidak mau menyebutkan namanya,” jawabnya.

Rudi yang bertugas mencari mobil kembali bersama Tuan Boutros dan
keluarganya. “Tak usah repot cari mobil, kami datang untuk menjemputmu
pulang,” demikian Tuan Boutros. Aku tak menjawab apa-apa. Mereka sangat
baik, seperti keluarga sendiri, seperti bukan orang lain. Aku teringat biaya yang
sudah dilunasi, jangan-jangan mereka.

“Sebelum pulang aku mohon kejujuran kalian. Apakah kalian yang telah
melunasi seluruh biaya perawatan saya?” tanyaku sambil memandang Tuan
Boutros dan Madame Nahed bergantian.

“Tidak. Bukan kami,” jawab Madame Nahed.

“Kumohon demi kasih Isa Al Masih, kalian harus berterus terang, aku
tidak akan tenang,” desakku.

“Kami benar-benar tidak melunasinya. Kami memang berniat melunasinya
tapi sudah terlambat. Sudah ada yang mendahului kami. Kukira kalian sendiri
yang telah melunasinya. Kami berkata yang sebenarnya,” terang Madame Nahed.


“Semoga Allah membalas dia dengan pahala yang tiada hentinya,” lirihku
mendoakan orang yang telah membayar seluruh biaya perawatanku.

* * *

Hari itu kami pulang ke Hadayek Helwan. Selama perjalanan Madame
Nahed memberi tahu sakit apa aku sebenarnya.

“Dokter Ramzi mengatakan kau terkena Heat Stroke dan Meningitis
sekaligus. Tapi sekarang sudah sembuh.”

Aku sudah tahu heat stroke itu apa. Madame Nahed pernah
menerangkannya. Tapi meningitis, aku belum tahu jenis penyakit apa itu. “Apa itu
meningitis, Madame?”

“Meningitis, adalah penyakit radang selaput otak yang menular disebabkan
oleh kuman meningokoccal. Kuman penyakit ini cepat menular pada suhu tinggi
atau rendah. Cara penularan penyakit Meningitis Meningokoccal adalah melalui
kontak langsung, terkena percikan air ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan
dari tenggorokan penderita penyakit Meningitis Meningokoccal. Tanda-tanda
orang yang terkena meningitis adalah panas mendadak, sakit kepala luar biasa,
kemerahan di kulit dan kaku kuduk. Tapi kau tidak usah kuatir. Kau sudah
sembuh dan terbebas dari kuman meningokoccal. Dokter Ramzi mengatakan
begitu. Kau sudah diterapi dengan pengobatan propilaksis memakai cyproflovacin
terbaik. Yang sekarang harus kau lakukan adalah menjaga kesehatanmu. Jangan
keluar rumah dulu. Jaga kondisi tubuh supaya tetap segar. Istirahat yang cukup 6-
8 jam sehari semalam. Jangan menantang panas. Minum yang cukup. Jangan
sekali-kali minum dari kran air minum umum di pinggir jalan seperti orang-orang,
sebab kebersihannya kurang. Gelasnya cuma satu untuk minum bergantian.
Sangat riskan terjadi penularan kuman. Banyak makan buah-buahan segar seperti
anggur, jeruk, apel, mangga, semangka, dan lain sebagainya.” Madame Nahed
memberi penjelasan yang cukup dan sangat berguna bagi diriku.

* * *

Sejak pulang dari rumah sakit, aku merubah peta hidup yang telah
kurancang satu bulan ke depan. Aku lebih banyak di rumah. Kegiatan
menerjemah sementara aku tinggal dulu. Waktuku kuhabiskan untuk buku-buku


yang berkaitan dengan materi penulisan tesis. Syaikh Utsman memberiku izin
tidak ikut mengaji sampai musim panas benar-benar reda.

Aku masih penasaran siapa yang melunasi biaya rumah sakit itu. Aku dan
teman-teman meraba-raba beberapa kemungkinan.

Saiful menduga yang membayar Syaikh Utsman, bisa murni dari saku
beliau bisa juga beliau menyalurkan zakat mal para dermawan. Beliau adalah
tokoh yang memiliki banyak koneksi dan akses.

Sedangkan Hamdi berpendapat yang melunasi mungkin Syaikh Ahmad.
Karena beliau dan isterinya dikenal kaya, dermawan, dan suka menolong orang.
Rudi lain lagi, dia menduga yang melunasi adalah pihak KBRI. Mungkin diam-
diam Pak Atase Pendidikan mengucurkan dana dari anggaran kemasyarakatan.

Mishbah tidak berpendapat apa-apa, tapi dia berkomentar yang paling
tidak mungkin adalah pendapat Rudi. Bagaimana mungkin Atase Pendidikan
mengeluarkan dana untuk biaya seorang mahasiswa yang sakit sedangkan diminta
dana untuk pelatihan ekonomi Islam saja seretnya bukan main. Itu alasan Mishbah
yang sedikit kecewa dengan KBRI.

Entahlah siapa sebenarnya dia yang berhati putih itu. Mata hatiku berkata,
yang membayar bukan yang disebut teman-teman itu. Tapi orang lain. Dan orang
lain itu adalah orang yang berhati ikhlas, mengenalku, sangat perhatian padaku,
dan aku tidak tahu siapa dia. Aku tidak bisa menduga sebuah nama. Aku hanya
berdoa, agar suatu saat nanti Allah membuka rahasia siapa malaikat itu
sebenarnya. Aku berharap bisa membalas kebaikannya.




13. Ketika Hati Berdesir-desir



Tak terasa sudah memasuki pertengahan September. Suhu musim panas
mulai turun. Paling tinggi 32 derajat celcius. Bulan Oktober nanti adalah bulan
peralihan dari musim panas ke musim dingin. Si Musthafa Fathullah Said, teman
Mesir satu kelas di pascasarjana yang juga sedang mengajukan proposal tesis
memberitahukan, bahwa dua hari lagi aku harus ke kampus untuk ujian proposal
tesis yang kuajukan. Aku terfokus pada ujian yang sangat menentukan itu. Jika
proposalku ditolak maka aku harus menunggu setengah tahun lagi untuk
mengajukan proposal baru.

As you sow, so will you reap! Demikian pepatah Inggris mengatakan.
Seperti apa yang anda tanam, sebegitu itulah yang akan anda petik. Rasanya tidak
sia-sia apa yang telah kukerjakan selama ini. Membuat jadwal ketat, bolak-balik
ke National Library, ke perpustakaan IIIT di Zamalek, dan mengumpulkan bahan.
Membaca literatur-literatur klasik berkaitan Ilmu Quran, berdiskusi dengan
teman-teman pascasarjana. Kerja yang melelahkan. Mengantuk. Pusing. Mual.
Kurang tidur. Semuanya terasa bagaikan simponi hidup yang indah setelah tim
penilai yang terdiri para guru besar menerima proposal tesis yang aku ajukan. Aku
jadi menulis tentang ‘Metodologi Tafsir Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi’.
Aku memang pengagum ulama terbesar Turki abad 20 itu. Dia termasuk tokoh
dunia Islam yang menurut Syaikh Yusuf Al Qaradhawi layak disebut mujaddid
umat Islam abad 20 disamping Hasan Al Banna. Pembimbingku juga telah
ditentukan yaitu Syaikh Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far. Aku seperti mendapat
durian runtuh sebab beliau memang profesor idolaku. Terkenal paling mudah
ditemui dan paling senang dengan mahasiswa dari Asia Tenggara. Aku belum
dikenal oleh beliau, tapi aku akan berusaha menjadi muridnya yang baik sehingga
beliau akan mengenalku dengan baik sebagaimana Syaikh Utsman mengenalku.

Dan sebagai rasa syukur aku harus kembali memeras otak dan bekerja
keras untuk menyelesaikan tesis ini. Pekerjaan yang tidak ringan, sebab aku juga
harus menerjemah. Tanpa menerjemah dari mana sumber penghidupan akan aku
dapatkan. Aku kembali menata peta hidup dua tahun ke depan. Aku teliti dan aku
kalkulasi dengan seksama. Target-target dan cara pencapaiannya. Ada satu target


yang masih mengganjal. Yaitu menikah. Aku mentargetkan saat menulis tesis aku
harus menikah. Umurku sudah 26 tahun menginjak 27.

Aku mengkalkulasi kemampuan mencari dana setiap bulan. Sebelum
menulis tesis aku sanggup merampungkan buku setebal 200-300 halaman setiap
bulan. Itu berarti aku akan mendapat masukan sekitar 250 dollar perbulan. Dan
aku hanya bisa menyisakan 100 dollar dan terkadang malah cuma 50 dollar.
Setiap kali masuk toko buku aku tidak bisa menahan diri untuk membeli buku
atau kitab. Ketika konsentrasiku terpusat pada menulis tesis maka kemampuanku
menerjemah akan berkurang. Mungkin aku hanya akan mampu menerjemah 150-
200 halaman saja perbulan. Uang yang aku terima dari bayaran menerjemah
hanya cukup untuk memenuhi biaya sehari-hari. Bagaimana? Apakah akan tetap
nekad menikah?

Tunggu dulu! Bang Aziz yang mengais nafkah dengan membuat tempe
dan mendistribusikannya ke rumah-rumah mahasiswa itu berani menikah. Bang
Aziz bercerita dengan pemasukan 150 dollar perbulan sudah berani menikah.
Hidup sederhana dan menyewa rumah sederhana di kawasan Hayyu Thamin, atau
jauh di Zahra sana. Apalagi jika mencari isteri mahasiswi yang kebetulan dapat
beasiswa. Meskipun beasiswa tak seberapa tapi sangat membantu karena
datangnya tetap.

Akhirnya kupikir dengan matang, bahwa umur tidak bisa dihargai dengan
materi. Jika menemukan perempuan shalihah dan mau menerima diriku seutuhnya
dan siap hidup berjuang bersama, dalam suka dan duka, maka aku tidak akan
menyia-nyiakan kesempatan untuk menyempurnakan separo agama. Kutetapkan
tahun ini bisa menikah, tapi tidak mencari. Lho bagaimana? Siapa tahu ada yang
menawari. Kalau sampai selesai magister tidak ada yang menawari ya berarti
memang nasibku tidak menikah di Cairo dengan mahasiswi Al Azhar. Mungkin
nasibku adalah menikah di Indonesia, dengan seorang akhwat berjilbab yang
ghirah keislamannya bagus, yang ada di UI, atau di UGM, atau di UNDIP, atau di
UNS. Atau malah gadis dari pesantren yang masih sangat virgin. Atau, tak
tahunya anak tetangga sendiri, teman gebyuran di sungai waktu kecil. Jadi tidak
asing lagi, sejak kecil sudah sama-sama tahu.


Aku jadi teringat puisiku sendiri, yang kutulis jelek sekali di buku harian
suatu malam di musim semi setahun yang lalu:

Bidadariku,

Namamu tak terukir

Dalam catatan harianku

Asal usulmu tak hadir

Dalam diskusi kehidupanku

Wajah wujudmu tak terlukis

Dalam sketsa mimpi-mimpiku

Indah suaramu tak terekam

Dalam pita batinku

Namun kau hidup mengaliri

Pori-pori cinta dan semangatku

Sebab

Kau adalah hadiah agung

Dari Tuhan

Untukku

Bidadariku

Seorang perempuan shalihah yang akan jadi bidadariku, yang akan aku
cintai sepenuh hati dalam hidup dan mati, yang akan aku harapkan jadi teman
perjuangan merenda masa depan, dan menapaki jalan Ilahi, itu siapa? Aku tak
tahu. Ia masih berada dalam alam ghaib yang belum dibukakan oleh Tuhan
untukku. Jika waktunya tiba semuanya akan terang. Hadiah agung dari Tuhan itu
akan datang.

* * *

Di layar TV Channel 2 ada pengumuman nama-nama orang hilang,
lengkap dengan data singkat, ciri-ciri dan fotonya. Nama yang terakhir di
tampilkan adalah Noura binti Bahadur Gonzouri, lengkap dengan fotonya. Saat itu
pukul setengah sepuluh malam. Kami satu rumah kaget.

Si Muka Dingin Bahadur rupanya masih mencari Noura untuk ia jual
kepada serigala-serigala berwajah manusia. Kami satu rumah cemas jika
urusannya akan sampai kepada polisi dan menyeret Syaikh Ahmad. Jika Si Muka


Dingin Bahadur punya hubungan dengan seorang pembesar di bagian intelijen
keamanan negara urusannya benar-benar bisa merepotkan. Saat itu juga aku
menelpon Syaikh Ahmad. Beliau minta aku tenang saja dan tidak usah kuatir.
Noura sedang berada di pintu gerbang kemerdekaan dan kebahagiaannya. Besok
pagi setelah shalat shubuh beliau akan menjelaskan semuanya.

Usai shalat shubuh, Syaikh Ahmad menjelaskan kepadaku bahwa masalah
Noura sedang ditangani diam-diam oleh Ridha Shahata, saudara sepupunya yang
bertugas di bagian intelijen keamanan negara. Ridha Shahata menemukan
informasi berharga bahwa Noura dilahirkan di sebuah rumah sakit elite di
kawasan elite Heliopolis. Pada minggu yang sama Noura dilahirkan hanya ada
lima bayi. Dan pada hari yang sama Noura lahir cuma ada dua bayi di sana. Yaitu
dia dan bayi satunya bernama Nadia. Setelah dilacak. Nadia kini tinggal di
Heliopolis, ayah dan ibunya dosen di Universitas Ains Syams. Yang sedikit aneh
Nadia berkulit hitam sementara ayah dan ibunya berkulit putih. Kolonel Ridha
Shahata sedang menyiapkan surat pemanggilan untuk tes DNA pada Si Muka
Dingin Bahadur dan isterinya. Juga pada Nadia dan kedua orang tuanya. Sebab
memang sangat mencurigakan dua bayi itu tertukar. Jika benar tertukar nanti akan
dicari siapa saja perawat yang bertugas waktu itu. Tertukarnya sengaja atau tidak.
Tes DNA itulah yang akan jadi bukti kuat kejelasan kasus Noura. Namun
seandainya tidak terbukti ada pertukaran bayi, Noura akan tetap dilindungi.
Kolonel Ridha Shahata juga telah menyiapkan bukti untuk menyeret Si Muka
Dingin Bahadur ke penjara. Kolonel Ridha Shahata adalah intelijen yang sangat
profesional, dia pernah menangkap seorang turis Spanyol yang ternyata adalah
mata-mata Mossad.

Syaikh Ahmad meminta saya tenang. Wa man yattaqillaha yaj’al lahu
makhraja. Siapa yang bertakwa kepada Allah maka Dia akan menjadikan
untuknya jalan keluar. Aku lega.

Begitu sampai dirumah, aku mendapat telpon dari Nurul. Ia rupanya juga
melihat tayangan nama orang hilang tadi malam. Ia cemas kalau Noura tertangkap
dan urusannya melebar. Aku lalu menjelaskan apa yang dijelaskan Syaikh Ahmad
kepadaku. Nurul merasa lega. Sebelum mengakhiri pembicaraannya dia bertanya
apakah aku sudah ke tempatnya Ustadz Jalal. Kubilang sejak sakit aku belum ke


mana-mana. Aku minta pada Nurul agar menyampaikan pada Ustadz Jalal
permohonan maafku belum bisa ke sana. Dan aku titip pesan seandainya beliau
ada waktu supaya menghubungi aku langsung. Biar aku tahu sebenarnya beliau
mau minta tolong apa. Aku juga menjelaskan pada Nurul saat ini sudah
konsentrasi menulis tesis. Alhamdulillah judul tesisnya sudah diterima. Nurul
menyatakan rasa gembira dan senangnya.

* * *

Aku teringat ini hari Ahad. Sudah lama aku tidak tidak mengaji pada
Syaikh Utsman. Aku benar-benar rindu pada beliau. Ramalan cuaca siang ini
Cairo tidak terlalu panas. Hanya 30 derajat celcius. Aku berangkat setengah
sebelas. Aku ingin shalat zhuhur di Shubra. Baru keluar sampai di halaman
apartemen, aku dicegah oleh Maria dari atas, dari jendelanya. Dia minta agar aku
tidak pergi dulu, di rumah dulu. Aku heran apa haknya melarang aku. Aku
jelaskan padanya aku harus belajar qiraah sab’ah. Akhirnya dia menyuruh
adiknya, Si Yousef untuk mengantar aku ke tempat aku ngaji. Aku merasa heran
dengan diri sendiri, keluarga Tuan Boutros begitu baik dan besar perhatiannya
kepada kami. Hari itu Yousef mengantar aku sampai di depan masjid Abu Bakar
Shiddiq, Shubra. Ia juga berjanji akan menjemputku pukul setengah lima sore.
Aku mengucapkan terima kasih padanya.

Syaikh Utsman dan teman-teman menyambutku dengan penuh
kehangatan. Kami mempraktekkan qiraah Imam Warasy dengan membaca surat
Al Mujaadilah, Al Hasyr, Al Mumtahanah, Ash Shaf dan Al Jumu’ah. Selesai
mengaji Syaikh Utsman mengajakku masuk ke kamar beliau yang khusus
disedikan oleh takmir masjid. Beliau ingin berbicara masalah khusus.

“Anakku, kau sudah sehat betul?” tanya beliau lembut.

“Alhamdulillah, Syaikh,” jawabku dengan menundukkan kepala, aku tidak
berani memandang beliau. Segan.

“Alhamdulillah. Terus bagaimana dengan kuliahmu?”

“Alhamdulillah. Judul tesis magister sudah diterima Syaikh. Sekarang
sedang mengumpulkan bahan lebih lengkap untuk menulis.”

“Alhamdulillah. Kau menulis tentang apa?”

“Metodologi Tafsir Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi.”


“Bagus sekali. Said An-Nursi memang ulama luar biasa yang harus dikaji
kelebihan yang diberikan Allah kepadanya. Lantas siapa pembimbingmu?”

“Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far.”

“Yang tinggal di dekat masjid Rab’ah El-Adawea, Nasr City itu?”

“Benar Syaikh.”

“Alhamdulillah. Kau insya Allah akan mendapat bimbingan dan
kemudahan dari beliau. Beliau adalah salah seorang muridku angkatan pertama.
Beliau mengambil sanad dan ijazah qiraah sab’ah dariku. Nanti akan aku telpon
beliau agar memberikan bimbingan terbaik kepadamu. Dan agar kamu benar-
benar menjadi pembela dan penyebar agama Allah di tanah airmu kelak.” Suara
Syaikh Utsman bernada optimis dan bahagia. Diam-diam aku sangat kagum pada
beliau yang sangat memperhatikan semua muridnya. Beliau memang tidak mau
mengambil murid terlalu banyak. Tapi yang sedikit itu benar-benar beliau curahi
perhatian yang luar biasa.

“Anakku. Aku mau bertanya masalah penting padamu. Apakah kau mau
menikah?”

Pertanyaan Syaikh Utsman itu bagaikan guntur yang menyambar gendang
telingaku. Aku kaget. Hatiku bergetar hebat. Jika yang bertanya orang semacam
Rudi, Hamdi, dan Saiful aku akan menjawabnya dengan santai, bahkan aku bisa
menjawabnya dengan guyon. Tapi ini yang bertanya adalah ulama terkemuka,
gurunya para guru besar di Mesir.

“Maksud Syaikh bagaimana?”

“Apakah kau mau menikah dalam waktu dekat ini. Kalau mau, kebetulan
ada orang shalih datang kepadaku. Ia memiliki keponakan yang shalihah yang
baik agamanya dan minta dicarikan pasangan yang tepat untuk keponakannnya
itu. Aku melihat kau adalah pasangan yang tepat untuknya.”

Keringat dinginku keluar.

“Tapi aku mahasiswa miskin Syaikh, tidak punya biaya.”

“Baginda nabi dulu menikah dalam keadaan miskin. Sayyidina Ali bin Abi
Thalib juga menikah dalam keadaan miskin. Aku sendiri menikah dalam keadaan
miskin. Begini Anakku, kau pikirkanlah dengan matang. Lakukanlah shalat
istikharah. Gadis shalihah ini benar-benar shalihah, dia mencari pemuda yang


shalih bukan pemuda yang kaya. Sekarang pulanglah, pikirlah dengan matang.
Jika kau mantap dengan jawabanmu siap menikah atau tidak secepatnya datanglah
kau menemuiku. Jika kau mantap, maka akan aku pertemukan kau dengan
walinya dahulu, jika tidak, maka aku akan mencarikan yang lain.” Kata-kata
Syaikh Utsman yang berwibawa itu merasuk dan mendesir hebat dalam jiwaku.

Sampai di rumah hatiku masih terasa bergetar atas pertanyaan sakral yang
diajukan Syaikh Utsman. Jiwaku masih terasa berdesir. Apa yang beliau tawarkan
bukan sembarang tawaran. Yang beliau tawarkan adalah sebaik-baik rizki bagi
seorang pemuda. Adakah rizki lebih agung dari seorang gadis shalihah yang jika
dipandang menyejukkan jiwa bagi seorang pemuda? Aku belum bisa
mempercayai apa yang aku alami hari ini. Baru saja target dan peta hidup dibuat,
tawaran untuk menikah datang sedemikian cepat. Siap. Atau tidak. Aku harus
minta penerang dari Allah Swt.


14. Badai Kegelisahan



Tiga hari berturut-turut aku shalat istikharah. Yang terbayang adalah
wajah ibu yang semakin menua. Sudah tujuh tahun lebih aku tidak berjumpa
dengannya. Oh ibu, jika engkau adalah matahari, aku tak ingin datang malam
hari. Jika engkau adalah embun, aku ingin selalu pagi hari. Ibu, durhakalah aku,
jika ditelapak kakimu tidak aku temui sorga itu.87

Maka kuputuskan untuk minta persetujuan ibu. Ibu adalah segalanya
bagiku. Jika beliau meridhai maka aku akan melangkah maju. Jika tidak maka aku
pun tidak.

Aku telpon ke Indonesia. Ayah dan ibu tinggal jauh di desa. Tak ada
telpon di sana. Aku menelpon ke rumah Pak Zainuri, mertua paman yang penilik
sekolah dan tinggal di kota kecamatan. Rumah paman tak jauh dari beliau. Selama
ini, jika aku ingin menghubungi ayah dan ibu caranya memang lewat Pak Zainuri
dulu. Pak Zainuri akan menghubungi paman dan paman akan menghubungi ayah
ibu. Kalau aku mengirim surat pun aku lebih suka mengalamatkannya ke rumah
Pak Zainuri lebih cepat sampainya. Sebab jika dialamatkan ke desa, suratku bisa
bertapa dulu di balai desa, atau di rumah Pak RW dalam waktu tak tentu. Masalah
transportasi dan komunikasi global memang agak susah jika hidup di desa.

Kepada paman aku jelaskan semuanya. Siapa Syaikh Utsman dan apa
yang beliau tawarkan kepada diriku. Paman adalah orang yang wawasannya luas,
ia guru SMP teladan se kabupaten. Paman banyak bertanya tentang seandainya
benar-benar menikah dengan muslimah yang bukan dari Indonesia. Aku jelaskan,
jika dia gadis yang shalihah semuanya akan mudah. Aku jelaskan pada paman,
tidak semua orang mendapatkan tawaran sedemikian terhormatnya dari Syaikh
Utsman. Di Indonesia, kalau mendapatkan tawaran untuk menikah dengan anak
seorang kiai mushalla saja dianggap suatu keberuntungan yang luar biasa. Juga
kujelaskan hasil istikharahku. Aku minta pada paman agar mengajak musyawarah
ayah dan ibu. Disamping itu aku juga minta ayah ibu juga melakukan shalat
istikharah. Apa pun hasilnya itulah keputusan yang akan aku ambil. Dua hari lagi

87 Dari penggambungan dua petikan sajak Fatin Hamama berjudul ‘Aku ingin ibu’ dan ‘Ibu
(3)’ yang terdapat dalam kumpulan puisinya “Papyrus”.


pada jam yang sama aku akan menelpon menanyakan hasilnya. Dan aku ingin
langsung mendengar dari lisan ibu.

Dua hari kemudian. Pada waktu yang dijanjikan aku menelpon ke tanah
air. Aku mendengar suara ibu,

“Jika isterimu nanti mau diajak hidup di Indonesia, tidak terlalu jauh dari
ibu, maka menikahlah dan ibu merestui, ibu yakin akan penuh berkah. Tapi jika
tidak bisa dibawa ke Indonesia tidak usah, cari saja gadis shalihah yang dari
Indonesia!”

Air mataku meleleh mendengar keputusan ibu. Sebuah keputusan yang
sangat bijaksana. Aku memang tidak mungkin hidup dan berjuang selain di tanah
air tercinta. Hari itu juga aku menemui Syaikh Utsman dan memberitahukan
keputusanku. Beliau berpesan agar hari berikutnya datang ke tempat beliau lagi,
untuk mengetahui kabar selanjutnya. Hari berikutnya aku datang. Syaikh Utsman
menyambutku dengan senyum dan pelukan penuh kehangatan. Aku seperti
seorang cucu yang beliau sayangi.

“Semoga gadis shalihah ini menjadi rizkimu di dunia dan di akhirat. Dia
siap kau bawa berjuang di mana saja dan walinya menyetujuinya. Ini ada dua
album foto dia, kau bawalah pulang! Kau lihat-lihat. Kau istikharah lagi. Jika kau
mantap kau akan aku pertemukan dengan gadis shalihah ini dan walinya.”

Aku pulang dengan membawa dua album foto yang kumasukkan dalam tas
cangklongku. Aku merasa seperti memikul beban satu ton. Tas cangklong itu
terasa berat sekali.

Sampai di kamar aku memegang album itu dengan tangan gemetar, dan
hati bergetar. Aku akan melihat wajah calon bidadari yang menemani hidupku
selamanya. Aku akan melihat wajah calon belahan jiwa. Tapi entah kenapa aku
tidak berani membukanya sama sekali. Dua album itu cuma aku pegang dan tanpa
kubuka sedikitpun. Aku tersentak, aku belum tahu namanya. Kenapa tidak aku
tanyakan namanya pada Syaikh Utsman? Aku ingin membukanya, siapa tahu di
dalam Album itu ada namanya. Tapi urung. Aku tidak berani. Entah kenapa. Aku
shalat istikharah, yang datang adalah ibunda tercinta. Beliau berkata singkat,
“Menikahlah ibu merestui.”


Hari berikutnya aku kembali menemui Syaikh Utsman dan kukatakan
kemantapanku untuk menikahi gadis itu. Syaikh Utsman berkata,

“Aku sudah menduga dan aku sangat yakin kau akan mengatakan itu. Aku
memang belum melihat gadis itu, tapi isteriku, Ummu Fathi, yang melihat foto-
foto dalam album itu memuji-muji kecantikannya. Ummu Fathi malah bilang jika
kau sampai tidak mau, maka ia memintaku agar menjodohkan dengan cucuku
yang sedang kuliah di Perancis. Aku geli sekali mendengar perkataan Ummu
Fathi. Dan kau nanti akan kaget karena tadi malam walinya bilang gadis itu sangat
mengenalmu, dan kau mungkin telah mengenalnya. Kau sudah melihatnya, kau
mengenalnya bukan?”

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku sama sekali belum melihat
album itu dan aku sama sekali tidak tahu namanya. Aku diam saja. Gadis itu jadi
rasa penasaran dalam hati yang luar biasa. Aku telah menyatakan kemantapanku
tapi aku belum tahu siapa dia. Aku menjadi orang yang paling penasaran di dunia.
Syaikh Utsman minta kepadaku agar besok datang tepat setelah shalat Ashar,
kalau bisa shalat Ashar di Shubra. Jadwal mengaji qiraah sab’ah diundur hari
berikutnya. Besok aku akan dipertemukan dengan gadis itu bersama walinya.
Untuk saling melihat dan saling mengenal sebelum kata sepakat untuk akad nikah
diputuskan.

Malam itu, malam sepulang dari rumah Syaikh Utsman adalah malam
paling menyiksa dalam hidupku. Namun ada kesejukan yang sedemikian lembut
mengaliri relung-relung hatiku. Kesejukan itu apa aku tidak tahu namanya. Saiful
rupanya sangat memperhatikan kesibukkanku selama ini. Dia bertanya ini itu tapi
masalah diriku sedang proses ke gerbang pernikahan sama sekali tidak aku
beritahukan padanya, juga pada siapa saja. Malam itu aku tidak bisa tidur, aku
menutup kamar, dan berada di kamar seperti orang linglung. Siapa gadis itu? Dia
mengenalku dan aku mengenalnya, siapa dia? Jangan-jangan gadis itu bukan
gadis Mesir. Aku membodoh-bodohkan diriku kenapa tidak melihat dua album
yang telah berada di tanganku. Jangan-jangan dia gadis Indonesia. Walinya tahu
aku mengaji pada Syaikh Utsman dan minta agar menjodohkan keponakannya
denganku. Tapi, siapa gadis Indonesia yang kecantikannya layak dipuji oleh isteri
Syaikh Utsman dan dia memiliki wali di sini?


Seingatku mahasiswi Indonesia yang disertai kerabatnya hanya ada tiga
orang. Raihana disertai kakak kandungnya. Fauzia disertai adiknya. Dan Nurul, ia
disertai pamannya, tapi paman jauh. Tiba-tiba hatiku berdesir, jantungku mau
copot. Yang paling cantik memang Nurul. Tapi aku merasa itu tidak akan terjadi.
Tidak mungkin. Dia adalah puteri seorang kiai besar, pengasuh pesantren besar di
Jawa Timur. Dan seorang kiai biasanya telah memilih besan sejak anaknya masih
belum bisa berjalan. Tapi kenapa Ustadz Jalal memintaku datang? Aku semakin
didera badai kegelisahan yang dahsyat. Aku mengumpat diriku sendiri.
Seandainya aku melihat foto dalam album aku tidak akan dirajam penasaran yang
menggila ini. Aku berusaha mengurangi rasa gelisah dan penasaran dengan
bersujud dan menangis kepada Tuhan. Dalam sujud aku berdoa sebagaimana doa
nabi hamba pilihan Allah dalam Al-Qur’an,

“Rabbana hab lana min azwaajina wa dzurriyyatina qurrata a’yun
wal’alna lil muttaqiina imaama! Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada
kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa!”88



88 Surat Al-Furqaan: 74


15. Pertemuan



Aku sampai di masjid Abu Bakar Shiddiq tepat saat azan Ashar
berkumandang. Seluruh tubuhku bergetar tidak seperti biasanya. Keringat
dinginku keluar. Aku tidak tahu shalatku kali ini khusyuk apa tidak. Yang jelas
mataku basah. Dalam sujud aku menangis memohon kepada Allah agar diberi
umur yang penuh berkah, pertemuan dengan calon belahan jiwa yang penuh
berkah, akad nikah yang penuh berkah, malam zafaf yang penuh berkah, dan masa
depan yang penuh berkah. Selesai shalat aku masih duduk menitikkan air mata.
Aku meyakinkan diriku bahwa aku tidak sedang bermimpi. Sebentar lagi aku akan
bertemu dengan dia. Dia yang aku belum tahu namanya dan belum tahu wajahnya
seperti apa. Dia yang telah lama kurindu. Aku minta kekuatan kepada Allah.

Syaikh Utsman menyentuh pundakku beliau tersenyum. Beliau
mengajakku ikut serta dalam mobil beliau. Dari masjid Abu Bakar sampai ke
rumah beliau memang agak jauh. Syaikh Utsman memiliki seorang sopir bernama
Faruq. Selama dalam perjalanan Syaikh Utsman bercerita masa mudanya dulu.
Beliau dan Ummu Fathi asalnya juga tidak saling kenal. Bertemu dalam majlis
khitbah. Dan cinta itu hadir begitu saja setelah akad nikah, begitu kuatnya.

“Anakku, kau pasti panas dingin sekarang. Iya ‘kan? Aku dulu juga
merasakan hal yang sama. Dalam perjalanan bersama keluarga ke rumah Ummu
Fathi, untuk bertemu pertama kalinya sekaligus khitbah hatiku berdesir, jantungku
berdegup, keringat dingin keluar. Tapi itulah saat-saat yang tak terlupakan. Dan
ketika kami bertemu. Ummu Fathi keluar mengeluarkan minuman dengan tangan
bergetar. Mata kami sekilas bertemu dan hati diliputi rasa malu yang luar biasa.
Itu adalah kenikmatan luar biasa. Kenikmatan istimewa yang jarang dirasakan
anak muda sekarang, kecuali yang benar-benar menjaga diri dan menjaga
hubungan lelaki perempuan dalam adab-adab syar’i. Kulihat mukamu pias, kau
pasti sedang panas dingin. Anakku, tunggulah nanti sebentar lagi ketika kau sudah
duduk di ruang tamu dan gadis itu masuk bersama walinya kau akan merasakan
panas dingin yang luar biasa. Panas dingin yang belum pernah kau rasakan.
Apalagi kala kau dan dia nanti sesekali mencuri pandang. Suasana hatimu tidak
akan bisa kau lupakan seumur hidupmu. Inilah keindahan Islam. Dalam Islam


hubungan lelaki perempuan disucikan sesuci-sucinya namun tanpa mengurangi
keindahan romantisnya.” Kata-kata Syaikh Utsman menambah tubuhku semakin
dingin. Syaikh Utsman seperti masih muda. Beliau juga menasihatiku agar majelis
pertemuan nanti benar-benar dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengenalkan
diri dan mengenal gadis itu. Syaikh Utsman dan wali gadis itu hanya akan
menjadi pembawa acara.

* * *

Memasuki ruang tamu Syaikh Utsman kakiku seperti lumpuh. Aku hampir
tidak bisa mengangkat kakiku. Tubuhku gemetar. Ruang tamu yang penuh dengan
kitab-kitab klasik ini akan menjadi saksi penting dalam sejarah hidupku. Syaikh
Utsman mempersilakan aku duduk di sofa busa yang menghadap ke barat. Di
sebelah selatan ada sofa panjang menghadap utara untuk dua orang. Di sebelah
barat ada sofa menghadap ke timur untuk satu orang. Di sebelah utara ada dua
sofa menghadap ke selatan. Pintu ada dekat tempat aku duduk.

Ummu Fathi keluar membawa nampan berisi dua gelas air putih. Untuk
kami berdua. “Anakku, ayo diminum dulu. Kau tampaknya kehausan,” ucap
Syaikh Fathi. Aku meneguk sedikit. “Lima menit lagi, mereka insya Allah
datang!” sambung beliau. Jantungku berdegup kencang. Panas dingin tubuhku
semakin kuat terasa. Aku banyak beristighfar di dalam hati untuk menenangkan
diri.

Bel berbunyi.

“Itu mereka datang. Kau tetaplah duduk di tempatmu!” kata Syaikh Fathi.
Aku tidak bisa lagi menangkap nuansa yang menyergap hatiku. Berbagaimacam
perasaan bercampur menjadi satu; penasaran, rindu, malu, gugup, takut, cemas,
tidak percaya diri, optimis, senang, dan bahagia. Ummu Fathi mengambil dua
gelas berisi air putih itu. Sementara Syaikh Fathi beranjang membukakan pintu.

Suara pintu di buka. Aku sama sekali tidak berani memandang ke arah
pintu yang hanya dua meter di sampingku.

“Assalamu’aikum!” Hatiku berdesir keras. Suara lelaki. Bukan suara orang
Indonesia, tapi suara itu memang sangat khas dan aku sangat mengenalnya. Aku
masih menunduk.


“Wa’alaikumussalam wa rahmatullah. Ahlan wa sahlan. Ayo masuk!
Fahri, berdirilah sambutlah calon pamanmu!” Suara Syaikh Utsman membuatku
tergagap. Aku berdiri. Dan….

Subhanallah!

Lelaki yang berdiri di hadapanku adalah Eqbal Hakan Erbakan. Dia
tersenyum padaku. Hatiku terasa dingin sekali. Aku berusaha tersenyum. Aku tak
tahu seperti apa raut mukaku. Aku sungguh-sungguh terkejut. Kami berangkulan
erat sekali. “Kaif halak ya ‘aris!” Eqbal membisikkan kata sapaan padaku, yang
dalam kata sapaan ada kata-kata yang menggoda. Dia sudah memanggilku ‘ya
‘aris’, wahai pengantin pria.

“Alhamdulillah,” lirihku.

Di belakang Eqbal ada dua perempuan bercadar dan dua anak kecil yang
lucu. Aku kenal dengan dua anak kecil itu. Amena dan Hasan. Amena membawa
boneka panda. Aku jadi teringat itu boneka yang kutitipkan lewat Aisha. Dan
Hasan membawa pistol air mainan. Dua perempuan bercadar itu menatapku
sekilas, lalu beranjak menyalami Ummu Fathi. Mereka berpelukan bergantian.
Eqbal menarik tangan Amena dan Hasan agar bersalaman denganku. Aku
berjongkok. Melihat Amena dan Hasan yang lucu rasa grogiku sedikit berkurang.
Aku cium kening Amena yang baru berumur lima tahun itu juga kening Hasan
yang baru tiga tahun. Eqbal minta pada Amena untuk berterima kasih padaku atas
hadiahnya.

“Syuklon alal hadieh el jamileh, Am…amu Andonesy.”89 Lirih Amena
terbata-bata dengan suara agak cedal. Kontan Syaikh Utsman tertawa. Aku
tersenyum saja.

Ummu Fathi, isteri Syaikh Utsman mempersilakan yang bernama Aisha
agar duduk di sofa yang menghadap ke timur. Dan mempersilakan isteri Eqbal
duduk di dekat Aisha, sofa yang menghadap ke selatan. Beliau sendiri duduk tepat
di depannya. Syaikh Utsman duduk di sampingnya, dekat denganku. Dan Eqbal
duduk berhadapan dengan Syaikh Utsman, juga berdekatan denganku. Si kecil
Amena duduk di pangkuan ibunya. Dan si kecil Hasan berdiri di depan ayahnya.

89 Terima kasih atas hadiahnya yang cantik, Paman dari Indonesia.


Pembicaraan di mulai. Jantungku mulai berdegup kencang. Tubuhku panas
dingin. Kini aku tahu gadis itu adalah Aisha. Keponakan Eqbal Hakan Erbakan.
Syaikh Utsman benar, Aisha telah mengenalku dan aku telah mengenalnya.
Perkenalan yang begitu singkat. Aisha mungkin tahu banyak tentang diriku. Ia
mungkin telah mendapat banyak info dari Eqbal. Sebab selama bersahabat dengan
Eqbal dan selama i’tikaf di masjid Helmeya Zaitun kami sudah seperti keluarga
sendiri. Eqbal banyak cerita tentang dirinya dan keluarganya. Masa kecilnya.
Bagaimana bisa ke Mesir. Bagaimana bisa menikah dengan Sarah yang kini jadi
isterinya. Sarah yang dari keluarga konglomerat Turki namun sangat kuat
penghayatannya atas Islam. Aku pun telah cerita banyak pada Eqbal. Tentang
keluargaku yang miskin. Tentang bagaimana diriku datang ke Mesir dengan
menjual sawah warisan kakek. Harta satu-satunya yang dimiliki keluarga. Tentang
awal-awal di Mesir yang penuh derita. Tak ada beasiswa. Tak ada pemasukan.
Kerja membantu Bang Aziz mendistribusikan tempe ke rumah-rumah mahasiswa
dari Indonesia dan Malaysia. Jualan beras dengan cara mengambil beras dari
pelosok Mesir seperti Zaqaziq dan menjual ke teman-teman mahasiswa. Dan lain
sebagainya. Aisha mungkin telah tahu banyak tentang diriku, tapi aku apa yang
aku ketahui tentang dirinya. Melihat mukanya saja belum.

Sarah, isteri Eqbal berbicara dengan Ummu Fathi. Sesekali Syaikh Fathi
dan Eqbal menimpali. Sarah menceritakan siapa Aisha ini.

Aku memandang ke arah Aisha, pada saat yang sama dua matanya yang
bening di balik cadarnya juga sedang memandang ke arahku. Pandangan kami
bertemu. Dan ces! Ada setetes embun dingin menetes di hatiku. Kurasakan
tubuhku bergetar. Aku cepat-cepat menundukkan kepala. Dia kelihatannya
melakukan hal yang sama. Kukira Aisha tidak setegang diriku, sebab dia merasa
lebih santai. Wajahnya tersembunyi di balik cadarnya. Sementara diriku, aku tidak
tahu seperti apa bentuk mukaku. Aku harus mencari cara untuk menghilangkan
ketegangan ini. Si kecil Hasan memandangi aku. Aku tersenyum padanya. Kutarik
dia ke pangkuanku. Dia menurut.

Dengan adanya Hasan di pangkuanku aku jadi merasa lebih nyaman. Aku
bisa membelai-belai rambutnya. Hasan anak yang penurut. Kelihatannya ia benar-
benar masih ingat padaku. Sesekali ia berceloteh dan aku menanggapi lirih sambil


mencium kepalanya gemas. Dan di balik cadar, mata bening Aisha
memperhatikan apa yang aku lakukan.

“Ini adalah majelis ta’aruf90 untuk dua orang yang sedang berniat untuk
melangsungkan pernikahan. Menurut ajaran nabi, seorang pemuda boleh melihat
wajah perempuan yang hendak dinikahinya. Untuk melihat daya tarik dan untuk
menyejukkan hati. Maka lebih baiknya Anakku Aisha membuka cadarnya.
Meskipun Fahri sudah melihat wajahmu lewat album foto. Tetapi dia harus
melihat yang asli sebelum melangsungkan akad nikah. Bukankah begitu Ummu
Amena?” Kata-kata Ummu Fathi ini membuat jantungku berdesir. Sebentar lagi
Aisha akan menanggalkan cadarnya, dan aku..masya Allah..aku akan melihat
wajah calon isteriku.

Aku memandang Aisha. Dia memandangku lalu menunduk. Kelihatannya
dia sangat malu dan salah tingkah.

“Aisha, bukalah cadarmu! Calon suamimu berhak melihat wajah aslimu,”
desak Sarah, bibinya.

Sambil mendekap Hasan aku menyaksikan tangan kanan Aisha perlahan-
lahan membuka cadarnya. Ada hawa sejuk mengalir dari atas. Masuk ke ubun-
ubun kepalaku dan menyebar ke seluruh syaraf tubuhku. Wajah Aisha perlahan
terbuka. Dan wajah putih bersih menunduk tepat di depanku. Subhanallah. Yang
ada di depanku ini seorang bidadari ataukah manusia biasa. Mahasuci Allah, Yang
menciptakan wajah seindah itu. Jika seluruh pemahat paling hebat diseluruh dunia
bersatu untuk mengukir wajah seindah itu tak akan mampu. Pelukis paling hebat
pun tak akan bisa menciptakan lukisan dari imajinasinya seindah wajah Aisha.
Keindahan wajah Aisha adalah karya seni mahaagung dari Dia Yang Maha Kuasa.
Aku benar-benar merasakan saat-saat yang istimewa. Saat-saat untuk pertama kali
melihat wajah Aisha.

“Bagaimana apakah kalian sudah benar-benar siap membangun rumah
tangga berdua?” Pertanyaan Syaikh Fathi membuat diriku mendongakkan kepala.
Aisha juga melakukan hal yang sama. Pandangan kami bertemu. Dan ces! Hatiku
seperti ditetesi embun dingin dari langit. Entah hati Aisha. Lalu kami kembali
menundukkan kepala. Aku diam tidak menjawab.

90 Perkenalan


“Akh Fahri, bagaimana, kau siap menerima Aisha sebagai isterimu?” tanya
Eqbal dengan suara tegas. Aku malah meneteskan air mata.

“Akh Eqbal, semestinya bukan aku yang kau tanya. Tanyalah Aisha,
apakah dia siap memiliki seorang suami seperti aku? Kau tentu sudah tahu siapa
aku. Aku ini mahasiswa yang miskin. Anak seorang petani miskin di kampung
pelosok Indonesia,” jawabku terbata-bata sambil terisak. “Apakah aku kufu
dengannya? Aku merasa tidak pantas bersanding dengan keponakanmu itu. Aku
tidak ingin dia kecewa di belakang hari,” lanjutku.

“Baiklah, biar Aisha sendiri yang menjawabnya. Bicaralah Aisha, jangan
malu,” ujar Eqbal.

Aku mencuri pandang melihat Aisha. Ia menundukkan kepalanya. Bulu
matanya yang lentik bergerak-gerak.

“Baiklah, aku akan bicara dari hatiku yang terdalam. Fahri, dengan
disaksikan semua yang hadir di sini, kukatakan aku siap menjadi pendamping
hidupmu. Aku sudah mengetahui banyak hal tentang dirimu. Dari Paman Eqbal,
dari Nurul dan orang-orang satu rumahnya. Dari Ustadzah Maemuna isteri Ustadz
Jalal. Dari Ruqoyya, isteri Aziz. Aku akan sangat berbahagia menjadi isterimu.
Dan memang akulah yang meminta Paman Eqbal untuk mengatur bagaimana aku
bisa menikah denganmu. Akulah yang minta.” Aisha menjawab dengan bahasa
Arab fusha yang terkadang masih ada sususan tata bahasa yang keliru namun
tidak mengurangi pemahaman orang yang mendengarnya. Suaranya terasa lembut
dan indah, lebih lembut dari suaranya saat berkenalan di Metro dan beberapa kali
bertemu, di Tahrir dan di National Library. Aku tidak tahu kenapa. Apakah karena
aku kini telah jatuh cinta padanya? Jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Dan
semoga juga yang terakhir kalinya.

“Bagaimana Fahri, Kau sudah mendengar sendiri dari Aisha, sekarang kau
bagaimana?” ujar Eqbal sambil memandang ke arahku. Semua mata tertuju ke
arahku, kecuali mata si kecil Amena dan Hasan. Aku memberanikan diri untuk
menatap wajah Aisha, agak sedikit lama. Aisha memandangku, ia menanti
jawabanku. Aku merasa tak mampu menahan air mata yang meleleh.

“Jika Aisha sedemikian mantapnya dan percaya padaku, maka, bismillah,
aku pun mantap menerima Aisha untuk jadi isteriku, pendamping hidupku dan ibu


dari anak-anakku, aku akan sepenuh hati percaya padanya,” kataku dengan suara
parau bergetar, dengan mata tetap menatap Aisha. Aku melihat mata Aisha
berkaca-kaca. Suasana hening dan haru menyelimuti ruangan itu.

“Aku jadi teringat lima puluh tahun yang lalu, saat mengkhitbah Ummu
Fathi, suasananya tak jauh berbeda. Penuh dengan perasaan cinta dan nuansa
indah yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.” Suara Syaikh Utsman
memecahkan keheningan dan keharuan. Syaikh Utsman lalu bercerita tentang
hari-hari pertamanya membangun rumah tangga. Banyak hal lucu penuh hikmah
yang beliau kisahkan. Terkadang Ummu Fathi yang juga sudah tua menyela.
Suasana jadi lebih hidup.

Pembicaraan terus berlanjut ke masalah kami berdua, masalah diriku dan
masalah Aisha. Syaikh Utsman mampu menggiring kami untuk membuka diri.
Aku berterus terang tentang sakitku sebulan yang lalu. Aisha membuka dirinya
pernah sakit Asma. Aku ungkapkan kembali persyaratan ibuku, bahwa isteriku
mau tidak mau harus hidup dan berjuang di Indonesia.

“Diriku sudah aku wakafkan di jalan Allah. Aku siap hidup dan berjuang
di mana saja mendampingi perjuangan suamiku tercinta.” Tegas Aisha tanpa ragu
sedikitpun.

Kami lalu berbicara tentang harapan masing-masing. Cita-cita dan
idealisme masing-masing. Aku merasa apa yang diharapkan dan dicita-citakan
Aisha tidak ada yang berseberangan jauh dengan apa yang aku harapkan dan aku
cita-citakan. Dia ingin suami yang sepenuh hati mencintainya, menjadikan dirinya
satu-satunya isterinya, setia dalam suka dan duka, perhatian pada keluarga, dan
tidak melalaikan tugas berjuang di jalan Allah. Itu adalah juga yang aku inginkan
dari isteriku. Aku ingin isteri yang shalihah, setia dan tidak mengkhianati Allah
dan Rasul-Nya.

Setelah pembicaraan berlangsung lama, rasa canggung tidak lagi
penghalang untuk mengungkapkan segala yang ingin diungkapkan. Aku bahkan
tanpa perlu malu, dan dengan penuh keterus-terangan membuka kemampuanku
mencari nafkah saat ini. Andalanku adalah terjemahan. Dan karena sedang
konsentrasi penulisan tesis, aku tidak bisa menerjemah sebanyak yang kemarin.


Aku jelaskan nominal yang kira-kira masuk tiap bulan. Itu pun terkadang
terlambat pembayarannya. Juga uang yang aku punya saat ini.

Aisha menjawab dengan tenang,

“Alhamdulillah aku sudah mempelajari sifat perempuan Jawa. Aku sangat
kagum pada mereka. Mereka adalah perempuan yang sangat setia, dan peduli pada
keluarga. Di Jawa seorang isteri terlibat sepenuhnya dalam masalah keluarga.
Isteri ikut memikirkan bagaimana dapur mengepul. Perempuan Jawa bisa hidup
sederhana. Seperti Fatimah Zahra puteri Rasulullah bisa hidup sangat sederhana,
yang mengambil air dan membuat roti sendiri. Padahal dia puteri seorang nabi
agung. Aku siap untuk hidup seperti Fatimah Zahra. Aku sudah meneliti
mahasiswa Indonesia, khususnya dari Jawa yang berkeluarga di Cairo. Mereka
hidup sangat sederhana. Mengatur uang yang ada sebaik-baiknya. Saling
melengkapi. Aku siap hidup seperti mereka. Menurut Ruqoyya isteri seorang
mahasiswa bernama Aziz yang berjualan tempe. Dengan uang 150 dollar ia sudah
bisa hidup normal meskipun sangat sederhana dengan menyewa rumah yang
sederhana. Aku bahkan siap untuk hidup lebih buruk dari itu. Aku siap dalam
suka maupun duka.”

Aku mantap dengan apa dengar dari Aisha. Semoga apa yang ia katakan
adalah apa yang keluar dari hatinya. Kata-kata adalah cermin jiwa.

Lalu aku mengutarakan masalah cadar yang dipakai Aisha. Bukan aku
tidak setuju atau menentangnya. Tapi untuk fiqh dakwah di Indonesia lebih
hikmah tidak pakai cadar. Aku jelaskan kondisi masyarakat di desaku dan
sekitarnya. Perempuan bercadar akan dianggap sangat aneh dan mencurigakan.

“Jangan kuatir. Aisha dan Sarah isteriku adalah muslimah-muslimah
moderat. Itu tidak akan menjadi masalah. Sarah sendiri kalau pulang ke Turki
tidak memakai cadar. Menurut mayoritas Ulama, menutup wajah bagi perempuan
tidak wajib. Yang wajib adalah menutup seluruh aurat kecuali telapak tangan dan
wajah,” jelas Eqbal.

“Ya. Paman Eqbal benar,” sahut Aisha.

Setelah segala yang bersifat pribadi dirasa cukup, dan kami merasa benar-
benar akan bisa menjadi pasangan hidup yang serasi, bisa saling mengisi dan
melengkapi, pembicaraan berlanjut ke masalah akad nikah dan pesta walimatul


‘ursy. Aisha ingin akad dan pesta dilaksanakan secepatnya. Setelah dikalkulasi
dan timbang paling cepat akad dilaksanakan satu minggu lagi dan pestanya dua
hari setelahnya. Akhirnya ditetapkan akad nikah akan dilaksanakan Jum’at depan,
tanggal 27 Sepetember, di masjid Abu Bakar Shiddiq setelah shalat Ashar. Karena
nantinya Aisha akan tinggal di Indonesia, maka aku harus mengurusi segalanya
yang berkaitan dengan dokumen pernikahan yang diakui di Indonesia. Aku
jelaskan itu mudah. Eqbal akan melengkapi semua dokumen Aisha yang
diperlukan untuk Kedutaan Besar Republik Indonesia. Aisha bilang ia juga akan
mencatatkan pernikahannya ke kedutaan Jerman.

Aisha meminta agar uang yang aku miliki saat ini disiapkan untuk mahar
dan pengurusan surat nikah KBRI. Adapun biaya yang lainnya biar paman Eqbal
yang mengurusi. Tempat pesta walimatul ursy juga ditetapkan saat itu juga. Yaitu
di Darul Munasabat91 masjid Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Itu adalah tempat
yang paling cocok. Letaknya strategis. Dekat dengan tempat tinggal umumnya
mahasiswa Indonesia dan mahasiswa Turki. Jumlah orang indonesia yang akan
diundang sekalian di tentukan. Tentunya undangan terbatas. Karena di pihak
Aisha juga mengundang orang Turki. Undangan disesuaikan dengan kapasitas
tempat duduk. Jenis hidangan yang disajikan juga ditetapkan. Tidak terlalu
mewah tapi juga tidak terlalu sederhana. Yang dicari adalah barakahnya.

Malam zafaf juga ditentukan. Tidak setelah akad, tapi setelah walimah.
Tempatnya di mana, Aisha dan Sarah yang akan merancangnya. Aku diminta
tinggal menerima jadi saja. Sebab suasana kamar pengantin akan dibuat suasana
Turki. Sarah adalah seorang da’iyah di kalangan mahasiswi Turki, karenanya aku
yakin meskipun di tata ala Turki tapi tidak akan menyimpang dari sunnah nabi.

Saat itu juga Eqbal mengukur tubuhku untuk mencari pakaian pengantin
yang akan dipakai saat walimah nanti. Sesuai keinginan Aisha, rencananya kami
berdua akan memakai busana pengantin muslim Turki. Hal-hal seperti itu bagiku
tidak ada masalah. Semua panitia akan ditangani oleh teman-teman dari Turki.
Eqbal hanya minta bantuan beberapa orang untuk penyambut tamu dan penyaji
hidangan.

91 Auditorium, balai pertemuan.


Perbincangan selesai tepat saat azan maghrib berkumandang. Sore itu
sejarah baru hidupku telah dirancang dengan matang. Aisha sempat tersenyum
padaku sebelum ia dan keluarganya meninggalkan ruang tamu Syaikh Utsman.
Aku tidak bisa mengungkapkan rasa cintaku yang membuncah memenuhi segenap
ruang hatiku. Aku melangkahkan kaki dengan perasaan bahagia tiada terkira,
meskipun aku tidak mengingkari ada sedikit rasa cemas. Cemas yang terlahir dari
kekurangpercayaan pada apa yang aku alami. Yang aku alami tadi sungguhkah
kejadian nyata ataukah sekadar mimpi belaka? Terkadang orang yang terlalu
bahagia melihat apa yang dialaminya seperti mimpi. Terkadang waktu berjalan
sedemikian cepatnya tanpa memberi kita kesempatan untuk berpikir sebenarnya
apa yang sedang terjadi pada diri kita sendiri.










16. Cobaan



Teladan orang-orang yang bercinta adalah Baginda Nabi. Cinta sejati
adalah cintanya sepasang pengantin yang telah diridhai Tuhan dan didoakan
seratus ribu malaikat penghuni langit. Tak ada perpaduan kasih lebih indah dari
pernikahan, demikian sabda baginda Nabi.

Setelah melihat Aisha yang tiada lain adalah calon bidadariku, belahan
jiwa yang akan mendampingi hidupku, tak bisa kupungkiri aku didera rasa cinta
yang membuncah-buncah. Inilah cintaku yang pertama, dan Aisha adalah gadis
pertama yang menyentuh hatiku dan menjajahnya.

Waktu di Aliyah dulu, aku pernah naksir pada seorang gadis tapi tak
pernah sampai menyentuh hati. Tak pernah sampai merindu dendam. Aku bahkan
tak punya keberanian untuk sekadar menyapanya atau mengingat namanya. Diriku
yang saat itu hanya berstatus sebagai khadim romo kiai, batur para santri, tak
berani sekadar mendongakkan kepala kepada seorang santriwati.

Juga selama di Kairo, sampai Aisha membuka cadarnya di rumah Syaikh
Utsman. Kuakui ada satu nama yang membuatku selalu bergetar bila
mendengarnya, namun tak lebih dari itu. Aku merasa sebagai seekor punguk dan
seluruh mahasiswi Indonesia di Kairo adalah bulan. Aku tidak pernah berusaha
merindukannya. Dan tak akan pernah kuizinkan diriku merindukannya. Karena
aku merasa itu sia-sia. Aku tak mau melakukan hal yang sia-sia dan membuang
tenaga.

Aku lebih memilih mencurah seluruh rindu dendam, haru biru rindu dan
deru cintaku untuk belajar dan menggandrungi Al-Qur’an. Telah kusumpahkan
dalam diriku, aku tak akan mengulurkan tangan kepada seorang gadis kecuali
gadis itu yang menarik tanganku. Aku juga tak akan membukakan hatiku untuk
mencintai seorang gadis kecuali gadis itu yang membukanya. Bukan suatu
keangkuhan tapi karena rasa rendah diriku yang selalu menggelayut di kepala.
Aku selalu ingat aku ini siapa? Anak petani kere. Anak penjual tape. Aku ini
siapa?

aku adalah lumpur hitam

yang mendebu


menempel di sepatu dan sandal

hinggap di atas aspal

terguyur hujan

terpelanting

masuk comberan

siapa sudi memandang

atau mengulurkan tangan?

tanpa uluran tangan Tuhan

aku adalah lumpur hitam

yang malang



Tuhan telah mengucapkan kun! Lumpur hitam pun dijelma menjadi
makhluk yang dianugerahi kenikmatan cinta yang membuncah-buncah dan rindu
yang berdebam-debam. Seorang bidadari bermata bening telah disiapkan
untuknya. Fa bi ayyi alaai Rabbikuma tukadziban! Maka nikmat Tuhan kamu
yang manakah yang kamu dustakan.

Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari

yang baik-baik lagi cantik-cantik.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.

Bidadari-bidadari yang jelita, putih bersih dipingit dalam rumah.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.92

Belum juga masuk surga, Tuhan telah begitu pemurah memperlihatkan
seorang bidadari yang baik dan cantik, bidadari yang putih bersih bernama Aisha.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakan yang kamu dustakan?

Maka tiada henti menangis kepada Tuhan, merasa terlalu agung anugerah
yang dilimpahkan oleh-Nya kepadaku yang lumpur hitam. Mengiba-iba
kepadaNya kiranya anugerah ini bukan bentuk istidraj, bukan bentuk nikmat yang
sejatinya azab. Dalam sujud tangis di keheningan malam kuisakkan seribu doa
dari ratapan jiwa. Doa Adam, doa Ibrahim, doa Ayyub, doa Ya’qub, doa Daud,
doa Sulaiman, doa Zakariya, doa Muhammad, doa seribu nabi, doa seribu wali,

92 Surat Ar-Rahman: 70-73.


dan doa seribu sufi yang telah mereguk cinta hakiki dan melahirkan sejuta
generasi rabbani.

* * *

Dua hari menjelang hari H, barulah teman-teman satu rumah aku beritahu.
Semua urusan di KBRI sudah selesai. Mahar telah aku beli; seuntai kalung,
sebuah cincin dan mushaf mahar. Aku juga telah membeli satu stel jas yang
pantas. Aku meminta kepada teman-teman untuk mengundang teman-teman
terdekat. Tak lebih dari empat puluh orang. Mohon kesediaan datang di acara
akad nikah Jum’at depan, di masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq, Shubra El-Khaima.

Seperti biasa Rudi nyeletuk, “Nurul dkk. diundang nggak Mas?”

“Untuk akadnya tidak usah. Tapi walimahnya ya,” jawabku dengan tegas.
Sebagai kabar gembira kuberitahukan pada teman-teman bahwa Bapak Atase
Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) secara khusus telah kuminta untuk
menjadi saksi, dan beliau telah menyatakan kesediaannya. Aku juga minta pada
teman-teman untuk mengundang dua ratus orang. Seratus lima puluh putera dan
lima puluh puteri untuk datang di acara walimatul ‘ursy. Teman-teman satu rumah
sepertinya masih tidak percaya pada apa yang aku kabarkan. Namun mereka mau
tidak mau harus percaya sebab aku tidak pernah main-main untuk urusan serius.

Aku datangi rumah Tuan Boutros. Kosong.

Saiful bilang, saat aku dua hari tidak di rumah, Tuan Boutros sekeluarga
pergi rekreasi ke Pantai Hurgada. Dua hari yang lalu aku memang sibuk di Nasr
City membantu teman-teman Turki mempersiapkan segalanya. Aku merasa tidak
lengkap jika sampai pesta walimatul ursy nanti keluarga Tuan Boutros tidak
menyaksikan. Mereka adalah orang terdekat selama tiga tahun ini. Aku mencoba
menghubungi nomor handphone Maria. Jawabannya, nomor yang anda hubungi
sedang berada di luar area! Sedih! Aku minta pada Rudi agar terus mencoba
menghubungi Maria, memberitahukan acara paling bersejarah dalam hidupku ini
pada keluarganya. Mohon mereka bisa datang pada saat pesta walimah.

Yang aku belum bisa mengerti adalah di manakah nanti aku setelah
menikah? Aku telah berusaha menyewa rumah di Hayyu Tsamin tapi Eqbal tidak
mengizinkannya. Katanya rumahnya telah disiapkan oleh Aisha. Aku ingin tahu
rumahnya di mana dan sewanya perbulan berapa, tapi dia juga tidak mau


memberitahukannya, katanya biar surprise sesuai permintaan Aisha. Yang jelas,
kata dia, rumah itu memang sangat layak untuk tinggal memadu kasih bersama
Aisha. Aku pasrah saja, aku tidak meragukan ketulusan mereka.

Satu hari menjelang akad nikah Eqbal dan dua orang Turki datang dengan
membawa mobil pick up. Dia bilang akan mengangkut barang-barangku untuk di
tata di rumah baru. Aisha yang memintanya. Komputer, beberapa stel pakaian,
dan puluhan jilid buku dan kitab penting diangkut. Aku tidak boleh ikut.

“Insya Allah, semuanya akan beres dan aman. Saat ini kau adalah raja
yang tidak boleh susah. Kami berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian
berdua. Dan jangan lupa selesai shalat Jum’at kau langsung ke rumahku di Maadi.
Kita akan berangkat ke Shubra bersama,” kata Eqbal yang sebentar lagi harus
kupanggil paman.

Ketika melihat kamarku yang berubah dan kehilangan banyak isinya aku
menitikkan air mata. Waktu terus berjalan. Manusia tidak bisa menentang
perubahan. Tak lama lagi aku akan meninggalkan kamar tercinta ini. Aku akan
meninggalkan teman-teman dan membuka lembaran hidup baru bersama seorang
isteri bernama Aisha.

berjalan di titian kodrat

(apa yang harus kita katakan)

jika berharap Dia menentukan93



* * *

Ketika fajar Jum’at merekah di ufuk timur, aku berkata dalam hati, “Inilah
hariku.” Tiada sabar rasanya menunggu ashar tiba. Matahari seperti diganduli
malaikat. Hari terasa berat. Waktu sepertinya berjalan begitu lambat.

Usai shalat shubuh teman-teman telah bersiap. Mereka kubagi tugas. Rudi
shalat Jum’at di Masjid Indonesia menjadi petunjuk jalan bagi Pak Atdikbud.
Mishbah ke Wisma Nusantara menjadi petunjuk jalan bagi bus yang disediakan
untuk teman-teman undangan. Jarak Nasr City-Shubra tidak dekat. Sedangkan
Hamdi dan Saiful nanti begitu selesai shalat Jum’at langsung ke Shubra. Aku
sendiri usai shalat Jum’at langsung ke rumah Eqbal Hakan Erbakan.

93 Dipetik dari sajak berjudul ‘Tuhan dan Titahnya’ karya Fatin Hamama.


Pukul delapan tepat telpon berdering, kukira dari Eqbal. Ternyata tidak.
Dari Ustadz Jalal. Katanya beliau dan isterinya telah sampai di mahattah metro
Hadayek Helwan. Beliau datang untuk membicarakan masalah yang dulu pernah
beliau pesankan melalui Nurul. Kuminta Saiful untuk menjemput Ustadz Jalal.
Aku jadi merasa tidak enak tidak mengundang beliau secara langsung untuk
menghadiri akad nikah. Kutanyakan pada teman-teman apakah undangan walimah
untuk beliau sudah sampai. Tidak tahu, mungkin belum, sebab undangan itu
dititipkan pada Mas Khalid. Dan rencananya Mas Khalid akan menyampaikannya
usai shalat Jum’at nanti. Meskipun terkesan sangat mepet dan mendadak terpaksa
nanti Ustadz Jalal akan kumohon untuk datang ke acara akad nikah.

Ustadz Jalal dan ustadzah Maemuna, isterinya, sampai dengan wajah
cerah. Mereka datang cuma berdua, tidak membawa ketiga anak mereka.

“Mana keponakan-keponakanku Ustadz? Kenapa tidak dibawa serta?”
tanyaku basa-basi.

Hamdi datang dengan nampan berisi tiga gelas teh Arousa panas dan satu
piring roti bolu. Entah dapat bolu dari mana anak itu.

“Sekali-kali kami ingin bepergian berdua tanpa diganggu anak-anak. Biar
bisa sedikit mesra. Pagi ini kami benar-benar menikmati perjalanan dengan metro.
Dari Ramsis sampai Hadayek Helwan sepi, hawanya juga sejuk,” jawab Ustadz
Jalal.

“Mereka ditinggal sendirian di rumah?” heranku.

“Tidak. Kebetulan Nurul dan teman-temannya usai shalat shubuh tadi
datang ke rumah. Jadi mereka yang menjaga,” sahut Ustadzah Maemuna.

“O begitu, syukurlah. Ngomong-ngomong Ustadz dan Ustadzah
menyempatkan untuk berkunjung kemari ada yang bisa saya bantu?” ucapku.

Ustadz Jalal memberi tahu ada masalah sangat penting dan rahasia yang
ingin beliau bicarakan denganku. Beliau minta tempat yang aman. Kubawa beliau
dan Ustadzah Maemuna ke dalam kamarku yang berantakan. Pintu kututup rapat.

“Kok berantakan begini. Komputermu dan kitab-kitabmu tidak ada. Mau
pindahan nih, atau malah sedang pindahan?” komentar Ustadz Jalal.

“Nanti setelah masalah Ustadz selesai akan aku ceritakan, insya Allah.
Silakan Ustadz bicara,” jawabku.


“Kami berdua datang kemari memohon bantuanmu menyelesaikan suatu
masalah serius. Tidak masalah kami sebenarnya, tapi masalah seseorang yang
dekat dengan kami. Dan yang paling tepat untuk kami minta pertolongan adalah
engkau, Fahri. Kami sangat berharap engkau bisa membantu,” kata Ustadz Jalal.

“Kau saya diberi kemampuan untuk itu. Insya Allah. Masalah apa itu
Ustadz?”

“Ini masalah serius yang mengancam jiwa Nurul?”

Mendengar hal itu pikiranku langsung tertuju pada buntut peristiwa Noura
bersembunyi di rumah Nurul. Jangan-jangan Si Muka Dingin Bahadur tahu itu
dan memperkarakannya, tapi kalau itu masalahnya kenapa diriku tidak ikut
diperkarakan?.

“Bagaimana jiwa Nurul bisa terancam Ustadz? Apa yang terjadi padanya,
dan apa yang bisa saya lakukan untuk membantunya?”

“Kau tahu Nurul adalah puteri tunggal Bapak KH. Ja’far Abdur Razaq,
pengasuh pesantren besar di Jawa Timur. Selain cantik dia juga cerdas dan halus
budi. Sejak masih kelas satu aliyah sudah banyak kiai besar yang melamar Nurul
untuk puteranya. Nurul tidak mau. Ketika akhirnya Nurul belajar di Al Azhar
pinangan itu justru semakin banyak. Kiai Ja’far ayah Nurul berkali-kali menelpon
Nurul agar segera menentukan pilihan pendamping hidupnya. Beliau merasa
sangat tidak enak menolak pinangan terus menerus. Apalagi jika pinangan itu
datangnya jadi kiai yang lebih senior dari beliau atau dari guru beliau. Jika Nurul
sudah tunangan atau menikah dengan seseorang yang dipilihnya tentu kedua
orang tua Nurul akan lebih tenang. Dan jika berjumpa dengan para kiai-kiai di
Jawa Timur tidak akan terbebani oleh sindiran-sindiran halus dari para kiai yang
meminang puterinya. Dua bulan yang lalu ayahnya menelpon ada pinangan dari
Kiai Rahmad untuk puteranya Gus Anwar. Kiai Rahmad ini adalah gurunya ayah
Nurul waktu mondok di Bandar Kidul Kediri. Ayah Nurul tidak bisa menolaknya
kecuali Nurul sudah memiliki seorang calon di Mesir. Jika tidak, maka Nurul
terpaksa harus menerima pinangan itu. Inilah masalahnya.”

“Nurul sendiri bagaimana? Saya mendengar ada beberapa mahasiswa yang
suka dengannya.”


“Memang ada beberapa mahasiswa yang mendekati dia secara baik-baik.
Ada yang secara langsung. Ada juga yang lewat kami atau teman satu rumahnya.
Tapi tak ada yang cocok di hatinya. Ternyata sejak dua tahun yang lalu diam-diam
Nurul telah kagum dan jatuh hati pada seseorang. Tapi sayangnya Nurul tidak
berani mengungkapkannya karena rasa malunya yang tinggi. Ia berharap orang
yang dicintainya terbuka hatinya dengan dan meminangnya tapi sepertinya orang
yang dicintainya tidak tahu kalau Nurul mencintainya. Rasa cinta Nurul padanya
membuncah dan tak bisa dia sembunyikan sejak dua bulan yang lalu. Sejak
ayahnya menelponnya untuk menerima Gus Anwar atau mencari calon sendiri di
Mesir yang shalih. Saat itu dia menangis pada isteriku. Ia mengungkapkan seluruh
isi hatinya. Ia minta kepada isteriku untuk membantunya. Isteriku memberi saran
untuk berterus terang saja pada orang yang dicintainya itu. Tapi Nurul tidak mau,
ia sangat malu. Nurul minta pada isteriku agar aku yang bicara dengan orang itu.
Aku sangat sibuk sekali dan aku merasa tidak tepat untuk bicara pada orang yang
dicintai Nurul itu. Akhirnya aku merasa aku perlu minta bantuanmu. Kau sangat
dekat dengan orang itu. Sudah berkali-kali Nurul bertanya padaku bagaimana
hasilnya. Aku tidak bisa menjawabnya. Sebab aku belum bertemu denganmu. Kau
sibuk aku pun sibuk. Baru kali ini aku bisa bertemu denganmu. Aku sangat
berharap kau bisa membantu.”

“Asal saya mampu, insya Allah Ustadz. Dia mahasiswi yang baik. Saya
salut dan kagum padanya. Meskipun telah menjabat sebagai Ketua Wihdah tapi
dia masih mau meluangkan waktu mengajar anak-anak baca Al-Qur’an di Masjid
Indonsia. Dia juga orang yang mudah diminta tolong. Sangat kasihan memang
kalau orang sebaik dia tidak mendapatkan apa yang dicintainya. Namanya orang
kalau sudah cinta itu susah untuk tidak dipertemukan. Abu Bakar saja ketika ada
seorang budak perempuan merana karena mencintai Muhammad bin Qasim bin
Ja’far bin Abi Thalib hati beliau luluh. Beliau langsung menemui tuan pemilik
budak itu dan membelinya, lalu mengirimnya ke Muhammad bin Qasim bin Ja’far
bin Abi Thalib. Hal serupa juga dilakukan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Cinta memang tidak mudah. Orang Inggris bilang, Love is a sweet
torment. Cinta adalah siksaan yang mengasyikkan. Tapi jika orang terus tersiksa


karena cinta, ia bisa binasa seperti Laila dan Majnun. Kebinasaan paling tragis
adalah yang disebabkan oleh cinta,” jawabku.

Ustadzah Maemuna menyahut,

“Dan kami tak ingin melihat Nurul binasa karena cintanya pada pujaan
hatinya.”

“Memangnya rasa cinta Nurul sampai seperti itu?” heranku.

“Sejak dua bulan yang lalu. Sejak ia menangis di pangkuanku, Nurul
sering menangis sendiri. Berkali-kali dia cerita padaku akan hal itu. Ia ingin sekali
orang itu tahu bahwa dia sangat mencintainya, lalu orang itu membalas cintanya
dan langsung melaksanakan sunnah Rasulillah. Nurul anti pacaran. Tapi rasa cinta
di dalam hati siapa bisa mencegahnya. Aku tahu benar Nurul siap berkorban apa
saja untuk kebaikan orang yang dicintainya itu. Bantulah kami membuka hati
orang itu?” kata Ustadzah Maemuna.

“Insya Allah. Saya paling tak tahan melihat seseorang tersiksa batinnya.
Jadi siapakah orang yang sangat beruntung itu, orang yang dipuja dan dicintai
gadis shalihah seperti Nurul?” tukasku tenang. Dalam hati aku merasa bersyukur
bahwa aku mendapatkan seorang biadadari yang kucintai tanpa harus melalaui
siksaan batin serumit Nurul. Tenyata menjadi seorang gadis tidak semudah
menjadi seorang pemuda.

“Kau sangat mengenalnya kuharap kau tidak kaget mendengar namanya
kusebut,” kata Ustadz Jalal.

“Santai saja Ustadz, insya Allah saya akan biasa saja,” jawabku santai.

“Orang yang dicintai Nurul, yang namanya selalu dia sebut dalam doa-
doanya, yang membuat dirinya satu minggu ini tidak bisa tidur entah kenapa,
adalah FAHRI BIN ABDULLAH SHIDDIQ!”

Mendengar namaku yang disebut aku bagaikan mendengar gelegar petir
menyambar telingaku. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar
dari lisan ustadz Jalal.

“Siapa Ustadz, mungkin ustadz salah ucap?” tanyaku meyakinkan apa
yang aku dengar.

“Aku tidak salah ucap Fahri. Kaulah orangnya. Nurul sangat mencintaimu.
Berkali-kali dia bicara denganmu langsung atau lewat telpon tapi dia tidak berani


mengatakan itu. Dan sudah berkali-kali dia minta kami menemuimu
mengungkapkan isi hatinya padamu, tapi baru kali ini aku sempat. Bagaimana
Fahri kau bisa membantu Nurul bukan?”

Aku meneteskan air mata. Tetesan itu makin lama makin deras. Akupun
tergugu. Kenapa jalan takdirnya seperti ini? Kenapa berita yang sebenarnya sangat
membahagiakan hatiku ini datang terlambat. Satu-satu nama seorang gadis yang
bila kudengar hatiku bergetar adalah Nurul. Nurul Azkiya. Berita yang seharusnya
membuat hatiku berbunga-bunga itu kini justru membuat hatiku terasa pilu.
Dalam hati aku menyumpahi kebiasaan buruk orang Jawa. Alon-alon waton
kelakon! Jadinya selalu terlambat. Jika dua bulan yang lalu Nurul mengucapkan
tiga kata saja: maukah kamu menikahi aku? Tak akan ada kepedihan ini. Sejak
bertemu muka dengan Aisha hatiku sepenuhnya dipenuhi rasa cinta kepadanya.
Dan beberapa jam lagi ikatan suci yang menyatukan cinta kami akan terjadi, insya
Allah.

Dengan terisak-isak kukatakan pada Ustadz Jalal dan Ustadzah
Maemunah, “Oh, andaikan waktu bisa diputar kembali. It is no use crying over
spilt milk . Tak ada gunanya menangisi susu yang telah tumpah!”

Lalu kucoba menenangkan diri dan kujelaskan semuanya yang telah
terjadi atas diriku. Aku tak bisa menyembunyikan tangisku saat menceritakan
semuanya. Pertemuan dengan Aisha di Metro, diskusi dengan Alicia, tawaran
Syaikh Utsman, pertemuan dengan Aisha dan keluarganya, sampai rencana akad
nikah dan walimah yang tinggal menunggu jam D nya.

“Apa yang bisa aku lakukan untuk Nurul Ustadz, apa. Seandainya Ustadz
jadi diriku apa yang bisa Ustadz lakukan?” kataku sambil tergugu, hatiku merasa
pilu. Seandainya Nurul dan Aisha datang bersamaan, aku tak perlu istikharah
untuk memilih Nurul. Aku lebih mengenal Nurul daripada Aisha. Tapi siapa bisa
menarik mundur waktu yang telah berjalan.

Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemuna menangis terisak-isak. Ustadz Jalal
merasa sangat menyesal dan sangat bersalah pada Nurul. Sudah berkali-kali Nurul
mendesaknya untuk menemui aku dan menjelaskan masalah itu tapi Ustadz Jalal
selalu mengulur waktu karena konsentrasi memperbaiki disertasi doktoralnya.
Yang ia sesalkan adalah kenapa beliau tidak menyempatkan sepuluh menit saja


untuk menilpunku memberikan sekadar isyarat ada seorang yang mencintaiku.
Ustadzah Maemuna menangis tersedu-sedu, ia tak bisa membayangkan pilunya
hati Nurul. Hanya karena sebuah keterlambatan sesuatu yang paling berharga bagi
jiwanya tidak ia dapatkan.

Dalam tangisku aku merasa masalah Nurul ini adalah cobaan besar bagi
komitmenku atas semua kata-kataku di rumah Syaikh Utsman. Cobaan atas cinta
dan kesetiaanku pada Aisha. Bisa saja aku nekad membatalkan kesepakatan dan
semua rencana yang telah ditetapkan seperti dalam film India. Akad Nikah toh
belum terjadi. Mahar belum aku bayarkan. Aku juga sama sekali belum pernah
menyentuh Aisha. Melihat wajahnya juga baru satu kali. Tapi jika aku melakukan
hal itu, namaku akan ditulis dengan lumpur hitam berbau busuk oleh sejarah. Aku
akan menjadi orang munafik paling menyakitkan hati orang-orang yang kucintai
dan kuhormati seperti Syaikh Utsman, Ummu Fathi, Eqbal Hakan Erbakan dan
isterinya, dan tentunya paling sakit dan terzalimi adalah Aisha. Kemudian seluruh
mahasiswa Turki di Mesir akan melaknat perbuatanku. Dan kelak ketika aku
berjumpa dengan Baginda Nabi beliau akan murka padaku karena aku telah
menyakiti perasaan sekian banyak umatnya. Aku tak mau itu terjadi. Lebih dari
itu aku tidak tahu seberapa panjang umurku ini. Jika aku membatalkan pernikahan
yang telah dirancang matang, aku tidak tahu apakah Allah masih akan
memberikan kesempatan padaku untuk mengikuti sunnah Rasul. Ataukah aku
justru tidak akan punya kesempatan menyempurnakan separo agama sama sekali.
Tidak selamanya perasaan harus dituruti. Akal sehat adalah juga wahyu Ilahi.


17. Ikatan Suci



Apa yang terjadi antara diriku dan Nurul adalah tragedi yang sangat
memilukan. Aku tak memungkiri, di dalam taksi selama perjalanan menuju rumah
Eqbal Hakan Erbakan, hatiku menangis. Aku ini siapa? Nurul sungguh terlalu.
Apakah dia bukan orang Jawa? Aku ini orang Jawa. Di Jawa, seorang khadim kiai
dan batur santri, anak petani kere, mana mungkin berani mendongakkan kepala
apalagi mengutarakan cinta pada seorang puteri kiai. Dia sungguh terlalu
menunggu hal itu terjadi padaku. Semestinya dialah yang harus mengulurkan
tangannya. Dia sungguh terlalu berulang kali ketemu tidak sekalipun
mengungkapkan perasaannya yang mungkin hanya membutuhkan waktu satu
menit. Atau kalau malu hanya dengan beberapa baris tulisan tangannya tragedi ini
tidak akan terjadi. Menyatakan cinta untuk menikah di jalan Allah bukanlah suatu
perbuatan tercela. Dia sungguh terlalu. Tapi dia tidak keliru. Dia telah menempuh
jalan yang benar. Dia benar-benar gadis shalihah yang pemalu. Yang terlalu
sesungguhnya adalah Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemuna. Mereka berdua
sungguh terlalu. Atau justru aku yang terlalu dan begitu dungu.

rinai tangis dalam hatiku

bagai rintik hujan di kota

apa gerangan makna lesu

yang menyusup masuk kalbuku?94



Sampai di halaman rumah Eqbal aku melihat tiga mobil mewah berjajar.
Rumahnya ada di lantai tiga sebuah villa mewah tak jauh dari KFC Maadi.
Sebelum masuk kuhapus air mata, kutata hati dan jiwa. Aku berusaha tersenyum.
Aku disambut hangat oleh Eqbal dan tiga lelaki Turki. Rumahnya tidak terlalu
ramai. Eqbal memperkenalkan tiga lelaki Turki yang berpakaian rapi itu.

“Ini Ismael Akhtar, Ketua Umum Persatuan Mahasiswa Turki di Mesir, ini
sekjennya Ali Naar, sedangkan ini yang baru tiba dari Turki tadi pagi adalah calon
pamanmu Akbar Ali Faroughi, adik kandung ibunya Aisha.”

94 Dari penggalan puisi “Lagu Hujan” karya penyair Perancis Paul Verlaine (1844-1896)
terdapat dalam Puisi Dunia, Balai Pustaka, 1952, hal. 88.


Akbar Ali yang gagah itu memelukku erat dan berbisik, “Senang memiliki
keponakan seperti dirimu. Aisha sudah banyak bercerita tentangmu padaku.
Selamat datang di keluarga besar Ali Faroughi.”

Di ruang tamu itu kami berbincang-bincang sambil menunggu Aisha yang
sedang berdandan. Akbar Ali menceritakan silsilah keluarga besarnya agar aku
tahu jelasnya. Ali Faroughi ayahnya dan juga kakek Aisha adalah asli Turki.
Beliau lahir di kota Izmir dari keluarga pedagang kain. Lulus sekolah menengah
langsung diminta ayahnya merantau ke Istambul dan membuka toko kain di sana.
Beliau menuruti anjuran ayahnya. Bakat bisnisnya luar biasa besar. Tokonya maju
pesat sampai akhirnya bisa membuat pabrik tekstil kecil-kecilan. Akhir tahun
1948 beliau menikah di Yordan dengan seorang gadis pengungsi Palestina
sebatang kara yang seluruh keluarganya telah tewas dibantai Israel dan harta
kekayaannya juga dirampas. Gadis Palestina itu beliau bawa ke Istanbul. Enam
tahun kemudian, yaitu tahun 1954, lahirlah anak mereka yang pertama diberi
nama Alia Ali Faroughi. Alia itulah ibu kandung Aisha. Empat tahun kemudian
lahirlah Akbar Ali Faroughi dan jauh setelah itu, lima belas tahun kemudian baru
lahir Sarah Ali Faroughi yang sekarang menikah dengan Eqbal Hakan Erbakan.
Ali Faroughi adalah pengikut setia Al-Imam Asy-Syaikh Al-Mujaddid Badiuz
Zaman Sa’id An-Nursi. Ali Faroughi wafat pada tahun 1993 pada usia 73 tahun,
meninggalkan tiga buah perusahaan besar. Di antara ketiga anaknya itu yang
paling cerdas dan ulet adalah Alia. Dia selalu terbaik di sekolah menengah. Dia
dokter terbaik lulusan Istanbul University tahun 1976 dan langsung mendapat
beasiswa ke Jerman tahun itu juga. Di Jerman Alia mengambil spesialis jantung.
Setelah tiga tahun di Jerman ia menikah dengan seorang muallaf Jerman namanya
Rudolf Greimas, seorang pemilik swalayan. Tahun 1981 Aisha lahir. Dan tahun
1982 Alia memperoleh gelar doktornya dengan predikat summa cumlaude dan
mengambil keputusan untuk tinggal dan bekerja di Jerman. Yang menyedihkan
tujuh tahun yang lalu, Alia tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di sebuah
jalur cepat yang berada pinggir kota Munchen, meninggalkan Aisha yang masih
belia. Aku baru tahu sebenarnya Aisha telah lama kehilangan seorang ibu.

Kira-kira setengah jam sebelum azan ashar berkumandang, Sarah Ali
Faroughi, memberi tahu semuanya telah siap. Aku minta tolong pada Eqbal agar


bisa melihat wajah Aisha sebelum berangkat. Aku ingin mengisi kembali energi
cintaku. Aku ingin menghilangkan segala galau dan melenyapkan segala pilu
yang masih terasa menyelimuti hatiku. Aku tak mau tragedi Nurul menorehkan
noda dalam hatiku. Aku harus melihat wajah Aisha yang sinarnya akan menerangi
semua kisi dan relung hatiku. Kesejukannya akan menyiram jiwaku.

Eqbal tersenyum padaku dan menarik lenganku. Dia membawaku masuk
ke sebuah kamar di sana hanya ada tiga perempuan Turki semuanya telah memaki
cadar. Eqbal minta agar Aisha membuka cadarnya. Seorang perempuan yang
memakai abaya paling indah perlahan membuka cadar kuning keemasannya.
Perlahan wajah yang bercahaya itu tampak dan tersenyum padaku. Aku
memandangnya lekat-lekat. Aku tersihir oleh pesonanya. Tanpa sadar hatiku
bertasbih dan berpuisi:

alangkah manis gadis ini

bukan main elok dan ayu

calon isteriku

matanya berbinar-binar

alangkah indahnya

Setelah kurasa cukup, aku meminta Aisha memakai kembali cadarnya.
Kami pun berangkat dengan menggunakan tiga sedan Mercy. Aku bersama Eqbal
dan isterinya. Aisha bersama pamannya Akbar dan isterinya. Ketua Persatuan
Mahasiswa Turki bersama sekjennya. Selama dalam perjalanan aku lebih banyak
mengucapkan istighfar. Aku berharap saat ini keluarga di Indonesia mengirimkan
selaksa doa untukku. Mereka sudah aku beri tahu detik-detik ini aku akan
membuka lembaran hidup baru. Dalam perjalanan sempat aku keluarkan
pertanyaan yang mengganjal pada Eqbal, “Ayah Aisha, Tuan Rudolf Greimas,
bukankah masih hidup. Apakah beliau akan datang?”

“Beliau memang masih hidup tapi tidak akan datang dan Aisha juga tidak
terlalu menginginkan dia datang. Yang jelas dia sudah tahu puterinya akan
menikah dengan mahasiswa Indonesia. Tentang Rudolf Greimas nanti
tanyakanlah sendiri pada Aisha, kenapa sampai dia tidak mengharapkan
kedatangannya,” jawab Eqbal Hakan.

* * *


Tepat saat adzan ashar berkumandang kami sampai di masjid tempat akad
nikah akan dilangsungkan. Sudah banyak teman-teman mahasiswa Indonesia dan
mahasiswa Turki yang sampai di sana. Aisha dan dua bibinya langsung menuju
lantai dua tempat jamaah wanita. Aku menyalami teman-teman. Mereka semua
tersenyum dan mengucapkan selamat padaku. Usai shalat ashar acara akad nikah
dimulai.

Acara dilangsungkan di depan mihrab masjid. Syaikh Ustman, Syaikh
Prof.Dr. Abdul Ghafur Ja’far, Bapak Atdikbud, Eqbal Hakan Erbakan, Akbar Ali
dan beberapa syaikh Mesir yang diundang Syaikh Ustman duduk dengan khidmat
tepat di depan mihrab menghadap ke arah jamaah dan hadirin yang memenuhi
masjid. Rupanya saat shalat Jum’at tadi telah diumumkan akan ada acara akad
nikah antara mahasiswa Indonesia dan muslimah Turki, sehingga orang Mesir
yang ada di sekitar masjid penasaran dan masjidpun penuh. Aku duduk di sebelah
kanan Akbar Ali. Di barisan depan hadirin tampak ketua PPMI dan pengurusnya,
teman-teman satu rumah, Syaikh Ahmad Taqiyyuddin, teman-teman Mesir di
program pasca dan Bapak M. Saeful Anam dari bagian Konsuler KBRI yang akan
mencatat kejadian penting ini untuk mengeluarkan surat nikah resmi. Rudi yang
paling suka pegang tustel sibuk membidikkan kameranya. Dua orang mahasiswa
Turki juga sibuk mengabdikan peristiwa bersejarah ini dengan handycam dan
kamera.

Yang menjadi pembawa acara adalah Ismael Akhtar, Ketua Umum
Persatuan Mahasiswa Turki di Mesir. Bahasa Arab fushanya indah. Acara dibuka
dengan basmalah dan pembacaan kalam Ilahi. Lalu sambutan singkat dari
keluarga mempelai perempuan yang disampaikan Eqbal. Sambutan singkat dari
keluarga mempelai pria oleh Syaikh Utsman. Barulah akad nikah. Pihak wali
perempuan mewakilkan Syaikh Prof. Dr. Abdul Ghafur Ja’far untuk menikahkan
Aisha.

Syaikh Abdul Ghafur Ja’far, yang tak lain adalah pembimbingku menulis
tesis itu maju dan duduk di tengah lingkaran. Akbar Ali dan Eqbal Hakan
menuntunku maju dan duduk di hadapan Syaikh. Mereka berdua mendampingku.
Pak Atdikbud juga maju, duduk di samping Syaikh sebagai saksi. Ismael Akhtar
juga maju sebagai saksi. Saiful ikut maju membawakan mahar. Aku sempat


melirik ke lantai dua. Aisha dan kedua bibinya serta ratusan muslimah di sana
memandang ke bawah. Ke arah prosesi sakral ini dilangsungkan.

Sebelum memulai mengakad Syaikh Abdul Ghafur meminta kepada
semua hadirin untuk beristighfar, mensucikan hati dan jiwa. Lalu meminta kepada
semuanya untuk bersama-sama membaca dua kalimat syahadat. Aku meneteskan
air mata, hatiku basah. Aku belum pernah merasakan suasana sedemikian
sakralnya. Syaikh Abdul Ghafur menjabat tanganku erat, lalu mewakili wali
menikahkan diriku dengan Aisha. Dan dengan suara terbata-bata namun jelas aku
menjawab dengan penuh kemantapan hati:

“Qabiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkur, ala manhaji kitabillah
wa sunnati Rasulillah! Aku terima nikah dan kawin dia (Aisha binti Rudolf
Kremas) dengan mahar yang telah disebut, di atas manhaj kitab Allah dan sunnah
Rasulullah!”

Spontan dari lantai dua terdengar wanita-wanita Mesir melantunkan
zaghrudah95 yang melengking indah. Dan Syaikh Abdul Ghafur membimbing
seluruh hadirin untuk mengucapkan doa yeng telah diajarkan oleh Rasulullah
Saw.:

“Baralallahu laka wa baraka alaika wa jama’a bainakuma fi khair!”96

Masjid pun berdengung-dengung oleh doa seluruh hadirin. Hatiku terasa
sejuk sekali. Air mataku terus meleleh tiada henti. Aku tiada henti mengucapkan
hamdalah dalam hati. Setelah itu disambung khutbah nikah yang dibawakan
Syaikh Ahmad. Khutbah yang singkat, padat, namun membuat hatiku bergetar
hebat. Diakhiri dengan doa yang dipimpin Syaikh Utsman, doa yang membuat
diriku lebur dalam keagungan tanda-tanda kekuasaan Tuhan.

Selesai doa, Syaikh Utsman membimbing hadirin untuk melantunkan
thalaal badru, lagu kebahagiaan yang dinyanyikan kaum Anshar saat menyambut
kedatangan Nabi Muhammad Saw. dan Abu Bakar Ash-Shiddiq di madinah
setelah menempuh perjalanan hijrah yang panjang dan melelahkan. Para hadirin
berdiri, menyalami dan merangkulku satu persatu sambil membisikkan doa

95 Siulan khas wanita Arab sebagai ungkapan kegembiraan.

96 Semoga berkah Allah tetap untukmu, dan semoga berkah Allah tetap ke atasmu dan semoga
Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan. (Hadits diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi,
Abu Daud, dan Ahmad)


barakah diiringi lantunan thalaal badru. Gerimis di hatiku tidak mau berhenti. Air
mata terus saja meleleh. Aku kini telah memiliki seorang isteri. Subhanallah, wal
hamdulillah, wa laa ilaaha illallah, Allahu akbar!

* * *

Seperti kesepakatan setelah akad nikah kami tidak langsung zafaf. Malam
zafaf adalah setelah walimah. Dua hari lagi. Sampai rumah teman-teman
menggodaku habis-habisan. Aku tanyakan pada mereka apa sudah bisa
menghubungi keluarga Tuan Boutros. Belum bisa. Tidak enak rasanya jika
mereka tidak menghadiri walimah nanti. Meskipun berbeda agama mereka sudah
seperti keluarga sendiri.

Pukul dua belas malam teman-teman sudah tidur. Tapi aku sama sekali
tidak bisa memejamkan mata. Aku ingat banyak hal. Aku menelusuri kembali
perjalanan hidupku. Sejak masih SD, jualan tape. Lalu masuk pesantren menjadi
khadim Romo Kiai sambil melanjutkan sekolah di Tsanawiyah dan Aliyah milik
pesantren. Dan akhirnya dengan susah payah bisa sampai Mesir. Aku menangis
sendiri ditemani sepi.

Tiba-tiba handphone-ku berdering. Kulihat ada yang memanggil. Aisha!
Hatiku berdegup kencang. Aku menyeka air mata dan menata perasaan.
Kuangkat:

“Fahri?”

“Ya.”

“Kasihku, aku yakin kau belum tidur. Kau tidak bisa tidur. Kau pasti
sedang memikirkan aku. Ya ‘kan?” Dan klik. Diputus. Aku belum sempat
menjawab.

Aku gemes sekali padanya. Pada Aisha. Ia menggodaku. Kukirim sms
padanya. Sebab jika kutelpon takut tidak dia angkat. Percuma.

“Aisha, aku sangat merindukanmu.” Tulisku.

“Aku sudah tahu. Bersabarlah. Allah mencintai orang-orang yang bersabar.”
Jawab Aisha. Aku menghela nafas panjang. Aku ingin shalat malam.

* * *

Pagi hari, usai shalat shubuh, di masjid Al Fath Al Islami, seluruh jamaah
yang mengenalku mengucapkan selamat. Rupanya Syaikh Ahmad telah memberi


tahu mereka. Dan Syaikh Ahmad mengajakku ke kamarnya di belakang mihrab.
Beliau memberikan kabar bahagia mengenai Noura.

Alhamdulillah kebenaran itu terkuat juga. Dari tes DNA, gen Noura tidak
sama dengan gen Si Muka Dingin Bahadur dan isterinya yaitu Madame Syaima.
Gen Noura justru sama dengan milik suami isteri bernama Tuan Adel dan
Madame Yasmin yang kini jadi dosen di Ains Syam University yang saat itu
melahirkan bayinya bersamaan harinya dengan Madame Syaima. Dan Nadia gadis
yang selama ini mereka besarkan dengan penuh kasih sayang sama gennya
dengan Si Muka Dingin Bahadur dan Madame Syaima. Dua bayi itu tertukar.
Noura memang mirip sekali dengan Madame Yasmin dan Si Nadia mirip dengan
Madame Syaima. Mereka telah menemukan orang tua masih-masing. Noura
bahagia dan Nadia nelangsa. Untungnya Tuan Adel dan Madame Yasmin tetap
meminta Nadia tinggal bersama mereka. Sebab Nadia telah dianggap sebagai
anaknya sendiri. Si Muka Dingin Bahadur sedang diproses atas segala
kejahatannya. Mendengar kabar bahagia itu aku merasa sangat bahagia. Gadis
innocent yang lembut itu akhirnya benar-benar menemukan taman kebahagiaan
yang selama ini hilang.

Usai dari masjid aku mengajak musyawarah teman-teman satu rumah. Tak
lama lagi aku akan meninggalkan mereka. Iuran sewa rumah bulan depan aku
bayar sekalian. Jadi mereka tidak bertambah beban meskipun aku tidak lagi satu
rumah dengan mereka. Namun aku minta tolong kepada mereka agar bulan
berikutnya sudah ada yang menggantikan aku. Teman-teman rela melepaskan aku
dan mendoakan semoga hidup bahagia. Mereka minta agar aku tidak segan dan
masih sering main ke Hadayek Helwan. Mereka bertanya aku akan tinggal di
mana. Aku menjawab, “Belum tahu. Semua yang mengurus isteri tercinta!”
Kontan mereka menyahut bareng, “Enaknya punya isteri gadis Turki yang
shalehah seperti Aisha!” Aku tersenyum mendengarnya.

Pukul sembilan Paman Eqbal—setelah akad nikah aku harus
memanggilnya paman—dan tiga mahasiswa Turki datang kembali dengan pick
up. Hendak mengangkut semua barangku yang tersisa. Dia belum juga mau
mengatakan rumah yang akan kami tempati itu di mana. “Nanti kau akan tahu
juga!” jawabnya enteng.


Hari berikutnya adalah pesta walimatul ursy di Darul Munasabat Masjid
Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Sejak ashar aku telah berada di rumah mahasiswa
Turki yang telah berkeluarga di Hadidar Toni Street. Namanya Subhan Tibi.
Isterinya bernama Laila Belardi. Mereka teman baik Paman Eqbal dan Bibi Sarah.
Di rumah mereka yang letaknya kira-kira satu kilometer dari lokasi walimah, aku
dan Aisha dirias ala pengantin Turki. Aisha benar-benar seperti bidadari. Tapi
elok wajahnya tersembunyi di balik cadar tipis keemasan. Dan inilah untuk
pertama kali kami duduk bersanding di dalam mobil mewah. Selama dalam
perjalanan menuju tempat walimah aku tak berani menyentuhnya. Kelihatannya
Aisha gemes melihat ketidakberanianku. Ia meletakkan tangannya di atas telapak
tanganku. Dengan ragu-ragu aku memegang tangannya. Dan hatiku berdesir
hebat. Itulah untuk pertama kalinya aku memegang tangan halus seorang gadis.

Pesta walimah sangat meriah. Di mulai tepat setelah ashar. Ada panggung
di depan. Tempat lelaki dan wanita di pisah dengan satir. Pengantin lelaki berbaur
dengan undangan lelaki dan pengantin wanita berbaur bersama pengantin wanita.
Panggung yang indah itu rupanya untuk hiburan. Tim Shalawat Turki
menunjukkan kebolehannya. Juga tim nasyid Indonesia. Ada juga pantomim,
sumbangan dari teman-teman KSW. Tadzkirah di sampaikan oleh Dr. Akram
Ridha, pakar psikologi yang juga seorang dai terkemuka di Kairo. Semua berjalan
dengan sangat mengesan bagi siapa saja yang hadir malam itu.

Setelah acara berakhir, dan tamu undangan telah banyak yang pulang,
Paman Eqbal membawaku ke tempat pengantin wanita. Di sana ternyata ada
pelaminan yang telah dihias indah. Aisha sudah duduk manis duduk di sana. Aku
diminta untuk duduk di sampingnya untuk diabadikan dalam foto dan video.

Aisha minta dipangku dan disuapi kue. Lalu minta dibopong dan
digendong. Ia juga minta difoto dalam gaya-gaya dansa. Ada-ada saja. Ia sangat
mesra dan manja. Tapi ia sangat tahu menjaga diri, ia tidak minta dicium saat itu.
Kemesraan kami yang tak lama itu tidak ada yang melihat kecuali beberapa
muslimah, Paman Eqbal dan Paman Akbar Ali. Saat adzan maghrib
berkumandang dari menara masjid. Aku dan Aisha telah berada di dalam
Limousin meluncur menuju tempat untuk malam zafaf. Menjadi sopir kami adalah
Paman Eqbal Hakan Erbakan, isterinya Sarah duduk disampingnya dengan si


kecil Hasan di pangkuannya. Di belakang kami mobil Paman Akbar Ali
membuntuti. Ia bersama isterinya dan si kecil Amena. Selama dalam perjalanan
kami diam tanpa bicara apa-apa namun tangan kami erat berpegangan.

Mobil kami terus melaju. Lampu-lampu telah menyala seperti bintang-
bintang. Langit merah bersemburat indah. Mobil melaju diatas jalan layang yang
membelah Ramsis. Terus ke Barat. Apakah Paman Eqbal akan membawa kami ke
hotel? Aku tidak tahu. Semua mahasiswa Indonesia yang menikah di Cairo tidak
ada yang menghabiskan malam pertama di hotel. Semuanya menghabiskan malam
pertama di rumah kontrakan yang sederhana. Di depan sudah tampak sungai Nile.
Kami melewati Ramses Hilton. Mobil terus melaju. Aisha menyandarkan
kepalanya di pundakku. Aku merasakan suasana yang sangat indah. Kami berada
di atas Jembatan 6th Oktober yang menyeberangi sungai Nil. Restauran dan night
club terapung telah menyalakan lampunya. Di depan sana agak ke selatan di
tengah daratan seperti pulau di tengah sungai Nil tampak Cairo Tower menjulang
tinggi. Daratan yang dikelilingi sungai Nile itu disebut daerah El-Zamalik.
Kawasan yang sangat elite dan indah. Eqbal membelokkan mobil dan turun dari
jembatan ke El-Gezira Street. Kami berada di daerah El-Zamalik. Mobil terus
berjalan ke utara menyusuri pinggir sungai Nil. Melewati Cairo Marriot Hotel.
Melewati Kedutaan Swedia. Akhirnya sampai di Muhamad Mazhar Street. Di
sebuah gedung bertingkat dua belas yang berada tepat di pinggir sungai Nile kami
berhenti.

Paman Eqbal membawa kami masuk. Di dalam gedung dekat tangga naik
dan lift ada dua penjaga berdasi dan membawa senapan otomatis. Paman Eqbal
berbincang dengan mereka sebentar lalu menarik lenganku.

“Ini saudara saya, Fahri Abdullah dari Indonesia, dia nanti yang akan
menempati flat nomor 21 bersama isterinya. Mereka berdua akan menggantikan
Mr. Edward Minnich yang telah pindah bulan yang lalu.”Kata Paman Eqbal
memperkenalkan diriku. Dua penjaga itu tersenyum dan menjabat tanganku
sambil berkata, “Selamat datang di apartemen ini pengantin baru!” Penampilanku
dan Aisha memang mudah sekali ditebak.

Kami lalu masuk lift dan naik ke lantai tujuh. Tiap lantai ada tiga flat. Flat
nomor, 19, 20 dan 21 berada dalam satu lantai. Paman Eqbal membuka pintu flat


nomor 21. Kami masuk. Paman Eqbal menyalakan lampu. Dan tampaklah sebuah
ruangan tamu yang mewah. Lebih mewah dari rumah Bapak Atase Pendidikan di
Dokki. Kami duduk di sofa yang empuk. Tak lama kemudian Paman Akbar Ali
dan isterinya masuk. Mereka langsung duduk.

“Gimana pengantin baru, kalian sudah siap?” tanya Paman Eqbal sambil
tersenyum.

Aku diam tidak menjawab kecuali dengan senyum.

“Baiklah Fahri, kau berbahagialah malam ini bersama isterimu. Kami
tidak akan lama-lama di sini. Ini kuncinya peganglah. Dua penjaga itu yang hitam
namanya Hosam dan yang kuning namanya Magdi. Kau sudah lama di Mesir jadi
kau tidak akan asing berada di sini. Jika ada apa-apa telpon aku. Kami pamit dulu.
Semoga umur kalian penuh berkah.” Pamit Paman Eqbal sambil berdiri dari
duduknya.

“Aisha dan kau Fahri, kami juga pamit. Malam ini juga kami akan terbang
ke Istanbul. Sudah tiga hari kami di sini. Nanti kalau ada waktu kami akan
mengunjungi kalian,” kata Akbar Ali Faraughi, paman Aisha. Aisha memeluk
pamannya dengan mata berkaca-kaca. Lalu gantian aku memeluknya, dan dia
berbisik, “Jaga dia baik-baik Fahri, aku percaya padamu!”

“Insya Allah, paman. Doanya. Salam buat seluruh keluarga di Turki.”
jawabku. Kulihat Aisha lalu berpelukan dengan Elena Hashim, isteri Akbar Ali.
Setelah itu ia memeluk bibinya, Sarah Ali Faraughi dengan tangis pecah.

“Aisha kau sudah hidup di dunia baru. Kuatkanlah dirimu dengan takwa.
Minta tolonglah kepada Allah dengan shalat dan kesabaran. Dan layanilah
suamimu dengan sebaik-baiknya. Ridha suamimu adalah surgamu,” suara Bibi
Sarah terdengar parau.

Mereka lalu beranjak keluar. Satu persatu meninggalkan pintu. Kami
mengantar sampai di pintu. Terakhir Paman Eqbal memeluk diriku sambil
berkata, “Fahri, kau tentu ingat pelajaran hadits di kuliah, Rasulullah bersabda,
‘Orang pilihan di antara kalian adalah yang paling berbuat baik kepada
perempuan (isteri)nya.’ Kumohon, muliakanlah isterimu. Bawalah dia hidup di
jalan yang diridhai Allah!’

“Insya Allah, doakanlah kami,” jawabku.


Tak lama kemudian mereka hilang di telan pintu lift. Kami masuk kembali
ke dalam flat dan menutup pintu.

* * *

Mereka telah pergi meninggalkan kami berdua. Kami salah tingkah.
Wajah Aisha merona. Tubuhku panas dingin. Kami merasa sama-sama canggung
mau berbuat apa. Tapi kami merasa itulah indahnya.

“Kita belum shalat maghrib,” lirih Aisha. Ia masih berdiri tak jauh di
depanku dengan wajah menunduk. Aku tersadar, waktu sudah mepet, aku harus
segera memberanikan diri melakukan sesuatu. Ada sunnah Rasulullah yang harus
aku amalkan ketika untuk pertama kalinya berada dalam satu kamar atau satu
rumah dengan pengantinku. Aku bergerak mendekati Aisha dan menggamit
tangannya.

“Kamar kita di mana, Sayang?” tanyaku pelan.

“Sini,” jawab Aisha sambil melangkah ke sebuah kamar.

Pintu kubuka. Gelap. Lampu kunyalakan, tampaklah kamar pengantin
yang berhias indah, wangi dan sangat romantis. Kuajak Aisha duduk di ranjang.
Aku membaca basmalah dengan segenap penghayatan akan ke-MahaRahman-an
dan ke-Maharahim-an Allah. Lalu kupegang ubun-ubun kepala Aisha dengan
penuh kasih sayang sambil berdoa seperti yang diajarkan baginda Nabi,

“Allaahumma, inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa
a’udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha! Ya Allah, sesungguhnya aku
mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon
perlindungan-Mu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya. Amin.”97

Kulihat Aisha memejamkan kedua matanya dan dari mulutnya terdengar
amin..amin..amin, berkali-kali. Ia sudah mengerti bagaimana memasuki malam
zafaf agar pernikahan penuh berkah. Setelah itu kulanjutkan dengan doa yang
diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkaar,

“Baarakallaahu likulli waahidin minna fi shaahibihi. Semoga Allah
membarakahi masing-masing di antara kita terhadap teman hidupnya.”

97 Sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Ibnu Majah, Abu
Daud, dan Ibnu Sinni.


Lalu kukecup ubun-ubunnya sambil menangis dan mengulang doa itu
berkali-kali. Aisha terus mengucapkan amin..amin..amin, dengan air mata meleleh
di pipinya.

Barulah kuajak Aisha untuk mengambil air wudhu dan shalat maghrib berjamaah.
Setelah shalat maghrib membaca dzikir, shalat sunnah ba’diyah, membaca wirid
dan doa rabithah. Menjelang Isya kuajak Aisha untuk shalat sunnah bersama
sebagaimana dilakukan salafush shalih, agar pernikahan kami ini penuh barakah.
Selesai shalat aku membaca doa sebagaimana diajarkan baginda nabi dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud,

“Allaahumma baarik li fi ahli, wa baarik lahum fiyya. Allaahumma ijma’
bainana ma jama’ta bikhair, wa farriq bainana idza farraqta ila khair. Ya Allah,
barakahilah bagiku dalam keluargaku, dan berilah barakah mereka kepadaku. Ya
Allah, kumpulkan antara kami apa yang engkau kumpulkan dengan kebaikan, dan
pisahkan antara kami jika engkau memisahkan menuju kebaikan. Amin.”

Di belakangku Aisha khusyu mengucapkan amin..amin..amin, kabulkan ya
Allah, kabulkan ya Allah, kabulkan ya Allah, dengan rahmat dan kasih-Mu.

Usai shalat dan berdoa aku berbalik menghadap Aisha, aku hendak
mengelus kepalanya. Aisha malah mencium tanganku sambil terisak-isak. Adzan
Isya berkumandang. Kupegang kepala Aisha dengan kedua tanganku. Kupandangi
lekat-lekat wajahnya yang jelita. Kuseka air mata yang melelah di pipinya.

“Fahri, aku mencintaimu.” Ia mengucapkannya dengan penuh
kesungguhan.

“Aku juga mencintaimu, Aisha,” jawabku sambil mengecup keningnya
penuh cinta.

“Kecupan pertama yang tak akan pernah kulupa,” lirih Aisha.

“Aisha, cinta Tuhan memanggil-manggil kita. Saatnya shalat Isya. Aku ke
masjid dulu untuk shalat berjamaah. Kau shalat di rumah saja ya. Dalam suasana
seperti apapun shalat fardhu adalah utama.”

Dia mengangguk.

“Tapi selesai shalat langsung pulang. Jangan lama-lama di masjid. Shalat
sunnahnya di rumah saja.”




18. Saat-saat Indah di Tepi Sungai Nil



Di masjid aku bertemu Magdi penjaga apartemen. Aku sangat senang ada
polisi yang rajin berjamaah seperti dia. Aku berbincang dengannya sebentar. Dia
ternyata sekolah menengahnya dulu di Ma’had Al Azhar, Damanhur. Dan dia
bukan satpam biasa, tapi polisi khusus yang ditugaskan untuk menjaga keamanan
beberapa diplomat yang tinggal di apartemen itu. Ketika kukenalkan diriku dia
sangat senang sekali. Lalu aku dikenalkan pada imam masjid yang bernama
Syaikh Abdurrahim Hasuna. Beliau senang sekali berkenalan denganku. Beliau
bahkan mempersilakan diriku untuk melihat perpustakaan pribadinya jika aku
memerlukannya. Aku senang dengan tawarannya.

Selesai shalat berjamaah dan berdzikir secukupnya aku langsung pulang.
Shalat sunnah di rumah saja. Aku tak ingin Aisha menunggu lama. Usai shalat
sunnah Aisha telah siap dengan penampilan yang membuat seorang suami senang.
Penuh pesona. Parfumnya segar. Ia benar-benar mengerti hukum memakai
parfum. Selama memakai gaun pengantin di acara walimah, ia sama sekali tidak
memakai parfum. Justru ketika di rumah berduaan denganku ia memakainya.

Aisha mengajakku ke balkon. Ia telah mempersiapkan segalanya. Isteri
yang baik. Lampu balkon ia matikan. Kaca riben menutup balkon rapat.

“Ini kaca khusus, aman dari pandangan luar tapi tidak mengurangi
jernihnya kita memandang keluar, bahkan menambah kejernihan pandangan di
malam hari. Kalau mau kita juga bisa membuka kaca ini.” Kata Aisha sambil
seluruh menyibak sebagian gorden yang masih menutupi balkon. Dan tampaklah
panorama sungai Nil malam hari.

Posisi balkon rumah kami sangat strategis. Tepat menghadap ke sungai Nil
Dari ketinggian lantai tujuh kami bisa melihat kerlap-kerlip lampu gedung-gedung
nun jauh di sana. Kami bisa melihat indahnya riak sungai Nil tertimpa cahaya
lampu kota. Gemerlap lampu-lampu hias dari perahu-perahu kecil yang bergerak
pelan. Mobil-mobil yang seperti semut di sepanjang kornes Nil sana. Pesona
Cairo Plaza Tower yang menjulang megah. Juga Imbaba Brige, salah satu
jembatan terpenting yang melintas di atas sungai Nil.


Apartemen di mana kami berada memang terletak di ujung utara pulau di
tengah sungai Nil. Inilah salah satu keindahan kota Cairo. Kota Cairo dibelah oleh
sungai Nil yang mengalir dari selatan ke utara. Dan di tengah kota Cairo sungai
Nil ini terbelah menjadi dua, di mulai dari selatan di dekat Tahrir dan kembali
menyatu di dekat Imbaba. Daratan mirip pulau Samosir berbentuk pisang yang
berada ditengah belahan sungai Nil ini terbagi dua kawasan, yang selatan disebut
El-Gezira dan yang utara di sebut El-Zamalik. Di daratan—yang aku lebih suka
menyebut pulau di tengah sungai Nil—ini berdiri bangunan-bangunan penting. Di
ujung selatan berdiri hotel mewah Gezira Sheraton dan El-Burg. Juga Cairo Opera
House, Cairo Tower, Egyptian Civilization Musium, National Sporting Club dan
Nile Aquarium and Grotto ada di pulau ini. Sekali lagi aku lebih senang
menyebutnya pulau. Di dekat 26 July Bridge yang melintas di atas pulau ini
berdiri Cairo Marriott Hotel yang mewah. Beberapa kedutaan negara asing seperti
Jerman, Belanda, Swedia, Albania, Argentina, Pakistan dan lain sebagainya ada di
pulau ini. Di ujung utara, tak terlalu jauh dari aparteman kami berdiri President
Hotel. Memang sangat nyaman menghabiskan malam di tempat yang nyaman dan
romantis seperti ini.

Di balkon, ada kursi malas khas Mesir yang sangat nyaman untuk
bermesraan berdua. Orang-orang menyebutnya kursi Cleopatra. Ada dua bantal di
atasnya. Di sampingnya ada meja kayu kecil di mana Aisha meletakkan dua gelas
susu. Mula-mula kami berdua duduk biasa. Kami masih canggung. Kami salah
tingkah. Kami tak tahu dari mana kami mulai. Tak sepatah kata pun keluar
menjadi perantara. Tak terasa keringat dingin malah mulai keluar. Ada rasa
gelisah yang entah menyusup dari mana. Mungkin Aisha mengalami hal yang
sama. Tak mungkin dia yang memulai.

Aku mencoba menghilangkan kegelisahan dan kecanggunganku dengan
mengambil minuman yang dibuat Aisha. Kucicipi sedikit.

“Kenapa susunya rasanya asin seperti diberi garam ya?” Pelanku pada
Aisha.

“Be..benarkah?” Aisha sedikit kaget.

“Iya. Coba kau rasakan!”

Aisha mengambil gelas dari tanganku dan merasakannya.


“Ah, manis. Tidak asin,” katanya.

Gelas itu kembali kuminta dan kurasakan.

“Sayang, asin begini kok dibilang manis. Mungkin bukan gula yang kau
masukkan tapi garam. Coba kau rasakan lagi!” Aisha kembali mencicipi. Dia
memandangku dengan sedikit heran.

“Ini manis Fahri, tidak asin!”

“Aishaku sayang ini asin! Cobalah julurkan lidahmu dan masukkan ke
dalam minuman itu. Lalu rasakanlah dengan seksama. Pasti kau akan merasakan
asinnya. Kau terlalu sedikit mencicipinya. Lidahmu mungkin kurang peka.”

Aisha menuruti kata-kataku. Ia menjulurkan lidahnya ke dalam gelas.
Sesaat lidahnya seperti mengaduk-aduk air susu di dalam gelas itu.

“Tidak Fahri, tidak asin! Lidahmu yang mati rasa, bukan lidahku!”
Suaranya terdengar lebih tegas.

“Benarkah? Coba!”

“Nih.”

Aku lalu meminumnya sampai tiga teguk.

“Hmm..setelah lidahmu menyentuhnya dan mengaduk-aduknya, minuman
ini jadi manis sekali. Belum pernah aku meminum minuman semanis ini. Memang
benar sabda nabi jika seorang bidadari di surga meludah ke samudera maka airnya
akan jadi tawar rasanya. Dan lidahmu mampu merubah susu yang asin ini jadi
manis, Bidadariku.”

“Sialan kau Fahri, kau mengerjaiku ya!” seru Aisha sambil mencubit
pahaku manja.

Suasana jadi cair dan romantis. Rasa canggung pun hilang.

Aisha menyandarkan kepalanya ke dadaku. Aku beringsut merubah posisi
duduk. Kupasang bantal di kepala dan kurebahkan tubuhku ke sandaran kursi
yang dilapisi busa empuk . Kutarik tubuh Aisya rebahan di dadaku. Aku bebas
membelai-belai rambutnya atau memeluknya. Di langit sana bintang-bintang
kedap-kedip seperti mata para bidadari yang mengerling cemburu kepada kami.
Hati terasa sejuk dan bahagia. Inilah yang membedakan yang halal dan yang
haram. Bermesraan dengan perempuan yang halal, istri yang sah, adalah ibadah


yang dipuji Tuhan. Sedangkan bermesraan dengan perempuan yang tidak halal
adalah dosa yang dilaknat Tuhan.

Tuhan telah membukakan pintu-pintu kenikmatan yang mendatangkan
pahala, maka alangkah bodohnya manusia yang menyia-nyiakannya. Lebih bodoh
lagi yang memilih pintu dosa dan neraka.

Sambil memandang keindahan panorama sungai Nil malam hari, tanpa
kuminta Aisha mulai bercerita tentang dirinya, ibunya dan ayahnya,

“Kurasa ibuku adalah wanita paling mulia di dunia. Ia muslimah sejati
yang menempatkan ibadah dan dakwah di atas segalanya. Dan aku sangat
beruntung terlahir dari rahimnya. Ketika berumur 22 tahun ibuku menjadi lulusan
terbaik fakultas kedokteran Universitas Istanbul. Saat itu beliau dilamar anak
pejabat yang menjanjikannya akan membuatkan rumah sakit terbesar di Turki.
Tapi beliau tolak, sebab anak pejabat itu sangat sekuler dan sama sekali tidak
menghargai ajaran agama. Dalam padangan beliau, seandainya menikah
dengannya sangat sedikit sekali peluang untuk menariknya ke jalan yang lurus
hanya akan membuang tenaga. Beliau memilih mengambil beasiswa ke Jerman.
Dalam keyakinan ibu, menekuni bidang ilmu dengan serius adalah dakwah.
Dalam waktu dua tahun beliau mampu meraih gelar master untuk spesialis
jantung. Padahal master di Jerman rata-rata empat tahun. Saat itu juga beliau
diterima bekerja di sebuah rumah sakit di Munchen sambil meneruskan program
doktor. Di Turki, pinangan untuk ibu silih berganti berdatangan dari kolega dan
kenalan bisnis kakek. Tapi ibu ingin pernikahannya ada nilai dakwahnya. Ibu
ingin mendapatkan kehormatan yang lebih baik dari terbitnya matahari, yaitu
menjadi sebab datangnya hidayah bagi seseorang.

Ibu pernah berkunjung ke Swiss dan berkenalan dengan Wafa Al Banna,
puteri Hasan Al Banna yang saat itu tinggal di sana bersama suaminya Dr. Said
Ramadhan. Sebuah perkenalan yang berarti bagi ibu untuk semakin mantap
menapak di jalan dakwah. Berislam, menurut ibu tidak berarti harus memusuhi
Barat. Tetapi justru memperjuangkan Islam lewat Barat. Ibu seringkali bertanya
pada orang-orang muslim di Eropa, di Jerman khususnya, ‘Apa kontribusi yang
telah diberikan seorang muslim di Barat untuk dunia?’


Akhirnya pada tahun 1979 ada seorang konglomerat pemilik swalayan di
beberapa kota besar di Jerman mendatangi Islamic Centre dan menyatakan
ketertarikannya kepada Islam. Ia tertarik kepada Islam karena hukum keluarga
dalam syariat Islam yang indah. Yang mengatur sedemikian detil hak dan
kewajiban suami isteri. Dalam syariat Islam peselingkuhan adalah dosa besar. Dan
syariat telah memberikan pagar yang kuat yang jika pagar itu tidak dilanggar
maka tidak akan ada perselingkuhan yang merusak tatanan keluarga dan
masyarakat. Konglomerat itu sangat tertarik dengan itu semua. Dia secara materi
memang cukup tapi batinnya kering. Dia telah menikah dengan tiga orang wanita
Eropa tapi semuanya berselingkuh dan perkawinannya dengan mereka selalu
gagal. Dia ingin seorang isteri yang setia. Dia ingin membuktikan apakah benar
wanita muslimah adalah wanita yang setia. Dia siap masuk Islam jika ada seorang
muslimah yang bersedia jadi isterinya yang setia. Mendengar hal itu ibu langsung
menyatakan kesediaannya menikah dengan lelaki setengah baya itu. Umur ibu
saat itu 25 tahun dan umur lelaki itu 45 tahun. Terpaut 20 tahun. Jadi konglomerat
itu lebih pantas menjadi ayah ibu. Banyak orang menyayangkan keputusan ibu.
Aku sendiri, seandainya jadi ibu tidak akan sekuat itu. Keluarga di Turki hampir
semua tidak setuju kecuali nenek. Wanita asli Palestina itu satu-satunya yang
justru setuju. Demi dakwah, nyawa pun dipertaruhkan, kata nenek saat itu.
Akhirnya kakek merestui juga. Jadilah ibu menikah dengan konglomerat itu.
Fahri, apakah kau tahu siapa konglomerat itu?”

Aku membelai rambut Aisha. Sesekali mengecup kepalanya. Bau
rambutnya yang hitam sangat khas dan wangi. Aku belum pernah mencium bau
seperti rambut Aisha.

“Fahri, kenapa kau diam saja? Kau mendengarkan ceritaku apa tidak?”
Aisha merajuk manja.

“Mendengarkan dengan seksama.Konglomerat itu, kukira adalah ayahmu,
Tuan Rudolf Greimas?”

“Benar.”

“Nama ayahmu mengingatkan aku pada seorang tokoh?”

“Siapa dia?”


“AJ. Greimas, filsuf strukturalis Perancis. Ada hubungan darah
dengannya?”

“Tidak. Ayah bahkan aslinya berdarah Tunis. Kakek ayah lahir di Tunisia.
Namanya Omar. Jadi nama ayah lengkapnya Rudolf Greimas Omar.”

“Jadi semestinya sebutan untuk ayahmu adalah Rudolf Omar. Omar
dijadikan nama keluarga. Bukan Greimas.”

“Semestinya begitu, tapi entahlah ayah tidak mau. Ibu pernah menggugat
masalah itu. Tapi ayah tak menanggapinya.”

“Terus bagaimana kisah ibumu dengan ayahmu setelah menikah. Apakah
tujuan ibumu untuk berdakwah berhasil?”

“Dalam penilaianku ibu berhasil. Setelah menikah dengan ayah, beliau
memberikan semua yang dimilikinya pada ayah. Dalam diri ibu, ayah
mendapatkan segala yang diinginkan seorang suami pada isterinya, seorang
kekasih pada pacarnya, seorang lelaki pada wanita, dan seorang yang haus pada
penawar dahaganya. Ayah mengakui ibu adalah wanita terbaik, isteri terbaik dan
teman terbaik yang beliau miliki. Akhirnya ayah tekun beribadah dan tidak malu
menampakkan identitas kemuslimanannya. Banyak pekerja swalayannya yang
tertarik kepada Islam dan masuk Islam. Dengan itu semua ibu mampu
menyalurkan dana untuk lembaga dakwah di Jerman. Tahun 1981, dua tahun
setelah menikah, ibu melahirkan aku. Ayah sangat gembira sekali. Tiga isterinya
terdahulu tidak memberinya apa-apa selain pengkhianatan. Sebagai hadiah ayah
membuatkan klinik kesehatan di sebuah kawasan elite kota Munchen untuk ibu.
Ibu tentu saja senang. Dan beliau meminta agar kepemilikan klinik bersalin itu
atas namaku. Ayah setuju. Tahun berikutnya ibu meraih gelar doktor untuk
spesialis jantung dengan predikat tertinggi. Beliau langsung diminta mengajar di
Universitas Munchen.

Sejak itu, menurut cerita ayah, sejak itu ibu sangat sibuk. Tapi ibu mampu
mengatur waktu dengan baik. Mengasuh aku, mengurus suami, mengurus klinik,
menjadi wakil direktur rumah sakit, dan mengajar di universitas. Tidak hanya itu
ibu masih bisa menyempatkan waktu untuk mengadakan penelitian di
laboratorium. Hasilnya adalah, beliau menemukan tiga jenis obat yang sangat


berguna bagi dunia kedokteran. Tiga jenis obat itu telah dipatenkan atas nama ibu
dan kini digunakan di seluruh dunia.

Dalam keadaan sesibuk itu, ibu masih sangat perhatian pada ayah. Bagi
ibu ayah adalah segalanya. Ayah adalah cintanya yang pertama dan terakhir. Ini
tentu membuat ayah merasa tersanjung bukan main. Jika suatu ketika ayah
mengadakan pertemuan dengan koleganya, banyak koleganya yang iri pada ayah
yang memiliki seorang isteri yang cantik, masih muda, berpendidikan tinggi, dan
sangat setia. Ayah sendiri yang menuturkan hal ini padaku. Ibu tidak pernah
menuntut atau meminta sesuatu pada ayah. Dan semua keinginan ayah jika ibu
mampu, dan selama tidak melanggar syariat ibu pasti akan memenuhinya. Bagi
ibu memuliakan suami adalah dakwah paling utama bagi seorang isteri.

Hasilnya, ayah seringkali menjadi pembela kepentingan kaum muslim di
Jerman. Ayah juga memberikan beasiswa untuk mahasiswa muslim yang belajar
di Jerman. Banyak mahasiswa muslim yang meraih doktornya di Jerman dengan
tunjangan beasiswa dari ayah. Dan mereka saat ini memiliki peran-peran
signifikan di negaranya. Kalau boleh aku mengatakan, secara tidak langsung itu
semua adalah atas keikhlasan hati ibu mewakafkan dirinya di jalan dakwah. Kalau
seandainya ibu mau menikah dengan ayah karena materi, maka ibu sendiri tidak
kekurangan materi. Ketika ibu menikah dengan ayah, perusahaan kakek di Turki
telah maju pesat. Perusahaan garmennya telah mengisi pasar di seluruh penjuru
Timur Tengah dan Asia Selatan. Dan ibu mampu untuk mencari suami yang lebih
muda dan lebih kaya dari ayah di Turki. Tapi pertimbangan ibu pada waktu itu
adalah konstribusinya di jalan dakwah. Itu yang aku kagumi dari ibu dan aku tidak
akan mampu menirunya. Aku tidak mungkin mau menikah dengan seorang lelaki
yang telah tiga kali kawin cerai dan umurnya 20 tahun lebih tua dariku. Ayah
sangat beruntung sekali memperistri ibu.”

“Bagaimana kau tahu begitu banyak tentang ibumu, tentang pikirannya
dan lain sebagainya padahal kau masih belia saat ibumu meninggal?”

“Sebagian aku tahu dari apa yang kulihat dan kudengar dari ibu. Sebagian
dari paman Akbar, dari nenek, dari bibi Sarah, dari ayah, dan dari beberapa
muslimah di Jerman yang menjadi teman baik ibu serta dari belasan diary ibu. Ibu


orang yang paling suka mencurahkan isi hatinya, dan hari-hari yang dialaminya ke
dalam diarynya.”

“Aku jadi sangat kagum pada ibumu.”

“Seandainya dia masih hidup kau akan sangat bahagia bertemu dengannya.
Dia tumbuh di Turki, memperoleh pendidikan tinggi dan berkiprah di Jerman, tapi
dia tetap titisan perempuan Palestina. Jiwanya jiwa pejuang sejati.”

“Kalau ayahmu, masih ada?”

“Masih.”

“Kenapa dia tidak datang?”

“Inilah yang ingin aku ceritakan. Ayahku sekarang tidak seperti ayah
waktu ibu masih hidup.”

“Maksudmu?”

“Aku sedih setiap kali mengingatnya. Ayah telah rusak kembali seperti
sebelum menikah dengan ibu. Ia telah meninggalkan Islam dan suka bergonta-
ganti pasangan hidup.”

“Bagaimana hal ini bisa terjadi?”

“Mulanya adalah kecelakaan yang menewaskan ibu pada tahun 1995. Saat
itu hujan lebat, ibu pulang dari mengisi seminar keislaman di pinggir kota
Munchen. Dia mengendarai mobil sendiri. Ada mobil melaju kencang di belakang
ibu. Mobil itu selip dan menambrak mobil ibu. Mobil ibu terbalik dan terlempar
lima meter dari ruas jalan. Ibu meninggal seketika. Saat itu umurku baru empat
belas tahun. Mendengar kabar itu ayah sangat terpukul. Ayah merasa kehilangan
cahaya hidupnya dan kehilangan segalanya. Berbulan-bulan lamanya ayah
linglung. Untung paman Akbar Ali mengetahui kondisi yang tidak baik bagiku
ini. Beliau akhirnya mengambilku dan menitipkan pada sahabat karib ibu waktu di
Istanbul yang tinggal di Zurich, Swiss. Juga seorang dokter. Namanya Khaleda.
Aku memanggilnya Madame Khaleda. Kebetulan beliau tidak memiliki anak.
Beliau mencurahkan segala kasih sayangnya padaku. Munchen-Zurich tidak jauh.
Ayah sering menengok aku. Dan Madame Khaleda juga sering mengajakku
menengok ayah. Aku melanjutkan pendidikan di Zurich. Sementara ayah masih
belum bisa menerima kenyataan yang dialaminya sampai dua tahun setelah itu.


Lalu ada sebuah peristiwa kecil yang menggoncang iman ayah. Pada tahun
1997 ayah mengunjungi keluarga di Turki. Saat itu bibi Sarah kebetulan sedang
pulang berlibur dari Mesir. Bibi Sarah memang sangat mirip dengan ibu. Ayah
melihat bibi Sarah seperti melihat ibu. Saat itu umur bibi Sarah tepat 24 tahun.
Dan saat ibu menikah dengan ayah tahun 1979 umurnya 25 tahun. Jadi ayah
seolah melihat ibu ketika baru menjadi isterinya dulu. Seketika itu juga ayah
melamar bibi Sarah untuk dijadikan isteri menggantikan ibu. Sebelumnya ayah
memang tidak pernah melihat bibi Sarah. Waktu ayah sering berkunjung
berkunjung ke Turki awal-awal delapan puluhan bibi Sarah masih ingusan. Dan
ketika berjumpa dengan bibi tahun 1997, bibi telah menjelma menjadi gadis
dewasa yang matang dan telah menyelesaikan Licencenya di Al Azhar. Wajahnya,
suaranya dan lemah lembutnya sangat mirip dengan ibu. Ayah benar-benar
tergila-gila pada bibi Sarah. Ayah menganggap bibi Sarah adalah reinkarnasi ibu.
Saat itu ayah sudah 63 tahun, sama dengan umur baginda Nabi saat meninggal
dunia.

Dengan tegas bibi menjawab tidak bisa menerima lamaran ayah. Dan itu
sangat masuk akal. Bagaimana mungkin bibi mau menikah dengan seorang
kakek-kakek. Jawaban bibi ternyata tidak bisa dimaklumi ayah. Ayah merasa
direndahkan dan tidak dihargai. Ayah merasa orang yang terhormat di Jerman.
Belum pernah ditolak wanita. Menurut ayah seharusnya bibi Sarah yang telah
belajar di Al Azhar seperti ibu. Bersedia menjadi isteri ayah dan mencari suami
tidak memandang umur. Tapi memandang prospek dakwah dan pengabdian
seperti ibu. Bibi membantah anggapan ayah itu, pintu dakwah terbuka lebar-lebar
di mana saja. Prospek dakwah tidak hanya dengan menikah dengan ayah yang
telah renta. Ayah sangat terpukul dengan jawaban bibi.

Sebagai pelariannya, tanpa pikir panjang, ayah menikah dengan siapa saja
yang mau menikah dengannya. Keislaman ayah ternyata belum kuat meskipun
telah hidup 16 tahun bersama ibu. Lama-lama karena hidup sering berganti
pasangan hidup keislamanannya luntur. Dan tahun 1999 beliau menikah dengan
seorang gadis di sebuah gereja di Yunani. Itu terjadi tepatnya dua bulan setelah
aku kembali ke Jerman. Madame Khalida kembali ke Turki saat aku selesai
sekolah menengahku. Beliau menyarankan agar aku melanjutkan kuliah di Jerman


sambil menjaga ayah yang sudah tua. Aku sangat sedih mendapati ayah yang
sangat lain dengan yang kukenal dulu. Beliau tidak lagi menyayangiku seperti
dulu. Beliau lebih bersikap acuh tak acuh. Aku berusaha mengembalikan ayahku
yang hilang. Tapi usaha kerasku kelihatannya tidak akan membuahkan hasil.
Pernikahan itu tidak berumur panjang.

Akhirnya ayah menikahi seorang janda setengah baya berambut pirang
bernama Jeany. Janda ini pandai sekali mengambil hati ayah. Sekuat tenaga dia
mempertahankan perkawinannya dengan ayah. Ia menginginkan harta ayah. Di
luar sepengetahuan ayah Jeany memiliki teman kumpul kebo di Stuttgart. Setiap
kali aku mengingatkan baik-baik hal ini ayah marah besar. Ia menuduhku hendak
merusak hubungannya dengan Jeany. Ayah sudah melupakan ibu sama sekali
sejak ditolak oleh bibi Sarah. Semua permintaan Jeany dituruti oleh ayah. Ayah
bahkan sudah membuat wasiat di notaris jika ia mati semua aset kekayaan yang
tertulis atas namanya akan menjadi hak Jeany. Ayah memang tergila-gila pada
Jeany. Untungnya klinik, empat swalayan di Munchen dan Hamburg, pabrik
farmasi, dan rumah mewah yang saat ini ditempati ayah telah diatasnamakan
diriku oleh mendiang ibu. Jeany terus berusaha agar semua harta yang telah
teratasnamakan diriku bisa jadi miliknya. Dia menggunakan cara yang tidak sehat
dan sangat memusuhiku. Dalam kondisi yang sedemikian tidak nyamannya aku
tetap berusaha bertahan, demi bakti seorang anak pada ayahnya. Meskipun ayah
tidak lagi satu iman denganku. Aku ingin menjadi anak ibu yang shalihah yang
berbakti pada ayahnya.

Dari perkawinannya dengan suami pertama, Jeany memiliki seorang anak
lelaki bernama Robin. Dia mengajak Robin tinggal di rumah mewah itu. Dan ayah
menyetujuinya meskipun aku tidak setuju. Sejak Robin tinggal satu rumah
denganku aku merasa seperti di neraka. Diam-diam Jeany merancang agar aku
menikah dengan Robin, yang dituju adalah segala aset kekayaan yang kini atas
nama diriku. Aku jelas tidak mau. Tapi Robin terus mengejarku. Terkadang dia
agak keterlaluan. Misalnya tiba-tiba masuk kamarku saat aku sedang belajar.
Tentu saja aku tidak sedang memakai jilbab. Aku sangat marah padanya.
Kelakuannya kuadukan pada ayah. Tapi ayah sama sekali tidak membelaku. Ayah
bukan ayah yang kukenal dulu. Aku tetap bertahan. Di hari tua ayah, aku ingin


tetap berada di samping ayah.. Sejak itu aku selalu mengunci kamarku untuk
berhati-hati.

Tapi Robin sungguh keterlaluan. Entah bagaimana caranya dia bisa
memasang kamera di kamar mandiku. Suatu malam dia menghadiahkan kaset itu
padaku. Langsung aku putar kaset itu. Betapa terperanjatnya aku melihat apa yang
dilayar kaca. Yang kulihat adalah diriku sedang gosok gigi dan mandi. Aku sangat
marah pada Robin, aku merasa harga diriku diinjak-injak.

Untungnya, Allah Swt masih menyelamatkan kehormatanku. Dalam
rekaman itu, aurat paling aurat yang kumiliki sama sekali tidak terbuka. Tertutup
rapat. Untuk itu aku sangat berterima kasih kepada ibu dan nenek. Sejak kecil ibu
mengajariku agar memiliki rasa malu kepada Allah melebihi rasa malu pada
manusia. Ibu menanamkan sejak kecil untuk tidak telanjang bulat di manapun
juga. Meskipun sedang sendirian di kamar tidur atau kamar mandi. Jika mandi ibu
mengajarkan untuk tetap memakai basahan. Orang-orang pilihan, kata ibu, jika
mandi tetap memakai basahan, tidak telanjang bulat. Ibu berkata, ‘Jika kita malu
aurat kita dilihat orang, maka pada Allah kita harus lebih merasa malu.’

Menurut cerita ibu, dan ibu dari dari nenek, di zaman nabi dulu, ketika
nabi tahu ada orang mandi tidak memakai sarung, beliau langsung naik mimbar
dan menyuruh umatnya untuk menutup aurat ketika mandi.

Alhamdulillah sejak sebelum akil baligh aku telah terbiasa untuk mandi
dengan tetap memakai basahan yang menutup aurat atas dan aurat bawah. Dan
memang inilah tradisi perempuan di keluarga kami, keluarga Palestina. Nenek
mendapatkan ajaran seperti itu dari ibunya. Lalu nenek mengajarkan pada
anaknya. Dan anaknya mengajarkan pada anaknya. Nenek, ibu, bibi Sarah dan
aku, tidak akan bisa mandi tanpa basahan. Malu rasanya.

Yang terekam oleh kamera Robin adalah aku menggosok gigi dan mulai
mandi. Durasinya hanya sepuluh menit setelah itu putus. Mungkin kaset
perekamnya habis. Aku bersyukur kepada Allah atas perlindungannya. Sebab satu
jam setelah mandi itu aku buang air kecil. Jika kegiatan sangat pribadi seperti itu
terekam, aku akan merasa menjadi wanita paling malang di dunia. Kejahatan
Robin aku laporkan ke polisi. Polisi langsung mengusut dan menahannya.
Tindakannya termasuk kriminal serius. Dia dijebloskan ke dalam penjara. Namun


satu minggu kemudian dia keluar. Ternyata justru ayah yang membebaskannya
dengan tebusan dan jaminan atas permintaan Jeany.

Sejak itu aku sangat marah pada ayah. Jika ayah mencintai mendiang ibu,
semestinya dia melindungi anak gadisnya. Bukan malah membebaskan seorang
bajingan yang mencoba membuka aurat anak gadisnya. Aku merasa sudah tidak
perlu lagi tinggal bersama mereka. Diriku bisa binasa. Aku hengkang dari rumah
dan menyewa flat di dekat kampus dan sejak itu tidak pernah lagi menginjak
rumah itu. Tapi rumah itu tidak mungkin kubiarkan jatuh ke tangan Jeany.
Sebetulnya aku bisa saja mengusir mereka semua. Tapi itu sama saja aku
mengusir ayah. Aku tidak mau itu. Nanti, jika tiba saatnya rumah itu akan kembali
jadi rumah yang enak disinggahi. Aku menghabiskan masa kecil bersama ibu di
sana. Sekarang aku hanya bisa berdoa semoga Allah kembali memberikan
hidayah-Nya kepada ayah.”

Aku mengelus pipi Aisha yang basah.

“Maafkan aku Fahri, suasananya jadi sedih.”

“Sekarang aku ini adalah dirimu Aisha, bukan orang lain. Tapi aku merasa
sangat cemburu sekali.”

“Kenapa?”

“Robin itu. Ingin sekali aku menghajarnya.”

“Terima kasih Fahri, love is never without jealousy. Cinta selalu disertai
rasa cemburu. Tanpa rasa cemburu cinta itu tiada. Kau memang suami yang
kuidamkan!”

* * *



Malam merambat begitu cepat.

“Jam berapa sekarang, Sayang?” tanyaku pada Aisha.

“Mungkin jam setengah sebelas,” jawabnya sambil menggeliat dan
bangkit.

“Sudah malam sudah waktunya kita masuk ke dalam, yuk!” sambungnya
sambil menarik tanganku. Aku bangkit menuruti ajakan Aisha. Sekilas
kulayangkan pandangan keluar. Kornes Nil masih ramai. Mobil-mobil masih
banyak yang lalu lalang dengan sorot lampu seperti cahaya meteor.


Aisha mengajakku masuk kamar pengantin yang semerbak wangi. Kami di
tepi ranjang. Aku puas-puaskan menikmati keelokan wajahnya. Kedua matanya
sangat indah. Kami berpandangan saling menyelami. Terngiang dalam diri sabda
Nabi,

Sebaik-baik isteri adalah jika kamu memandangnya membuat hatimu
senang, jika kamu perintah dia mentaatimu, dan jika kamu tinggal maka dia akan
menjaga untukmu harta dan dirinya.98I

“Aisha, kau cantik sekali, memandang wajahmu sangat menyenangkan!”
lirihku.

Aisha tersenyum sambil melingkarkan kedua tangannya di leherku.

“Fahri, kau pria terbaik yang pernah kutemui, kaulah cinta pertama dan
terakhirku. Aku punya sebuah puisi untukmu. Maukah kau mendengarnya?”

Aku menganggukkan kepala. Kuperhatikan dengan seksama gerak
bibirnya. Apa yang akan diucapkannya. Dia malah diam lama sekali lalu
tersenyum. Aku gemes dibuatnya.

“Dengarlah baik-baik Kekasihku, jangan sampai ada satu huruf yang
terlewatkan. Puisi ini lebih berharga dari dunia ini seisinya. Kehilangan satu huruf
saja kau akan sangat menyesalinya:

agar dapat melukiskan hasratku, kekasih,

taruh bibirmu seperti bintang di langit kata-katamu,

ciuman dalam malam yang hidup,

dan deras lenganmu memeluk daku

seperti suatu nyala bertanda kemenangan

mimpikupun berada dalam

benderang dan abadi99

Aisha luar biasa romantisnya. Kupandangi lekat-lekat wajahnya sambil
terus memuji keagungan Tuhan. Hasrat yang terlukis diwajahnya dapat kubaca
dengan jelas. Dengan suara pelan kubalas puisinya:

alangkah manis bidadariku ini

bukan main elok pesonanya

98 Hadits riwayat Ibnu Jarir.

99 Dipetik dari puisi berjudul “Kekasih” karya Paul Eluard, Penyair Perancis abad ke-19
paling terkemuka dari golongan surealis.


matanya berbinar-binar

alangkah indahnya

bibirnya,

mawar merekah di taman surga

Kami lalu memainkan melodi cinta paling indah dalam sejarah percintaan
umat manusia, dengan mengharap pahala jihad fi sabilillah, dan mengharap
lahirnya generasi pilihan yang bertasbih dan mengagungkan asma Allah Azza wa
Jalla di mana saja kelak mereka berada.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Seakan-akan bidadari itu seperti permata Yajut dan marjan.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.100



100 Ar-Rahmaan: 57-60.


19. Rencana-rencana



“Aisha, berapa hari kita akan tinggal di flat mewah ini, dan setelah itu kita
akan tinggal di mana?” tanyaku pada Aisha setelah shalat Dhuha. Dia belum
memberi tahu rumah yang disewa untuk hidup berdua.

“Menurutmu, flat di pinggir Nil seperti ini nyaman apa tidak?” Aisha
malah balik bertanya.

“Nyaman.”

“Aman tidak?

“Aman.”

“Kondusif tidak untuk belajar, menulis atau menerjemah?”

“Sangat kondusif.”

“Kalau begitu aku ingin tinggal di flat ini selama ada di Cairo, Sayang.”

Mendengar jawaban Aisha itu aku bagaikan disambar geledek. Kaget
bukan main. Dari mana aku akan mendapatkan biaya untuk menyewa flat yang
sangat mewah ini. Meskipun aku baru melihat ruang tamu, kamar utama, balkon
dapur dan kamar mandi dan belum melihat kamar-kamar yang lain tapi flat ini
sangat mewah. Kamar utamanya saja yang kini jadi kamar pengantin tak kalah
mewahnya dengan kamar Sheraton Hotel yang pernah kulihat saat menemui
seorang anggota DPR yang sedang melakukan lawatan di Cairo. Ruang tamunya
lebih mewah dari ruang tamu rumah Bapak Atdikbud. Berapa sewanya perbulan?
Rumah Pak Atdikbud saja yang letaknya di Dokki harga sewanya katanya tak
kurang dari enam ribu pound perbulan. Dan flat mewah ini yang terletak di
pinggir sungai Nil bisa tiga kali lipat mahalnya. Delapan belas ribu pound atau
sekitar lima ribu dollar perbulan. Bahkan bisa lebih. Itu adalah honor menerjemah
mati-matian selama dua tahun full. Tiba-tiba aku merasa sangat malang. Aku
tidak mungkin bisa memenuhi permintaan Aisha. Aku sangat sedih. Air mataku
meleleh.

“Kenapa kau menangis Sayang?”

Aku menjelaskan semuanya pada Aisha yang bergolak dalam hatiku. Aku
sangat mencintainya. Tapi aku tidak akan mampu menuruti keinginannya.


Kujelaskan kembali siapa diriku dan sebatas mana kemampuanku. Aisha malah
menangis.

“Suamiku, alangkah celakanya aku kalau sampai aku membuatmu sedih.
Kalau sampai aku meminta sesuatu yang di luar kemampuanmu. Alangkah
celakanya diriku. Suamiku, kita akan tinggal di sini tanpa mengeluarkan biaya
sepeser pun kecuali biaya listrik, gas, air, keamanan, dan kebersihan. Hanya itu
yang akan kita keluarkan perbulan. Tidak lebih?”

“Maksudmu kita tinggal di sini gratis?”

Aisha menganggguk.

“Aku tak bisa kita tinggal atas belas kasih orang lain Aisha.”

“Apakah bagimu aku orang lain suamiku?”

“Jadi kau yang membayar sewanya Aisha. Tidak bisa Aisha, itu akan
sangat menyiksa diriku?”

“Bukan aku yang membayarnya suamiku.”

“Lantas siapa?”

“Tak ada yang membayarnya.”

“Itu namanya gratis, dan aku tidak mau kita tinggal di rumah orang lain
gratis.”

“Meskipun rumah itu rumah milik isterimu, dan isterimu adalah
milikmu?”

“Apa maksudmu Aisha, aku jadi bingung.”

Aisha bangkit dari sajadah dan menarik lenganku. Dia membawaku
memasuki kamar di samping kamar utama. Lihatlah isi kamar ini. Ini adalah
perpustakaan dan ruang kerjamu. Aku melihat kamar dengan kitab-kitab dan
buku-buku yang tersusun rapi. Kitab-kitab itu aku mengenalnya. Itu kitab-kitabku.
Juga ada komputer di dekat jendela. Itu komputer bututku. Aku mendekati
jendela, menyibak gordennya dan melongok. Panorama sungai Nil di waktu dhuha
sangat indahnya.

“Di sinilah insya Allah kau akan menulis tesismu, menerjemah dan
menghasilkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi umat. Dan aku akan
menjadi pendampingmu siang malam. Suamiku, flat ini dibeli oleh ibuku dua
tahun sebelum beliau meninggal. Ketika beliau diminta mengajar di Fakultas


Kedokteran Cairo University selama tiga semester. Waktu itu aku baru berumur
sebelas tahun. Selama enam bulan kami tinggal di rumah ini. Dan kamar yang kita
jadikan perpustakaan ini adalah kamar tidurku waktu itu. Setelah kami kembali ke
Jerman, rumah ini disewakan kepada home staff Kedutaan Jerman. Yang terakhir
menyewa adalah Mr. Edward Minnich, Atase Perdagangan. Apartemen ini
memang dihuni oleh orang-orang penting. Tepat di bawah kita adalah pejabat
kedutaan Argentina. Di atas kita sutradara terkemuka Mesir. Di samping kita, flat
nomor 20, pemilik Wadi Nile Travel.”

Aku baru mengerti. Dan aku tidak tahu apa yang kurasakan dalam hati.
Bagaimana gegernya teman-teman mahasiswa nanti mengetahui di mana aku
tinggal.

“Berapa harga sewa flat ini, Sayang?”

“Mr. Minnich menyewa dengan harga sembilan ribu dollar perbulan.”

“Ha? Sembilan ribu dollar perbulan?” Aku kaget mendengar angka
nominal itu.

“Ya. Sembilan ribu dollar perbulan. Dan itu termasuk murah. Sebab
pasaran harganya semestinya sepuluh ribu dollar ke atas. Ini karena kami sama-
sama dari Jerman jadi sedikit di bawah standar.”

“Aisha, isteriku yang kucintai, harga sewa flat ini begitu tinggi. Apa tidak
sebaiknya kita sewakan saja. Lalu kita menyewa flat di Nasr City yang lebih
murah. Dengan seribu dollar saja, kita sudah bisa menyewa flat yang tak kalah
mewahnya di kawasan Abbas El-Akkad. Hanya saja di sana kita tidak bisa
melihat panorama sungai Nil. Tapi kenyamanan dan ketenangannya tak jauh
berbeda. Sisanya bisa kita gunakan untuk bermacam amal di jalan Allah,” ucapku
sambil memandang ke arah sungai Nil. Kurasakan Aisha memelukku dari
belakang. Dagunya ia letakkan di pundakku. Tingginya memang hampir sama
denganku. Aku hanya lebih tinggi tiga senti darinya.

“Sudah kuduga. Kau akan mengatakan demikian. Suamiku, seandainya
bukan ibuku yang membeli flat ini dan seandainya tidak ada kenangan yang indah
dalam flat ini, tentu sebelum kau sarankan aku sudah melakukannya. Aku sangat
mencintai ibu dan setelah rumah di Jerman itu, flat ini adalah tempat kedua yang
paling indah dalam kenanganku bersama ibu. Aku ingin kita berdua tinggal di sini


selama di Cairo. Dan flat ini milik kita, kita lebih tenang daripada menyewa. Kau
tahu sifat orang Mesir ‘kan? Tidak semuanya baik. Tidak semua tuan rumah baik.
Aku tidak mau membuang energi dan ketenangan karena masalah sepele dengan
tuan rumah yang tidak baik. Kau tahu teman paman Eqbal ada yang diusir tuan
rumahnya tengah malam musim dingin, tanpa sebab yang jelas. Aku tak mau itu
terjadi pada kita. Kalau kita menemukan tuan rumah yang baik alhamdulillah,
kalau kebetulan menemukan tuan rumah yang suka rewel, tentu sangat tidak enak.
Tapi kau adalah imamku, suamiku. Jika kau tetap memutuskan tidak tinggal di flat
ini aku akan menurutimu. Kaulah yang harus memutuskan apa yang menurutmu
terbaik untuk hidup kita berdua, dan untuk anak-anak kita seandainya kita punya
anak. Sebagai isteri aku telah memberikan masukan. Aku yakin kau akan
memutuskan yang terbaik.” Aisha lalu memelukku erat-erat.

“Nanti kita istikharah,” jawabku lirih.

Aisha lalu membawaku melihat-lihat seluruh sisi rumah. Sebuah rumah
yang mewah dan sangat nyaman untuk tempat tinggal. Ruang tamu yang luas
dengan shofa khusus didatangkan dari Perancis. Dua balkon. Ruang santai. Satu
kamar utama dengan kamar mandi di dalamnya. Dua kamar mandi, di dekat ruang
tamu dan dekat dapur. Dan tiga kamar ukuran sedang. Yang satu telah disulap
Aisha menjadi ruang kerja dan perpustakaan. Kamar paling dekat dengan ruang
tamu telah dipersiapkan oleh Aisha seandainya ada keluarga, atau teman yang
ingin menginap. Aisha lalu kembali mengajakku ke perpustakaan dan mengajakku
duduk di lantai yang dialasi karpet tebal. Ia duduk bersila di hadapanku.

“Suamiku, kita ini satu jiwa. Kau adalah aku. Dan aku adalah kau. Kita
akan mengarungi kehidupan ini bersama. Dukamu dukaku. Dukaku dukamu.
Sukamu sukaku. Sukaku sukamu. Cita-citamu cita-citaku. Cita-citaku cita-citamu.
Senangmu senangku. Senangku senangmu. Bencimu benciku. Benciku bencimu.
Kurangmu kurangku. Kurangku kurangmu. Kelebihanmu kelebihanku.
Kelebihanku kelebihanmu. Milikmu milikku. Milikku milikmu. Hidupmu
hidupku. Hidupku hidupmu.”

Hatiku sangat tersentuh dan terharu mendengar perkataannya itu.

“Suamiku, padaku ada dua ATM. Mohon Kau pilihlah satu!” Aisha
meletakkan dua kartu ATM di depanku. Aku ragu.


“Suamiku, kalau kau mencintaiku, benar-benar mencintaiku dan
memandang diriku adalah milikmu maka ambillah jangan ragu!”

Aku tak bisa tahan menatap sorot matanya yang teduh. Dengan
mengucapkan basmalah dalam hati aku mengambil yang paling dekat.

“Terima kasih Suamiku, kau tidak menganggap diriku orang lain. Aku
akan menjelas semua hal berkaitan dengan ATM itu dan apa yang aku miliki saat
ini. Aku ingin kau yang mengaturnya sepenuhnya. Sebab kau adalah imamku dan
aku sangat percaya padamu. Suamiku, ATM yang kau pilih sekarang berisi dana 3
juta empat ratus tiga puluh ribu dollar!”

Aku tersentak mendengarnya.

“Itu adalah rizki yang diberikan Allah kepada kita melalui perusahaan
keluarga di Turki. Ceritanya begini. Kakekku, Ali Faroughi, atas kemurahan Allah
adalah bisnisman berhasil yang memiliki tiga perusahaan. Yaitu perusahaan
tekstil, travel, dan susu. Sebelum meninggal beliau memanggil tiga anaknya yaitu
ibuku, paman Akbar, dan bibi Sarah. Beliau membagi dan menyuruh masing-
masing memilih perusahaan mana yang disukai. Beliau menyuruh yang paling
muda yaitu bibi Sarah untuk memilih lebih dulu. Bibi Sarah memilih perusahaan
susu karena dia paling suka minum susu. Lalu paman Akbar memilih travel
karena dia orang yang hobinya melancong. Dan ibu dengan sendirinya mendapat
jatah perusahaan tekstil.

Kakek orang yang bijaksana dan berpandangan jauh ke depan. Beliau
tidak memberikan masing-masing perusahaan itu secara individual penuh. Beliau
ingin ketiga anaknya dan keturunannya masih erat rasa persaudaraan dan saling
memilikinya. Maka beliau memberikan dengan sistem kepemilikan saham. Pabrik
Susu beliau berikan kepada bibi Sarah dengan kepemilikan saham sebesar 60
persen. Selebihnya paman Akbar diberi jatah kepemilikan saham 20 persen, juga
ibu. Begitu juga travel, 60 persen milik paman Akbar, yang 40 persen milik ibu
dan bibi. Juga perusahaan tekstil 60 persen milik ibu yang 40 persen milik paman
dan bibi. Tujuan kakek mengatur seperti itu adalah agar semuanya tetap masih
merasa saling memiliki. Juga biar rasa solidaritasnya tetap ada. Kakek berharap
semua anaknya akan tetap hidup layak. Seandainya ada salah satu perusahaan


yang bangkrut atau gulung tikar maka pemiliknya masih memiliki masukan dari
dua perusahaan lain.

Sekarang semua perusahaan dibawah kontrol paman Akbar. Beliau sosok
yang berbakat dan profesional seperti kakek. Setiap bulan laba bersih perusahaan
diaudit. Maksudnya bersih memang benar-benar bersih setelah dipotong zakat dan
pajak. Sepuluh persennya diberikan kepada para pemilik saham. Dan sembilan
puluh persennya dikembalikan ke perusahaan untuk diputar lagi. Sepuluh persen
dari laba perusahaan itu dibagikan pada pemilik saham sesuai dengan besarnya
saham yang dia miliki. Bulan lalu dari pabrik tekstil masuk nominal sebesar
60.000 dollar. Berarti laba bersih perusahaan bulan itu 1 juta dollar. Sepuluh
persennya 100.000 dollar dibagi tiga. 60 persen untuk diriku sebagai pengganti
ibu, 20 persen paman Akbar dan 20 persen bibi Sarah. Dari perusahaan travel
bulan lalu masuk dana 57 ribu dollar, padahal jatah kita hanya dua puluh persen
dari sepuluh persen laba perusahaan atau dua persen saja dari laba perusahaan.
Dan dari perusahaan susu masuk 78 ribu dollar. Perusahaan travel dan susu
memang sudah sangat maju. Perusahaan travel malah sudah merambah perhotelah
dan perusahaan susu sudah merambah produksi bahan makanan. Rencananya
tahun ini perusahaan tekstil akan mencoba melebarkan sayap dengan mendirikan
anak perusahaan di Malaysia. Jadi bulan lalu masuk dana 195 ribu dollar dari
Turki ke ATM itu. Dan kira-kira tiap bulan akan masuk dana sebesar itu. Bisa
lebih bisa kurang. Bagi orang dunia ketiga, itu jumlah yang sangat besar. Tapi
bagi pemilik perusahaan raksasa di negara-negara maju itu jumlah yang sangat
kecil sekali.

Suamiku, terserah mau kau atur bagaimana ATM yang ada ditanganmu
itu. ATM yang aku pegang ini berisi dana dari aset bisnis di Jerman. Sekarang
telah terisi dana 7 juta dollar. Sistemnya aku buat seperti yang di Turki. Tiap
bulan Cuma sepuluh persen dari laba bersih perusahaan yang masuk ke pemilik
perusahaan. Dan yang ini tidak akan kita otak-atik dulu sampai nanti ketika kita
tinggal di Indonesia. Kita akan menggunakannya sebaik mungkin bersama-sama.
Jadi aku tidak akan mengutik-utik ATM yang ada di tanganku. Lapar kenyangku
adalah atas kebijakanmu. Kaulah yang menjatah dana untuk diriku. Kaulah yang


menentukan besarnya dana belanja tiap bulan. Kalau aku minta sesuatu maka aku
akan minta padamu. Kaulah imamku.”

Mendengar apa yang dituturkan Aisha aku jadi sedih, pucat merinding dan
bergetar. Aku memegang ATM senilai $ 3.430.000,- atau kira-kira sebesar 30
milyar rupiah. Aku merasa gunung Merapi hendak menimpaku.

“Kenapa mukamu jadi berubah warna suamiku? Apakah aku melakukan
sesuatu yang menyinggungmu?” tanya Aisha.

“Tidak Aisha. Aku tiba-tiba memikul beban amanah sedemikian beratnya,
yang tidak pernah aku bayangkan. Dirimu adalah amanah bagiku. Dan apa yang
kau miliki yang kau letakkan di tanganku adalah amanah yang sangat berat
bagiku. Aku tak tahu apakah bisa memikul amanah seberat ini?”

“Aku percaya padamu Suamiku.”

Bahwa aku suatu saat akan menjadi imam bagi isteriku dan kelak anak-
anakku adalah hal yang sudah aku bayangkan. Aku akan jadi suami seorang
muslimah Turki juga telah aku bayangkan setelah bertemu Aisha di rumah Syaikh
Utsman dan aku sudah membayangkan bagaimana suasana rumah tangga nanti.
Sederhana seperti teman-teman Indonesia. Namun aku akan menjadi imam dan
penentu jalan hidup seorang jet set shalihah pemilik perusahaan di Turki dan
Jerman yang mewakafkan diri dan hartanya di jalan Allah tidak pernah
terbayangkan sama sekali.

Aku merasa ilmu, iman dan pengalamanku belum cukup untuk hidup
mendampingi seorang Aisha yang kini aku tahu sebenarnya siapa dia. Aku harus
meminta saran, nasihat dan pertimbangan pada orang-orang yang lebih kuat
jiwanya dan lebih luas cakrawala pandang dan pengalamannya. Aku mengajak
Aisha untuk shalat hajat agar Allah memberikan rahmat, taufik dan belas kasihnya
sehingga semua amanat dapat ditunaikan dengan baik.

Hari itu juga aku menelpon Syaikh Ahmad Taqiyuddin. Aku minta waktu
bertemu beliau aku ingin konsultasi pada beliau secepatnya. Beliau melarang
diriku pergi ke Hadayek Helwan. Beliau dan isterinya yang justru akan
mendatangi kami.

Sore itu selepas ashar beliau datang. Aisha dan Ummu Aiman, isteri
beliau, berbincang di ruang tamu. Sementara beliau kuajak ke perpustakaan, aku


ceritakan semua masalahku pada beliau terutama masalah amanat yang
dibebankan Aisha.

“Syaikh, aku sangat takut dengan sindiran Allah dalam Al-Qur’an, Dan
jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan
melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-
Nya dengan ukuran.101 Aku takut kalau sampai melampaui batas Syaikh,” ucapku
pada Syaikh Utsman.

“Akhi, yang melampaui batas adalah mereka yang tidak memiliki rasa
takwa dan tidak merasa diawasi oleh Allah. Selama seseorang masih memiliki
rasa takut dan diawasi Allah maka, insya Allah, dia tidak akan sampai melampaui
batas. Masalah menginfakkan harta yang dalam tuntunan Al-Qur’an kau pasti
sudah tahu,” jawab beliau.

Kemudian beliau banyak memberikan nasihat dan saran, terutama yang
berkaitan dengan perjalanan hidup dengan seorang isteri. Bahwa dalam bersuami-
isteri ada selalu ada dua kemauan, watak, sifat yang terkadang berbeda. Seni
mengolah perbedaan menjadi sebuah keharmonisan ibadah itulah yang harus
diperhatikan.

Menurut beliau aku tidak perlu pindah dari flat yang telah aku tempati.
Karena tidak menyewa dan milik Aisha. Ini sekaligus untuk menyenangkan hati
Aisha yang memiliki kenangan indah di flat ini bersama ibunya. Apalagi flat ini
terletak di tempat yang sangat tenang dan kondusif untuk menulis tesis. Tak jauh
dari flat ini ada perpustakaan IIIT. Hanya dengan berjalan kaki sepuluh menit
sudah sampai ke sana. Juga dekat dengan salah satu kampus Universitas Helwan.
Masjid juga dekat. Tinggal bersyukur kepada Allah. Beliau juga meminta
kepadaku untuk terus menggali semua pengalaman hidup yang telah dijalani
Aisha. Agar aku bisa bersikap arif pada Aisha. Beliau meminta kepadaku untuk
mengetahui gaya hidupnya sejak kecil. Beliau meminta agar aku bijaksana tidak
memaksakan Aisha mengikuti gaya dan standar hidupku yang memang sangat
sejak kecil sederhana. Beliau meminta untuk hidup sewajarnya. Zuhud tidak
berarti tidak mau menyentuh sama sekali nikmat yang telah diberikan oleh Allah
Swt, tapi zuhud adalah mempergunakan nikmat itu untuk ibadah. Tidak

101 Asy Syura: 27.


selamanya orang yang makan dengan hanya roti kering dan seteguk air lebih baik
dari orang yang makan roti cokelat dan segelas susu. Jika dengan makan roti
cokelat badan menjadi sehat dan segar, ibadah khusyu dan tenang, bisa bekerja
dengan lebih baik dan bersemangat serta merasakan keagungan Allah yang telah
memberikan nikmat tentu lebih baik dengan yang makan roti kering tapi lemas
dan berkeluh kesah saja kerjanya. Tidak selamanya yang berjalan kaki lebih baik
dari yang naik mobil. Jika dengan naik mobil lebih bisa mengefisienkan waktu,
ibadah lebih tenang karena tidak capek dan lebih bisa banyak melakukan kegiatan
yang bermanfaat tentu sangat baik.

“Jangan terlalu pelit dan jangan terlalu boros. Dua kelakuan itu berakibat
penyesalan dan sangat dicela Allah Swt, firman-Nya dalam Al-Qur’an, ‘Dan
jangan kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.’102

Beliau lalu memberi tahu hal-hal yang sangat disukai oleh seorang isteri.
Beliau menyuruh agar tidak segan-segan mengungkapkan perasaan cinta. Seorang
isteri paling suka dipuja dan dicinta. Juga tidak segan mengajak isteri ke toko
pakaian dan toko perhiasan. Sering-sering minta pendapat, suatu kehormatan bagi
seorang isteri merasa dirinya sangat penting bagi pengambilan keputusan sang
suami. Dari kunjungan Syaikh Ahmad aku banyak mendapatkan banyak sekali
pelajaran kehidupan yang berarti. Aku merasa lebih siap dengan hidup yang
sedang aku jalani. Ada kata-kata beliau yang sangat menyentuh diriku,

“Aku pernah mengalami hal yang sama dengan dirimu. Ummu Aiman
adalah puteri tunggal konglomerat di Maadi. Ia menyerahkan kekayaannya
sepenuhnya di tanganku. Aku dulu juga bingung, aku pergi ke tempat seorang
ulama dan beliau memberikan nasihat seperti apa yang aku nasihatkan padamu.
Ada satu hal yang harus kau ingat baik-baik. Banyak lelaki yang menjadi kerdil
setelah memiliki isteri yang cantik dan kaya raya. Semangat juang dan kerja
kerasnya luntur. Tapi kita mempunyai teladan yang mulia yaitu Rasulullah
Saw. Isteri beliau, Sayyeda Khadijah, adalah konglomerat Makkah pada
zamannya, dan itu tidak membuat beliau kerdil tapi justeru sebaliknya dengan

102 Al-Israa: 29


kekayaan isterinya itu beliau menegakkan agama Allah. Maka kau tidak boleh
kerdil. Kau harus terus bekerja, menerjemah dan berkarya lebih keras!”

Malamnya aku ajak Aisha berbincang-bincang di perpustakaan sambil
mendengarkan dendangan nasyid Rasailul Asywaq103 yang indah dibawakan anak-
anak Mesir. Kami duduk di lantai beralas karpet. Aku bentangkan dua kertas
karton berisi rancangan peta hidup yang telah aku buat beberapa bulan yang lalu
sebelum menikah. Peta hidup sepuluh tahun ke depan. Dan rancangan satu tahun.
Tentunya peta hidup itu harus dirubah. Melihat apa yang aku gelar mata Aisha
terbelalak.

“Subhanallah! Bagaimana mungkin kita memiliki kebiasaan yang sama.
Ibuku sejak kecil telah mengajarkan hal seperti ini padaku. Dan aku juga memiliki
peta dan rancangan seperti ini. Rancangan peta hidup sepuluh tahun ke depan.
Rancangan kegiatan tahunan, bulanan, mingguan, dan harian. Tunggu sebentar ya
Sayang!” Aisha beranjak menuju kamar utama. Lalu kembali dengan membawa
agenda biru.

“Ini telah peta hidupku sepuluh tahun ke depan. Memang kita harus
membuat peta hidup bersama,” kata Aisha gembira.

Kami pun lalu merancang bersama. Dalam rancangan Aisha, awal April
kembali ke Munchen untuk menyelesaikan S1. Lalu S2 di Sorbonne University
dan S3 di Bonn University. Sementara aku masih harus menulis tesis, kalau lancar
baru dua tahun lagi selesai dan langsung S3 di Al Azhar. Harus ada kompromi-
kompromi. Jika Aisha transfer S1 ke Mesir, bukan tidak mungkin tapi sangat
susah. Proses administrasi universitas-universitas Mesir sangat melelahkan. Jika
aku ikut ke Jerman juga bukan tidak mungkin, tapi susah, target selesai master
dua tahun lagi bisa molor. Di Jerman tidak ada bahan yang cukup untuk menulis
tesis disiplin ilmu tafsir. Harus ada jalan keluar.

Akhirnya kami sepakat melakukan kompromi. Jalan tengahnya adalah
Turki. Di Turki semua target bisa dikejar. Rencananya bulan April tahun depan
berangkat ke sana. Aisha bisa transfer S1 ke Istanbul University. Prosesnya
mudah. Aisha bahkan tidak perlu repot mengurus sendiri. Ia bisa minta tolong
seorang temannya di Munchen untuk mengurus berkasnya yang mengirimnya ke

103 Risalah Kerinduan


alamat pamannya di Istanbul. Jadi Aisha bisa tetap selesai S1 tahun depan dan
selama di Turki aku bisa mendapatkan bahan tentang Syaikh Said An-Nursi.
Selama di Turki juga akan menambah eratnya persaudaraan dengan keluarga
besar di Turki. Setelah selesai S1 Aisha mengalah untuk kembali ke Mesir
menemani aku sampai selesai S2. Sebenarnya aku mempersilakan kalau dia mau
langsung ke Sorbonne, tapi dia tidak mau berpisah denganku sama sekali. Tapi
setelah master aku yang harus mengalah. Aku harus mengikuti Aisha ke
Sorbonne. Setelah kupikir tidak masalah S3 di Sorbonne sementara Aisha S2.
Toh, Almarhum Syaikh Abdullah Darraz, Guru Besar Tafsir Universitas Al Azhar
mengambil S3 nya juga di Sorbonne. Setelah selesai S3 barulah pulang dan
merencanakan hidup di Indonesia, Aisha mengalah untuk tidak langsung S3.
Bahkan seandainya terpaksa S3 di Indonesia tidak apa-apa. Tapi dia membuat
cadangan S3 di Australia yang dekat dengan Indonesia.

Kami lalu merancang agenda setengah tahun ini. Awal bulan depan Aisha
minta ke Alexandria, satu minggu saja, masih dalam rangkaian bulan madu. Dia
juga minta umrah dan selama bulan puasa sampai hari raya ada di tengah keluarga
di Indonesia. Akhirnya sepakat awal Ramadhan pergi umrah, sepuluh hari di
tanah suci dan langsung terbang ke Indonesia.

Lalu kami membuat rencana satu bulan ke depan. Lebih banyak di rumah.
Aisha membuat jadwal kami bermain cinta. Naik perahu berdua di sungai Nil.
Menyaksikan pagelaran musik rakyat Palestina di Opera House. Melihat
pertunjukan drama komedi di Ballon Teater. Pergi ke El-Mo’men Restaurant. Ke
Masjid Musthofa Mahmud mendengarkan ceramah Syaikh Muhammad Said
Ramadhan Al Buthi yang rencananya lima hari lagi akan datang dari Syiria. Aku
menambah jadwal talaqqi qiraah sab’ah pada Syaikh Utsman dan berkunjung ke
rumah Syaikh Abdul Ghafur Ja’far. Aisha menekankan: Dan ke Alexandria!

Kami lalu membuat jadwal harian. Kapan baca Al-Qur’an dan tadabbur
bersama. Shalat dhuha. Shalat malam. Waktu menerjemah dan waktu yang tepat
untuk bercinta. Begitu selesai membuat rancangan peta hidup Aisha berkata,

“Sayang, aku punya puisi indah untukmu dengarkan:

agar dapat melukiskan hasratku, kekasih,

taruh bibirmu seperti bintang di langit kata-katamu


Aku langsung menyahut dengan suara lantang seperti Antonius merayu
Cleopatra:

ciuman dalam malam yang hidup,

dan deras lenganmu memeluk daku

seperti suatu nyala bertanda kemenangan

mimpikupun berada dalam

benderang dan abadi

Di tepi sungai Nil, hari-hari yang indah kami lalui bersama. Semua serba
indah. Dunia terasa milik kami berdua. Kenikmatan demi kenikmatan,
kebahagiaan demi kebahagiaan kami reguk bersama. Seperti di surga. Muncul
kebiasaan baru Aisha, ia tidak bisa tidur kecuali aku membelai-belai rambutnya
dan mengelus-elus ubun kepalanya, seperti seorang ibu menidurkan bayinya. Aku
juga semakin banyak tahu watak dan karakter Aisha, tingkahnya kalau merajuk,
tidak suka, marah, caranya memuji, hal-hal yang ia sukai dan ia benci, juga
pengalaman hidupnya sejak kecil. Suatu kali sebelum tidur Aisha bercerita, “Ibu
sering mengajariku agar berdoa dalam sujud saat shalat malam: Ya Allah,
letakkanlah dunia di tanganku, jangan di hatiku.”




20. Surat dari Nurul



Dua hari menjelang keberangkatan ke Alexandria kami belanja ke Attaba.
Pasar rakyat paling besar di Mesir. Tak ada trasnportasi langsung dari ke sana.
Kami naik bis mini dari mahattah Abul Fida yang tak begitu jauh dari apartemen
kami menuju Tahrir. Sampai di Tahrir kami naik metro bawah tanah ke Attaba.
Aisha iseng minta diajak melihat toko-toko buku loakan. Dua jam kami di sana.
Aku menemukan beberapa buku yang bisa dijadikan referensi. Aisha hanya
melihat-lihat dan membolak-balik buku. Akhirnya ia membeli empat bundel
komik Donald Bebek.

“Kau aneh sekali, untuk apa Sayang?” heranku. Bagaimana tidak heran,
orang secerdas dan sedewasa dia kok beli komik Donald Bebek.

“Untuk belajar bahasa Arab. Ini ‘kan komik bahasa Arab. Aku ingin tahu
kalimat-kalimat yang lucu. Nanti kalau kita punya anak ini juga ada gunanya. Aku
suka anakku nanti tertawa-tawa renyah. Karena tertawa adalah musiknya jiwa.
Dan rumah kita nanti tidak sepi,” jawab Aisha santai. Cara berpikir Aisha yang
mahasiswi psikologi terkadang menarik dan mengejutkan.

Sampai di rumah kulihat Aisha sangat kelelahan. Perjalanan dari Attaba
sampai rumah memang sangat melelahkan. Padahal sebenarnya tidak terlalu jauh.
Transportasinya yang memang melelahkan. Metro bawah tanah penuh sesak orang
yang pulang kerja. Juga bis mininya. Kami berdua berdesakan. Aku sangat hati-
hati menjaga Aisha. Aku tak ingin ada tangan jahil menyentuhnya. Setelah
membuka cadar dan jilbabnya, Aisha langsung menyalakan AC dan membanting
tubuhnya di sofa. Ia mengatur nafasnya. Mukanya yang putih memerah dan pucat.
Kuambilkan air mineral dingin untuknya. Ia menerima dengan tersenyum.

“Danke, mein Mann,” 104 lirihnya.

“Bitte.”105

Selama ini kami memang berkomunikasi dengan tiga bahasa; Jerman,
Arab, dan Inggris. Lebih banyak pakai bahasa Arab. Aisha yang memintanya

104 Terima kasih, suamiku.

105 Terima kasih kembali.


untuk terus memperbaiki bahasa Arabnya. Jika dia kehabisan kosa kata ia akan
mengatakannya dalam bahasa Inggris atau Jerman.

“Sayang, capek ya berdiri dan berdesakan,” tanyaku sambil menuangkan
air mineral ke dalam gelas.

“Ya.”

“Di Jerman kalau berangkat kuliah gimana? Sering berdesakan seperti tadi
nggak?”

“Transportasi di Jerman sangat baik tidak seperti di Mesir. Dan kebetulan
aku jarang naik angkutan umum.”

“Terus? Jalan kaki? Apa kontrakanmu dekat dengan kampus?”

“Tidak juga. Aku menyewa rumah lima kilo dari kampus. Dan
alhamdulillah aku punya mobil sendiri.”

Aku langsung tahu apa yang harus aku lakukan. Sangatlah zhalim diriku
kalau aku membiarkan isteriku sedemikian tersiksa dan berdesakan sementara di
tanganku ada tiga juta dollar lebih. Aku jadi teringat nasihat Syaikh Ahmad,
“Jangan kau paksakan isterimu mengikuti standar hidupmu yang sangat
sederhana. Jangan pelit dan jangan boros!”

“Mobilmu apa, Sayang?”

“Land Cruiser. Aku suka model Jeep.”

Aku menawarkan, bagaimana kalau membeli mobil. Ternyata sebenarnya
itu juga ingin dia bicarakan padaku sejak tiga hari yang lalu. Cuma dia maju
mundur akhirnya tidak berani bicara. Takut kalau aku tidak setuju. Aku tekankan
padanya untuk tidak menyembunyikan keinginan apa pun dariku.

“Meskipun kusembunyikan toh kelihatannya kau bisa membaca
keinginanku. Kau memang suami yang baik,” pujinya.

Aku harus mencari orang yang tahu seluk beluk mobil di Mesir. Biar tidak
kena tipu. Biar urusan dengan kepolisian mudah dan lain sebagainya. Aku teringat
Yousef, adiknya Maria. Bagaimana kabar mereka? Sudah pulang dari Hurgada
apa belum ya? Sudah tahu aku menikah apa belum? Aku perlu menghubungi
Yousef. Ia kelihatannya tahu seluk beluk mobil. Selama jadi tetangganya kulihat
sudah tiga kali ganti mobil.

“Hallo. Yousef?”


“Ya. Ini siapa?”

“Fahri. Kapan pulang?”

“Baru tadi pagi. Selamat ya atas pernikahannya. Aku sudah diberi tahu
sama Rudi. Sayang sekali. Kami menyesal. Seharusnya kami menelpon kalian
begitu tiba di sana dan memberikan nomor telpon hotel kami menginap.”

“O tidak apa-apa. Mama dan papa juga sudah pulang juga?”

“Belum. Mereka masih akan di sana satu minggu lagi. Tapi Maria sudah
pulang. Mau bicara sama dia?”

“Tidak. Lain kali saja. Salam buat dia. Oh ya, aku mau minta tolong
padamu. Bagaimana kita secepatnya bisa bertemu?”

“Kau sekarang ada di mana?”

“Di Zamalik. Muhammad Mazhar Street.”

“Kedutaan Swedia?”

“Lurus ke utara ada Apartemen tertinggi di ujung pulau. Flat nomor 21.”

“Malam ini juga aku ke sana. Aku sudah rindu ingin ketemu padamu
sekalian aku bawakan kado istimewa.”

“Terima kasih, kutunggu.”



* * *

Pukul delapan malam Yousef datang bersama Maria. Yousef masih seperti
biasa, cerah dan ceria melihatku. Maria agak lain, dia sama sekali tidak cerah.
Dingin. Tersenyum pun tidak. Mungkin belum hilang lelahnya dari Hurgada.

“Ini kado sederhana dari aku dan Maria. Maaf tidak bisa memberi yang
mewah-mewah maklum kami belum punya penghasilan,” kata Yousef
menyerahkan kado kecil yang dibungkus manis.

Maria lebih banyak menunduk. Sepertinya ia lesu sekali. Kami berbincang
sambil menikmati karikade hangat. Aku jelaskan pada Yousef rencanaku membeli
mobil. Dia sangat senang mendengarnya. Dia bertanya kriterianya. Kujawab
model jeep, tangan kedua, masih bagus dan normal semua. Dia berjanji paling
lambat besok sore dia akan menghubungi.

Hanya setengah jam mereka berada di rumah kami. Aku minta tolong pada
Yousef menjelaskan pada Rudi dan teman-temannya route rumah kami. Sebab


sejak acara walimah itu aku belum berkomunikasi dengan mereka lagi. Dan itu
atas permintaan mereka. “Sebelum satu minggu tidak boleh menghubungi
Hadayek Helwan. Pengantin baru satu minggu penuh harus tenang,” kata mereka.
Akhirnya malah kebablasan, dan mereka terlupakan.

Begitu Yousef dan Maria pulang aku langsung membuka kadonya.

“Kurang ajar, Yousef dan Maria itu!” umpatku.

“Apa sih isinya? Kenapa sampai mengumpat segala?” heran Aisha
mendengar aku mengumpat. Ia melihat isi kado. Botol berisi serbuk.

“Serbuk apa ini, Fahri?” tanya Aisha. Aku ragu untuk menjelaskannya.
Tapi Aisha terus mendesak.

“Serbuk Dhab Mashri,” jawabku.

“Apa itu Dhab Mashri?” kejarnya. Aduh bagaimana ini.

Terpaksa aku jelaskan juga. Dhab Masri adalah kadal Mesir, dan
khasiatnya untuk obat kuat yang—kata orang-orang yang pernah mencobanya—
lebih dahsyat dari Viagra, telah digunakan oleh para raja dan pangeran Mesir
kuno. Mendengar penjelasanku Aisha salah tingkah, pipi merona merah, lalu
tersenyum indah sekali.

* * *

Atas bantuan Yousef, kami berhasil membeli Nissan Terrano hitam
metalik yang masih baru dengan harga sangat miring. Baru dipakai pemiliknya
setengah tahun. Aisha senang sekali. Hari itu juga kami berdua berjalan-jalan
mengelilingi kota Cairo. Tentu saja aku tidak bisa menyetir. Yang menyetir Aisha.
Ia juga punya SIM Internasional. Aku jadi guidenya. Tujuh tahun di Kairo aku
sudah hafal seluk beluk kota Cairo. Acara jalan-jalan pun lancar dan
mengasyikkan.

Malam sebelum keberangkatan ke Alexandria, Mishbah datang bersama
Mas Khalid. Mereka memberitahukan dua hari lagi Pelatihan Ekonomi Islam akan
dilaksanakan selama satu minggu di Wisma Nusantara. Aku kira pelatihan itu
sudah selesai ternyata diundur. Aku diminta menjadi salah satu moderator
sekaligus pendamping dosen-dosen yang semuanya dari Mesir. Aku tidak bisa
memutuskan sendiri. Aku harus bermusyawarah dengan Aisha. “Tidak apa-apa,


penuhi saja permintaan mereka. Kita tunda berangkatnya setelah pelatihan saja.
Aku juga ingin tahu konsep ekonomi Islam itu seperti apa.” Jawab Aisha.

Selama satu minggu setiap hari kami ikut pelatihan. Dan sudah tentu,
seperti yang aku prediksi, mahasiswa Indonesia geger melihat aku datang dan
pergi dengan membawa mobil, disopiri oleh seorang isteri bercadar. Mana ada
mahasiswa Indonesia memakai mobil? Kecuali beberapa gelintir dan bisa dihitung
dengan jari.

Terobosan, bulletin mahasiswa Indonesia di Cairo paling vokal, kembali
usil. Tanpa sepengetahuanku mereka berusaha mewawancarai Aisha mengenai
proses pernikahan kami. Mereka sungguh kreatif. Untung saja Aisha isteri yang
baik, ia tidak mau berkomentar sama sekali, dan menyuruh kru Terobosan
langsung mewawancaraiku. Kepada mereka aku kisahkan prosesnya yang
sungguh sangat sederhana.

Dua hari setelah itu Terobosan terbit. Segala keterangan yang aku berikan
tertulis jelas. Yang membuatku geli adalah tanggapan-tanggapan dari beberapa
kalangan aktifis yang pro dan kontra. Yang memandang positif dan negatif
penikahan kami. Yang paling menggelitik hatiku dan justru paling kusukai adalah
komentar seorang mahasiswi aktifis gender:

“Aku yakin si Aisha, isteri Fahri dari Turki itu pasti jelek. Kalau cantik
mana mungkin dia mau. Apalagi katanya dia itu kaya, punya flat mewah di
pinggir Nil segala. Yakin deh pasti wajahnya jelek. Dan kenapa Fahri tetap mau
dengan gadis jelek? Karena Fahri mengejar kekayaannya. Jadi meskipun
isterinya jelek dia mau saja, yang penting kaya. Dan untuk menutupi jeleknya
makanya Fahri menyuruhnya memakai cadar dengan dalil agama.”

Aku suka sekali membaca komentar itu. Kalau mereka tahu kecantikan
Aisha semakin geger suasananya. Biarlah aku seorang yang tahu kecantikan
Aisha. Tapi ada komentar singkat yang membuat hatiku merasa tidak enak.
Komentar dari Nurul sebagai Ketua Wihdah:

“Pernikahan Fahri (Indonesia) dengan Aisha (Turki berdarah Palestina)
menunjukkan universalitas Islam. Aku tahu siapa Aisha. Sebelum dia menikah
dengan Fahri dia pernah banyak bertanya padaku tentang budaya Indonesia,


khususnya masyarakat Jawa. Selamat buat Fahri yang berhasil menyunting
muslimah Turki yang shalehah dan jelita.”

Nurul ternyata juga ikut pelatihan.

Dalam satu kesempatan, saat pulang, aku dan Aisha bertemu dengannya di
gerbang Wisma. Aku tidak menyapanya dan dia juga tidak menyapaku. Namun
Nurul bisa berbincang-bincang santai dengan Aisha seolah tidak pernah terjadi
apa-apa. Hatiku lega. Semoga dia telah menemukan jalan keluar atas masalahnya.
Sebelum berpisah Nurul memberikan selembar surat pada Aisha. Di mobil Aisha
menyerahkan sepucuk surat itu padaku sambil bergumam, “Katanya ini pesan
dari seseorang untukmu dan minta di baca jika sudah sampai di rumah.”

Sampai di rumah langsung aku baca surat itu.



Untuk Kak Fahri

Yang sedang berbahagia

Bersama isterinya



Assalamu’alaikum wr. wb.

Kutulis surat ini dengan lelehan air mataku yang tiada berhenti dari detik
ke detik. Kutulis surat ini kala hati tiada lagi menahan nestapa yang mendera-
dera perihnya luar biasa. Kak Fahri, aku ini perempuan paling bodoh dan paling
malang di dunia. Bahwa mengandalkan orang lain sungguh tindakan paling
bodoh. Dan aku harus menelan kepahitan dan kegetiran tiada tara atas
kebodohanku itu. Kini aku didera penyesalan tiada habisnya. Semestinya aku
katakan sendiri perasaanku padamu. Dan apakah yang kini bisa kulakukan
kecuali menangisi kebodohanku sendiri. Aku berusaha membuang rasa cintaku
padamu jauh-jauh. Tapi sudah terlambat. Semestinya sejak semula aku bersikap
tegas, mencintaimu dan berterus terang lalu menikah atau tidak sama sekali. Aku
mencintaimu diam-diam selama berbulan-bulan, memeramnya dalam diri hingga
cinta itu mendarahdaging tanpa aku berani berterus terang. Dan ketika kau tahu
apa yang kurasa semuanya telah terlambat.

Kak Fahri,


Kini perempuan bodoh ini sedang berada dalam jurang penderitaannya
paling dalam. Dan jika ia tidak berterus terang maka ia akan menderita lebih
berat lagi. Perempuan bodoh ini ternyata tiada bisa membuang rasa cinta itu.
Membuangnya sama saja menarik seluruh jaringan sel dalam tubuhnya. Ia akan
binasa. Saat ini, Kak Fahri mungkin sedang dalam saat-saat paling bahagia,
namun perempuan bodoh ini berada dalam saat-saat paling menderita.

Kak Fahri,

Apakah tidak ada jalan bagi perempuan bodoh ini untuk mendapatkan
cintanya? Untuk keluar dari keperihan dan kepiluan hatinya. Bukankah ajaran
agama kita adalah ajaran penuh rahmah dan kasih sayang. Kak Fahri adalah
orang shalih dan isteri Kak Fahri yaitu Aisha adalah juga orang yang shalihah.
Bagi orang shalih semua yang tidak melanggar syariah adalah mudah.

Kak Fahri,

Sungguh maaf aku sampai hati menulis surat ini. Namun jika tidak maka
aku akan semakin menyesal dan menyesal. Bagi seorang perempuan jika ia telah
mencintai seorang pria. Maka pria itu adalah segalanya. Susah melupakan cinta
pertama apalagi yang telah menyumsum dalam tulangnya. Dan cintaku padamu
seperti itu adanya telah mendarah daging dan menyumsum dalam diriku. Jika
masih ada kesempatan mohon bukakanlah untukku untuk sedikit menghirup
manisnya hidup bersamamu. Aku tidak ingin yang melanggar syariat aku ingin
yang seiring dengan syariat. Kalian berdua orang shalih dan paham agama tentu
memahami masalah poligami. Apakah keadaan yang menimpaku tidak bisa
dimasukkan dalam keadaan darurat yang membolehkan poligami? Memang tidak
semua wanita bisa menerima poligami. Dan tenyata jika Aisha termasuk yang
tidak menerima poligami maka aku tidak akan menyalahkannya. Dan biarlah aku
mengikuti jejak puteri Zein dalam novel yang ditulis Syaikh Muhammad
Ramadhan Al Buthi yang membawa cintanya ke jalan sunyi, jalan orang-orang
sufi, setia pada yang dicintai sampai mati.

Wassalam,

Nurul Azkiya




Air mataku mengalir deras membaca surat Nurul. Aku tak tahu harus
berbuat apa. Hatiku ikut pilu.

“Sayang, apa isinya sampai kau menangis?” tanya Aisha sambil mengusap
air mata dipipiku dengan ujung jilbabnya. Kutatap wajah isteriku. Haruskah aku
berterus terang padanya? Aku tak ingin membuat dirinya kacau dan cemburu. Aku
harus melindungi ketenangan jiwanya. Yang jelas aku sama sekali tidak mau
mengkhianatinya. Bisa jadi jika aku berterus terang, dia bisa menerima usulan
Nurul, tapi aku telah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan memadu
isteriku. Aisha adalah perempuanku yang pertama dan terakhir.

“Kenapa diam Sayang? Apa isinya?” tanya Aisha kembali.

“Bacalah sendiri!”

Aisha melihat surat itu. Ia mengerutkan keningnya.

“Kau bercanda. Ini bahasa Indonesia ‘kan? Mana aku tahu maksudnya.
Apa yang ditulisnya sampai kau menangis?”

“Ah tidak apa-apa. Isinya nasihat. Agar aku menjagamu dengan baik.
Berusaha memahamimu dan memaklumi perbedaan-perbedaan di antara kita yang
memang berbeda latar belakang budaya dan pendidikan. Dia juga menasihati agar
aku mengajarimu bahasa dan adat istiadat masyarakat Indonesia agar kelak jika
pulang ke Indonesia kau bisa beradaptasi dan diterima dengan baik. Terakhir dia
menasihatiku agar menyempatkan waktu untuk menengok kedua orang tua di
Indonesia, jangan terlalu asyik di Mesir. Aku teringat ibuku.” Terpaksa aku
berbohong, aku tak ingin ketenangan hatinya terusik. Aku harus melindungi
keluargaku dari segala gangguan.

Aisha mengangguk-anggukkan kepala mendengar penjelasanku.

“Nasihat yang baik sekali. Dia memang muslimah yang baik. Sekali-kali
kita harus undang dia dan teman-temannya kemari. Dia memuliakan diriku saat
aku berkunjung ke rumahnya,” ujar Aisha.

* * *

Seketika itu juga aku menulis surat balasan untuk Nurul.



Kepada

Nurul Azkiya


Cahaya orang-orang yang bersih hatinya

Di bumi perjuangan mulia



Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh

Saat menulis surat ini hatiku gerimis. Tiada henti kuberdoa semoga Allah
menyejukkan hatimu, menerangkan pikiranmu, membersihkan jiwamu, dan
mengangkat dirimu dari segala jenis penderitaan dan kepiluan.

Nurul,

Terima kasih atas suratnya. Aku sudah membacanya dengan seksama dan
aku memahami semua kata-kata yang kau tulis. Kalau kau merasa harus setia
pada cintamu. Maka aku merasa harus setia pada isteriku, pada belahan jiwaku.
Kalau kau memiliki anggapan poligami bisa menjadi jalan keluar dalam masalah
ini, bisa jadi ada benarnya. Poligami memang diperbolehkan oleh syariat, tapi
aku tidak mungkin menempuhnya. Aku perlu menjelaskan, di antara syarat yang
telah kami sepakati sebelum akad nikah adalah aku tidak akan memadu Aisha.
Aku sudah menyepakati syarat itu. Kau tentu tahu hukumnya, aku harus
menepatinya. Hukumnya wajib.

Nurul,

Dalam hidup ini, cinta bukan segalanya. Masih ada yang lebih penting
dari cinta. Sebenarnya jikalau kita bercinta maka seharusnya itu menjadi salah
satu pintu menjalankan ibadah. Janganlah terlalu kau turutkan perasaanmu.
Gunakanlah akal sehatmu, karena akal sehat adalah termasuk bagian dari
wahyu. Kau masih memiliki masa depan yang luar biasa cerahnya. Kau ditunggu
oleh ribuan generasi di tanah air. Jadilah kau seorang Nurul seperti sebelum
mengenalku. Nurul yang bersih dan bercahaya, seperti namanya Nurul Azkiya ,
Cahaya bagi orang-orang yang bersih hatinya.

Nurul,

Apakah kau sadar dengan apa yang kau lakukan saat ini? Dengan tetap
menuruti perasaanmu untuk menyesal dan membodoh-bodohkan diri kau telah
merusak dirimu sendiri. Ajaran agama kita yang hanif melarang manusia
membinasakan dirinya sendiri dengan cara dan alasan apa pun. Memasung diri
sampai menderita dengan alasan setia pada cinta adalah perbuatan yang tidak


seirama dengan sunnah nabi. Kau jangan salah tafsir pada novel yang ditulis
oleh Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi. Dengan novel itu beliau ingin
menghibur dan menyejukkan orang-orang yang mereguk pahitnya cinta karena
kelaliman orang-orang yang tidak mengerti cinta. Beliau membela orang yang
semestinya dibela, dan mencela orang-orang lalim yang semestinya dicela.
Adapun Puteri Zein yang membawa cintanya sampai ke liang lahat itu bukan atas
kehendaknya. Berbeda dengan dirimu. Jika kau membawa cintamu sampai mati
maka itu atas kehendakmu, dan itu sama saja dengan bunuh diri.

Nurul,

Cinta sejati dua insan berbeda jenis adalah cinta yang terjalin setelah
akad nikah. Yaitu cinta kita pada pasangan hidup kita yang sah. Cinta sebelum
menikah adalah cinta semu yang tidak perlu disakralkan dan diagung-agungkan.
Nurul, dunia tidak selebar daun anggur. Masih ada jutaan orang shalih di dunia
ini yang belum menikah. Pilihlah salah satu, menikahlah dengan dia dan kau
akan mendapatkan cinta yang lebih indah dari yang pernah kau rasakan.

Terkadang, tanpa sengaja kita telah menyengsarakan orang lain. Itulah
yang mungkin kulakukan padamu. Maafkanlah aku. Semoga Allah masih terus
berkenan memberikan hidayah dan rahmatnya, juga maghfirahnya kepada kita
semua.

Wassalam,

Fahri Abdullah.



Surat itu kumasukkan dalam amplop dan kuberikan kepada Aisha untuk
diberikan kepada Nurul besok paginya saat pelatihan.

Aisha bertanya, “Isinya apa?”

Kujawab, “Ucapan terima kasih. Aku gantian menasihatinya untuk segera
menikah.”

“Benar. Dia sudah saatnya menikah, sebentar lagi selesai kuliah. Semoga
dia dapat suami yang baik dan shalih,” ujar Aisha polos sambil tersenyum.




21. Di San Stefano, Alexandria



Selesai pelatihan kami mempersiap segala sesuatu untuk pergi ke
Alexandria. Dengan cermat Aisha mendata semua keperluan yang harus dibawa.
Termasuk laktopnya. Selama satu minggu di sana ia berencana menulis biografi
ibunya. Ia pernah ke Alexandria bersama ibunya. Jadwal di Alexandria telah
tersusun baik. Di antaranya adalah pergi ke perpustakaan Universitas Alexandria
untuk mencari tambahan referensi dan menemui Syaikh Zakaria Orabi, seorang
imam masjid yang menurut keterangan Syaikh Utsman pernah berjumpa dengan
Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi.

Dengan Nissan Terrano kami sampai di kota Alexandria. Kota kebanggaan
rakyat Mesir. Aku tidak hafal betul route kota budaya ini. Setelah bertanya
beberapa kali akhirnya kami sampai di San Stefano Hotel. Sebenarnya aku ingin
naik bis saja. Tapi Aisha memaksa menggunakan mobil pribadi. Ketika aku
sedikit ragu akan keputusannya. Ia meyakinkan diriku dengan berkata:

“Di Jerman aku sering keluar kota dengan mobil pribadi. Aku bahkan
pernah menempuh jarak Munchen-Hamburg dengan mobil sendiri. Kau jangan
kuatir, insya Allah selamat. Apalagi Cairo-Alexandria cuma 177 km, jalannya pun
lebar dan lurus, dengan kecepatan santai tiga-empat jam sampai!”

Karena dia merasa yakin sekali semuanya akan baik-baik saja. Dia juga
ingin sekali berkeliling Alexandria dengan mobil sendiri maka aku pun
menyetujuinya. Untuk menginap sebenarnya sudah aku tawarkan padanya
menginap di rumah khusus tamu milik mahasiswi Malaysia, tapi Aisha tidak mau.
Aisha Aisha ingin menginap di hotel San Stefano dan di kamar yang ia dan ibunya
dulu pernah menginap. Sudah jauh-jauh hari ia pesan kamar itu. Ia ingin
bernostalgia sambil menulis biografi ibunya. Itulah untuk pertama kalinya aku
menginap di hotel berbintang. Sudah empat kali aku ke Alexandria dan tidak
pernah menginap di hotel. Dua kali ikut mukhayyam 106 musim panas yang
diadakan oleh Universitas Al Azhar. Dan yang dua kali bersama teman-teman
Malaysia dan menginap di rumah khusus tamu milik organisasi mahasiswi
Malaysia di Alexandria.

106 Perkemahan.


Hotel San Stefano terletak tepat di garis pantai laut Mediterania. Balkon
kami kami menghadap ke laut. Malam pertama di San Stefano Aisha berbisik,

“Sayang, Dhab Mashrinya dicoba yuk!”

Aku tersenyum. Aisha selalu berterus terang. Apakah karena dia bukan
perempuan Jawa? Tapi keterusterangannya membuat aku senang. Aku teringat
perkataan Sayyidina Muhammad Al Baqir, “Wanita yang terbaik di antara kamu
adalah yang membuang perisai malu ketika ia membuka baju untuk suaminya,
dan memasang perisai malu ketika ia berpakaian lagi!” Dan Aisha adalah wanita
seperti itu.

“Dhab Mashrinya tidak kubawa?”

“Kenapa?”

“Aku takut menjelma jadi kadal.”

Aisha tertawa geli.

Di Alexandria kami melewati hari-hari indah. Tidak terlalu kalah indahnya
dengan hari-hari di tepi sungai Nil. Tapi tepi sungai Nil tetaplah lebih terkesan,
karena kami menghabiskan malam paling indah sepanjang hayat di sana. Satu
minggu telah berlalu, tapi Aisha ingin menambah satu minggu lagi untuk
menuntaskan biografi ibunya. Ternyata dengan memandang laut yang indah Aisha
merasa pikirannya lebih jernih. Banyak kenangan yang bersama ibunya yang terus
berkelabat di kepalanya. Ia sudah menulis tiga ratus halaman dan biografi itu
belum juga selesai. Aku merasa tidak ada masalah menambah hari lagi. Sementara
dia sibuk dengan biografi ibunya, aku sibuk talaqqi kitab hadits Shahih Bukhari di
Masjid Imam Abdul Halim Mahmud yang diajar oleh Syaikh Zainuddin El-
Maula.

Suatu malam ada sms masuk ke handphone-ku. Dari Yousef . Kubuka:

“Maria sakit, mama minta agar memberi tahu kamu.”

Aku tersenyum. Madame Nahed masih menganggap aku bagian dari
keluarganya. Puterinya sakit langsung memberi kabar. Aku tidak membalas apa-
apa. Aku hanya berdoa dalam hati semoga Maria segera sembuh. Dan nanti jika
sudah kembali ke Cairo, aku akan mengajak Aisha mengunjungi mereka, sekalian
mengunjungi teman-teman seperjuangan di Hadayek Helwan.


Setelah dua minggu di Alexandria, waktu pulang pun tiba. Dari mengaji
pada Syaikh Zainuddin aku mendapatkan pengetahuan tentang fiqhul hadits yang
sangat berharga. Dari Syaikh Zakaria Orabi aku mendapatkan kisah perjalanan
hidup Said An-Nursi, juga beberapa lembar teks khutbah Jum’atnya yang ditulis
tangan oleh Syaikh Zakaria. Dan Aisha berhasil menyelesaikan biografi ibunya.
Tertulis dalam bahasa Jerman sebanyak 545 halaman satu spasi, Microsoft Word,
Times New Roman, font 12. Sehari menjelang pulang ke Cairo kami jalan-jalan
ke kawasan El-Manshiya yang merupakan pusat kota Alexandria dan disebut juga
Alexandria lama. Di El-Manshiya itulah tepatnya kota Alexandria kuno berada.
Puing-puing peninggalan Romawi masih ada di sana. Misalnya dapat di lihat
bekasnya di Graeco-Roman Museum dan Achaeological and Roman
Amphitheatre. Kami juga belanja di sana, tak lupa kami membeli dua jaket untuk
Hosam dan Magdi, dua penjaga keamanan apartemen kami. Sekadar sebagai
hadiah dan pengikat jiwa.

Terakhir kami berziarah ke makam Luqman Al Hakim yang namanya
disebut dalam Al-Qur’an dan dijadikan nama surat ketiga puluh satu. Makam
Luqman berdampingan dengan makam Nabi Daniyal. Berada di goa bawah tanah
masjid Nabi Daniyal, tak jauh dari terminal utama Alexandria. Selama menatap
makam Luqman air mataku meleleh teringat nasihat Luqman pada anaknya:

"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

"Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji
sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah
akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi
Maha Mengetahui.

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah
terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk
hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).107I

Luqman seperti masih hidup dan menasihati diriku dengan suaranya yang
penuh wibawa dan mengetarkan jiwa. Jika aku punya anak kelak, aku ingin

107 Surat Luqman: 13,16, dan 17.


mendidiknya seperti Luqman mendidik anaknya. Aku ingin menasihatinya seperti
Luqman menasihati anaknya. Aku ingin bersikap bijaksana padanya seperti
Luqman bersikap bijaksana pada anaknya. Ya Tuhan, kabulkan.


22. Penangkapan



Dalam perjalanan pulang entah kenapa aku merasakan kecemasan yang
menyusup begitu saja dalam jiwa. Selama melewati jalan lurus yang membelah
lautan padang pasir aku terus berdoa agar diberi keselamatan sampai tujuan.
Kupandang lekat-lekat wajah Aisha yang sedang konsentrasi mengemudikan
kendaraan. Dalam hati aku berkata:

Aku cemas bila kehilangan kau

Aku cemas pada kecemasanku108

Aisha terus mengebut dengan tenang. 90 km/jam. Semua kendaraan
berjalan cepat. Tak ada yang lambat. Bus West Delta menyalib dengan kecepatan
gila. Memasuki Giza, awal masuk kota Kairo dari arah Alexandria, kami mampir
di sebuah restoran untuk makan malam dan sedikit membeli oleh-oleh buat Si
Hosam dan Magdi. Dua penjaga apartemen yang dalam waktu singkat sudah
sangat akrab dengan kami. Tepat pukul sembilan malam kami tiba di gerbang
apartemen. Dua malam sebelum Ramadhan tiba. Rencana berangkat umrah awal
Ramadhan terpaksa diundur satu minggu. Baru masuk rumah sms dari Yousef
datang, mengabarkan kondisi Maria semakin memburuk dan terpaksa harus
dirawat di rumah sakit Maadi. Kondisi kami sangat lelah. Tidak mungkin
langsung meluncur ke Maadi. Aku membalas dengan mengabarkan baru tiba dari
Alexandria dan insya Allah besok pagi akan datang menjenguk.

Selesai membersihkan badan dengan air hangat kami shalat berjamaah.
Selesai shalat aku turun ke bawah membawa oleh-oleh untuk Hosam dan Magdi.
Dua bungkus ayam panggang dan dua jaket baru. Mereka senang sekali
menerimanya. Aku kembali naik dan mengajak Aisha istirahat. Ketika mata baru
saja akan terlelap, Aisha terbangun dan berlari ke kamar mandi. Ia muntah-
muntah. Kubuntuti dia. Kupijit-pijit tengkuknya. Mukanya pucat. Dalam
pikiranku dia masuk angin dan kelelahan. Ia telah bekerja keras, memforsir tenaga
dan pikirannya untuk menulis biografi ibunya selama di Alexandria. Ia juga harus
konsentrasi selama tiga jam mengendarai mobil. Aku merasa sangat kasihan pada

108 Petikah puisi berjudul “Sajak” karya Penyair Amerika, John Cornford, diterjemahkan oleh
Chairil Anwar.


isteriku. Aku berniat aku harus bisa menyetir agar isteriku tidak kelelahan.
Kugosok punggungnya dengan minyak kayu putih. Telapak tangan, kaki, perut
dan lehernya kuolesi minyak kayu putih. Kubuatkan ramuan obat andalanku jika
lelah dan meriang. Segelas madu hangat diberi habbah barakah. Rasulullah
pernah memberi tahu bahwa habbah barakah bisa menjadi obat segala penyakit.
Setelah meminum ramuan itu Aisya kuajak tidur.

Pagi hari ia tampak segar. Pukul sembilan saat aku bersiap mengajaknya
ke rumah sakit Maadi. Tiba-tiba dia kembali muntah-muntah. Aku bingung. Aku
takut ia terkena penyakit yang orang Jawa bilang masuk angin kasep, yaitu masuk
angin yang bertumpuk-tumpuk dan parah. Aku urung ke Maadi, dengan taksi
kubawa Aisha ke klinik terdekat. Seorang dokter berjilbab memeriksanya. Hampir
setengah jam lamanya Aisha berada dalam kamar periksa dengan dokter berjilbab.
Ketika keduanya keluar, dokter berjilbab itu tersenyum, “Selamat! Setelah kami
periksa air seninya dan kami lanjutkan dengan USG, isteri anda positif hamil!”

Wajah Aisha cerah. Kepadaku ia mengerlingkan mata kanannya. Aku
merasakan kebahagiaan luar biasa. Begitu sampai di flat Aisha berkata dengan
wajah cerah,

“Melodi cinta yang kau mainkan sungguh ampuh suamiku. Dan memang
saat malam pertama dan malam-malam indah setelah itu adalah saat aku sedang
berada dalam masa subur. Allah telah mengatur sedemikian indahnya. Segala puji
bagi-Nya yang telah memberikan anugerahNya yang agung ini pada kita berdua.”

Aku tersenyum dan langsung mencium pipinya yang bersih. Aisha
menggeliat manja. Ia lalu mengangkat telpon memberi tahu bibinya, Sarah. Ia
juga memberi tahu Akbar Ali, pamannya di Turki. Aku melihat kalender. Tak
terasa kami telah hidup bersama sejak malam pertama itu selama satu bulan lebih.
Hari-hari indah selalu berlalu begitu saja tanpa terasa. Rasanya aku baru sehari
bersama Aisha.

Untuk menghayati keagungan nikmat yang telah Tuhan berikan, kuajak
Aisha sujud syukur dan shalat dhuha. Kepadanya aku berpesan untuk tidak
banyak beraktifitas keluar rumah. Menjelang zhuhur aku bersiap untuk menjenguk
Maria yang sakit. Aisha kuminta di rumah. Dia pesan dibelikan buah pir dan
korma. Tiba-tiba ada orang membunyikan bel dengan kasar sekali. Aku bergegas


membuka pintu dibuntuti Aisha yang penasaran siapa yang membunyikan bel
seperti orang gila itu. Begitu pintu kubuka. Tiga orang polisi berbadan kekar
menerobos masuk tanpa permisi dan menghardik,

“Kau yang bernama Fahri Abdullah?!”

“Ya benar, ada apa?”

“Kami mendapatkan perintah untuk menangkapmu dan menyeretmu ke
penjara, ya Mugrim!”109 bentak polisi yang berkumis tebal.

“Kalian bawa surat penangkapan dan apa kesalahanku?”

“Ini suratnya, dan kesalahanmu lihat saja nanti di pengadilan!”

Aku membaca selembar kertas itu. Aku ditangkap atas tuduhan
memperkosa. Bagaimana ini bisa terjadi.

“Ini tidak mungkin! Ini pasti ada kesalahan. Saya tidak mau ditangkap!”
bantahku.

“Jangan macam-macam, atau kami gunakan kekerasan!” bentak polisi
Mesir. Aku sangat geram pada sikapnya yang sangat jauh dari sopan dan kelihatan
sangat angkut. Aisha cemas dan memegangi tanganku. Polisi Mesir itu berkata-
kata dengan suara keras seperti anjing menyalak.

“Ayo ikut kami!” tegas polisi kurus hitam sambil memegang erat-erat
tangan kananku. Aku menarik tanganku tapi polisi hitam mencengkeramnya kuat-
kuat dan memasang borgol. Tangan kiriku dipegang Aisha, dia menangis.

“Ada apa ini Fahri, ada apa!?” tanya Aisha dengan muka pucat.

Polisi berkumis menarik tangan kiriku dari pegangan Aisha dan memaksa
memborgolku.

“Sebentar Kapten biarkan aku sedikit bicara pada isteriku!?” ucapku
dengan suara tegas.

“Boleh. Dua menit saja!” kata Si Kumis.

Aku lalu menjelaskan pada Aisha, hal seperti ini sering terjadi di Mesir.
Polisi Mesir tidak memakai azas praduga tak bersalah. Tapi praduga bersalah. Jika
dicurigai langsung ditangkap akan dibebaskan kalau terbukti tidak bersalah. Aku
berpesan pada Aisha untuk bersabar dan langsung menghubungi Paman Eqbal,
teman-teman PPMI, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia. Surat

109 Wahai penjahat.


penangkapannya kuminta untuk aku berikan kepada Aisha. Tujuanku agar nanti
mudah dilacak keberadaanku. Tapi polisi itu tidak memperbolehkannya. Aku pun
pasrah digelandang tiga polisi itu. Kulihat Aisha terisak-isak. Aku dibawa turun
melalui lift. Di halaman mobil kerangkeng besi menungguku. Sebelum masuk
mobil kerangkeng aku sempat mendongakkan kepala ke arah jendela flat lantai 7.
Di sana kulihat wajah Aisha yang basah air mata. Aku tidak tahu akan dibawa ke
mana. Dalam beberapa jam saja kegembiraan yang aku rasakan berubah menjadi
kesedihan dan kecemasan. Kota Cairo yang indah tiba-tiba terasa seperti sarang
monster yang menakutkan.




23. Dalam Penjara Bawah Tanah



Aku dibawa ke markas polisi Abbasea. Diseret seperti anjing kurap. Lalu
diinterogasi habis-habisan, dibentak-bentak, dimaki-maki dan disumpahserapahi
dengan kata-kata kotor. Dianggap tak ubahnya makhluk najis yang menjijikkan.
Tuduhan yang dialamatkan kepadaku sangat menyakitkan: memperkosa seorang
gadis Mesir hingga hamil hampir tiga bulan.

“Orang Indonesia kau sungguh anak haram. Saat mengandung dirimu,
ibumu makan apa heh? Makan bangkai anjing ya? Kau pura-pura menolong gadis
malang itu ternyata kau menerkamnya. Kau berani menginjak-injak kehormatan
perempuan kami. Kau ini mahasiswa Al Azhar, katanya belajar agama, ternyata
manusia bejat berwatak serigala!” Seorang polisi hitam besar membentakku lalu
menampar mukaku dengan seluruh kekuatan tangannya. Kurasakan darah
mengalir dari hidungku.

“Akui saja, kau yang memperkosa gadis bernama Noura yang jadi
tetanggamu di Hadayek Helwan pada jam setengah empat dini hari Kamis 8
Agustus yang lalu? Akui saja, atau kami paksa kau untuk mengaku! Jika kau
mengakuinya maka urusannya akan cepat.”

Kata-kata polisi itu membuatku kaget bukan main. Noura hamil dan aku
yang dituduh memperkosanya. Sungguh celaka!

Dengan tetap berusaha berkepala dingin aku mencoba menjelaskan kepada
mereka itu adalah sebuah tuduhan keji. Lalu kujelaskan semua kronologis
kejadian malam itu. Sejak mendengar jeritan Noura disiksa ayah dan kakaknya
sampai paginya dititipkan ke rumah Nurul. Tapi penjelasanku dianggap seolah
suara keledai. Mereka malah tertawa. Dan menjadikan aku bulan-bulanan oleh
hinaan, makian dan tamparan yang membuat bibirku pecah.

“Kami memiliki bukti kuat kaulah pemerkosa gadis malang itu. Dia sangat
menyesal mengikuti bujuk rayumu. Dia telah menceritakan semuanya. Dan dia
juga punya saksi kau melakukan perbuatan terkutuk yang merusak masa depannya
itu. Kau sudah tahu bahwa hukuman pemerkosa di negara ini adalah hukuman
gantung. Sekarang kau hanya memiliki dua pilihan. Mengakui perbuatanmu itu,
dan kau mungkin akan mendapat keringanan atas kerja samamu. Sehingga kau


mungkin tidak akan dihukum gantung. Atau kau tetap bersikeras mengingkarinya
dan terpaksa nanti pengadilan akan menggantungmu. Pilih mana?” Polisi hitam
besar kembali menggertak. Hatiku sempat ciut. Aku teringat ulama-ulama yang
mengalami nasib tragis di tangan para algojo negara ini. Apa pun jalannya,
kematian itu satu yaitu mati. Allah sudah menentukan ajal seseorang. Tak akan
dimajukan dan dimundurkan. Maka tak ada gunanya bersikap lemah dan takut
menghadapi kematian. Dan aku tidak mau mati dalam keadaan mengakui
perbuatan biadab yang memang tidak pernah aku lakukan.

“Kapten, aku memilih membuktikan di pengadilan bahwa aku tidak
bersalah. Aku yakin negara ini punya undang-undang dan hukum. Aku minta
disediakan pengacara!”

“Tindakan bodoh! Di pengadilan kau akan kalah! Kau akan dihukum
gantung! Lebih dari itu kau akan masuk surat kabar! Kau akan diteriaki orang-
orang sebagai pemerkosa! Kenapa kau tidak memilih mengakuinya dan kita tutup
kasus ini diam-diam. Kita buat kesepakatan-kesepakatan dengan keluarga Noura
sekarang. Kalau mereka memaafkan kau mungkin akan bernasib lebih baik.Kami
masih sedikit berbelas kasihan padamu karena kau orang asing. Kalau kau orang
Mesir sudah kami binasakan!” bentak polisi hitam dengan mata melotot.

“Aku bukan pelaku pemerkosaan itu Kapten! Aku akan buktikan bahwa
aku tidak bersalah!” tegasku.

“Baiklah aku akan memberimu waktu berpikir dua hari. Jika kau tetap
bersikeras tidak mau mengaku dan mengambil jalan kompromi maka terpaksa kau
kami seret ke meja hijau dan jangan salahkan kami jika nasibmu berakhir di tiang
gantungan dan namamu dilaknat semua orang!”

“Yang berhak melaknat hanya Allah. Dan hanya Allahlah yang tahu
segalanya. Aku tidak akan takut dengan caci maki manusia selama aku merasa
berada di jalan yang benar!”

“Hahaha…kau ini sok pintar! Jalan benar apa? Apa memperkosa itu jalan
yang benar? Kau ini sudah selesai S.1. di Al Azhar. Gadis-gadis Indonesia saja
banyak kenapa ketika itu kau tidak memilih menikah dengan salah satu dari
mereka. Kenapa kau malah memilih memperkosa gadis malang itu dengan pura-
pura mau menolong? Dan itu kau anggap jalan yang benar? Dasar anak anjing!


Dasar anak pelacur!” Polisi hitam itu mengumpat-umpat kasar. Entah kenapa
mendengar kalimat umpatan terakhir darahku mendidih.

“Kau yang anak anjing! Wajahmu hitam penuh dosa! Kau yang anak
pelacur! Yakhrab baitak!” balasku mengumpat dengan sama kasarnya. Wajah
polisi itu semakin gosong. Giginya gemerutuk seperti monster mau menelanku. Ia
pun melayangkan tangan kanannya ke mukaku.

“Bawa dia ke penjara dan cambuk sepuluh kali atas penghinaannya
padaku!” Perintahnya pada tiga anak buahnya yang tadi menangkapku. Tiga polisi
itu lalu menggelandangku ke penjara. Inilah untuk pertama kalinya aku masuk
penjara. Kami melewati sel-sel yang berisi tahanan yang semuanya orang Mesir.
Mereka semua terheran-heran melihat kehadiranku. Tiga polisi itu terus
menggelandangku hingga sampai disebuah ruangan kosong. Ada sebuah kursi
kayu kusam dan didindingnya tergantung beberapa alat penyiksa. Cambuk.
Pentungan dari karet. Ganco. Tali. Dan lain sebagainya.

Polisi gendut melepas pakaianku. Lalu menyuruhku berdiri menghadap
tembok. Setelah itu aku merasakan sabetan cambuk yang perih di punggungku.
Tidak sepuluh kali tapi lima belas kali. Aku merasakan sakit luar biasa. Mereka
lalu melepas borgolku dan menyeretku ke sebuah ruangan, melucuti semua
pakaianku kecuali pakaian dalam. Juga sepatuku. Dalam keadaan hanya memakai
celana dalam mereka menggunduliku. Lalu melempar seragam tahanan ke arahku.
Cepat-cepat aku menutup aurat. Si Kumis menyuruh aku berdiri tegap dengan
tangan diletakkan dibelakang punggung. Si Hitam memegang kedua tanganku
yang kulipat dibelakang punggung kuat-kuat. Sementara Si Gendut mengikat
kedua kakiku. Lalu dengan sangat kurang ajar Si Kumis mempermainkan
kemaluanku. Aku menjerit-jerit dan meronta-ronta. Meludahi Si Kumis. Tapi
mereka terus saja terbahak-bahak seperti setan. “Ini yang digunakan untuk
memperkosa itu oh..oh..oh! Burung kakak tua..hehehe..kecil sekali tak ada apa-
apanya dengan milikku…hehehe..tapi berani kurang ajar ya hehehe..hahaha!”

Sungguh perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Aku merasakan
penghinaan yang luar biasa. Aku belum pernah merasakan diriku dihina dan
kehormatanku dinistakan senista itu. Aku lebih suka dirajam daripada dihina
seperti itu. Jika aku sampai terlihat mengucurkan air mata, maka ketiga setan itu


akan semakin gila tertawanya. Aku merintih dalam hati. Batinku menangis sejadi-
jadinya memohon keadilan kepada Allah. Agar mereka diganjar atas
kekurangajaran mereka. Aku terus menjadi bulan-bulanan mereka sampai aku
tidak sadarkan diri.

* * *

Ketika sadar, aku berada di sebuah kamar gelap dan pengap.

“Alhamdulillah, kau sudah sadar.” Suara orang yang kurasa sangat tua. Di
keremangan cahaya buram lampu di luar kamar yang masuk melalui jeruji pintu
sel aku bisa menangkap wajah orang tua berjenggot putih duduk di dekatku.lalu
empat orang lainnya. Dua setengah baya dan dua lainnya muda. Mereka semua
memakai pakaian tahanan yang lusuh.

“Kelihatannya kau bukan orang Mesir?” tanya kakek tua ramah. Aku
sedikit tenang mendengar suaranya yang lembut. Tapi aku kuatir dengan yang
empat, kalau mereka orang-orang yang jahat aku bisa jadi bulan-bulanan di
penjara ini. Aku pernah mendengar adanya hukum rimba di dalam penjara.
Apalagi aku asing sendiri di sini.

“Dari Indonesia.”

“Siapa namamu?”

“Fahri Abdullah Shiddiq.”

“Nama yang bagus. Namaku Abdur Rauf.”

“Apa yang kau lakukan di Mesir?”

“Hanya belajar.”

“Di mana?”

“Di Al Azhar.”

“Masya Allah. Lantas bagaimana ceritanya kau bisa masuk penjara ini?”

“Musibah ini datang begitu saja. Aku dituduh memperkosa gadis Mesir,
padahal aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu. Bagaimana mungkin aku
akan melakukannya padahal aku memiliki seorang ibu, bibi, isteri dan nanti
mungkin seorang anak perempuan. Aku terkadang tidak bisa memahami sistem
yang berlaku di negara ini?”

“Di mana kau ditangkap?”

“Di rumah.”


“Nasibmu masih lebih bagus dariku Anak muda. Aku ditangkap disaat
sedang menguji tesis magister di universitas. Di depan sekian banyak orang aku
diperlakukan seperti tikus.”

“Jadi Anda seorang guru besar?”

Pemuda berwajah putih yang sejak tadi mematung di pojok ruangan
menyahut sambil mendekat, “Beliau adalah Prof. Dr. Abdur Rauf Manshour,
guru besar ekonomi pembangunan di Universitas El-Menya. Beliau kemungkinan
ditangkap karena kritik-kritik tajamnya di koran! Oh ya perkenalkan namaku
Ismail, mahasiswa kedokteran tahun ketiga Universitas Ains Syam, ditangkap
karena memimpin demonstrasi di dalam kampus mengutuk tindakan Ariel Sharon
menginjak-injak Masjidil Aqsha dan perlakuan kejam tentara Israel pada anak-
anak Palestina terutama penembakan Muhammad Al Dorrah dua tahun lalu.”

“Jadi kau sudah dua tahun mendekam di sini?”

“Ya.”

“Dan hanya karena memimpin demonstrasi di dalam kampus?”

“Ya.”

“Aku lebih tragis lagi!” Pemuda yang satunya menyahut, “aku tidak
melakukan apa-apa juga ditangkap. Kau tentu tahu demonstrasi di masjid Al
Azhar usai shalat Jum’at satu tahun yang lalu yang menentang agresi Amerika ke
Afganistan. Demonstrasi itu tidak besar. Bisa dikatakan bukan demonstrasi malah.
Lebih tepat dikatakan protes. Ketika orang-orang bertakbir aku ikut bertakbir.
Hanya itu. Keluar masjid aku ditangkap dan mendekam di sini sampai sekarang.
Kenalkan namaku Ahmad biasa dipanggil Hamada. Aku tidak kuliah, lulus SLTA
langsung bekerja di penerbit Muassasa Resala.”

“Muassasa Resala di dekat Abidin Attaba itu?” tanyaku.

“Benar.”

Kami lalu berbincang banyak dan saling mengenal satu sama lain. Dua
lelaki setengah baya bernama Haj Rashed, dia kepala sekolah SD dan imam
sebuah masjid kecil di Mathariyah. Ditangkap dua bulan lalu karena khutbah
Jum’atnya yang pedas. Yang satunya bernama Marwan, mantan pegawai jawatan
kereta api, dipenjara sejak setengah tahun lalu karena membunuh tetangganya
yang menggoda isterinya.


“Aku ini orang paling besar cemburunya di dunia. Sebenarnya aku sudah
bersabar dan beberapa memberi peringatan pada pria kurang ajar itu. Tapi dia
sungguh keterlaluan. Rumah kami dua tingkat di atasnya. Suatu ketika isteriku
belanja, ketika pulang satu lift dengannya. Di dalam lift itulah dia menggerayangi
isteriku. Isteriku lapor padaku. Seketika itu juga kudatangi dia dan kupancung dia.
Dia keliru kalau menganggap diriku tidak bisa berbuat sesuatu. Seandainya
dengan perbuatanku ini aku akan dihukum mati aku akan menerimanya dengan
senang hati. Aku merasa puas karena aku telah membela kehormatan isteriku.”

Cerita Marwan langsung mengingatkan diriku pada Aisha. Oh Aisha, dia
tentu sangat sedih sekarang. Dia sendirian di flat memikirkan nasibku dengan
penuh kecemasan. Aku menitikkan air mata dan berdoa kepada Allah agar
memberikan ketabahan pada Aisha dan agar melindunginya dari segala mara
bahaya.

“Orang Indonesia, siapkanlah mentalmu! Kau akan menghadapi hari-hari
yang mencekam. Hari-hari yang tidak kau ketahui apakah kau masih hidup atau
telah mati. Kamar kita ini hanya berukuran tiga kali tiga. Kau lihat aku berdiri di
atas genangan Air. Padahal sekarang sudah mulai masuk musim dingin. Setengah
ruangan ini tergenang air. Kau kini duduk dibagian yang kering. Selama ini kita
tidur bergantian. Terkadang tidur sambil berdiri. Kita diberi kesempatan ke WC
dan kamar mandi sehari sekali menjelang shubuh. Itupun dalam antrean yang
panjang dan terkadang kita sama sekali tidak punya kesempatan ke WC karena
waktu yang diberikan telah habis. Siapkanlah mentalmu!” kata Professor Abdul
Rauf.

“Gelap dan pengap. Apakah kita berada di bawah tanah?” tanyaku.

“Benar! Oh ya, tadi kau pingsan cukup lama. Kelihatannya kau belum
shalat ashar,” jawab Professor Abdul Rauf.

“Astaghfirullah. Pukul berapa sekarang?” tanyaku.

“Pastinya tidak tahu, tapi sebentar lagi maghrib datang.”

“Tayammum?”

“Ya.”

Aku lalu tayammum dan shalat. Selesai shalat Professor Abdul Rauf
memimpin kami membaca doa dan dzikir sore hari. Ditutup doa rabithah yang


dibaca oleh Haj Rashed. Tak lama setelah itu azan maghrib berkumandang. Adil
bergumam lirih,

“Ya Allah, inilah saat malam-Mu datang menjelang, dan siang-Mu telah
berlalu, dan inilah suara dari para penyeru-Mu maka ampunilah kami.”

Karena tempat yang sempit kami tidak bisa berjamaah sekaligus. Terpaksa
dibagi dua jamaah bergantian. Aku diminta menjadi imam jamaah kedua, dengan
alasan aku satu-satunya yang dari Al Azhar. Aku membaca surat Yusuf, ayat-ayat
yang menceritakan nabi mulia itu dipenjara di Mesir karena tuduhan Zulaikha.
Sungguh nasibku tak jauh berbeda dengan Yusuf. Noura mengaku aku telah
memperkosanya. Aku menangis dalam shalat.

“Bacaan Al-Qur’anmu indah dan tartil, di mana kau talaqqi?” tanya Haj
Rashed

“Di Shubra. Pada Syaikh Ustman Abdul Fattah.”

“Yang di masjid Abu Bakar itu?”

“Benar.”

“Pantas. Besok malam sudah mulai tarawih. Kau saja imamnya ya?”

Pertanyaannya kembali mengigatkan aku pada Aisha. Dia akan menjalani
Ramadhan sendirian dengan hati sedih. Rencana umrah ke tanah suci dan berhari
raya di Indonesia tidak jadi. Oh begitu cepat perubahan terjadi. Kemarin malam
aku masih tidur nyaman di hotel berbintang di Alexandria bercinta dengan Aisha
begitu mesranya. Malam ini aku meringkuk kedinginan di penjara bawah tanah.
Aku nyaris tidak bisa memejamkan mata. Seluruh tulang terasa ngilu, kulit
kedinginan, punggung perih bukan main, dan kemaluan sakit luar biasa. Bayang-
bayang kematian mengintai di semua sudut ruangan, tapi aku bersikeras untuk
bertahan.

Keesokan harinya terdengar langkah sepatu bot. Lalu suara orang
membentak sambil menggedor pintu sel, “Tahanan nomor 879!”

Tak ada yang menjawab. Semua diam. Ismail dan Haj Rashed
berpandangan.

“Hai tahanan 879! Anjing! Dungu ya?” Sipir penjara itu marah sekali.

Ismail menepuk pundakku. “Coba lihat nomormu!” Pelannya. Ia lalu
mendekatkan matanya ke dadaku. Dalam keremangan gelap tertulis di sana nomor


879. Berarti aku yang dimaksud. Aku lalu beranjak menuju pintu yang telah
dibuka. Sipir itu langsung menarikku dengan kasar dan menendangku, “Dungu
kau!”

Aku kembali dibawa ke ruang interogasi. Polisi hitam besar yang kemarin
mengintrogasiku telah menunggu dengan segelas teh kental di tangan kanannya.
Begitu aku masuk ia tersenyum sinis. Dua orang polisi yang kemarin
menangkapku juga ada di situ. Si Hitam dan Si Gendut. Aku tidak melihat Si
Kumis yang kurang ajar itu.

“Bagaimana orang Indonesia? Kau mau mengakui perbuatanmu? Aku
berjanji akan mengusahakan keringanan hukumannya?” tanyanya.

“Aku tidak berubah pikiran. Aku tidak melakukan perbuatan dosa itu.
Bagaimana mungkin aku akan mengakuinya. Aku akan buktikan bahwa aku tidak
bersalah!” jawabku tegas.

“Semua penjahat selalu berkata begitu. Kau sungguh bodoh! Jika kau
sampai ke meja hijau kau akan kalah. Bukti kau bersalah sangat kuat! Kau akan
digantung! Kau masih punya kesempatan satu hari untuk berpikir. Sipir beri dia
sedikit sarapan pagi biar pikirannya cerah!”

Dua anak buahnya itu lalu membawaku ke ruangan penyiksaan. Aku
disuruh berdiri tegak. Si hitam mengangkat kursi kayu, dua kaki belakang kursi
itu diletakkan diatas telapak kakiku. Dan Si Polisi Gendut lalu menduduki kursi
itu. Terang saja aku menjerit kesakitan. Telapak kakiku terasa remuk tulang-
tulangnya. Dan ketika aku menjerit Si Hitam menjejalkan roti keras ke mulutku
hingga menyodok tenggorokanku. Aku mau muntah tapi raoti kering itu tetap
dijejalkan ke mulutku. Ketika aku sudah tidak tahan dan nyaris pingsan ia
menarik roti itu dan si gendut bangkit dari kursi itu. Aku dibiarkan istirahat
sebentar, lalu disuruh menghadap ke dinding dan dicambuk lima kali. Belum juga
puas, mereka lalu menyodok perutku yang masih kosong dengan popor bedil tiga
kali sampai aku muntah. Rupanya itu yang dimaksud dengan sedikit sarapan pagi.
Dengan tubuh lemas aku diseret dan dilempar kembali di sel bawah tanah. Dan
aku jatuh tertelungkup di dalam sel tak sadarkan diri.






24. Tangis Aisha



Yang kulihat pertama kali adalah wajah Ismail ketika aku bangun.
Kepalaku ada di atas pahanya. Ia tersenyum padaku. Aku merasa haus sekali.
Sejak kemarin tenggorokanku belum terkena setetes air sama sekali.

“Aku haus sekali,” lirihku sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhku.

“Hamada, ambilkan susu itu!” Kata Professor Abdul Rauf.

Hamada mengambil botol berisi susu dan meminumkan padaku. Aku
menenggak tiga teguk. “Sudah,” kataku.

“Minumlah lagi, biar tubuhmu segar!” paksa Ismail.

Aku menenggak tiga teguk lagi. “Sudah!” kataku.

“Apa yang mereka perlakukan terhadapmu?”

Dengan suara terbata aku menceritakan semua bentuk penyiksaan yang
aku terima sejak kemarin sampai tadi pagi. Juga perlakuan mereka yang keji atas
kemaluanku.

“Mereka sungguh biadab!” geram Ismail mendengar ceritaku.

“Mereka memang sangat biadab. Lebih biadab dari Iblis! Dan apa kau
terima masih belum seberapa dibandingkan para ulama yang disiksa habis-habisan
tahun enam puluhan. Bahkan ada dua orang ulama yang ditelanjangi dan dipaksa
melakukan perbuatan kaum nabi Luth. Tentu saja mereka tidak mau melakukan
perbuatan terkutuk itu. Akhirnya mereka berdua mati syahid jadi santapan anjing
ganas yang lapar.” Kisah Professor Abdul Rauf dengan suara bergetar.

Aku bergidik mendengarnya. Perlakuan mereka yang keji padaku
terbayang kembali. Membuat hatiku perih dan sakit sekali. Aku tak bisa
membayangkan sakitnya seorang perempuan diperkosa. Kehormatannya dinodai.
Betapa sakitnya mereka. Gilanya aku dituduh melakukan perbuatan bejat yang
menyakitkan perempuan itu. Perbuatan yang sangat kubenci dan kukutuk, tidak
mungkin aku lakukan. Rasa gilu dan sakit bergumul dalam hati bercampur marah,
bertumpuk-tumpuk, mendera-dera, menyesak-nyesak dalam dada.

“Sudahlah kita makan dulu. Alhamdulillah, ada sedikit rizki dari Allah
Swt.!” kata Professor Abdul Rauf.


Haj Rashed mengambil bungkusan dari pojok ruangan. Tiga roti isy yang
empuk dan lebar, satu ayam panggang digelar dan satu plastik apel. Aku bangkit
duduk perlahan.

“Apakah semewah ini jatah dari penjara?” tanyaku.

“Tak lama lagi kau akan tahu seperti apa jatah penjara,” sahut Hamada.

“Lebih layak untuk santapan binatang!” tukas Marwan.

Haj Rashed berkata:

“Yang kita makan ini adalah kiriman dari isteri Professor Abdul Rauf.
Untuk bisa memasukkan makanan ini ke penjara dia harus membayar seratus
pound kepada petugas. Kirimannya juga dirampas setengahnya. Aslinya adalah
dua botol susu, enam lembar roti Isy, dua buah ayam bakar dan dua kilo apel. Tapi
para sipir itu minta separo bagian. Tidak setiap saat keluarga kami boleh
mengirim makanan. Satu bulan hanya diizinkan dua kali saja. Makanan ini sudah
datang sejak tadi pagi. Beberapa menit setelah kamu dibawa keluar. Kami tidak
mungkin makan tanpa menunggumu. Kami yakin kau pasti sudah lapar. Wajahmu
sedemikian pucatnya. Rasulullah tidak mengizinkan perut kita kenyang sementara
orang terdekat kita kelaparan.”

Penjelasan Haj Rashed membuat diriku terharu. Bahwa diriku berada di
tengah-tengah orang baik. Mereka begitu perhatian padaku. Kami pun makan
bersama penuh nikmat dengan diselimuti rasa persaudaraan yang kuat. Setelah
makan dan minum beberapa teguk susu tubuhku terasa memiliki kekuatan
kembali.

Tak lama setelah itu seorang sipir menggedor pintu dan dari jeruji atas ia
melemparkan enam roti isy kering. Ia melempar roti itu seperti melempar
makanan pada anjing. Isy itu melayang bertebaran. Ada yang mengenai muka
Professor. Ada yang jatuh di kaki Ismail dan ada yang masuk air yang
menggenang di sebagian lantai.

“Ini jubnahnya!”110 teriak sipir itu melempar bungkusan hitam.

Ismail memunguti isy itu dan mengumpulkannya. Yang jatuh ke genangan
air ia pisahkan. Ia mengambil selembar Isya yang sudah kering itu serta
bungkusan hitam dan menyerahkannya padaku.

110 Jubnah: keju putih seperti tahu.


“Inilah jatahnya. Sehari sekali. Coba kau lihat!” ujarnya padaku.

Aku pegang isy itu. Kering dan kaku. Kubuka plastik hitam, baunya sudah
tidak karuan.

“Tapi kita tetap harus menerimanya dengan sabar. Yang jatuh ke dalam
genangan air kotor itu pun suatu ketika ada gunanya. Dahulu baginda nabi dan
para sahabat pernah sampai makan rerumputan dan akar pepohonan,” lanjut
Ismail.

Kembali aku teringat hari-hari indah bersama Aisha. Makan tidak pernah
kurang. Selama di Alexandria selalu di restoran hotel. Semua enak dan penuh gizi.
Dan tiba-tiba kini aku harus siap dengan makanan yang layaknya untuk tikus dan
kecoa. Aku masih merasakan Allah Maha Pemurah, makan pertama di penjara
adalah ayam panggang lengkap dengan sebutir apel merah yang segar.

Malam harinya kami tarawih. Kami mengatur sedemikian rupa agar kami
tetap bisa shalat tarawih berjamaah bersama. Haj Rashed minta satu juz dalam
delapan rakaat. Inilah untuk pertama kalinya aku jadi imam tarawih di Mesir. Dan
di dalam penjara. Setengah tiga kami bangun, tahajjud sebentar lalu sahur.
Apalagi yang kami makan kalau bukan jatah tadi siang. Aku hampir muntah tapi
kutahan-tahan. Kulihat Professor dan teman-teman lainnya makan dengan santai.
Di pojok ruangan ada ember plastik. Kami bergantian minum dari air yang ada di
ember itu.

“Kita beruntung minum dari ember. Di kamar paling pojok sana tempat
airnya adalah kaleng bekas yang sudah karatan,” kata Hamada.

Aku teringat Aisha, bagaimanakah dia sekarang. Apakah juga sedang
sahur, ataukah sedang menangis sendirian. Aku sangat merindukannya.

* * *

Sampai hari ketiga ditahan, belum juga ada yang menjengukku. Meskipun
diinterogasi dan dipaksa seperti apapun aku tetap bersikukuh tidak mau mengakui
dakwaan itu. Aku tetap memilih membuktikan tidak bersalah di pengadilan.
Pengadilan pertama akan digelar tiga hari lagi. Aku cemas. Aku perlu pengacara
dan saksi yang membelaku bahwa aku tidak bersalah. Teman-teman satu rumah di
Hadayek Helwan. Kelurga Tuan Boutros. Nurul dan teman-temannya. Dan Syaikh
Ahmad. Mereka bisa menjadi saksi. Tapi bagaimana aku bisa menghubungi


mereka. Isteriku, Aisha yang sangat kurindukan belum juga datang menjenguk.
KBRI atau PPMI belum juga tampak batang hidungnya. Aku sangat gelisah dan
sedih. Aku kuatir mereka tidak mau mengerti karena termakan oleh fitnah keji itu.
Aku takut Aisha tidak percaya padaku dan membenciku. Aku tak kuat memendam
semua kegelisahan dan kekuatiran ini. Akhirnya kuutarakan semuanya pada
Profesor Abdul Rauf dan teman-teman.

“Fahri, kau jangan kuatir. Aku yakin mereka semua sudah tahu dan sudah
bergerak. Cuma memang pihak kepolisian yang sengaja mengulur waktu agar kau
tidak segera bisa bertemu dengan mereka. Dulu, waktu aku ditangkap, satu bulan
keluargaku mencariku ingin bertemu tapi tidak bisa. Baru bulan kedua mereka
menemukanku. Isterimu mungkin sekarang sedang pontang-panting dipermainkan
para polisi tidak bertanggung jawab itu. Mungkin sudah sampai di kantor penjara
ini. Tapi pihak keamanan akan bilang sudah dipindah ke Tahrir. Nanti yang Tahrir
akan bilang dipindah ke Nasr City. Dan seterusnya. Begini saja nanti ibuku mau
menjengukku. Berikanlah nomor handphone isterimu, biar ibuku memberitahu dia
bahwa kau ada dipenjara ini,” kata Ismail memberi saran. Untung aku ingat nomor
handphone Aisha. Aku beritahu nomor itu pada Ismail sampai dia hafal betul. Dan
nanti ibunya akan menghafal nomor itu. Jika satu angka saja salah maka nasibku
akan semakin buruk.

* * *

Hari keempat.

Setelah menerima sarapan pagi dari sipir penjara berupa cambukan,
pukulan dan tamparan aku mendapat panggilan. Seorang sipir menggelandangku
dengan tergesa-gesa ke balai pengobatan penjara. Seorang dokter militer dan dua
perawat membersihkan muka dan beberapa bagian tubuhku yang luka.
Penampilanku mereka perbaiki sedemikian rupa. Lalu aku diajak ke sebuah
ruangan. Di sana ada tiga sosok menungguku, Paman Eqbal, Magdi penjaga
apartemen kami dan seorang perempuan bercadar yang aku yakin dia adalah
Aisha. Begitu melihat sosokku perempuan bercadar itu berhambur ke arahku. Ia
memelukku erat-erat sambil menangis. Aku pun menangis. Ia menatapku dalam-
dalam dan meraba wajahku dengan kedua tangannya yang halus.

“Bagaimana keadaanmu, Fahri, Suamiku?”


“Aku baik-baik saja. Kau bagaimana?”

Aisha menangis tersedu-sedu dalam pelukanku. “Apa dosa kita berdua
Fahri sampai kita harus menanggung cobaan seberat ini. Aku nyaris kehilangan
sesuatu yang paling berharga yang aku miliki kalau seandainya tidak diselamatkan
oleh Magdi. Kau harus berterima kasih padanya. Dia telah menyelamatkan
kesucian isterimu ini Fahri.” Aisha berkata sambil terisak-isak.

“Apa sebenarnya yang terjadi setelah hari itu?” tanyaku penasaran.

“Aku tak sanggup menceritakannya. Tanyakanlah pada Magdi?” jawab
Aisha dengan tetap memeluk erat diriku.

Kami lalu duduk. Kutanyakan apa yang terjadi pada Aisha pada Magdi.
Dengan tenang Magdi, polisi yang sering kujumpai shalat berjamaah di masjid
dekat apartemen itu bercerita:

“Sebelumnya maafkan diriku, aku tidak bisa membantumu saat kau
ditangkap. Karena mereka membawa surat penangkapan lengkap. Meskipun aku
secara pribadi tidak yakin akan kebenaran tuduhan yang digunakan sebagai alasan
penangkapanmu. Dan anggapanku ini agaknya benar. Satu hari setelah kau
ditangkap, sekitar jam sepuluh pagi polisi berkumis yang ikut menangkapmu itu
kembali datang. Ia minta izin mau bertanya sedikit pada Madame Aisha, isterimu.
Aku menanyakan surat izinnya. Dia bilang tidak bawa tapi ini tugas penting yang
harus dikerjakannya. Dia hanya akan bertanya beberapa hal pada Aisha,
membutuhkan waktu tak lebih dari sepuluh menit saja. Akhirnya kuizinkan dia
naik. Namun aku dan Hosam punya firasat tidak baik dan curiga dengan tindak-
tanduknya. Diam-diam kami naik juga ke atas membuntutinya memakai lift
satunya. Sampai di lantai 7 kami kaget oleh teriakan Madame Aisha. Kami berdua
langsung mendobrak pintu sekuat tenaga. Dan kami melihat Si Kumis sedang
mengejar Madame Aisha di ruang tamu hendak memperkosanya. Seketika itu juga
dia kami bekuk!”

Darahku mendidih, aku nyaris tidak bisa menguasai amarahku mendengar
cerita Magdi.

“Kurang ajar! Akan kucari dan kubunuh keparat itu!” teriakku dengan
mengepalkan tangan kuat-kuat. Bagiku kehormatan isteriku adalah segala-
galanya, jauh diatas kehormatan diriku sendiri. Kesucian isteriku sama dengan


kesucian kitab suci, tidak boleh ada seorang pun yang menodainya apalagi
menginjak-injaknya. Kesucian isteriku adalah nyawaku. Ketika ada orang yang
berusaha menjamah kesuciannya maka nyawaku akan kupertaruhkan untuk
membelanya. Seandainya aku punya seribu nyawa akan aku korbankan semuanya
untuk menjaga kesucian isteriku tercinta. Mati seribu kali lebih ringan bagiku
daripada ada orang yang menjamah kesuciannya. Malaikat maut pun akan aku
hajar jika dia mencoba-coba menodainya. Aku rela dijuluki apa saja untuk
membela kesucian isteriku tercinta.

“Insya Allah, kau tidak akan lagi bertemu dengannya!” kata Magdi sambil
tersenyum.

“Maksudmu?” tanyaku.

“Dia sedang diproses ke tiang gantungan. Dia terlalu bodoh. Dia salah
perhitungan. Dia mengira isterimu adalah orang Indonesia. Dan kau tentu tahu
banyak perempuan Indonesia diperkosa di mana-mana, di Saudi, di Singapura, di
Malaysia, di Hongkong, di Taiwan, juga beberapa kali di Mesir dan para
pemerkosanya tidak tersentuh hukum sama sekali. Diplomasi Indonesia sangat
lemah. Si Kumis itu beranggapan begitu. Dia merasa perbuatannya akan aman-
aman saja sebab yang akan ia perkosa adalah perempuan Indonesia. Dia
menganggap kami berdua seperti penjaga apartemen biasa yang tidak akan berani
mengusiknya. Tapi dia keliru. Kami tidak akan membiarkan siapa pun berbuat
jahat di apartemen yang kami jaga. Dia langsung kami bekuk begitu tertangkap
basah hendak melakukan perbuatan jahat itu. Madame Aisha langsung mengontak
Mr. Minnich, Atase Politik Kedutaan Jerman. Kedutaan Jerman langsung
mengontak kementerian luar negeri meminta agar penjahat yang mencoba
menyakiti warganya ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku di Mesir yaitu
hukuman gantung. Si Kumis itu dalam tahanan kami masih bisa tertawa karena ia
yakin akan ada yang membebaskannya. Benar, lima jam setelah itu ada perintah
untuk membebaskannya. Namun belum sempat kami bebaskan sudah ada perintah
lagi untuk memprosesnya secara hukum. Yang kami tahu Jerman mengancam
akan mengopinikan di negaranya dan di Eropa bahwa Mesir tidak aman jika polisi
brengsek itu tidak ditindak tegas. Jerman juga mengancam akan membatalkan
beberapa kerjasama perdagangan dan perindustrian dengan Mesir. Menurut Mr.


Minnich keselamatan seorang warganya sama dengan keselamatan presidennya.
Tak ada pilihan bagi pemerintah Mesir kecuali menindak tegas seorang oknum
tidak bertanggung jawab itu. Tapi setelah kami selidiki agaknya memang ada
skenario jahat yang ingin menghancurkan dirimu dan keluargamu, Fahri!” jawab
Magdi.

“Maksudmu?”

“Aku sudah bertemu Syaikh Ahmad. Beliau meyakinkan padaku bahwa
kau tidak mungkin melakukan hal itu. Selama tiga hari kemarin di samping
menangani kasus Si Kumis, aku dan Eqbal berusaha mencari di mana kau berada.
Si Kumis bilang di serahkan ke penjara Tahrir. Pihak Tahrir bilang sudah dibawa
ke Nasr City. Nasr City bilang sudah diambil Abbasea. Pihak Abbasea bilang
sudah dibawa lagi ke Tahrir. Ada orang yang cukup punya kuasa yang
mendalangi semua ini, kemungkinan dia seorang oknum dari Keamanan Negara,
sampai aku nyaris tidak berdaya dan para polisi itu juga takut memberikan
keterangan jelas mengenai keberadaanmu. Pihak Kedutaan Indonesia juga alot di
Tahrir. Untung tadi pagi Aisha mendapat telpon dari seorang perempuan yang
mengatakan anaknya satu sel denganmu. Dan kami langsung meluncur kemari.
Kasus Aisha sudah beres, kau tinggal menunggu kabar penjahat itu digantung.
Sekarang tinggal masalahmu. Masalah yang tidak mudah. Coba ceritakanlah
padaku bagaimana sebenarnya yang terjadi sampai kau dituduh memperkosa gadis
bernama Noura itu?”

Aku lalu menjelaskan semua yang terjadi malam itu, dimulai dari kabar
kelulusanku, makan ayam panggang di Sutuh bersama teman-teman, jeritan
Noura, minta tolong Maria, sampai menitipkan Noura pada Nurul di Masakin
Utsman. Juga aku ceritakan sepucuk surat cinta dan ucapan terima kasih dari
Noura.

“Di mana surat itu sekarang?”

“Aku berikan pada Syaikh Ahmad.”

Seorang polisi memberi tahu waktu berkunjung telah habis. Aisha
memberikan bungkusan berisi makanan. Dia mengajakku ke pojok ruangan. Di
sana dia membuka cadarnya sehingga aku bisa menatap wajahnya. Dia menangis
dan tampak sedih. Aku mencium pipinya. “Jaga diri baik-baik, jaga kesehatanmu


dan kandunganmu, teruslah berdoa dan mendekatkan diri pada Allah agar semua
masalah ini dapat teratasi. Aku sangat mencintaimu, isteriku.”

Aisha terisak, “Aku juga sangat mencintaimu. Kau besarkanlah jiwamu
suamiku, aku berada disampingmu. Aku tidak akan termakan tuduhan jahat itu.
Aku yakin akan kesucianmu. Kalau seandainya kau mengizinkan aku ingin
dipenjara bersamamu agar aku bisa menyediakan sahur dan buka untukmu.”

“Kau jangan berpikir seperti itu. Kau tenangkanlah pikiranmu. Yakinlah
semuanya akan selesai dengan baik. Banyak orang baik yang akan membantu kita.
Sekarang yang harus kau prioritaskan adalah perhatianmu pada kandunganmu.
Sekarang kau tinggal di mana? Apa sendirian di Zamalek?”

“Tidak. Sejak kejadian itu aku tinggal bersama bibi Sarah dan paman
Eqbal.”

“Bagus. Kau akan lebih tenang di sana.”

Aisha kembali memasang cadarnya. Paman Eqbal dan Magdi mendekati
kami. Mereka pamitan. Aku merangkul paman Eqbal dan minta doanya. Juga
merangkul Magdi dan mengucapkan banyak terima kasih padanya. Mereka lalu
keluar. Aku beranjak mengambil bungkusan besar berisi makanan. Tiba-tiba
Magdi kembali.

“Sst..Fahri ceritakan padaku kau diinterogasi bagaimana?”

Aku menceritakan semuanya. Paksaan untuk mengakui perbuatan itu dan
aku bersikukuh tidak mau mengakuinya.

“Keputusan yang tepat sekali. Sebab jika kau mengaku dan
menandatangani berkas pengakuan maka sangat sulit diselamatkan. Aku dan
Eqbal akan mencari pengacara yang baik untukmu. Kapan sidangnya?”

“Tiga hari lagi.”

“Siksaan apa yang kau terima selama tiga hari ini?”

Aku menceritakan semuanya. Termasuk kekurangajaran Si Kumis
mempermainkan kemaluanku. Juga siksaan setiap pagi.

“Tapi kumohon kau jangan ceritakan siksaan-siksaan ini pada Aisha atau
paman Eqbal mereka akan sedih. Biarlah nanti kuceritakan sendiri setelah keluar
dari penjara ini.”


“Yang kau terima itu masih termasuk ringan. Jangan kuatir. Sakit hatimu
pada Si Kumis itu biar teman-temanku yang nanti membalasnya. Dia memang
polisi kurang ajar. Aku akan mencoba berbicara pada kepala penjara ini. Dan
makanan ini, jika dirampas sama sipir penjara nanti bilang. Terus ciri-ciri sipir itu
bagaimana? Aku akan mengurusnya. Sudah ya satu hari sebelum sidang, insya
Allah aku dan pengacara yang akan membelamu akan datang kemari. Aku pamit
dulu. Selamat beribadah oh ya ada salam dari Syaikh Abdurrahim Hasuna, imam
masjid kita. Beliau ikut berbela sungkawa atas musibah yang menimpamu dan
beliau akan ikut serta mendoakanmu.”

“Terima kasih atas segalanya Magdi, salam balik untuk beliau.”

Magdi pergi. Aku kembali ke sel. Aku beritahu mereka apa yang terjadi.
Mereka semua ikut senang dan berdoa semoga aku cepat bebas dari penjara ini.
Bisa kembali belajar dan pulang ke Indonesia mengamalkan ilmu yang kudapat di
bumi para nabi ini. Ismail membuka bungkusan besar yang kubawa. Ia heran
bagaimana aku bisa membawa makanan sebanyak itu. Kujelaskan semuanya.

“Alhamdulillah, di dunia ini masih ada polisi baik seperti Magdi,” gumam
Ismail.

“Dia SLTA di ma’had Al Azhar Damanhur,” sahutku.

“Pantas.”

“Tapi Si Noura, gadis itu juga ma’had Al Azhar, kenapa dia bisa berbuat
sejahat itu?” heranku.

“Aku yakin itu bukan semata-mata kemauan Noura. Setidaknya ada
sesuatu yang menekannya. Puteriku yang nomor tiga juga di Al Azhar, dan dia
sangat jujur,” tukas Haj Rashed.

Belum puas kami berbincang terdengar langkah sepatu bot dan pintu kami
digedor.

“Tahanan 879!” teriaknya seperti anjing menyalak.

“Ya!” jawabku dengan suara keras.

“Ayo ikut!”

Aku dibawa ke ruang penerimaan tamu. Di sana sudah ada Staf Konsuler
KBRI dan Ketua PPMI. Keduanya memelukku erat-erat. Mereka berdua ingin
tahu sebenarnya apa yang terjadi denganku. Aku ceritakan kronologis


penangkapanku dan dakwaan yang dialamatkan kepadaku. Staf konsuler berjanji
akan membantu sekuat tenaga membebaskan aku dengan upaya diplomatis,
meskipun dengan nada yang agak pesimis,

“Tahun 1995 pernah ada mahasiswa kita yang mengalami nasib mirip
denganmu. Dia naik lift. Di dalam lift ada anak kecil Mesir. Entah kenapa anak
kecil itu menangis. Anak kecil itu melapor pada kedua orang tuanya takut pada
mahasiswa kita itu. Orang tuanya melapor pada polisi menuduh mahasiswa kita
mencoba mencabuli anaknya. Padahal mahasiswa kita tidak berbuat demikian, dia
hanya menyapanya dan mengajaknya bicara seperti kalau bertemu dengan anak-
anak di Indonesia. Polisi lebih percaya pada pengaduan orang tua anak itu. Orang
Mesir jika sudah menyinggung kehormatan perempuan sangat sensitif. Menyiul
perempuan berjalan saja bisa ditangkap polisi jika perempuan itu merasa terhina
dan tidak terima. Akhirnya mahasiswa kita itu dipenjara beberapa bulan. Ia
dikeluarkan dari Al Azhar dan dideportasi. Ia tidak dihukum gantung karena
setelah divisum anak kecil itu memang tidak apa-apa. Bayangkan, hanya karena
mengajak bicara anak kecil di dalam lift, mahasiswa kita dipenjara. Dan pihak
KBRI tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya mahasiswa kita itu harus keluar dari
Mesir. Sekarang ia belajar di Turki. Bahkan ikut membantu staf KBRI di sana.
Juga menjadi pemandu travel bagi orang Indonesia yang melancong ke Turki
yang biasanya satu paket dengan umrah. Di sana dia malah kaya dan makmur
sekarang. Untuk kasusmu ini, kita akan berusaha sekuat tenaga. Tapi kita tidak
bisa menjamin keberhasilannya.”

Kata-kata staf konsuler KBRI itu membuat hatiku ciut. Aku tiba-tiba ingin
jadi warga negara Amerika saja. Jika aku warga negara Amerika pasti polisi Mesir
tidak berani berbuat macam-macam. Menyentuh kulitku saja mereka tidak akan
berani apalagi mengancam hukuman gantung. Jika aku jadi warga negara
Amerika, mungkin seandainya benar-benar memperkosa pun, tetap selamat.
Sebab presiden Amerika akan ikut bicara membela warganya seperti ketika
Clinton membela warganya yang dicambuk di Singapura. Lain Amerika lain
Indonesia. Apa yang dibela oleh presiden Indonesia kalau bukan jabatan dan
perutnya sendiri? Mana mungkin dia mendengar rintihan dan rasa sakitku
dicambuk tiap pagi dan membeku kedinginan di bawah tanah dalam musim dingin


yang membuat tulang ngilu? Apalagi diriku yang jauh di Mesir. Sedangkan ribuan
gadis Indonesia dijual, dirobek-robek kehormatannya dan diperlakukan seperti
binatang di Singapura saja presiden diam saja? Kapan dalam sejarahnya ada
Presiden Indonesia membela rakyatnya? Kecuali Soekarno di zaman
mempertahankan kemerdekaan.

“Kalau kami, apa yang bisa kami bantu menurut Mas Fahri?” kata Ketua
PPMI.

“Pertama, aku ingin dukungan seluruh teman-teman dari Indonesia. Demi
Allah yang mengetahui apa yang tersembunyi di langit dan di bumi, aku tidak
melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadaku itu. Aku ingin dukungan moral
dari teman-teman semua. Tolong disosialisasikan kisah yang sebenarnya. Orang
satu rumah denganku dan Nurul tahu akan hal itu. Jika nanti ada wartawan Mesir
mewawancarai tolong opinikan yang baik mengenai diriku, tolong! Juga teman-
teman yang jadi koresponden media massa di tanah air tolong kisahkan yang
sebenarnya jangan yang malah menimbulkan interpretasi yang macam-macam.
Kedua, kepada PPMI dan KBRI mohon kerjasama dengan pengacaraku nanti.
Sekarang isteriku dan seorang polisi Mesir yang baik sedang mencari pengacara
untuk membelaku. Tolong bantu mereka. Ketiga, mohon doa teman-teman
Indonesia semuanya, ketika sahur, ketika tarawih, ketika shalat malam. Doakan
aku selamat dari ujian berat ini. Itu saja harapanku saat ini.” Jelasku dengan
sedikit terisak, sebab masalah yang aku hadapi sangat serius. Nyawaku sedang
terancam. Staf KBRI dan Ketua PPMI berjanji akan memenuhi keinginanku itu.
Aku mengucapkan terima kasih atas kunjungan mereka. Mereka minta maaf
terlambat tapi itu karena pihak kepolisian Mesir yang membuat urusan berbelit-
belit.

Sesedih apapun, kunjungan KBRI dan PPMI menambah kekuatan dalam
diri. Kedatangan mereka berdua seolah berisi dorongan moral dari seluruh
saudara setanah air di Indonesia. Di negeri orang, orang satu tanah air yang
berlainan pulaupun menjadi seperti saudara sendiri. Apalagi yang satu pulau. Satu
propinsi. Satu kabupaten. Satu kecamatan. Aku merasa diperhatikan oleh dua ribu
lima ratus lebih mahasiswa Indonesia yang ada di Mesir. Rasa cintaku pada
mereka semakin membulat, juga pada segenap saudara di KBRI.


* * *

Satu hari menjelang sidang Aisha, paman Eqbal, dan Magdi datang
membawa seorang pengacara bernama Amru. Dia menginginkan diriku
menceritakan semua hal yang kira berkaitan dengan masalah yang sedang aku
hadapi. Aku menceritakan semuanya dari kejadian ribut malam itu sampai berita
terakhir dari Syaikh Ahmad bahwa Noura telah menemukan orang tuanya yang
asli setelah melalui test DNA. Amru dan Magdi akan membantu sekuat tenaga
untuk membebaskan aku dari segala tuduhan itu. Semua saksi dan bukti yang
kira-kira bisa membela diriku akan dia gunakan. Amru juga mengingatkan diriku
agar dalam sidang besok bersikap tenang dan tidak terpancing emosi. Sebab jaksa
penuntut akan menggunakan teror kata-kata dan psikologis untuk melemahkan
diriku dan menjebakku. Aku mungkin akan sangat dihina oleh kepandaiannya
bersilat lidah dan berargumentasi tapi aku tidak boleh terbawa oleh irama
permainannya. Kemungkinan besar besok adalah sidang untuk mendengarkan
pengakuan Noura dan pengakuanku. Serta teror investigasi dengan perkataan dan
pertanyaan di depan sidang. Aku mengucapkan terima kasih atas segala
bantuannya. Amru tersenyum.

“Meski berliku, aku yakin kebenaran akan menang. Apa pun yang terjadi
pada akhirnya kebenaran akan menang. Jangan kuatir, Saudaraku. Nanti malam
perbanyaklah shalat dan memohon pertolongan kepada Allah.” Kata Amru
mengingatkan. Mereka pamitan. Seperti saat mengunjungi sebelumnya sebelum
pergi, Aisha mengajakku ke pojok ruangan. Dia membuka cadarnya agar aku
dapat melihat wajahnya. Kami berangkulan dalam tangis.

“Fahri, kuatkanlah dirimu. Aku sangat mencintaimu. Aku tidak mau
kehilangan dirimu. Aku tak ingin bayiku ini lahir tanpa dirimu disisiku.” Isak
Aisha yang membuat hatiku bagai diremas-remas. Aku merasa langit-langit
ruangan itu basah, dan dinding-dindingnya melelehkan air mata. Kuusap air
matanya dengan ujung jilbabnya, pelan kubisikkan padanya sebuah harapan:

Sayang, tancapkan dalam hati

walau tak kini

esok insya Allah terjadi

kita akan bulan madu lagi


berkali kali

lebih indah dari yang telah kita lalui

apalagi di sorga nanti

walau tak kini

esok insya Allah terjadi

selama cinta kita tak pernah mati

selama iman masih terpatri dalam diri




25. Persidangan



“Nona Noura, saya persilakan Anda mengisahkan apa yang menimpa pada
diri Anda?” Hakim gemuk dengan rambut hitam bercampur uban mempersilakan
Noura yang sudah berdiri dipodium untuk berbicara. Sementara aku berada di
tempat terdakwa yang berbentuk seperti kerangkeng. Ratusan mata memandang
Noura dengan seksama. Aku melihat orang-orang yang kukenal turut serta
menghadiri sidang pertamaku ini. Teman-teman satu rumah di Hadayek Helwan ;
Rudi, Saiful, Hamdi dan Mishbah duduk dibagian agak belakang. Beberapa puluh
mahasiswa Indonesia, Ketua dan pengurus PPMI, Pengurus Wihdah—termasuk
Nurul sang ketua—juga datang. Sekitas aku memandang ke arah Nurul, mata
kami bertemu. Ia tak bisa menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.
Pengacaraku duduk bersama Maqdi. Di belakangnya ada Aisha, paman Eqbal,
Syaikh Ahmad dan isterinya. Bibi Sarah tidak datang. Keluarga Tuan Boutros
juga tidak satu pun yang kelihatan. Di barisan dekat jaksa penuntut banyak sekali
orang Mesir. Mungkin mereka keluarga Noura. Beberapa wartawan sibuk
merekam dan membidikkan kamera. Aku pasrah pada apa yang akan ditulis
mereka. Jika ada ketidakadilan dalam tulisan mereka aku akan menuntutnya kelak
di akherat sana.

“Saya akan menceritakan dengan sejujurnya tragedi yang menimpa diri
saya. Tragedi yang menginjak-injak kehormatan saya dan menghancurkan masa
depan saya.” Kata Noura dengan terisak. Air matanya meleleh. Aku tidak tahu apa
yang akan dia katakan. Apakah dia akan mengatakan dengan sejujurnya siapa
yang mengamili dirinya ataukah justru akan menghabisi diriku dengan
sandiwaranya seperti Zulaikha pura-pura menangis dan menjebloskan Yusuf ke
dalam penjara.

“Pada hari Rabu, 7 Agustus yang lalu saya masih hidup bersama keluarga
Bahadur. Hari itu sore hari setelah aku shalat ashar, Bahadur yang saat itu masih
saya anggap sebagai ayah memaksaku untuk ikut Mona selepas maghrib ke
sebuah Nigh Club mengapung di sungai Nil, tempat di mana Badahur dan Mona
bekerja. Bahadur sebagai pukang tukul dan Mona sebagai penari dan wanita
penghibur. Saya tidak mau. Bahadur mengancam akan membunuh saya jika


sampai jam sembilan malam tidak sampai di sana bersama Mona. Saat itu juga ia
menjambak rambut saya kuat-kuat dan menyambuk punggung saya dengan ikat
pinggang. Saya tidak tahan, akhirnya saya pura-pura mau. Bahadur lalu berangkat
kerja dengan sebuah ancaman saya akan mati jika tidak datang. Saya bertanya
pada Mona apa kerja saya di sana. Dia bilang, ‘Seperti pertama aku kerja di sana.
Menyerahkan keperawanan pada turis bule dengan imbalan sepuluh ribu pound!’
Jawaban Mona membuat saya merinding. Saya tidak mungkin melakukan
perbuatan terkutuk itu. Saya bertekad lebih baik mati daripada menjual diri.
Akhirnya begitu shalat maghrib saya mengurung diri di kamar. Pintu kamar dan
jendela saya kunci. Mona berteriak-teriak dan menggedor-gedor tidak saya
pedulikan. Mona pun berangkat sendirian. Saya terus di kamar sampai tengah
malam. Jam setengah satu ayah pulang bersama Noura dengan kemarahan
meluap. Pintu kamarku didobrak dan saya disiksanya habis-habisan lalu diusir dan
diseret ke jalan. Ternyata saya tidak dibunuhnya hanya diusir saja. Tapi malam itu
saya merasa sangat merana. Saya meratapi nasib saya sambil memeluk tiang
lampu di jalan, depan apartemen. Saya meratap sendirian agak lama. Lalu, kira-
kira pukul setengah dua datanglah Maria menghibur saya. Ia juga mengajak saya
naik dan tidur di kamarnya, saya pun ikut. Di kamar Maria aku mencurahkan
semua kesedihanku padanya. Yang tidak kuduga Maria menceritakan sebenarnya
yang membuatnya turun menghiburku adalah Fahri, mahasiswa dari Indonesia
yang malam itu kebetulan tidak tidur. Sebenarnya Maria takut sekali pada
Bahadur. Keluarga Maria juga tidak mau berurusan dengan Bahadur. Maria
meminta bagaimana kalau malam itu menginap sementara di rumah Fahri. Saya
merasa kediaman Fahri adalah tempat yang aman untuk sementara. Akhirnya tepat
pukul tiga Maria mengantarkan aku turun ke tempat Fahri. Fahri sendiri yang
masih bangun. Ia membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk ke kamarnya.
Maria kembali ke rumahnya. Mulanya Fahri banyak menghibur. Dia lalu
merayuku dan membujukku dengan kata-kata Manis. Entah dari mana ia tahu
kalau aku mau dijual pada turis bule. Fahri menawari saya untuk kawin
dengannya dan akan diajak hidup bahagia di Indonesia. Ia berjanji akan membuat
hidupku bahagia. Akan mencurahkan segala kasih sayang dan cintanya padaku.
Fahri juga mengungkapkan sebenarnya dia telah lama jatuh cinta pada saya. Fahri


mampu memanfaatkan keadaan saya yang sedih, yang selama itu belum pernah
merasakan kasih sayang dan cinta. Malam itu saya menangis dalam pelukan Fahri.
Saya merasakan Fahri adalah dewa penyelamat. Entah bagaimana prosesnya
malam itu saya telah menyerahkan kehormatan saya padanya. Saya terhipnotis
oleh manisnya janji yang ia berikan. Ketika masjid melantunkan azan pertama
saya tersadar. Saya menangis sejadi-jadinya atas apa yang menimpa diri saya.
Saya melihat Fahri sedang tertidur. Saya pun keluar dan kembali ke tempat Maria.
Saya menangis Maria bertanya pada saya ada apa. Saya tidak menjawabnya. Saya
malu untuk menceritakannya. Pukul tujuh pagi Fahri datang ke tempat Maria.
Keluarga Maria minta agar saya meninggalkan rumah mereka sebelum Bahadur
bangun. Akhirnya Fahri menyuruh saya untuk menginap di tempat mahasiswi
Indonesia bernama Nurul. Sebelum berangkat Fahri memberi uang sebanyak dua
puluh pound untuk ongkos jalan. Beberapa hari di rumah Nurul saya dijemput
Syaikh Ahmad dan isterinya dan diamankan di Tafahna, Zaqaziq. Syaikh Ahmad
membantu saya menemukan saya dengan orang tua saya asli yang ternyata
bernama Adel dan Yasmin. Beliau berdua dosen di Ain Syams University. Sejak
itu saya tinggal bersama mereka. Suatu hari setelah satu minggu tinggal bersama
mereka saya muntah-muntah. Mama Yasmin membawa saya ke dokter dan saya
ketahuan hamil satu bulan setengah. Mama mendesak untuk mengatakan siapa
yang menghamili saya. Saya tidak mau mengatakannya. Ayah mengancam akan
mengusir saya jika tidak mengatakan siapa yang menghamili saya. Terpaksa saya
jelaskan siapa sebenarnya yang menghamili saya. Tak lain dan tak bukan adalah
Fahri Abdullah. Dia manusia berhati serigala pura-pura menolong ternyata
menerkam. Saya telah beberapa kali minta pertanggung jawabannya dan
menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik. Saya menuntut janjinya mau
mengawini saya ternyata ia berkelit. Ia bahkan menuduh saya pelacur. Uang dua
puluh pound yang dia berikan itu ternyata dianggap sebagai harga diri saya.
Betapa remuk dan hancur hati saya. Dia malah menikah dengan seorang gadis
Turki. Dia benar-benar manusia yang sangat busuk hatinya. Saya minta kepada
pengadilan untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatan
terkutuknya!”


Noura lalu menangis terisak-isak di podium. Orang-orang Mesir yang
tidak tahu masalah sesungguhnya terbakar emosinya. Mereka berteriak-teriak
minta kepada hakim menggantung diriku. Aku sendiri sangat terpukul mendengar
semua yang dikatakan Noura. Aku tidak percaya bahwa yang dipodium itu adalah
Noura. Gadis innocent yang sangat pendiam yang dulu sangat aku kasihani. Kini
Noura seperti puteri jahat yang siap mencincangku dengan belati beracun yang ia
sembunyikan di balik bajunya.

Aku melihat ke arah orang-orang yang simpati padaku. Wajah Syaikh
Ahmad tampak marah. Aisha jatuh pingsan. Tiba-tiba Nurul berteriak lantang dan
memaki-maki Noura yang tidak tahu balas budi dan mengarang cerita bohong.
Hakim mengetuk palunya berkali-kali meminta semuanya untuk tenang. Dia lalu
meminta tanggapanku. Dengan emosi yang kutahan aku menolak tuduhan Noura.
Aku jelaskan bahwa Noura sama sekali tidak pernah masuk kamarku. Aku bahkan
belum pernah menyentuh kulit Noura. Malam itu Noura bersama Maria sampai
pagi. Tiba-tiba Noura berteriak menganggap diriku yang bohong. Hakim
menenangkan Noura. Pihak jaksa mengajukan saksi. Seorang lelaki ceking
bernama Gamal. Hakim mempersilakan saksi itu bicara setelah disumpah.
Seorang lelaki mengaku melihat aku membukakan pintu dan mengajak Noura
masuk rumah jam tiga dini hari, Kamis 8 Agustus 2003.

Amru pengacaraku mengintrogasi saksi itu. Sang saksi bersikukuh melihat
dengan jelas Noura masuk rumahku. Amru bertanya posisinya di mana dan
sedang apa dia sampai begitu jelas melihat Noura masuk rumahku. Dia menjawab
dia seorang pemburu burung hantu. Hobinya berburu pada waktu malam.
Kebetulan ia melintas di apartemen dan di situ melihat ada burung hantu. Ia
hendak menembaknya dari jarak dekat dengan cara naik ke sutuh melalui tangga.
Ketika ia naik itulah dari jarak tiga meter ia melihat Noura masuk flat di lantai
tiga.

Aku heran dengan lelaki ceking bernama Gamal. Bagaimana mungkin dia
berani membuat kesaksian palsu seperti itu. Belum pernah aku mendengar ada
seorang yang hobinya sedemikian aneh. Untuk apa burung hantu diburu?
Tubuhku tiba-tiba terasa dingin dan gemetaran. Aku yakin keluarga Noura telah
menggunakan segala cara untuk menggantung diriku. Yang aku tidak bisa


mengerti adalah perubahan diri Noura. Beberapa waktu yang lalu ia menulis surat
sangat mencintaiku. Kini tiba-tiba ia ingin membunuhku. Apa dosa dan salahku
padanya? Apakah karena aku tidak menanggapi perasaannya dia lalu dendam
yang ingin membunuhku? Kenapa dia begitu keji memfitnahku. Kapan
sebenarnya dirinya kehilangan kegadisannya sehingga hamil? Dan siapa
sebenarnya yang menghamili dirinya? Semua pertanyaan itu bagaikan palu yang
menghantam-hantam batok kepalaku. Aku nyaris tak sanggup menegakkan
kepalaku. Hakim memutuskan melanjutkan sidang minggu depan. Aku turun dari
kerangkeng terdakwa dengan dikawal dua polisi. Orang-orang Mesir
mencacimaki diriku dengan kata-kata kotor. Seorang ibu setengah baya bahkan
melempar botol air mineral dan mengenai mukaku. Polisi yang mengawalku tidak
begitu peduli. Aku dibawa kembali ke penjara. Di dalam penjara aku teringat
Aisha yang tadi jatuh pingsan. Aku takut kondisi psikisnya berpengaruh pada
janin yang dikandungnya.

* * *

Sampai di dalam penjara, Profesor Abdul Rauf menanyakan jalannya
sidang. Aku ceritakan semuanya dari awal masuk ruang sidang sampai dilempar
botol mineral oleh seorang wanita setengah baya saat berjalan meninggalkan
ruang sidang. “Profesor, perlakuan wanita setengah baya itu aku maklumi dia
tidak tahu masalah sebenarnya. Yang aku heran dan belum bisa kumengerti adalah
Noura. Gadis itu pernah menulis surat ucapan terima kasih dan perasaan cinta
padaku dengan sedemikian tulusnya. Tapi dipengadilan itu ia menjadi orang yang
sama sekali tak kukenal. Ia tampak sangat membenci aku dan ingin sekali
membinasakan diriku. Aku juga heran dengan lelaki ceking bernama Gamal.
Bagaimana mungkin dia bisa setega itu memberikan kesaksian palsu untuk
membinasakan orang? Apakah dia sudah tidak punya nurani?” Kataku.

“Noura itu sebenarnya sangat mencintaimu. Karena dia tidak
mendapatkan apa yang dia inginkan darimu dia berubah membencimu. Cinta yang
berubah jadi kebencian tiada tara itu seringkali terjadi dalam sejarah kehidupan
manusia,” jawab Profesor Abdul Rauf.

“Dan orang seperti Gamal jangan kau herankan keberadaannya di zaman
yang telah kehilangan nurani kemanusiaannya seperti sekarang. Uang menjelma


menjadi tuhan. Uang adalah segalanya. Demi uang begundal seperti Gamal siap
mengerjakan apapun saja,” sahut Haj Rashed.

“Berbicara tentang kemanusiaan, aku jadi teringat sebuah film sukses yang
dibuat oleh Spielberg yaitu ET. Lewat film itu Spielberg ingin menunjukkan
bahwa mungkin tempat terbaik untuk untuk menemukan nilai-nilai kemanusiaan
adalah diangkasa, tidak di bumi.” Suara Ismail terdengar parau. Tadi malam ia
menjadi bulan-bulanan para algojo penjara.

“Kau suka menonton film Amerika juga rupanya?” Haj Rashed agak
kurang senang.

“Sebenarnya tidak juga. Aku menonton film itu karena penasaran pada
analisa Profesor Akbar S. Ahmad dalam karyanya Postmodernism and Islam. Dan
memang seperti itu ironi yang dibangun Spielberg dalam film ET. Nilai-nilai
kemanusiaan di bumi semakin punah,”jJawab Ismail.

“Tapi, insya Allah, selama masih ada yang teguh kukuh mengamalkan Al-
Qur’an dan As Sunnah, nilai-nilai kemanusiaan tidak akan hilang dari muka bumi
ini!” tukas Professor Abdul Rauf Manshour mantap.

“Insya Allah,” sahut kami semua hampir kompak.

Tiba-tiba pintu digedor. “Tahanan nomor 543!” Kali ini sipir bersuara
cempreng yang memanggil. Meskipun suaranya cempreng tapi kalau menyiksa
para tahanan tak kenal belas kasihan. Menurut cerita Hamada ia pernah
menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Si Cempreng itu
memasukkan mata ganco ke dalam lubang hidung seorang tahanan yang tangan
dan kakinya diikat lalu menarik ganco itu kuat-kuat. Tak ayal hidung tahanan
miskin itu sobek tak karuan bentuknya. Tahanan miskin itu sudah lama tiada
kabarnya. Mungkin telah mati.

“Hai, keledai 543 apa kau dungu!? Apa aku perlu menyeretmu dengan
ganco?” Si Cempreng kembali mendesis seperti ular.

“Ya saya!” jawab Marwan santai sambil melangkah ke pintu. Setelah pintu
terbuka. Kami mendengar suara: buk! buk!

“Doakanlah Marwan, semoga dia tidak cedera berat!” Suara Profesor
Abdul Rauf membuat hati kami gerimis. Setiap hari selalu ada yang jadi mainan


para algojo penjara. Aku bersyukur bahwa setelah kedatangan Magdi, KBRI, dan
PPMI siksaan yang kuterima sebagai sarapan pagi semakin ringan.

* * *

Satu hari menjelang persidangan kedua Syaikh Utsman datang menjenguk
bersama Paman Eqbal. Syaikh Utsman banyak memberi siraman jiwa. “Kau harus
ikhlas menerima cobaan ini. Kau tidak boleh sedikitpun merasa ragu akan kasih
sayang Allah kepadamu. Kau tentu tahu, Allah sangat mencintai Nabi Yahya. Dan
Nabi Yahya itu kepalanya dipenggal untuk dihadiahkan kepada seorang pelacur.
Husein cucu baginda Nabi juga dipenggal kepalanya. Ditancapkan diujung
tombak dan diarak di kota Kufah. Mereka tetaplah manusia-manusia mulia
meskipun kelihatannya dinistakan dan dihina. Orang yang divonis salah oleh
pengadilan dunia belum tentu salah di pengadilan akhirat dan sebaliknya.
Dekatkanlah dirimu kepada Allah!” Kunjungan Syaikh Utsman sangat berarti
bagiku. Nasihat beliau bagaikan embun menetes di pagi hari musim semi. Aku
semakin mempersiapkan diri untuk menerima apapun yang terjadi.

Setelah Syaikh Utsman, tanpa kuduga Madame Nahed, dan Yousef
menjenguk. Mereka berdua meneteskan air mata melihat keadaanku.

“Madame, maafkan aku yang tidak sempat menjenguk Maria.”

“Tak masalah. Sungguh sangat tragis nasibmu, Anakku. Kau menolong dia
tapi dia malah membalasnya dengan fitnah yang keji sekali. Aku sudah membaca
semuanya di koran. Seluruh koran yang memuat berita persidangan itu tak ada
yang membelamu. Andaikan Maria sehat dia pasti akan menulis membelamu.
Sayang dia...ah!” Madame Nahed terisak. Aku takut sesuatu telah terjadi pada
Maria.

“Kenapa Maria, Madame?” tanyaku cemas.

“Sakitnya sangat parah. Empat hari ini dia koma. Hanya kadang-kadang
dia seperti sadar, mulutnya berkomat-kamit mengatakan sesuatu. Dan apakah kau
tahu apa yang dia katakan, Anakku?” Suara Madame Nadia terbata-bata.

“Apa Madame?”

“Dia menyebut-nyebut namamu. Hanya namamu, Anakku. Dia ternyata
sangat mencintaimu!”


Kalimat yang diucapkan Madame Nahed bagaikan guntur yang
menyambar kepalaku.”Tak mungkin itu terjadi, Madame!” bantahku.

Yousef langsung menyahut:

“Benar Fahri, Maria sangat mencintaimu. Aku telah membaca diary
khususnya. Dia menulis semua perasaan cintanya padamu di sana. Dalam
diarynya itu aku juga menemukan kwitansi pembayaran semua biaya
pengobatanmu. Maria diam-diam mengambil tabungannya dan membayar
pengobatanmu tanpa ada satupun dari kami yang tahu. Dia sangat mencintaimu.
Sayang diarynya tidak aku bawa. Nanti akan aku bawa kemari agar kau bisa
membacanya sendiri.”

Keterangan Yousef membuat hatiku mau runtuh. Air mataku tanpa terasa
meleleh. Baru aku tahu bahwa malaikat itu adalah Maria.

“Kenapa dia tidak mengungkapkan isi hatinya padaku?” lirihku.

“Dia malu. Dia menunggu saat yang tepat untuk membangun
keberaniannya tapi terlambat. Ketika tahu kau telah menikah dengan Aisha yang
baru beberapa bulan kenal denganmu dia sangat terpukul. Dia sangat menyesal.
Padahal dirinya telah mengenalmu jauh lebih lama dan lebih dalam dari Aisha. Itu
ia tulis setelah pulang dari Hurgada dan tahu kabar pernikahanmu. Aku baru tahu
kenapa dia selalu murung dan tidak bersemangat hidup. Maria menulis dibaris
terakhir, when some one is in love he cannot think of anything else. Bila seseorang
dimabuk asmara, dia tak bisa memikirkan hal yang lain. Dia tidak bisa lepas untuk
memikirkan dirimu, memikirkan cintanya, sampai akhirnya jatuh sakit.” Yousef
meneteskan air mata.

“Anakku, aku takut dia akan mati..hiks..hiks!” Madame Nahed terisak-
isak.

Aku jadi melupakan nasibku sendiri. Mataku basah melihat kesedihan
Madame Nahed. Dan Maria, oh, kenapa semua ini bisa terjadi!?

“Oh, andaikan aku bisa membantu. Aku merasa menjadi manusia paling
tiada berguna karena tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sendiri sekarang dibayang-
bayangi vonis hukuman gantung. Oh apa yang bisa aku lakukan?” Ucapku sedih.

Yousef mengeluarkan tape kecil dari jaketnya dan berkata, “Kata dokter,
Maria harus dirangsang dengan suara atau sentuhan dari orang-orang yang


dicintainya. Dia sepertinya telah kehilangan gairah untuk hidup. Suara orang yang
dicintainya harus mendorongnya untuk hidup, harus memberikan harapan-harapan
yang indah baginya. Fahri tolonglah, bicaralah pada Maria apa saja. Ini salah satu
usaha menolong dia. Nanti akan kami perdengarkan suaramu di telinganya.”

“Iya anakku tolonglah! Maria sangat mencintaimu dan merindukan
suaramu,” desak Madame Nahed.

Demi sebuah nyawa aku memenuhi permintaan Yousef dan Madame
Nahed. Dengan suara kupaksakan kebiasa-biasanya, aku berbicara apa saja pada
Maria. Terkadang aku berusaha tertawa. Atau mengingatkan sesuatu yang kira-
kira berkesan baginya. Hanya satu yang tidak kuucapkan di sana yaitu kalimat aku
mencintaimu. Tak mungkin, karena kalimat itu hanya berhak untuk Aisha
seorang. Aku berharap suaraku berguna untuk membantu menyembuhkan Maria.
Bahwa di dalam penjara sekali pun aku bisa melakukan sesuatu untuk orang lain.
Namun begitu mengingat kata-kata Madame Nahed dan Yousef bahwa Maria
sakit karena mencintaiku aku jadi sedih sekali. Aku jadi tidak mengerti apa itu
cinta sebenarnya? Yang kutahu cinta adalah apa yang terjadi antara diriku dengan
Aisha. Itu saja. Tapi apa yang dirasakan Nurul. Yang dirasakan Noura dan yang
dirasakan Maria aku tidak tahu. Apakah itu cinta? Ah cinta. Semacam duka.
Mengiris jiwa.

* * *

Persidangan kedua sangat menegangkan. Tuan Boutros hadir memberikan
kesaksiannya. Beliau membantah keterangan Noura yang mengatakan malam itu
masuk di kamarku. “Jam lima pagi ketika saya bangun, saya menemukan Noura
bersama Maria di kamarnya. Dan Maria bercerita Noura sejak tengah malam ada
dikamarnya.”

Penuntut bertanya pada Tuan Boutros, “Apakah antara jam 2 sampai jam 5
anda tidak tidur, jadi anda tahu persis Noura selalu bersama Maria, misalnya
mendengar suara mereka dalam rentang waktu itu?”

Tuan Boutros dengan jujur menjawab, “Tidak saya sedang tidur. Bahkan
jeritan Noura dipukul Bahadur juga tidak saya dengar. Saya terlelap dan bangun
setengah lima.”


Noura diminta bicara. “Maria berkata tidak benar kalau aku bersamanya
terus. Yang benar pukul tiga Maria mengantarku ke tempat Fahri yang hanya
berada di bawahnya. Di kamar Fahri pemerkosaan atas diriku terjadi. Dan ketika
azan pertama berkumandang, aku kembali ke tempat Maria. Saat itu seluruh isi
rumah Maria masih tidur, termasuk Tuan Boutros, kecuali Maria.” Kata Noura.

Teman-teman satu rumah yang pada malam kejadian itu ada di rumah ikut
memberikan kesaksian. Mereka semua menolak tuduhan Noura. Tapi mereka juga
jujur menjawab ketika ditanya sedang apa antara jam tiga sampai azan pertama?
Jawabnya tidur. Hamdi masih berusaha membela, “Saya ini termasuk manusia
yang sangat sensitif. Seringkali dalam keadaan tidur jika pintu dibuka saya
terbangun. Jika Noura masuk rumah pasti saya terbangun. Saya tidak terbangun
malam itu?”

Penuntut malah tersenyum dan berkata, “Menurut cerita Fahri kalian
malam itu berpesta hingga kenyang, benarkah?”

“Benar!” jawab Hamdi.

“Itulah salah satu penyebab kenapa kau tidak terbangun ketika Noura
masuk. Karena kau terlalu kenyang. Dan itu sudah sangat wajar terjadi!”

Nurul memberikan kesaksian dengan suara terbata-bata menahan emosi. Ia
menceritakan cerita yang dikisahkan sendiri oleh Noura kepadanya ketika Noura
menginap beberapa hari di rumahnya. Cerita yang sangat berbeda dengan yang
dikatakan Noura di sidang pengadilan. “Saya yakin Noura saat ini sedang
berbohong. Apa yang dia katakan di pengadilan ini dusta. Dia bercerita malam itu
di kamar Maria dan baru bertemu Fahri pukul tujuh pagi. Dan uang dua puluh
pound itu diberikan kepadanya bukan sebagai harga atas kegadisannya. Itu fitnah.
Fahri tidak mungkin melakukan kejahatan seperti itu. Dia menyentuh tangan
perempuan saja tidak mau.”

Noura menolak kesaksian Nurul dan berkata dengan tenang, “Memang
seperti itu yang aku kisahkan pada Nurul. Saat itu aku tidak mungkin dengan jujur
menceritakan apa yang terjadi pada diriku di kamar Fahri. Aku tidak mungkin
menceritakan aib. Aib diriku dan aib orang yang akan jadi suamiku, karena dia
memang berjanji akan menikahiku. Sebenarnya yang terjadi adalah seperti apa
yang aku ceritakan. Saat itu aku juga mengira uang dua puluh pound itu ikhlas


diberikan oleh Fahri sebagai ongkos pergi ke Masakin Utsman. Aku tidak mengira
sama sekali saat itu kalau itu adalah sebagai harga akan kegadisanku yang
direnggut Fahri. Aku tahu kebusukkannya setelah dia terang-terangan tidak mau
menikahiku dan malah mengatakan diriku pelacur sebab telah ia bayar dengan dua
puluh pound saja mau.”

Di akhir sidang terjadi sesuatu yang sangat mengejutkan. Bahadur
memberikan kesaksian bahwa dia katanya pernah melihatku beberapa kali
menyiuli Noura dari jendela kamarku. “Saat itu aku sebenarnya sangat marah
pada penjahat itu. Tapi aku masih menghormatinya sebagai tamu di negeri ini dan
aku mengira itu hanyalah iseng anak muda. Apalagi dia kulihat juga rajin ke
masjid. Aku tidak menyangka kalau dia sebenarnya serigala. Dan aku yakin dialah
yang menodai Noura. Dia harus dihukum yang seberat-beratnya!”

Hakim lalu bertanya pada pengacaraku apakah masih ada saksi atau bukti
untuk membela diriku. Pengacaraku bilang masih. Yaitu kesaksian Syaikh Ahmad
dan isterinya, surat yang ditulis Noura untukku, dan Maria. Hakim memutuskan
sidang akan dilanjutkan satu minggu setelah hari raya Idul Fitri. Itu berarti aku
akan menjalani hari raya terberat selama hidup.

Amru, Magdi dan paman Eqbal mengikutiku sampai ke penjara. Di ruang
tamu penjara mereka mangajakku berbicara. Eqbal terus memintaku untuk tabah
dan besar hati. Magdi dan Amru menganalisa jalannya sidang yang telah terjadi.

“Saksi yang kita ajukan adalah orang-orang yang sangat jujur. Mulai dari
Tuan Boutros sampai teman-temanmu. Aku salut atas kejujuran itu, meskipun
dalam kasus ini kejujuran teman-temanmu tidak membantu. Kalau mereka ada
yang berani bohong sedikit saja, misalnya pukul tiga terbangun untuk shalat
malam dan mendapati keadaan rumah dalam keadaan sepi seperti biasa tidak ada
Noura di kamarmu. Karena kamarmu berdekataan dengan kamar mandi tempat
wudhu, dakwaan Noura akan runtuh,” ucap Amru sambil memandang lurus
kepadaku.

“Tapi insya Allah kejujuran itu tetap akan membantu. Setidaknya
membantu kekuatan moral kita. Kebersihan nurani kita. Dan semoga dengan
kejujuran itu Allah memberikan jalan keluar yang lebih baik,” sahut Eqbal.


“Dalam sejarah kejahatan selalu dilancarkan dengan segala cara. Dan
kebenaran selalu dipertahankan dengan cara-cara yang jantan dan bersih,” imbuh
Magdi.

“Bisa jadi sidang setelah hari raya adalah sidang penentuan. Dan dalam
sidang itu kita harus membalik keadaan dan meruntuhkan semua tuduhan dan
rekayasa mereka. Senjata kita yang tersisa adalah surat cinta Noura yang disana
dia mengungkapkan semua pengakuannya secara jujur dan pengakuan Maria.
Yang paling penting sebenarnya adalah kesaksian Maria. Sebab dialah yang
paling tahu. Dialah—yang dalam penuturan Noura—mengantarkan dirinya ke
tempatmu. Dan dia juga yang membukakan pintu ketika Noura kembali lagi naik.
Adapun kesaksian Syaikh Ahmad dan isterinya kekuatannya tak akan berbeda
dengan kesaksian Nurul yang memang malam itu tidak tahu apa-apa. Marialah
sebenarnya saksi kunci, tapi sayang dia sekarang sedang koma.” jelas Amru.

“Bagaimana dengan surat Noura itu?” tanya Eqbal.

“Cukup kuat, jika benar-benar bisa dibuktikan itu tulisan tangannya. Tapi
surat itu sekarang ada di mana masih jadi masalah. Oleh Fahri surat itu diberikan
kepada Syaikh Ahmad. Syaikh Ahmad memberikan kepada isterinya. Isterinya
memberikan kepada Noura waktu masih di Tafahna. Sekarang sedang dicari di
Tafahna, siapa tahu ditinggal oleh Noura di sana. Jika surat itu ternyata dibawa
Noura ya kita tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu mukjizat Maria bisa
membaik dan pada sidang setelah hari raya nanti bisa memberikan kesaksian,”
jelas Amru.

Mendengar semua pembicaraan itu aku merasa nasibku benar-benar
berada di ujung tanduk. Jika nyawaku akhirnya harus melayang dengan
sedemikian tragisnya, aku pasrah saja kepada Yang Mahakuasa. Aku teringat
nasihat Syaikh Utsman agar selalu menjaga keikhlasan menerima takdir Ilahi
setelah berusaha sekuat tenaga. Yang divonis salah dalam pengadilan dunia tidak
selamanya salah di pengadilan akhirat. Kepala Nabi Yahya dipenggal dan
dihadiahkan kepada seorang pelacur. Dalam hati aku berdoa, jika aku harus mati
di tiang gantungan, maka “Allaahumma amitni alasy syahaadati fi
sabilik.Amin.”111

111 Ya Allah matikanlah diriku dalam keadaan mati syahid di jalanMu. Amin.


“Apa tidak ada jalan lain untuk membuktikan bahwa yang menghamili
Noura bukan Fahri? Bagaimana dengan test DNA? Bukankah Noura menemukan
orang tua kandungnya karena test DNA?” ucap Eqbal dengan mata berbinar.

Amru dan Magdi mengangguk-anggukkan kepala. Aku merasa di dalam
dadaku ada cahaya. “Benar test DNA!” lirihku.

“Ini ide yang sangat menggembirakan. Aku nanti akan mencoba bertanya
pada dokter apakah janin yang dikandung Noura bisa diperiksa DNA-nya. Agar
ketahuan siapa sebenarnya ayahnya? Jika bukan Fahri yang menghamili tentu
DNA janin itu akan berbeda dengan DNA Fahri. Sebentar aku mau mengontak
Dokter Fatema Zaki, apakah janin bisa diperiksa DNA-nya.” Kata Amru sambil
memenjet handphone-nya dan meletakkan di telinganya. Amru lalu terlibat
pembicaraan dengan orang yang ditujunya. Tiba-tiba mukanya agak pucat, ia
berkata setengah berteriak, “Apa? Tidak bisa! Menunggu sampai lahir?! Oh,
begitu. Ya, terima kasih atas informasinya.”

“Bagaimana Amru?” tanya Eqbal.

“Menurut keterangan Dokter Fatema Zaki, janin yang masih berada di
dalam kandungan tidak bisa diperiksa DNA-nya. Karena harus pakai sampel
jaringan/sel tubuh. Janin tidak bisa diambil jaringan tubuhnya. Yang bisa diambil
cuma sampel air ketuban, tidak bisa untuk pemeriksaan DNA. Jadi harus
menunggu janin itu dilahirkan baru bisa diperiksa DNA-nya,” jelas Amru yang
membuat diriku lemas kembali. Menunggu Noura sampai melahirkan janinnya,
bukan waktu yang singkat di dalam penjara buruk seperti ini. Tapi aku tetap
merasa lebih berbesar hati bahwa jalan untuk membebaskan diri dari tuduhan dan
fitnah itu masih ada.

“Aku akan membuat surat permohonan kepada pengadilan agar sidang
selanjutnya diundur sampai Noura melahirkan bayinya untuk pemeriksaan DNA.”
Ujar Amru dengan wajah optimis.

“Jika pengadilan tidak mengabulkan?” sahut Magdi.

“Kita lihat nanti. Oh ya Magdi, tolong bagaimana caranya keamanan
Maria terjamin. Sebab walau bagaimana pun sebelum test DNA, Maria adalah
saksi kunci. Kau tentu tahu maksudku?” kata Amru.

“Insya Allah,” jawab Magdi pelan.


Mereka bertiga lalu pamintan. Amru berjanji akan menengok ke penjara
lagi jika ada perkembangan.

* * *

Sampai di dalam sel, sebelum Profesor Abdul Rauf dan teman-teman
menanyakan yang terjadi di dalam sidang kedua, aku langsung mengisahkan
semuanya. Termasuk pembicaraan berempat dengan Amru, Magdi dan Eqbal di
ruang tamu penjara.

“Bolehkan aku membuat suatu analisa? Siapa tahu ada gunanya,” ujar
Profesor Abdul Rauf begitu aku selesai bercerita.

“Tentu, Profesor,” jawabku senang.

“Pemohonanmu untuk mengundurkan sidang setelah Noura melahirkan
bayinya agar bisa diperiksa DNAnya tidak akan dikabulkan pengadilan.
Pengadilan akan tetap berjalan sesuai yang diinginkan hakim. Dan hakim berjalan
sesuai yang diinginkan oleh keluarga Noura. Mereka sudah tahu saksi kunci sudah
tidak berdaya. Seandainya pun Maria bisa memberikan kesaksian mereka sudah
mempersiapkan jurus yang akan mengejutkan. Selama ini yang terjadi, tertuduh
yang berada dalam posisi seperti dirimu jarang bisa menang. Apalagi kau orang
asing. Mereka juga tahu akan adanya test DNA, maka mereka akan menggunakan
cara agar di pengadilan ini kau kalah. Tindakan yang akan kau ambil adalah naik
banding, menunggu bayi Noura bisa ditest DNAnya. Begitu kau kalah, maka
setelah itu rekayasa yang akan mereka mainkan susah diprediksi. Bisa jadi diam-
diam mereka akan menggugurkan kandungan Noura dengan alasan keguguran dan
membuangnya entah di mana yang penting tidak bisa ditest DNAnya. Dan kau
tidak akan bisa menuntut apa-apa. Atau tidak begitu, tetap membiarkan bayi itu
lahir tapi permohonan bandingmu tidak dikabulkan dengan alasan yang seringkali
tidak masuk. Atau dikabulkan tapi setelah menunggu sekian tahun, setelah dirimu
mengalami penderitaan luar biasa dan sekarat di dalam penjara. Sebab begitu kau
diputuskan pengadilan bersalah kau akan diperlakukan sebagai orang bersalah
meskipun sedang mengajukan banding. Itu analisaku. Aku tidak ingin
menakutimu tapi agar pengacaramu dan pihak kedutaanmu berusaha lebih
maksimal untuk membebaskan dirimu dalam pengadilan terakhir nanti.”


Aku merasa apa yang disampaikan profesor benar. Dalam pengadilan
Mesir seringkali terjadi hal-hal yang tidak masuk akal. Adanya saksi seorang
lelaki yang hobinya berburu burung hantu adalah suatu yang ganjil. Dan sejak
kapan di suthuh apartemen di Hadayek Helwan itu ada burung hantu?

“Menurut Profesor apa yang harus kami lakukan?” tanyaku dengan hati
cemas.

“Minta pertolongan Tuhan. Dan terus berusaha untuk menang!” ucap
Profesor mantap.

“Aku punya sesuatu yang ingin aku katakan, Akhi.” sahut Ismail.

“Boleh.” kataku pelan.

“Mendengar semua kisahmu sejak kau ditangkap sampai sekarang, aku
melihat ada satu kekuatan yang mengaturnya. Mintalah kepada Magdi untuk
menyelidiki kekuatan backing dibelakang keluarga Noura. Kau masih beruntung
karena kasusmu bukan kasus yang oleh pihak keamanan dianggap mengancam
kekuasaan seperti Profesor Abdul Rauf. Asal bisa menjinakkan kekuatan di
belakang Noura maka jalan pembebasanmu menjadi lebih mudah. Firasatku
mengatakan, yang menghamili Noura adalah seseorang yang sangat memalukan
untuk disebut, jadi mereka mencari kambing hitam. Dan kambing hitamnya
adalah dirimu.Yang aku kuatirkan jika backing Noura adalah orang penting di
Keamanan Negara yang memang sangat berkuasa di negara ini.”

“Namun kau jangan kecil hati Fahri, di atas segalanya Allahlah yang
menentukan. Daya dan kekuatan manusia tiada berarti apa-apa di hadapan
kemahakuasaan Allah. Jika Dia berkehendak apa pun bisa terjadi.” Haj Rashed
menghibur. Aku diam saja. Semuanya lalu diam. Ruangan sel bawah tanah yang
pengap dan dingin itu dicekam suasana senyap sesaat. Keheningan menebarkan
aroma ketakutan yang menguji keimanan. Kini dalam ruangan sempit itu tinggal
kami berempat. Marwan sejak diambil sipir bersuara cempreng itu tak ketahuan
nasibnya. Apakah dipindahkan ke penjara lain? Ataukah dibebaskan? Atau malah
telah menemui kematian. Hamada juga tidak lagi terdengar beritanya sejak dua
hari lalu. Yang paling cemas atas nasib Hamada adalah Ismail. Katanya ia
bermimpi melihat Hamada berpakaian putih di sebuah tanah yang sangat lapang.
Ia kuatir itu adalah pertanda keburukan. Tapi Profesor malah menafsirkan mimpi


itu dengan hal yang menyenangkan, tanah lapang adalah kebebasan. Hamada
berarti sudah dibebaskan.

* * *

Hari berikutnya, kira-kira pukul sepuluh pagi, aku dibawa sipir hitam ke
kantor. Di sana kepala penjara menyerahkan sepucuk surat. “Ini surat dari
Universitas Al Azhar. Selamat!” Kata kepala penjara dengan nada yang sangat
sinis. Aku menerima surat itu dengan tangan bergetar. Aku teringat peristiwa
tahun 1995 seperti yang diceritakan staf konsuler KBRI. Kubuka amplop surat
cokelat buram itu dan kukeluarkan isinya. Lalu kubaca huruf demi huruf. Selesai
membaca surat itu aku tak mampu menahan isak tangisku. Usahaku sekian tahun
belajar mati-matian seakan sia-sia belaka. “Karena tidak asusila yang Anda
lakukan, maka Anda dikeluarkan dari Universitas Al Azhar dan gelar licence yang
telah Anda dapat dicabut sejak surat ini dibuat!” Demikian salah satu baris surat
dari Universitas Al Azhar itu. Melihat aku sedih dan meneteskan air mata, kepala
penjara malah tertawa mengejek. Ia tentu sudah tahu isi surat itu. Aku kembali ke
penjara dengan memendam kesedihan tiada tara. Al Azhar yang kucintai itu tidak
lagi menganggapku sebagai bagian dari anak muridnya. Alangkah malang
nasibku.

Di dalam sel aku menangis sejadi-jadinya. Aku belum pernah menangis
sesedu itu. Profesor Abdul Rauf menghiburku seperti seorang ayah menghibur
anaknya. Ia bertanya ada apa? Aku tak kuasa menceritakannya. Aku terus
menangis dengan sesak dada yang tiada terkira. Aku teringat semua pengorbanan
orang tua. Sawah warisan kakek, harta satu-satunya, dijual demi agar aku bisa
kuliah di Al Azhar Mesir. Dan kini semuanya seperti sia-sia. Aku merasa menjadi
manusia yang paling tiada gunanya di dunia. Hampir satu jam aku menangis.
Profesor Abdul Rauf masih terus menghibur dan membesarkan hatiku. Akhirnya
aku ceritakan berita duka itu padanya, dengan isak tangis yang tersisa.

“Kau percayalah padaku, Al Azhar sebenarnya tidak semudah itu
mengeluarkanmu. Di sana masih banyak ulama dan guru besar yang arif
bijaksana. Tapi Al Azhar tidak bisa berbuat apa-apa jika mendapat tekanan dari
penguasa. Apalagi jika datang dari Amn Daulah112. Aku sangat yakin Al Azhar

112 Keamanan Negara.


mengeluarkanmu karena mendapat tekanan. Itu sama seperti Universitas El-
Menya waktu mengeluarkan diriku dan mencopot gelar guru besarku. Jadi
sebenarnya sekarang ini saya bukan seorang profesor lagi, karena gelar guru
besarku telah dicabut. Rektor Universitas El-Menya adalah temanku waktu
mengambil doktor di Universits Lyon, Perancis. Dia tidak mungkin berbuat buruk
padaku, tapi dia mendapat tekanan dari penguasa agar memecatku dari dosen dan
menandatangani surat pencabutan guru besarku. Untungnya aku mendapat gelar
doktor dari Perancis, kalau aku mendapatkan gelar doktor dari salah satu
universitas di sini maka seluruh gelar akademisku juga akan dipreteli. Ah
sebenarnya gelar itu tidaklah segalanya yang paling penting adalah kemampuan
kita. Meskipun kau dikeluarkan dan gelarmu dicopot tapi ilmu yang telah melekat
dalam otakmu tidak bisa mereka copot. Seandainya nanti kau bebas dan kembali
ke tanah airmu kau masih bisa mengamalkan ilmumu meskipun tanpa gelar. Di
dunia ini sangat banyak orang yang sukses tanpa gelar akademis. Aku malah
pernah membaca sejarah Indonesia, bahwa salah seorang Wakil Presiden
Indonesia yang sangat disegani yaitu Adam Malik, tidak memiliki gelar akademis
apapun. Tapi kemampuannya tidak diragukan. Jadi janganlah masalah sekecil itu
kau tangisi. Kau harus menjadi seorang lelaki sejati yang berjiwa besar. Dan aku
yakin kau mampu untuk itu.”

Kata-kata profesor Abdul Rauf mampu menyeka air mata sedihku. Aku
semestinya malu pada diriku sendiri jika menangisi hilangnya sebuah gelar. Jika
aku diharamkan belajar di Al Azhar, maka Allah mungkin akan membuka jalan
untuk belajar di tempat yang lain, termasuk belajar di dalam penjara. Bahkan bisa
jadi penjara adalah universitas paling dahsyat di dunia. Banyak terjadi orang-
orang besar di dunia melahirkan karya-karya monumental di penjara. Ibnu
Taimiyah, ulama terkemuka pada zamannya yang mendapat gelar “Syaikhul
Islam” menulis Fatawanya yang berjilid-jilid di dalam penjara. Sayyid Qutb
menulis tafsir Zhilalnya yang sangat indah bahasa dan isinya, juga di dalam
penjara. Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi juga menulis karya-karyanya yang
monumental di dalam penjara. Kenapa aku tidak berpikiran positif seperti
mereka? Penjara bukanlah penghalang untuk berkarya dan berbuat. Seandainya
aku tidak bisa menelorkan karya di dalam penjara, kenapa aku tidak menggunakan


kesempatan yang ada untuk belajar pada Profesor Abdul Rauf. Beliau adalah guru
besar bidang ilmu ekonomi. Beliau juga pernah belajar di Perancis. Dengan beliau
aku semestinya bisa belajar satu rumus ilmu ekonomi, atau bahasa Perancis
menskipun cuma satu kosa kata.. Rasanya mempersiapkan diri saja untuk
menikmati hidup di dalam penjara, itu lebih realistis dan lebih baik daripada
bersedih, berkeluh kesah dan meratapi nasib. Kuutarakan kemauanku pada beliau.
Hari itu juga aku mulai menimba ilmu pada beliau. Lumayan selain ‘bonjour’ aku
mendapatkan sebuah kalimat dari Victor Hugo saat merenungi suatu keadaan
nyata bahwa tangan manusia banyak melakukan suatu kejahilan. Hugo
mengatakan: Tempos edax, home edacior! Artinya: Waktu kejam tapi manusia
lebih kejam lagi!

* * *

Tiga hari setelah itu, kira-kira satu jam menjelang buka puasa, sipir
bersuara cempreng memanggilku. Aku yang biasanya tidak pernah takut kali ini
menyahut panggilannya dengan bulu kuduk merinding. Aku bersyukur ketika Si
Cempreng tidak berbuat macam-macam padaku, ia hanya membawaku ke ruang
tamu penjara. Di sana ada Aisha, paman Eqbal, Maqdi, dan Amru yang telah
menunggu.

“Sore ini kita akan sedikit berbincang dan buka puasa bersama.” kata
Aisha.

“Untuk buka puasanya mungkin aku tidak bisa,” jawabku.

“Kenapa?”

“Aku tidak mungkin makan enak sementara teman-teman satu sel berbuka
hanya dengan seteguk air dan roti isy kering dengan jubnah kadaluwarsa.”

Aisha langsung mengerti apa maksudku. Dia langsung membagi beberapa
bungkus makanan yang dibawa menjadi dua bagian.

“Ini untuk mereka.”

“Biar kuantar dulu.”

Selesai mengantar buka untuk teman-teman satu sel, barulah aku
mendengarkan semua perkembangan yang terjadi dari mereka.


“Ada kabar kurang menggembirakan untukmu. Surat permohonan agar
jadwal sidang berikutnya diundur sampai janin Noura bisa diperiksa DNAnya
ditolak oleh pengadilan.” Kata Amru dengan wajah mengguratkan kemuraman.

“Aku tidak kaget. Sudah aku kira.” Jawabku lirih. Kemudian aku
menjelaskan prediksi-prediksi Profesor Abdul Rauf dan saran dari Ismail.

“Aku juga memiliki prediksi dan kalkulasi yang tidak jauh berbeda.
Sekarang senjata kita tinggal kesaksian Maria. Dan dia masih koma di rumah
sakit. Kondisinya sangat memprihatinkan, susah untuk kita harapkan.” Kata Amru
lemas.

“Saran Ismail itu cukup bagus. Memang dibelakang Noura adalah seorang
perwira menengah di badan intelijen khusus keamanan negara. Dia adik bungsu
Madame Yasmin, ibu kandung Noura. Dialah yang mendalangi semua ini. Si
Kumis yang mau berbuat tidak baik pada Madame Aisha itu akhirnya buka mulut
juga. Tapi dia sulit disentuh. Kecuali oleh orang yang pangkatnya lebih tinggi
darinya. Kebetulan aku tidak punya akses ke badan intelijen khusus. Aksesku
hanya intel polisi biasa jadi tidak bisa berbuat banyak. Si Kumis itu kalau bukan
desakan diplomatik dari Jerman dia juga tidak akan terproses secara hukum.”
Ucap Magdi.

“Hmm..aku ingat sekarang. Syaikh Ahmad punya sepupu yang juga
bertugas di dalam badan intelijen khusus keamanan negara, namanya Ridha
Shahata. Siapa tahu bisa membantu.” Sahutku sedikit optimis.

“Saya sudah menghubungi Syaikh Ahmad, tapi sayang Ridha Shahata
sedang ditugaskan ke Iran selama dua bulan. Dia baru akan kembali ke Mesir
sekitar pertengahan Syawal, ketika sidang telah usai.” Tukas paman Eqbal Hakan
Erbakan.

Azan maghrib berkumandang. Kami berbuka bersama. Pembicaraan sore
itu belum menghasilkan sesuatu yang nyata untuk membuktikan bahwa diriku
sama sekali tidak berdosa melakukan perbuatan yang hina yang dituduhkan
kepadaku. Aisha pamit dengan air mata tak terbendung. “Aku akan cari jalan
untuk menyelamatkan nyawamu, Suamiku. Aku tak mau jadi janda. Aku tak ingin
anakku ini nanti lahir dalam keadaan yatim. Aku tak ingin kehilangan dirimu. Kau
adalah karunia agung yang diberikan oleh Allah kepadaku.” Kalimat dari bibirnya


yang bergetar itu membuat hatiku terasa pilu dan sedih. Tak lama lagi akan
memiliki seorang anak. Dan aku tidak tahu apakah masih akan sempat melihat
wajah anakku itu apa tidak? Hanya Tuhanlah yang tahu akan akhir nasibku.
Apapun yang akan terjadi aku harus siap menerimanya.Untuk membesarkan hati,
aku kembali mengingat kisah Nabi Yahya yang mati muda, kepalanya dipenggal
dan dihadiahkan kepada seorang pelacur. Kalau kehidupan dunia adalah segalanya
maka kesalehan seorang nabi tiada artinya.

* * *


26. Ayat Ayat Cinta



Musim dingin yang beku membuat tulang-tulangku terasa ngilu. Aku
nyaris tidak kuat dengan keadaan sel yang sangat menyiksa. Tanpa disiksapun
musim dingin dalam sel gelap, pengap, basah dan berbau pesing itu sangat
menyiksa. Seluruh sumsum tulang terasa pedih bernanah. Aku memasuki hari-hari
yang sangat berat.

Suatu sore, satu jam sebelum buka, tiga hari menjelang hari raya Idul Fitri
Aisha menjenguk bersama paman Eqbal, dia tampak terpukul melihat keadaanku
yang sangat mengenaskan. Menjalani musim dingin dengan tanpa pelindung
tubuh yang cukup telah membuat seluruh persendianku kaku. Selama ini aku
nyaris tidak pernah tidur kecuali dengan posisi jongkok, tangan memegang kedua
kaki erat-erat. Beberapa kali aku merasa sangat tersiksa bagaikan orang yang
sedang sekarat.

“Suamiku, izinkanlah aku melakukan sesuatu untukmu!” Kata Aisha
dengan mata berkaca-kaca.

“Apa itu?”

“Beberapa waktu yang lalu Magdi mengatakan harapan kau bisa
dibebaskan sangat tipis sekali. Maria masih juga koma. Mungkin hanya mukjizat
yang akan menyadarkannya. Magdi berseloroh, jika punya uang untuk diberikan
pada keluarga Noura dan pihak hakim mungkin kau bisa diselamatkan. Kalau kau
mengizinkan aku akan bernegosiasi dengan keluarga Noura. Bagiku uang tidak
ada artinya dibandingkan dengan nyawa dan keselamatanmu.”

“Maksudmu menyuap mereka?”

“Dengan sangat terpaksa. Bukan untuk membebaskan orang salah tapi
untuk membebaskan orang tidak bersalah!”

“Lebih baik aku mati daripada kau melakukan itu!”

“Terus apalagi yang bisa aku lakukan? Aku tak ingin kau mati. Aku tak
ingin kehilangan dirimu. Aku tak ingin bayi ini nanti tidak punya ayah. Aku tak
ingin jadi janda. Aku tak ingin tersiksa. Apalagi yang bisa aku lakukan?”

“Dekatkan diri pada Allah! Dekatkan diri pada Allah! Dan dekatkan diri
pada Allah! Kita ini orang yang sudah tahu hukum Allah dalam menguji hamba-


hamba-Nya yang beriman. Kita ini orang yang mengerti ajaran agama. Jika kita
melakukan hal itu dengan alasan terpaksa maka apa yang akan dilakukan oleh
mereka, orang-orang awan yang tidak tahu apa-apa. Bisa jadi dalam keadaan kritis
sekarang ini hal itu bisa jadi darurat yang diperbolehkan, tapi bukan untuk orang
seperti kita, Isteriku. Orang seperti kita harus tetap teguh tidak melakukan hal itu.
Kau ingat Imam Ahmad bin Hambal yang dipenjara, dicambuk dan disiksa habis-
habisan ketika teguh memegang keyakinan bahwa Al-Qur’an bukan makhluk. Al-
Qur’an adalah kalam Ilahi. Ratusan ulama pergi meninggalkan Bagdad dengan
alasan keadaan darurat membolehkan mereka pergi untuk menghindari siksaan.
Jika semua ulama saat itu berpikiran seperti itu, maka siapa yang akan memberi
teladan kepada umat untuk teguh memegang keyakinan dan kebenaran. Maka
Imam Ahmad merasa jika ikut pergi juga ia akan berdosa. Imam Ahmad tetap
berada di Bagdad mempertahankan keyakinan dan kebenaran meskipun harus
menghadapi siksaan yang tidak ringan bahkan bisa berujung pada kematian. Sama
dengan kita saat ini. Jika aku yang telah belajar di Al Azhar sampai merelakan
isteriku menyuap maka bagaimana dengan mereka yang tidak belajar agama sama
sekali. Suap menyuap adalah perbuatan yang diharamkan dengan tegas oleh
Baginda Nabi. Beliau bersabda, ‘Arraasyi wal murtasyi fin naar!’ Artinya, orang
yang menyuap dan disuap masuk neraka! Isteriku, hidup di dunia ini bukan
segalanya. Jika kita tidak bisa lama hidup bersama di dunia, maka insya Allah
kehidupan akherat akan kekal abadi. Jadi, kumohon isteriku jangan kau lakukan
itu! Aku tidak rela, demi Allah, aku tidak rela!”

Aisha tersedu-sedu mendengar penjelasanku. Dalam tangisnya ia berkata
dengan penuh penyesalan, “Astaghfirullah…astaghfirullaahal adhiim!” Paman
Eqbal ikut sedih dan meneteskan air mata.

“Aisha isteriku, apakah kau benar-benar mencintaiku?” tanyaku.

Aisha menganggukkan kepala.

“Aku juga sangat mencintaimu. Dan aku tak ingin kita yang sekarang ini
saling mencintai kelak di akhirat menjadi orang yang saling membenci dan saling
memusuhi.”

“Apa maksudmu? Apakah ada dua orang yang di dunia saling mencintai di
akhirat justru saling memusuhi?” tanyanya.


“Jika cinta keduanya tidak berlandaskan ketakwaan kepada Allah maka
keduanya bisa saling bermusuhan kelak di akhirat. Apalagi jika cinta keduanya
justru menyebabkan terjadinya perbuatan maksiat baik kecil maupun besar. Tentu
kelak mereka berdua akan bertengkar di akhirat. Seseorang yang sangat mencintai
kekasihnya sering melakukan apa saja demi kekasihnya. Tak peduli pada apa pun
juga. Terkadang juga tidak peduli pada pertimbangan dosa atau tidak dosa. Jika
yang dilakukan adalah dosa tentu akan menyebabkan keduanya akan bermusuhan
kelak di akhirat. Sebab mereka akan berseteru di hadapan pengadilan Allah Swt.
Inilah yang telah diperingatkan oleh Allah Swt dalam surat Az Zuhruf ayat 67:
‘Orang-orang yang akrab saling kasih mengasihi, pada hari itu sebagiannya
menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.’
Isteriku, aku tak ingin kita yang sekarang ini saling menyayangi dan saling
mencintai kelak di akhirat justru menjadi musuh dan seteru. Aku ingin kelak di
akhirat kita tetap menjadi sepasang kekasih yang dimuliakan oleh Allah Swt. Aku
tak menginginkan yang lain kecuali itu isteriku. Hidup dan mati sudah ada
ajalnya. Allahlah yang menentukan bukan keluarga Noura juga bukan hakim
pengadilan itu. Jika memang kematianku ada di tiang gantungan itu bukan suatu
hal yang harus ditakutkan. Beribu-ribu sebab tapi kematian adalah satu yaitu
kematian. Yang membedakan rasanya seseorang mereguk kematian adalah
besarnya ridha Tuhan kepadanya. Isteriku, aku sangat mencintaimu. Aku tak ingin
kehilangan dirimu di dunia ini dan aku lebih tak ingin kehilangan dirimu di
akhirat nanti. Satu-satunya jalan yang harus kita tempuh agar kita tetap bersama
dan tidak kehilangan adalah bertakwa dengan sepenuh takwa kepada Allah Azza
Wa Jalla.”

Tangis Aisha semakin menjadi-jadi.

“Ka...kau benar Suamiku, terima kasih kau telah mengingatkan diriku.
Sungguh beruntung aku memiliki suami seperti dirimu. Aku mencintaimu
suamiku. Aku mencintaimu karena kau adalah suamiku. Aku juga mencintaimu
karena Allah Swt. Ayat yang kau baca dan kau jelaskan kandungannya adalah
satu ayat cinta di antara sekian juta ayat-ayat cinta yang diwahyukan Allah kepada
manusia. Keteguhan imanmu mencintai kebenaran, ketakwaan dan kesucian
dalam hidup adalah juga ayat cinta yang dianugerahkan Tuhan kepadaku dan


kepada anak dalam kandunganku. Aku berjanji akan setia menempatkan cinta
yang kita bina ini di dalam cahaya kerelaan-Nya.”

Kalimat-kalimat yang terucap dari mulut Aisha menjadi penyejuk jiwa
yang tiada pernah kurasa sebelumnya. Ia seorang perempuan yang lunak hatinya
dan bersih nuraninya.

“Kisah percintaan kalian membuat hatiku sangat terharu. Aisha, memiliki
rasa cinta dan kesetiaan pada suami yang luar biasa. Kau seperti ibumu. Kau
mewarisi kelembutan hati seperti nenekmu yang asli Palestina. Jika beliau masih
ada pasti akan sangat bangga memiliki cucu sepertimu. Dan kau Fahri, aku belum
pernah melihat seorang lelaki yang seteguh dirimu dan sekuat dirimu dalam
bertanggung jawab mempertahankan cinta suci di dunia dan di akhirat. Kau benar,
hidup yang sebenarnya adalah hidup di akhirat. Hidup yang kekal abadi tiada
penghabisannya. Sesungguhnya sore ini aku mendapatkan nasihat agung yang
tiada ternilai harganya.”

Azan berkumandang dan kami bersiap untuk buka. Sambil menjawab
azan, lirih kudengar Aisha berdoa, “Ya Allah kekalkan cinta kami di dunia dan di
akhirat. Ya Allah masukkan kami ke dalam surga Firdaus-Mu agar kami dapat
terus bercinta selama-lamanya. Amin.”

Setelah mereka pulang di dalam sel penjara aku menyatukan diri dalam
rengkuhan tangan Tuhan. Meskipun berada di dalam penjara aku masih
merasakan kenikmatan-kenikmatan yang kelihatannya biasa-biasa namun luar
biasa agungnya. Tuhan masih memberikan sentuhan cinta dan kasih sayang-Nya.
Aku tiada kuasa berbuat apa-apa kecuali meletakkan kening bersujud kepada-Nya.

Ilahi, setiap kali,

bila kurenungkan kemurahanMu

yang begitu sederhana mendalam

akupun tergugu

dan membulatkan sembahku padaMu113



* * *

113 Diadaptasi dengan sedikit perubahan dari puisi berjudul “Saat-saat Sadar” karya penyair Belgia,
Emile Verhaeren (1855-1916), yang sangat terkenal pasca perang dunia pertama.




Hari raya Idul Fitri tiba. Aku merayakannya di dalam penjara berteman
duka dan air mata. Tidak seperti hari raya yang telah lalu. Aku tidak bisa
berbicara langsung dengan kedua orang tua di Indonesia. Aku hanya berpesan
kepada Aisha agar minta tolong kepada Rudi membelikan kartu lebaran di Attaba
dan mengirimnya tanpa memberitahukan keadaanku sebenarnya. Aku tak ingin
membuat mereka berdua berduka tiada terkira. Aku telah berpesan pada Ketua
PPMI agar jika ada teman mahasiswa dari Jawa pulang berkenan mampir ke
rumah orang tuaku dan menceritakan masalah yang menimpaku dengan baik dan
bijaksana.

Yang sedikit mengurangi kesedihanku pada hari raya itu adalah kunjungan
yang datang silih berganti dari pagi sampai sore. Pagi sekali, tak lama setelah
shalat Ied selesai Aisha, paman Eqbal dan bibi Sarah menjenguk. Setelah itu
teman-teman satu rumah alias Rudi dkk. Lalu Mas Khalid dan anak buahnya.
Ketua Kelompok Studi Walisongo (KSW) dan bala kurawanya. Takmir masjid
Indonesia. Beberapa staf KBRI yang rendah hati. Teman-teman S2 dan S3. Dan
beberapa kenalan lainnya.

Yang cukup mengejutkan diriku adalah kunjungan Nurul bersama Ustadz
Jalal dan isterinya. Nurul menyampaikan rasa terima kasihnya atas surat yang aku
tulis untuknya. Dia minta doanya tiga hari lagi akan melangsungkan akad nikah
dengan salah seorang mahasiswa Indonesia.

“Siapa dia calon suamimu yang beruntung itu, kalau aku boleh tahu?”
Tanyaku pada Nurul. Dia menundukkan kepala dan dia diam saja. Malu.

“Dia juga sedang menulis tesis. Juga kawan dekatmu.” Kata Ustadz Jalal
menanggapi pertanyaanku. Aku berpikir sesaat mencari seseorang yang
diisyaratkan oleh Ustadz Jalal.

“Apakah dia itu Mas Khalid?” tebakku.

“Tebakkanmu tidak salah,” jawab Ustadz Jalal.

“Dia orang yang shaleh, baik dan memiliki karakter dan dedikasi tinggi.”
kataku.

“Tapi cinta pertama sangat susah dilupakan.” Lirih Nurul.


“Sekali lagi cinta sejati adalah yang telah diikat dengan tali suci
pernikahan. Jadikanlah Mas Khalid sebagai cinta pertama dan terakhirmu.”
pelanku.

“Insya Allah, aku sedang berusaha untuk melakukan itu dengan segenap
usaha. Doakanlah pernikahan kami barakah, dan kami bahagia dan menemukan
mawaddah,” lirih Nurul.

“Sama-sama. Kita saling mendoakan,” jawabku.

Aku bahagia mendapat kunjungan yang membawa berita baik itu. Mas
Khalid memang pasangan yang cocok untuk Nurul. Keduanya sama-sama berasal
dari keluarga pesantren. Dan kepiawaian Mas Khalid dalam membaca kitab
kuning ala pesantren salaf akan sangat berguna bagi pengembangan pesantren
milik ayah Nurul. Mas Khalid bisa menjadi pengasuh pesantren yang baik. Dalam
banyak acara diskusi di Cairo dia paling sering diminta untuk memimpin doa.
Doanya panjang namun mampu membuat orang meneteskan air mata di hadapan
Tuhannya.

Dan yang tak kalah bahagianya hatiku adalah kunjungan Syaikh Prof. Dr.
Abdul Ghafur Ja’far bersama puteranya yang bernama Umar. Beliau berpesan
agar aku bersabar dan tidak pernah putus asa sedetikpun atas datangnya rahmat
Allah Swt. Beliau meminta maaf atas ketidakberdayaan beliau mempertahankan
diriku atas pengeluaranku dari Al Azhar. Beliau juga menjelaskan bahwa
sebenarnya Al Azhar mendapatkan tekanan dari keamanan untuk melakukan hal
itu padaku. Sebelum pulang beliau memelukku erat-erat lalu mengecup ubun-
ubun kepalaku.

“Ingat baik-baik Anakku, wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhraja!”114
Pesan beliau kepadaku. Kunjungan Guru Besar Tafsir Universitas Al Azhar itu
membuat diriku memang benar-benar terasa ada. Orang sepenting dia masih
berkenan menengokku di penjara. Sungguh pengalaman yang tak akan terlupa.

Menjelang Isya’, Syaikh Ahmad dan isterinya, Ummu Aiman datang.
Syaikh Ahmad sedikit membawa berita baik untukku. Yaitu saudara sepupunya,
Ridha Shahata, yang ditugaskan keluar Mesir pulang lebih awal dari jadwal yang
ditetapkan karena dia telah menyelesaikan semua tugasnya dengan baik. Ridha

114 Dan siapa yang bertakwa kepada Allah maka dia akan menjadikan untuknya jalan keluar.


Shahata berjanji akan membantu sebisanya. Yang paling penting menurut Ridha
Shahata dari cerita Syaikh Ahmad adalah bagaimana caranya Maria bisa
memberikan kesaksiannya di depan pengadilan. Aku lebih banyak diam, dalam
hati kukatakan, ‘Maria sangat susah diharapkan, jika memang aku harus mati di
tiang gantungan berarti memang Tuhan berkehendak demikian.’

Sejujurnya kukatakan, selama merayakan Iedul Fitri di Mesir aku belum
pernah mendapatkan kunjungan sebanyak itu. Meskipun berada di penjara, namun
hari raya yang kulewati cukup mengesan. Aku ikhlas seandainya hari raya yang
aku lewati adalah hari raya terakhirku di dunia.




27. Diary Maria



Hari berikutnya, pagi-pagi sekali, Tuan Boutros dan Madame Nahed
datang. Aku sama sekali tidak menyangka mereka akan datang menjenguk dan
mengucapkan selamat hari raya. Ternyata maksud kedatangan mereka tidak
semata-mata berkunjung. Tuan Boutros berkata, “Kedatangan kami berdua kemari
mau minta pertolonganmu sekali lagi untuk kesembuhan Maria.”

“Aku tidak mengerti maksud Tuan. Apa yang bisa aku lakukan dalam
keadaan seperti ini?” jawabku.

“Kaset rekaman suaramu itu bisa menyadarkan Maria beberapa menit.
Begitu sadar ia menanyakan dirimu. Ia terus menanyakan dirimu sampai tak
sadarkan diri kembali. Dokter ahli syaraf yang menanganinya meminta agar bisa
mendatangkan dirimu beberapa saat untuk menyadarkan Maria. Dengan suara dan
dengan sentuhan tanganmu ada kemungkinan Maria bisa sadar. Dan ketika
mendapatkan dirimu berada di sisinya, dia akan memiliki semangat hidup
kembali. Maria itu ternyata persis seperti ibunya yang tidak mudah jatuh cinta.
Namun sekali jatuh cinta dia tak bisa melupakan sama sekali orang yang
dicintainya. Madame Nahed ini dulu juga sakit seperti Maria sekarang, cuma tidak
separah Maria,” kata Tuan Boutros.

“Tolonglah Anakku, aku tak mau kehilangan Maria. Aku sudah pernah
mengalami apa yang dialami Maria. Hanya suaramu, sentuhanmu dan
kehadiranmu di sisinya yang akan membuat dirinya kembali memiliki cahaya
hidup yang telah redup,” desak Madame Nahed.

“Kalau hanya memperdengarkan suaraku padanya, insya Allah aku bisa.
Tapi kalau sampai menyentuhnya aku tidak bisa. Anda tentu sudah tahu kenapa?
Tapi bagaimana aku bisa melakukan itu sementara aku berada di dalam penjara.
Apakah akan rekaman lagi?” jawabku.

“Kami akan minta izin kepada pihak kepolisian untuk membawamu ke
rumah sakit beberapa saat lamanya dengan jaminan,” kata Tuan Boutros.

“Semoga bisa,” sahutku pelan.

Keduanya lalu keluar. Aku menunggu di ruang tamu penjara dengan
penuh harap berdoa mereka diizinkan membawaku ke rumah sakit menemui


Maria. Dan semoga aku bisa menyadarkan Maria sehingga nanti dia bisa menjadi
saksi dalam persidangan penentuan yang tidak lama lagi akan dilangsungkan.
Entah bagaimana diplomasi mereka pada pihak kepolisian dan jaminan apa yang
mereka berikan akhirnya mereka diizinkan membawaku ke rumah sakit sampai
maghrib tiba. Saat azan maghrib berkumandang aku harus sudah berada di dalam
penjara lagi. Borgolku dilepas. Aku melihat jam dinding yang ada di ruangan itu.
Baru pukul setengah delapan pagi. Maghrib sekitar pukul lima empat lima. Ada
waktu sembilan jam setengah. Semoga waktu yang ada itu cukup untuk membantu
Maria.

Tuan Boutros dan Madame Nahed membawaku ke mobil mereka. Aku
heran, sama sekali kami tidak dikawal. Apa mereka tidak takut aku akan
melarikan diri. Aku tanyakan hal itu pada Tuan Boutros. Beliau menjawab, “Jika
kau lari maka kami sekeluarga akan mati. Kami sekeluarga yang menjadi
jaminanmu.”

“Apa Tuan tidak kuatir aku akan melarikan diri?” tanyaku.

“Aku sudah mengenal siapa dirimu. Kau bukan seorang pengecut yang
akan melakukan hal itu,” jawab Tuan Boutros mantap.

“Terima kasih atas kepercayaannya,” tukasku.

Rumah sakit tempat Maria dirawat adalah rumah sakit tempat aku dulu
dirawat. Begitu sampai di sana Madame Nahed yang juga seorang dokter
langsung meminta temannya untuk memeriksa kesehatanku. Aku sempat minta
pada Madame Nahed menghubungi Aisha yang tinggal di rumah paman Eqbal
yang tak jauh dari rumah sakit. Seorang dokter memeriksa tekanan darahku dan
lain sebagainya dengan proses yang cepat. Dia minta aku mandi dengan air
kemerahan yang telah disiapkan seorang perawat. Lalu salin pakaian rumah sakit.
Aku mandi dengan cepat. Setelah itu aku disuntik. Barulah aku diajak ke kamar di
mana Maria tergeletak seperti mayat. Aku tak kuasa menatapnya. Maria yang
kulihat itu tidak seperti Maria yang dulu. Ia tampak begitu kurus. Mukanya pucat
dan layu. Tak ada senyum di bibirnya. Matanya terpejam rapat. Air matanya terus
meleleh. Entah kenapa tiba-tiba mataku basah. Seorang dokter setengah baya
memintaku untuk berbicara dengan suara yang datang dari jiwa agar bisa masuk


ke dalam jiwa Maria. “Ini penyakit cinta, hanya bisa disembuhkan dengan
getaran-getaran cinta,” katanya padaku.

Aku duduk di kursi dekat Maria berbaring. Mulutku tak jauh dari telinga
Maria. Aku memanggil-manggil namanya. Menyuruhnya untuk membukakan
mata. Aku bercerita dan lain sebagainya. Satu jam sudah aku berbicara tapi Maria
tetap tidak sadar juga. Dokter setengah baya mengajakku bicara. Dia minta agar
aku mengucapkan kata-kata yang mesra, kata-kata pernyataan cinta pada Maria
sambil memegang-megang tangannya atau menyentuh keningnya.

Kujawab, “Maafkan diriku atas ketidakmampuanku melakukan hal itu.
Aku tidak mungkin menyatakan cinta dan menyentuh bagian tubuh seorang
wanita, kecuali pada isteriku saja.”

“Tolonglah, lakukan itu untuk merangsang syarafnya dan membuatnya
sadar. Kau harus mengatakan dan melakukan sesuatu yang memiliki efek pada
syaraf dan memorinya. Dan lebih dari itu pada jiwanya. Utarakanlah rasa cintamu
padanya, mungkin itu akan menolongnya.”

“Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak menyesal.”

“Ini tidak sungguhan.”

“Aku harus bersikap bagaimana? Aku tidak bisa melakukan hal itu, juga
tidak bisa untuk melakukan suatu kebohongan. Bagaimana jika aku
mengungkapkan rasa cinta lalu dia sadar. Kemudian dia tahu aku membohonginya
apakah itu bukan suatu penyiksaan yang kejam padanya?”

Dokter setengah baya diam. Ia lalu keluar dan beranjak keluar untuk
berbicara pada Tuan Boutros dan Madame Nahed. Aku duduk terpekur dalam
ketermanguan. Lakon hidup ini kenapa begitu rumit? Aku melihat bibir Maria
bergetar menyebut sebuah nama. Hatiku berdesir. Yang ia sebut adalah namaku.
Aku menjawab dengan menyebut namanya tapi ia tidak juga membuka matanya.
Ingin aku menggoyang-goyang tubuhnya agar ia sadar, agar ia tahu aku ada di
dekatnya tapi itu tak mungkin aku lakukan. Tuan Boutros mengajakku berbicara
enam mata dengan Madame Nahed di sebuah ruangan. Tuan Boutros
menyerahkan sebuah agenda berwarna biru.

“Fahri, ini agenda pribadi Maria. Tempat ia mencurahkan segala perasaan
dan pengalamannya yang sangat pribadi yang terkadang kami tidak


mengetahuinya. Termasuk cintanya padamu yang luar biasa. Kami tidak pernah
menyalahkanmu dalam masalah ini. Sebab kamu memang tidak bersalah. Kamu
tidak pernah melakukan tindakan yang tidak baik pada Maria. Kami juga tidak
bisa menyalahkan Maria. Bacalah beberapa halaman yang telah kami tandai itu
agar kau mengetahui bagaimana perasaan Maria terhadapmu sebenarnya,” kata
Tuan Boutros.

Aku menerima agenda pribadi Maria itu dan membaca pada halaman-
halaman yang telah ditandai dengan sedikit dilipat ujung atas halamannya.

Kubuka lipatan 1:



Senin, 1 Oktober 2001, pukul 22.25



Sudah dua tahun dia dan teman-temannya tinggal di flat bawah.
Kamarnya tepat dibawah kamarku. Aku tak pernah berkenalan langsung
dengannya, tapi aku mengenalnya. Aku tahu namanya dan tanggal lahirnya.
Yousef banyak bercerita tentang dirinya dan teman-temannya. Setiap Jum’at pagi
dia dan teman-temannya bermain sepak bola di lapangan bersama Yousef dan
anak-anak muda Hadayek Helwan. Mereka semua mahasiswa Al Azhar dari
Indonesia yang ramah dan menghormati siapa saja. Kata Yousef yang paling
ramah dan dewasa adalah dia. Bahasa ‘amiyah dan fushanya juga paling baik di
antara keempat orang temannya.

Ayah pernah dibuat terharu oleh sikapnya yang tidak mau merepotkan
dan menyakiti tetangga. Ceritanya suatu hari ayah menagih iuran air ke
tempatnya. Ternyata ia sedang tidak enak badan dan istirahat di kamarnya.
Teman-temannya mengajak ayah masuk ke kamarnya. Di dalam kamarnya ada
sebuah ember untuk menadah air yang menetes dari langit-langit. Ayah langsung
tahu bahwa tetesan air itu berasal dari kamar mandi kami. Karena kamilah yang
tepat berada di atasnya. Dan letak kamar mandi memang berada di samping
kamarku. Ayah bertanya padanya,

“Sudah berapa lama air ini merembes dan menetes di kamarmu?”

“Satu bulan?”


“Kenapa kau tidak bilang kepadaku kalau ada ketidakberesan di kamar
mandi kami dan merembes ke tempatmu?”

“Nabi kami mengajarkan untuk memuliakan tetangga, beliau bersabda,
‘Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah
tetangganya!’ Kami tahu kerusakan itu perlu diperbaiki. Dan perbaikan itu
memerlukan biaya yang tidak sedikit. Karena lantai rumah Anda adalah langi-
langit rumah kami, maka biaya perbaikan itu tentunya kita berdua yang
menanggungnya. Kebetulan kami tidak punya uang. Kami menunggu ada uang
baru akan memberitahu Anda. Jika kami langsung memberitahu Anda kami takut
akan merepotkan Anda. Dan itu tidak kami inginkan.”

Mendengar jawaban itu hati ayah sangat tersentuh dan terharu. Ayah
terharu atas kesabaran dia selama satu bulan. Ada air menetes di langit-langit
kamar tentu sangat mengganggu kenyamanan. Ayah juga terharu akan
kedewasaannya dalam merasa bertanggung jawab. Ayah merasa mendapat
teguran. Bagaimana tidak? Setengah tahun sebelumnya ada air menetes di langit-
langit kamar mandi kami. Berarti kamar mandi penghuni rumah atas kami tidak
beres. Ayah dengan tegas langsung meminta orang atas memperbaikinya tanpa
memberi bantuan finansial sedikit pun. Sebab ayah merasa itu sepenuhnya
tanggung jawab orang atas. Sejak itu kekaguman ayah padanya dan pada teman-
temannya sering ayah ungkapkan. Dan sejak kejadian itu aku jadi penasaran
ingin tahu lebih jauh tentang dirinya.

Sudah dua tahun dia tinggal di bawah dan aku tidak pernah bertegur sapa
dengannya. Seringkali kami bertemu tak sengaja di jalan, di halaman apartemen,
di gerbang, atau di tangga. Tapi kami tak pernah bertegur sapa. Dia lebih sering
menunduk. Jika tanpa sengaja beradu pandangan saat bertemu denganku dia
cepat-cepat menunduk atau mengalihkan padangan. Dia bersikap biasa. Tidak
tersenyum juga tidak bermuka masam. Akhirnya tadi siang saat aku pulang dari
kuliah aku bertemu dia di dalam metro. Dia juga dari kuliah. Aku memberanikan
diri untuk menyapanya dan mengajaknya bicara. Sebab rasa-rasanya rasa
penasaranku ingin tahu sendiri keindahan pribadinya seperti yang sering
diceritakan Yousef dan ayah tidak dapat aku tahan lagi. Aku menyapanya dengan
tersenyum dan dia pun menjawab dengan baik dan halus. Aku heran pada diriku


sendiri bagaimana mungkin aku tersenyum padanya. Aku jarang bahkan bisa
dikatakan anti memberikan senyum pada lelaki yang bukan keluargaku. Aku tidak
tahu kenapa aku memberikan senyumku padanya dan aku tidak merasa menyesal
bahkan sebaliknya. Yang membuatku senang adalah dia ternyata tahu namaku.
Saat itu aku ingin bertanya padanya kenapa selama ini kalau bertemu di jalan
atau ditangga tidak pernah menyapaku. Tapi kuurungkan.

Perbincangan dengannya tadi siang sangat berkesan di hatiku. Dia
memiliki tutur bahasa yang halus dan kepribadian yang indah. Ia tidak mau aku
ajak berjabat tangan. Bukan tidak menghormati diriku, kata dia, justru karena
menghormati diriku. Dia juga bisa menjadi pendengar yang baik. Sifat yang tidak
banyak dimiliki setiap orang. Ia sangat senang menyimak aku membaca surat
Maryam. Kelihatannya ia kaget ada gadis koptik hafal surat Maryam. Aku bukan
gadis yang mudah terkesan pada seorang pemuda. Tapi entah kenapa aku merasa
sangat terkesan dengan sikap-sikapnya. Dan entah kenapa hatiku mulai condong
padanya. Hatiku selalu bergetar mendengar namanya. Lalu ada perasaan halus
yang menyusup ke sana tanpa aku tahu perasaan apa itu namanya. Fahri, nama
itu seperti embun yang menetes dalam hati. Kurindu setiap pagi.



Lipatan 2:



Minggu, 16 Desember 2001, pukul 21.00

Kenapa aku menangis? Perasaan apa yang mendera hatiku
sekarang?Begitu menyiksa. Aku tak pernah merindukan seseorang seperti rinduku
padanya. Sudah satu bulan aku tidak melihatnya melintas di halaman apartemen.
Sudah satu bulan dia menghilang membuat hatiku merasa tercekam kerinduan.
Yousef bilang Fahri pergi umrah sejak pertengahan Ramadhan dan sampai
sekarang belum juga pulang. Aku merasa memang telah jatuh cinta padanya.
Cinta yang datang begitu saja tanpa aku sadari kehadirannya di dalam hati.



Lipatan 3:



Sabtu, 10 Agustus 2002 pukul 11.15


Pulang dari restoran Cleopatra kugoreskan pena ini. Sebab aku tidak bisa
mengungkapkan gelegak perasaanku secara tuntas kecuali dengan
menorehkannya dalam diary ini.

Akhirnya keraguanku padanya hilang, berganti dengan keyakinan. Selama
ini aku ragu apakah dia bisa romantis. Sebab selama bertemu atau berbicara
dengannya dia sama sekali tidak pernah berkata yang manis-manis. Selalu biasa,
datar dan wajar. Dia selalu tampak serius meskipun setiap kali aku tersenyum
padanya dia juga membalas dengan senyum sewajarnya.

Tapi malam ini, apa yang dia lakukan membuat hatiku benar-benar sesak
oleh rasa cinta dan bangga padanya. Dia sangat perhatian dan suka membuat
kejutan. Kali ini yang mendapat kejutan indah darinya adalah Mama dan Yousef.
Mereka berdua mendapat hadiah ulang tahun darinya. Meskipun di atas namakan
seluruh anggota rumahnya tapi aku yakin dialah yang merencanakan semuanya.
Dia ternyata sangat romantis. Tak perlu banyak berkata-kata dan langsung
dengan perbuatan nyata. Fahri, aku benar-benar tertawan olehmu. Tapi apakah
kau tahu yang terjadi pada diriku? Apakah kau tahu aku mencintaimu? Aku malu
untuk mengungkapkan semua ini padamu. Dan ketika kau kuajak dansa tidak mau
itu tidak membuatku kecewa tapi malah sebaliknya membuat aku merasa sangat
bangga mencintai lelaki yang kuat menjaga prinsip dan kesucian diri seperti
dirimu.



Lipatan 4:



Minggu, 11 Agustus 2002 pukul 22.00

Aku sangat cemas memikirkan dia. Dia dia tergeletak keningnya panas.
Kata Mama terkena heat stroke. Kata teman-temannya dia seharian melakukan
kegiatan yang melelahkan di tengah musim panas yang sedang menggila.

Oh, kekasihku sakit

Aku menjenguknya

Wajahnya pucat

Aku jadi sakit dan pucat

Karena memikirkan dirinya


Aku semakin tahu siapa dia. Untuk pertama kalinya aku tadi masuk
kamarnya ikut Mama dan Ayah menjenguknya. Dia seorang pemuda yang ulet,
pekerja keras, dan memiliki rencana ke depan yang matang. Aku masih ingat dia
menyitir perkataan bertenaga Thomas Carlyle: ‘Seseorang dengan tujuan yang
jelas akan membuat kemajuan walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang
yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan
yang mulus!’

Aku merasa tidak salah mencintai dia. Aku ingin hidup bersamanya.
Merenda masa depan bersama dan membesarkan anak-anak bersama.
Membangun peradaban bersama. Oh Fahri, apakah kau mendengar suara-suara
cinta yang bergemuruh dalam hatiku?



Lipatan 5:



Sabtu, 17 Agustus 2002, pukul 23.15



Aku belum pernah merasakan ketakutan dan kecemasan sehebat ini? Aku
tak ingin kehilangan dirinya. Dia memang keras kepala. Diingatkan untuk
menjaga kesehatannya tidak juga mengindahkannya. Akhirnya terjadilah
peristiwa yang membuat diriku didera kecemasan luar biasa.

Siang tadi pukul setengah empat Saiful datang dengan wajah cemas.
Minta tolong Fahri dibawa ke rumah sakit. Fahri tak sadarkan diri. Aku telpon
Mama di rumah sakit lalu bersama Yousef membawa Fahri ke rumah sakit. Aku
menungguinya sampai jam delapan malam. Dan dia belum juga siuman. Ah,
Fahri kau jangan mati! Aku tak mau kehilangan dirimu. Sembuhlah Fahri, aku
akan katakan semua perasaanku padamu. Aku sangat mencintaimu.



Lipatan 6:



Minggu, 18 Agustus 2002, pukul 17.30




Seolah-olah akulah yang sakit, bukan dia. Tuhan, jangan kau panggil dia.
Aku ingin dia mendengar dan tahu bahwa aku sangat mencintainya.

Dia tergeletak tanpa daya berselimut kain putih. Kata Saiful pukul
setengah tiga malam dia sadar tapi tak lama. Lalu kembali tak sadarkan diri
sampai aku datang menjenguknya jam setengah delapan pagi tadi. Kulihat Saiful
pucat. Ia belum tidur dan belum makan. Kuminta dia keluar mencari makan. Aku
mengantikan Saiful menjaganya. Aku tak kuasa menahan sedih dan air mataku.
Dia terus mengigau dengan bibir bergetar membaca ayat-ayat suci. Wajahmu
pucat. Air matanya meleleh . Mungkin dia merasakan sakit yang tiada terkira.

Aku tak kuasa menahan rasa sedih yang berselimut rasa cinta dan sayang
padanya. Kupegang tangannya dan kuciumi. Kupegang keningnya yang hangat.
Aku takut sekali kalau dia mati. Aku tidak mau dia mati. Aku tak bisa menahan
diriku untuk tidak menciumnya. Pagi itu untuk pertama kali aku mencium seorang
lelaki. Yaitu Fahri. Aku takut dia mati. Kuciumi wajahnya. Kedua pipinya. Dan
bibirnya yang wangi. Aku tak mungkin melupakan kejadian itu. Kalau dia sadar
mungkin dia akan marah sekali padaku. Tapi aku takut dia mati. Saat
menciumnya aku katakan padanya bahwa aku sangat mencintainya. Tapi dia tak
juga sadar. Tak juga menjawab.

Pukul delapan dia bangun dan dia kelihatan kaget melihat aku berada di
sisinya. Aku ingin mengatakan aku cinta padanya. Tapi entah kenapa melihat
sorot matanya yang bening aku tidak berani mengatakannya. Tenggorokanku
tercekat. Mulutku terkunci hanya hati yang berbicara tanpa suara. Tapi aku
berjanji akan mencari waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya padanya.
Aku ingin menikah dengannya. Dan aku akan mengikuti semua keinginannya. Aku
sangat mencintainya seperti seorang penyembah mencintai yang disembahnya.
Memang memendam rasa cinta sangat menyiksa tapi sangat mengasyikkan. Love
is a sweet torment!





Lipatan terakhir:



Jum’at, 4 Oktober 2002, pukul 23.25




Aku masih sangat kelelahan baru pulang dari Hurgada. Baru setengah
jam meletakkan badan di atas kasur aku mendapatkan berita yang
meremukredamkan seluruh jiwa raga. Fahri telah menikah dengan Aisha,
seorang gadis Turki satu minggu yang lalu. Aku merasa dunia telah gelap. Dan
hidupku tiada lagi berguna. Harapan dan impianku semua lenyap. Aku kecewa
pada diriku sendiri. Aku kecewa pada hari-hari yang telah kujalani. Andaikan
waktu bisa diputar mundur aku akan mengungkapkan semua perasaan cintaku
padanya dan mengajaknya menikah sebelum dia bertemu Aisha. Aku merasa
ingin mati saja. Tak ada gunanya hidup tanpa didampingi seorang yang sangat
kucintai dan kusayangi. Aku ingin mati saja. Aku ingin mati saja. Aku rasa aku
tiada bisa hidup tanpa kekuatan cinta. Aku akan menunggunya di surga.



Air mataku tak bisa kubendung membaca apa yang ditulis Maria dalam
diary pribadinya. Aku cepat-cepat menata hati dan jiwaku. Aku tak boleh larut
dalam perasaan haru dan cinta yang tiada berhak kumerasakannya. Aku sudah
menjadi milik Aisha. Dan aku harus setia lahir batin, dalam suka dan duka, juga
dalam segala cuaca.

“Hanya kau yang bisa menolongnya Anakku. Nyawa Maria ada di
tanganmu,” ucap Madame Nahed pelan dengan air mata meleleh di pipinya.

“Bukan aku. Tapi Tuhan,” jawabku.

“Ya. Tapi kau perantaranya. Kumohon lakukanlah sesuatu untuk Maria!”

“Aku sudah melakukannya semampuku.”

“Lakukanlah seperti yang diminta dokter. Tolong.”

“Andai aku bisa Madame, aku tak bisa melakukannya.”

“Kenapa?”

“Aku sudah katakan semuanya pada dokter.”

“Kalau begitu nikahilah Maria. Dia tidak akan bisa hidup tanpa dirimu.
Sebagaimana aku tidak bisa hidup tanpa Boutros.”

“Itu juga tidak mampu aku lakukan. Aku sangat menyesal.”

“Kenapa Fahri? Kau tidak mencintainya? Kalau kau tidak bisa
mencintainya maka kasihanilah dia. Sungguh malang nasibnya jika harus mati


dalam keadaan sangat sengsara dan menderita. Kasihanilah dia, Fahri. Kumohon
demi rasa cintamu pada nabimu.”

“Masalahnya bukan cinta atau kasihan Madame.”

“Lantas apa?”

“Aku sudah menikah. Dan saat menikah aku menyepakati syarat yang
diberikan isteriku agar aku menjadikan dia isteri yang pertama dan terakhir. Dan
aku harus menunaikan janji itu. Aku tidak boleh melanggarnya.”

“Aku akan minta pada Aisha untuk memberikan belas kasihnya pada
Maria. Aku yakin Aisha seorang perempuan shalihah yang baik hati. Kebetulan
itu dia, baru datang. Kau tunggulah di sini bersama Boutros. Aku mau bicara
empat mata dengan Aisha.” Kata Madame Nahed sambil berjalan menyambut
Aisha. Keduanya lalu berjalan memasuki sebuah ruangan. Entah apa yang akan
dikatakan Madame Nahed pada Aisha. Semoga Aisha tidak terluka hatinya. Dan
aku sama sekali tidak punya niat sedetikpun untuk menduakan Aisha dengan
Maria. Aku tidak pernah berpikir kalau Maria mencintaiku sedemikian rupa.

* * *

Setelah berbincang dengan Madame Nahed, Aisha mengajakku berbicara
empat mata. Matanya berkaca-kaca.

“Fahri, menikahlah dengan Maria. Aku ikhlas.”

“Tidak Aisha, tidak! Aku tidak bisa.”

“Menikahlah dengan dia, demi anak kita. Kumohon! Jika Maria tidak
memberikan kesaksiannya maka aku tak tahu lagi harus berbuat apa untuk
menyelamatkan ayah dari anak yang kukandung ini.” Setetes air bening keluar
dari sudut matanya.

“Aisha, hidup dan mati ada di tangan Allah.”

“Tapi manusia harus berusaha sekuat tenaga. Tidak boleh pasrah begitu
saja. Menikahlah dengan Maria lalu lakukanlah seluruh petunjuk dokter untuk
menyelamatkannya.”

“Aku tak bisa Aisha. Aku sangat mencintaimu. Aku ingin kau yang
pertama dan terakhir bagiku.”

“Kalau kau mencintaiku maka kau harus berusaha melakukan yang terbaik
untuk anak kita. Aku ini sebentar lagi menjadi ibu. Dan seorang ibu akan


melakukan apa saja untuk ayah dari anaknya. Menikahlah dengan Maria. Dan kau
akan menyelamatkan banyak orang. Kau menyelamatkan Maria. Menyelamatkan
anak kita. Menyelamatkan diriku dari status janda yang terus membayang di
depan mata dan menyelamatkan nama baikmu sendiri.”

“Aku mencintai kalian semua. Tapi aku lebih mencintai Allah dan Rasul-
Nya. Budak hitam yang muslimah lebih baik dari yang bukan muslimah. Aku tak
mungkin melakukannya isteriku.”

“Aku yakin Maria seorang muslimah.”

“Bagaimana kau bisa yakin begitu?”

“Dengan sekilas membaca diarynya. Jika dia bukan seorang muslimah dia
tidak akan mencintaimu sedemikian kuatnya. Kalau pun belum menjadi muslimah
secara lesan dan perbuatan, aku yakin fitrahnya dia itu muslimah.”

“Aku tidak bisa berspekulasi isteriku. Aku tidak bisa melakukannya.
Dalam interaksi sosial kita bisa toleran pada siapa saja, berbuat baik kepada siapa
saja. Tapi untuk masalah keyakinan aku tidak bisa main-main. Aku tidak bisa
menikah kecuali dengan perempuan yang bersaksi dan meyakini tiada Tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Kalau untuk bertetangga,
berteman, bermasyarakat aku bisa dengan siapa saja. Untuk berkeluarga tidak bisa
Aisha. Tidak bisa!”

“Suamiku aku sependapat denganmu. Sekarang menikahlah dengannya.
Anggaplah ini ijtihad dakwah dalam posisi yang sangat sulit ini. Nanti kita akan
berusaha bersama untuk membawa Maria ke pintu hidayah. Jika tidak bisa,
semoga Allah masih memberikan satu pahala atas usaha kita. Tapi aku sangat
yakin dia telah menjadi seorang muslimah. Jika tidak bagaimana mungkin dia
mau menerjemahkan buku yang membela Islam yang kau berikan pada Alicia itu.
Itu firasatku. Kumohon menikahlah dan selamatkan Maria. Bukankah dalam Al-
Qur’an disebutkan, Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
seluruhnya.?”

Aku diam tidak bisa bicara apa-apa. Aku tidak pernah membayangkan
akan menghadapi suasana psikologis yang cukup berat seperti ini. Aisha
mengambil cincin mahar yang aku berikan di jari manis tangan kanannya.


“Ini jadikan mahar untuk Maria. Waktunya sangat mendesak. Sebelum
maghrib kau harus sampai di penjara. Jadi kau harus segera menikah dan
melakukan semua petunjuk dokter untuk menyadarkan Maria.” Kata-kata Maria
begitu tegas tanpa ada keraguan, setegas perempuan-perempuan Palestina ketika
menyuruh suaminya berangkat ke medan jihad. Dengan sedikit ragu aku
mengambil cincin itu. Aku tak bisa menahan isak tangisku. Aisha memelukku,
kami bertangisan.

“Suamiku kau jangan ragu! Kau sama sekali tidak melakukan dosa.
Yakinlah bahwa kau akan melakukan amal shaleh,” bisik Aisha.

Setelah itu aku menemui Madame Nahed dan Tuan Boutros. Mereka
berdua menyambut kesediaanku dengan bahagia. Proses akad nikah dilaksanakan
dalam waktu yang sangat cepat, sederhana, sesuai dengan permintaanku. Seorang
ma’dzun syar’i mewakili Tuan Boutros menikahkan diriku dengan Maria dengan
mahar sebuah cincin emas. Saksinya adalah dua dokter muslim yang ada di rumah
sakit itu.

Setelah itu dokter setengah baya memberikan petunjuk apa yang harus aku
lakukan untuk membantu Maria sadar dari komanya. Aku minta hanya aku dan
Maria yang ada di ruang itu. Aku wudhu dan shalat dua rakaat lalu berdoa di
ubun-ubun kepala Maria seperti yang aku lakukan pada Aisha. Aku hampir tidak
percaya bahwa gadis Mesir yang dulu lincah, ceria dan kini terbaring lemah tiada
berdaya ini adalah isteriku. Segenap perasaan kucurahkan untuk mencintainya.
Aku membisikkan ke telinganya ungkapan-ungkapan rasa cinta dan rasa sayang
yang mendalam. Aku lalu menciuminya seperti dia menciumiku waktu aku sakit.
Tapi dia tetap diam saja. Aku lalu menangis melihat usahaku sepertinya sia-sia.
Aku ingin melakukan lebih dari itu tapi tidak mungkin. Aku hanya bisa terisak
sambil memanggil-manggil nama Maria.

Tiba-tiba aku melihat sujud mata Maria melelehkan air mata. Aku yakin
Maria mulai mendengar apa yang aku katakan. Aku kembali menciumi tangannya.
Lalu mencium keningnya. “Maria, bangunlah Maria. Jika kau mati maka aku juga
akan ikut mati. Bangunlah kekasihku! Aku sangat mencintaimu!” kuucapkan
dengan pelan di telinganya dengan penuh perasaan.


Kepalanya menggeliat, dan perlahan-lahan ia mengerjapkan kedua
matanya. Aku memegang kedua tanganya sambil kubasahi dengan air mataku.

“F..f..Fahri..?”

“Ya, aku di sisimu Maria.”

Entah mendapatkan kekuatan dari mana, Maria bisa bicara meskipun
dengan suara yang lemah,

“Aku mendengar kau berkata bahwa kau mencintaiku, benarkah?”

“Benar. Aku sangat mencintaimu,Maria?”

“Kenapa kau pegang tanganku. Bukankah itu tidak boleh?”

“Boleh! Karena kau sudah jadi isteriku.”

“Apa?”

“Kau sudah jadi isteriku, jadi aku boleh memegang tanganmu?”

“Siapa yang menikahkan kita?”

“Ayahmu. Apa kau tidak mau jadi isteriku?”

Mata Maria berkaca-kaca, “Itu impianku. Aku merasa kita tidak akan bisa
menikah setelah kau menikah dengan Aisha. Terus bagaimana dengan Aisha?”

“Dia yang mendorongku untuk menikahimu. Ini cincin yang ada di
tanganmu adalah pemberian Aisha. Anggaplah dia sebagai kakakmu.”

“Aku tak menyangka Aisha akan semulia itu.”

“Fahri, aku mau minta maaf. Saat kau sakit dulu aku pernah men...”

“Aku sudah tahu semuanya. Tadi saat kau belum bangun aku sudah
membalasnya.”

Maria tersenyum. “Aku ingin kau mengulanginya lagi. Aku ingin
merasakannya dalam keadaan sadar.” Pinta Maria dengan sorot mata berbinar.
Aku memenuhi permintaannya. Seketika wajahnya kelihatan lebih bercahaya dan
segar.

“Maria.”

“Ya.”

“Berjanjilah kau akan mengembalikan semangat hidupmu.”

“Setelah aku menemukan kembali cintaku maka dengan sendirinya aku
menemukan kembali semangat hidupku. Saat ini, aku merasakan kebahagiaan


yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku merasa menjadi wanita paling
berbahagia di dunia setelah sebelumnya merasa menjadi wanita paling sengsara.”

Aku melihat jam dinding. Satu jam lagi aku harus sampai di penjara.
Dengan mata berkaca aku berkata, “Maria, aku keluar sebentar memberitahukan
keadaanmu pada dokter, ayah ibumu dan Aisha.”

Maria mengangguk. Madame Nahed dan Tuan Boutros sangat berbahagia
mendengar sadarnya Maria. Serta merta mereka berdua melangkah masuk diiringi
dokter setengah baya. Kulihat Aisha duduk sendirian di bangku. Aku
mendekatinya dan duduk di sampingnya. Aisha diam saja. Matanya basah.

“Kau menangis Aisha?”

Aisha diam seribu bahasa seolah tidak mendengar pertanyaanku.

“Kau menyesal dengan keputusanmu?”

Dia menggelengkan kepala.

“Kenapa kau menangis? Kau cemburu?”

Aisha mengangguk. Aku memeluknya, “Maafkan aku Aisha, semestinya
kau tidak menikah denganku sehingga kau menderita seperti ini.”

“Kau jangan berkata begitu Fahri. Menikah denganmu adalah
kebahagianku yang tiada duanya. Kau tidak bersalah apa-apa Fahri. Tak ada yang
salah denganmu. Kau sudah berusaha melakukan hal yang menurutmu baik. Rasa
cemburu itu wajar. Meskipun aku yang memaksamu menikahi Maria. Tapi rasa
cemburuku ketika kau berada dalam kamar dengannya itu datang begitu saja.
Inilah cinta. Tanpa rasa cemburu cinta tiada.”

“Aku takut sebenarnya aku tidak pantas dicintai siapa-siapa.”

“Tidak Fahri. Kalau seluruh dunia ini membencimu aku tetap akan setia
mencintaimu.”

“Terima kasih atas segala ketulusanmu Aisha. Aku akan berusaha
membalas cintamu dengan sebaik-baiknya. Aisha, sebentar lagi aku harus kembali
ke penjara. Aku belum menjelaskan keadaanku pada Maria. Kaulah nanti yang
pelan-pelan menjelaskan padanya semuanya. Kau jangan ragu, Maria sangat
menghormatimu.”

Aku lalu masuk ke kamar menemui Tuan Boutros dan Madame Nahed.
Aku mengingatkan keduanya waktuku telah habis. Mata Madame Nahed


menatapku dengan berkaca-kaca. Aku pamitan padanya dan mencium tangannya.
Dia kini jadi ibuku. Maria kelihatannya heran dengan yang ia lihat. Tuan Boutros
menjelaskan pada Maria bahwa diriku ada urusan penting sekali. Aku menatap
wajah Maria dalam-dalam. Dia menantapku penuh sayang. Air mataku hendak
keluar tapi kutahan sekuat tenaga.

“Tersenyumlah dulu sebelum pergi, Sayang.” lirih Maria. Aku tersenyum
sebisanya. Maria tersenyum manis sekali. Aku jadi teringat Aisha. Dua wanita itu
memiliki senyum yang sama manisnya.

“Nanti Aisha akan menungguimu dan banyak bercerita denganmu. Kau
jangan terkejut jika ada hal-hal yang akan membuatmu terkejut. Aku pergi dulu.
Jangan pernah kau lupakan sedetik pun Maria, bahwa aku sangat mencintaimu.
Cintaku kepadamu seperti cintanya seorang penyembah kepada sesembahannya.”

Aku mengambil kata-kata yang ditulis Maria dalam agendanya. Maria
sangat senang mendengarnya. Seorang isteri sangat suka dihadiahi kata-kata indah
tanda cinta dan kasih sayang.

“Terima kasih Fahri, kau sungguh romantis dan menyenangkan.”

Aku melangkah keluar bersama Tuan Boutros untuk kembali ke penjara.
Di luar aku memeluk Aisha erat-erat. Sesaat lamanya aku terisak dalam
pelukannya. “Aisha, temani Maria dan ceritakan semua yang sedang aku alami
dengan bijaksana padanya. Aku yakin kau mampu melaksanakannya. Semoga saat
sidang nanti dia bisa memberikan kesaksiannya.”

“Insya Allah, aku akan melakukan tugasku dengan baik Suamiku. Jangan
lupa nanti malam shalat tahajjud. Berdoalah kepada Allah untuk dirimu, diriku,
anak kita, dan Maria. Di sepertiga malam Allah turun untuk mendengarkan doa
hamba-hamba-Nya,” pesan Aisha.








28. Sidang Penentuan



Sidang penentuan itu pun datang. Amru dan Magdi datang dengan wajah
tenang. Syaikh Ahmad dan isterinya juga datang. Orang-orang Indonesia di Mesir
banyak yang datang. Namun Maria, dan Aisha belum juga datang. Sudah dua
puluh menit menunggu mereka belum juga kelihatan. Noura dan keluarganya
beberapa kali memandangku dengan pandangan yang merendahkan. Apapun yang
akan terjadi aku pasrah kepada Tuhan.

Akhirnya hakim memulai sidang. Sambil menunggu Maria datang, Amru
mengajukan Syaikh Ahmad dan isterinya sebagai saksi. Mereka berdua tampil
bergantian memberikan kesaksian. Ummu Aiman, isteri Syaikh Ahmad menangis
saat memberikan kesaksiannya. Ia merasa sangat sakit hatinya atas apa yang
dilakukan Noura. Sambil terisak dan sesekali menyeka matanya Ummu Aiman
berkata, “Entah dengan siapa Noura melakukan perzinahan. Tapi jelas bukan
dengan Fahri. Apa yang dikatakan Noura bahwa Fahri memperkosanya adalah
fitnah yang sangat keji. Noura sungguh gadis yang tidak tahu diri. Ia telah
ditolong tapi memfitnah orang yang dengan tulus hati menolongnya. Aku hanya
bisa bersaksi bahwa selama Noura di Tafahna ia menceritakan kejadian malam itu
dan tidak pernah menyebut bersama Fahri dari jam tiga sampai azan pertama. Ia
bercerita malam itu ia bersama Maria sampai pagi. Jika pengadilan ini akhirnya
memenangkan seorang pemfitnah maka kelak di hari kemudian seorang pemfitnah
akan dibinasakan oleh keadilan Tuhan.”

Kulihat reaksi Noura. Dia hanya menundukkan kepala. Sementara ayah
dan ibunya menatap Ummu Aiman tanpa kedip dengan tatapan garang dan
kebencian. Jaksa penuntut mencerca Ummu Aiman dengan beberapa pertanyaan
dan Ummu Aiman menjawabnya dengan tenang. Beberapa kali ia menjawab,
‘Tidak tahu!’

Ketika Ummu Aiman turun dari memberikan kesaksian, Maria datang. Ia
duduk di atas kursi roda didorong oleh adiknya Yousef. Di iringi Aisha, Tuan
Boutros, Madame Nahed, Paman Egbal, Bibi Sarah, dan seorang polisi berdasi
yang gagah. Melihat Maria datang serta merta Syaikh Ahmad bertakbir diikuti
oleh gemuruh takbir orang-orang Indonesia. Polisi berdasi langsung mendekati


Syaikh Ahmad berbincang sebentar lalu mendekati Amru. Dia tampak
menyerahkan beberapa berkas. Amru melihat berkas itu sebentar lalu tersenyum
padaku. Amru meminta kepada hakim untuk mendengarkan kesaksian Maria.
Saksi kunci dalam kasus ini. Sebab dialah yang mengerti dengan pasti apa yang
dilakukan Noura malam itu. Benarkah Noura berada di kamarku antara jam tiga
sampai azan pertama ataukah justru Noura bersama Maria. Hakim mempersilakan
Maria berbicara setelah disumpah akan memberikan kesaksian yang sejujur-
jujurnya. Maria pun berbicara dengan suara agak lemah. Wajahnya tampak
memerah karena emosi. Ia berusaha menahan emosinya. Mikrofon yang
dipegangnya cukup membantu memperjelas suaranya.

“Pak Hakim dan seluruh yang hadir dalam sidang ini, saya berani bersaksi
atas nama Tuhan Yang Maha Mengetahui bahwa Noura malam itu, sejak pukul
dua malam sampai pagi berada di kamarku. Ia sama sekali tidak keluar dari
kamarku. Ia selalu bersamaku. Jika dia mengatakan pukul tiga aku mengantarnya
turun ke rumah Fahri itu bohong belaka. Dalam rentang waktu itu dia sama sekali
tidak keluar dari rumahku. Jika Noura mengatakan pemerkosaan atas dirinya
terjadi dalam rentang waktu itu sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin
ada pemerkosaan waktu itu padahal dia berada di kamarku. Dan Fahri berada di
kamarnya. Untuk membuktikan omongan saya ini, saya punya bukti nyata.
Begini, kira-kira pukul tiga lebih sepuluh menit Noura menelpon ke salah satu
temannya dengan telpon rumahku. Dia menelpon teman satu kelasnya bernama
Khadija yang tinggal di Wadi Hof. Dia berbicara kira-kira sepuluh menit. Dan
kami bawa bukti tercatat dari kantor telkom adanya percakapan itu. Bahkan
rekaman pembicaraan Noura dengan Khadija juga ada. Kebetulan Khadija juga
datang bersama kami. Dia bisa menjadi saksi. Dengan bukti kuat ini, aku berharap
Bapak Hakim bisa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Apa yang
dikatakan Noura adalah fitnah belaka. Dia harus mendapatkan ganjaran atas
tuduhan kejinya. Entah setan apa yang membuat Noura yang dulu jujur dan baik
hati kini berubah menjadi tukang fitnah yang tidak memiliki nurani. Dia
menyerahkan kegadisannya pada orang lain lalu menuduh Fahri yang
melakukannya. Aku sangat menyesal menolong perempuan berhati busuk seperti
dia. Demi Allah Yang Maha Mengetahui, aku tidak rela atas tuduhan yang


dilontarkan Noura kepada Fahri. Aku tidak rela. Jika sampai Fahri divonis salah
maka Noura akan menjadi musuhku di hadapan Allah di akherat
kelak..ugh..ugh..ugh..!” Maria batuk lalu jatuh tak sadarkan diri di kursi rodanya.
Madame Nahed yang tahu akan hal itu langsung mengambil Maria dan
menggeledeknya keluar ruangan bersama Yousef. Mungkin langsung
membawanya kembali ke rumah sakit.

Setelah Maria, Khadija memberikan kesaksian memang benar pada malam
itu sekitar jam tiga lebih Noura menelponnya dan menceritakan kisah sedihnya.
Namun Noura minta agar tidak memberitahukan Bahadur bahwa dia
menelponnya. Amru lalu memberikan selembar kertas dari kantor telkom Mesir
berisi perincian pemanggilan dan penerimaan panggilan nomor telpon rumah
Maria. Yang membuat heran adalah Amru membunyikan rekaman pembicaraan
Noura-Khadija via telpon malam itu. Setelah itu Amru mengajukan kesaksian
paling mengejutkan yaitu kesaksian lelaki ceking bernama Gamal yang pada saat
pengadilan pertama menjadi saksi pihak Noura. Kini Gamal bersaksi kembali:

“Pak Hakim dan hadirin semuanya. Saya ingin memberikan kesaksian
yang sejujurnya. Di tempat ini saya hendak berkata apa sebenarnya yang saya
alami. Sebenarnya apa yang saya katakan pada pengadilan pertama tidak benar.
Saya minta maaf atas kesaksian palsu saya. Saya khilaf. Dan pada kesempatan
kali ini saya mengaku dengan sejujurnya saya tidak tahu menahu mengenai
masalah ini. Saya tidak melihat nona Noura turun dan masuk rumah Fahri. Sebab
malam itu saya tidur di rumah bersama isteri dan anak saya. Saya bukan seorang
pemburu burung hantu. Itu semua rekayasa belaka. Terima kasih.”

Setelah mendengar semua kesaksian itu Amru berpidato dengan bahasa
yang luar biasa kuatnya. Ia meyakinkan kepada siapa saja yang mendengarnya
bahwa Noura seorang pemfitnah. Berkali-kali dengan bahasa yang kuat dan tajam
dia menghabisi Noura. Kulihat Noura pucat dan meneteskan air mata. Selesai
Amru bicara Noura angkat tangan dan minta kepada hakim untuk bicara. Hakim
memberinya waktu lima menit. Noura berdiri dan menuju podium. Di sana dia
berbicara dengan kepala menunduk sambil menangis terisak-isak:

“Pak Hakim dan hadirin sekalian. Selamanya kebenaran akan menang.
Jika tidak di pengadilan dunia maka kelak di pengadilan akhirat. Selamanya


rekayasa manusia tiada artinya apa-apa dibanding kekuasaan Tuhan. Hadirin, jika
ada gadis malang di dunia ini yang semalang-malangnya adalah diriku. Sejak
kecil sampai beberapa bulan yang lalu aku diasuh oleh orang yang bukan orang
tua kandungku. Waktu bayi aku tertukar di rumah sakit dengan bayi lain. Aku
hidup dalam keluarga bermoral setan. Namun aku selalu tabah dan terus bertahan.
Sampai akhirnya malam itu. Aku ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
Malam itu sebelum aku diusir dan diseret si jahat Bahadur ke jalan terlebih dahulu
aku diperkosanya…hiks..hiks..!” Noura tersedu sesaat lamanya. Ruang pengadilan
diselimuti keheningan berbalut kepiluan dan rasa kasihan.

“Aku merasa bisa menyembunyikan aib yang menimpaku. Aku kira tidak
akan terjadi apa-apa denganku. Waktu terus berjalan sampai akhirnya Allah
mempertemukan diriku dengan kedua orang tua kandungku lewat bantuan banyak
orang termasuk, Fahri, Maria, Nurul, Syaikh Ahmad dan Ummu Aiman. Kedua
orang tua kandungku adalah orang terpandang dan dari keluarga besar terhormat.
Mereka menerima kedatanganku dengan penuh rasa bahagia luar biasa. Petaka itu
datang kembali ketika perutku semakin membesar. Mereka menanyakan padaku
siapa yang telah menghamiliku. Aku tak mau berterus terang bahwa Bahadur yang
menghamiliku dengan memperkosa. Aku sudah sangat benci dengan dirinya.
Akhirnya aku berbohong pada mereka yang menghamiliku adalah Fahri. Sebab
aku sangat mencintai Fahri dengan harapan Fahri nanti mau menikahiku. Namun
yang kulakukan ternyata tak lain adalah dosa besar yang sangat keji aku telah
menghancurkan kehidupan orang yang kucintai dan di sisi lain aku telah
membiarkan penjahat yang menghamiliku tertawa terbahak-bahak. Semua
rekayasa yang telah diatur rapi juga diporak-porandakan oleh kekuasaan Allah
Swt. Di sini, sebelum di akhirat nanti, aku akui dengan sejujurnya Fahri tidak
bersalah. Dia bersih. Dan kepadanya dan kepada keluarganya serta siapa saja yang
terzhalimi atas kebodohanku aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Aku
memang ditakdirkan untuk hidup malang di dunia. Namun aku bertekad
memperbaiki diri agar tidak malang di akhirat kelak.”

Atas dasar semua bukti yang ada dan pengakuan Noura akhirnya mau
tidak mau Dewan Hakim memutuskan diriku tidak bersalah dan bebas dari
dakwaan apa pun. Takbir dan hamdalah bergemuruh di ruang pengadilan itu


dilantunkan oleh semua orang yang membela dan bersimpati padaku. Seketika
aku sujud syukur kepada Allah Swt. Aisya memelukku dengan tangis bahagia
tiada terkira. Paman Eqbal dan bibi Sarah tak mampu membendung air matanya.
Syaikh Ahmad dan Ummu Aiman juga sama. Nurul dan suaminya yaitu Mas
Khalid datang memberi selamat dengan mata berkaca. Satu persatu orang-orang
Indonesia yang di dalam ruangan itu memberi selamat dengan wajah haru. Amru
memberi tahu bahwa Kolonel Ridha Shahata, sepupu Syaikh Ahmad yang
memiliki posisi cukup penting di Badan Kemanan Negara juga punya andil dalam
membantu mendapatkan bukti dari kantor telkom dan memaksa Gamal berkata
jujur. Suatu bukti bahwa dunia belum kehilangan orang-orang yang baik dan cinta
keadilan.


29. Nyanyian dari Surga



Begitu divonis bebas, aku dibawa oleh Aisha ke rumah sakit Maadi untuk
diperiksa. Penyiksaan dipenjara seringkali menyisakan cidera atau luka. Dokter
mengatakan aku harus dirawat di rumah sakit beberapa hari untuk memulihkan
kesehatan. Beberapa jari kakiku yang hancur harus ditangani serius. Ada gejala
paru-paru basah yang kuderita. Aisha memesankan kamar kelas satu bersebelahan
dengan kamar Maria. Teman-teman dari Indonesia banyak yang menjenguk,
meskipun mereka sedang menghadapi ujian semester ganjil Al Azhar. Sementara
musim dingin semakin menggigit.

Sudah tiga hari, sejak jatuh tak sadarkan diri saat memberikan kesaksian di
pengadilan Maria belum juga siuman. Dokter mengatakan ada kelenjar syaraf di
kepalanya yang tak kuat menahan emosi yang kuat mendera. Ada pembengkakan
serius pada pembuluh darah otaknya karena tekanan darah yang naik drastis.
Akibatnya dia koma. Untung pembuluh darah otaknya itu tidak pecah. Kalau
pecah maka nyawanya bisa melayang.

Sekarang tidak hanya Madame Nadia dan keluarganya saja yang merasa
bertanggung jawab menunggui Maria. Aisha merasa punya panggilan jiwa tak
kalah kuatnya. Ia sangat setia menunggui diriku dan menunggui Maria. Ia bahkan
sering tidur sambil duduk di samping Maria. Aisha menganggap Maria seperti
adiknya sendiri. Beberapa kali aku memaksakan diri untuk bangkit dari tempat
tidur dan menemani Aisha menunggui Maria.

Pada hari keempat sejak Maria tak sadarkan diri, tepatnya pada pukul
sembilan pagi handphone Aisha berdering. Aisha mengangkatnya. Ia terkejut
mendengar suara orang yang menelponnya. “Alicia? Di mana? Oh masya Allah,
Subhanallah! Ya..ya...baik. Kalau begitu kau naik metro saja turun di Maadi. Aku
jemput di dekat loket tiket sebelah barat. Okey? Wa ‘alaikumussalam wa
rahmatullah.”

Aisha lalu tersenyum padaku dan berkata,

“Selamat untukmu Fahri, kau telah mendapatkan kenikmatan yang lebih
agung dari terbitnya matahari. Alicia sudah menjadi muslimah sekarang. Apa
yang kau lakukan sampai kau akhirnya jatuh sakit itu tidak sia-sia. Jawabanmu itu


mampu menjadi jembatan baginya menemukan cahaya Tuhan. Dia ingin
menemuimu. Kira-kira pukul setengah sepuluh dia akan sampai di Mahattah
Maadi.”

Aku merasakan keagungan Tuhan di seluruh jiwa. Aku merasa Dia tiada
pernah meninggalkan diriku dalam segala cuaca dan keadaan.

PadaMu

Kutitipkan secuil asa

Kau berikan selaksa bahagia

PadaMu

Kuharapkan setetes embun cinta

Kau limpahkan samudera cinta

Aisha menengok kamar Maria, tak lama ia kembali lagi dan berkata, “Dia
belum juga sadar. Hanya detak jantungnya yang masih terus bekerja dan
hembusan nafasnya yang masih mengalir menunjukkan dia masih hidup. Sungguh
aku tak tega melihat dia terbaring begitu lemah tiada berdaya. Seringkali ada
lelehan air mata di sudut matanya. Entah apa yang dialaminya di alam tak
sadarnya.”

Aisha melihat jam. “Sayang, aku keluar sebentar ya menjemput Alicia.”

“Ya, tapi jangan cerita tentang penjara.” Lirihku. Aisha menganggukkan
kepalanya lalu beranjak keluar.

Seperempat jam kemudian Aisha datang bersama Alicia. Aku nyaris tidak
percaya bahwa sosok yang datang bersamannya adalah Alicia. Sangat kontras
dengan penampilannya waktu pertama kali bertemu di dalam metro dulu. Dulu
pakaiannya ketat mempertontonkan aurat. Sekarang dia memakai jilbab,
pakaiannya sangat anggun dan rapat menutup aurat. Tak jauh berbeda dengan
Aisha.

“Aku datang kemari sengaja untuk menemuimu, Fahri. Untuk
mengucapkan terima kasih tiada terkira padamu. Karena berjumpa denganmulah
aku menemukan kebenaran dan kesejukan yang aku cari-cari selama ini.” Kata
Alicia, mata birunya berbinar bahagia. Alicia lalu mengisahkan pergolakan
batinnya sampai akhirnya masuk Islam dua bulan yang lalu.


“Selain itu aku membawa ini.” Alicia membuka tas hitamnya yang agak
besar. Ia mengeluarkan dua buah buku dan menyerahkan padaku. Aku terkejut
membaca tulisan yang ada di sampulnya. Namaku tertulis di sana.

“Jawabanmu tentang masalah perempuan dalam Islam jadi buku itu. Dan
terjemahan Maria jadi yang ini. Semuanya diterbitkan oleh Islamic Centre di New
York. Tiap buku baru dicetak 25 ribu exemplar. Dr. Salman Abdul Adhim
direktur penerbitannya meminta nomor rekeningmu, Maria dan Syaikh Ahmad
untuk tranfer honorariumnya. Kau boleh bangga sekarang dua buku itu sedang
dicetak lagi karena satu bulan diluncurkan langsung habis.” Cerita yang dibawa
Alicia benar-benar menghapus semua duka yang pernah kurasa. Sangat mudah
bagi Tuhan untuk menghapus duka dan kesedihan hamba-Nya.

“Kau tidak ingin menemui Maria?” tanyaku.

“Ingin.”

“Aisha, antarkan Alicia melihat Maria.”

Aisha menggamit tangan Alicia ke kamar sebelah di mana Maria terbaring
lemah. Aku tidak tahu seperti apa reaksi Alicia bertemu Maria dalam keadaan
seperti itu. Sambil berbaring aku memperhatikan dengan seksama dua buku yang
diberikan Alicia itu. Buku pertama, Women in Islam. Sebuah buku kecil. Tebalnya
cuma 65 halaman. Namaku terpampang sebagai pengarangnya. Aku jadi malu
pada diri sendiri, aku hanya menulis ulang dan merapikan pelbagai macam bahan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar perempuan dalam Islam. Bukan
menulis suatu yang baru. Di dalamnya kulihat editornya dua orang: Alicia Brown
dan Syaikh Ahmad Taqiyuddin. Di halaman terakhir buku itu ada biodataku
secara singkat. Lalu buku kedua berjudul, Why Does the West Fear Islam? ditulis
Prof Dr. Abdul Wadud Shalabi. Aku dan Maria tercantum sebagai penerjemah.
Editornya sama.

Setengah jam kemudian Alicia kembali bersama Aisha.

“Semoga isteri keduamu itu cepat sembuh. Selamat atas pernikahan kalian.
Semoga dirahmati Tuhan. Oh ya aku ada pesan dari Dr. Salman Abdul Adhim,
kau akan diundang untuk memberikan cemarah di beberapa Islamic Centre di
Amerika sekalian mendiskusikan apa yang telah kau tulis. Tiket, surat undangan
dan jadwal kegiatannya ada di hotel, tidak terbawa,” kata Alicia.


“Waktunya kapan?” Aisha menanggapi.

“Bulan depan. Selama sepuluh hari.”

“Semoga dia benar-benar sudah sembuh.”

“Semoga.”

Setelah itu Alicia minta diri dan berjanji akan datang lagi keesokan hari
untuk menyerahkan tiket dan semua berkas yang akan digunakan untuk
mempermudah mengurusi visa masuk ke Amerika.

“Begitu banyak perubahan silih berganti yang kita alami,” kata Aisha
setelah Alicia pergi.

* * *

Tengah malam, Aisha membangunkan diriku. Kusibak selimut tebal. Kaca
jendela tampak basah. Musim dingin mulai merambat menuju puncaknya. Aisha
melindungi tubuhnya dengan sweater. Untung penghangat ruangan kamar kelas
satu berfungsi baik. Tapi kaca jendela tetap tampak basah. Berarti di luar sana
udara benar-benar dingin. Mungkin telah mencapai 8 derajat. Aku tidak bisa
membayangkan seperti apa dinginnya kutub utara yang puluhan derajat di bawah
nol. Suasana malam senyap dan beku.

“Fahri, ayo lihatlah Maria, dia mengigau aneh sekali..aku belum pernah
melihat orang mengigau seperti itu.” Kata Aisha pelan.

Aku mengikuti ajakan Aisha untuk melihat keadaan Maria. Tak ada siapa-
siapa di kamar Maria saat kami masuk. Kecuali Madame Nadia, yang pulas di
sofa tak jauh dari ranjang Maria. Ibu kandung Maria itu kelihatannya kelelahan.
Kami melangkah pelan mendekati Maria. Dan aku mengenal apa yang diigaukan
oleh Maria. Aku pasang telinga lekat-lekat dan memperhatikan dengan seksama.
Subhanallah, Maha Suci Allah! Yang terucap lirih dari mulut Maria, tak lain dan
tak bukan adalah ayat-ayat suci dalam surat Maryam. Ia memang hafal surat itu.
Aku tak kuat menahan haru.

“Sepertinya yang keluar dari bibirnya itu ayat-ayat suci Al-Qur’an?
Bagaimana bisa terjadi, Fahri?” Heran Aisha.

“Kita dengarkan saja baik-baik. Nanti aku jelaskan padamu. Banyak hal
yang belum kau ketahui tentang Maria.” Jawabku pelan.


Kami pun menyimak igauan Maria baik-baik. Mendengarkan apa yang
diucapkan oleh Maria dalam alam tidak sadarnya. Pelan. Urut. Indah dan lancar.
Tak ada yang salah. Meskipun tajwidnya masih belum lurus benar. Maria
melantunkan ayat-ayat yang mengisahkan penderitaan Maryam setelah
melahirkan nabi Isa. Maryam dituduh melakukan perbuatan mungkar. Allah
menurunkan mukjizat-Nya, Isa yang masih bayi bisa berbicara.



Fa atat bihi qaumaha tahmiluh,

qaalu yaa Maryamu laqad ji’ta syaian fariyya.

Ya ukhta Haaruna maa kaana abuuki imra ata sauin

wa maa kaanat ummuki baghiyya.

Fa asyaarat ilaih, qaalu kaifa nukallimu man kaanat fil mahdi shabiyya.

Qaala inni abdullah aataniyal kitaaba wa ja’alani nabiyya.

Wa ja’alani mubaarakan ainama kuntu

wa aushaani bish shalati waz zakaati maa dumtu hayya.



(Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan
menggendongnya. Kaumnya berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah
melakukan sesuatu yang amat mungkar.

Hai saudara perempuan Harun ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang
jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.

Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, ‘Bagaimana kami
akan berbicara pada anak kecil yang masih dalam ayunan?’

Isa berkata, ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab
dan dia menjadikan aku seorang nabi.

Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan
dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat menunaikah zakat selama aku
hidup)115



Seorang malaikat pun jika mendengar apa yang dilantunkan Maria dalam
alam bawah sadarnya itu akan luluh jiwanya, bergetar hatinya, dan meneteskan air
mata. Maria sedang mengeluarkan apa yang bercokol kuat dalam memorinya. Dan

115 QS. Maryam: 27-31.


itu adalah ayat-ayat suci yang menyejukkan. Maria terus melantunkan apa yang
dihafalnya ayat demi ayat. Air mataku menetes setetes demi setetes. Cahaya
keagungan Tuhan berkilat-kilat dalam diri semakin lama semakin benderang.
Bibir Maria terus bergetar. Aku bertanya dalam diri, siapa sebenarnya yang
menggerakkan bibirnya? Dia sedang tak sadar apa-apa. Ia sampai pada akhir surat
Maryam. Namun bibirnya tidak juga berhenti bergetar, terus melanjutkan surat
setelahnya. Surat Thaaha. Subhanallah!

Thaaha.

Maa anzalna ‘alaikal Qur’aana li tasyqa

Illa tadzkiratan liman yakhsya



( Thaaha.

Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu

agar kamu jadi susah

Tetapi sebagai tadzkirah

bagi orang yang takut kepada Allah

)116

Aku jadi tidak mengerti sebenarnya berapa surat. Berapa juz yang telah
dihafal Maria. Dulu saat pertama kali dia menyapa di dalam metro dia
mengatakan hanya hafal surat Al Maidah dan Maryam saja. Sekarang dia
membaca surat Thaaha. Aku benar-benar terkesima dibuatnya. Masih banyak
rahasia dalam dirinya yang tidak aku ketahui. Aku jadi tidak tahu pasti keyakinan
dalam hatinya. Dengan air mata terus mengalir di sudut matanya yang terpejam ia
melantunkan ayat-ayat suci itu seperti sedang asyik bernyanyi dalam mimpi.
Malam yang dingin terasa hangat oleh aura getar bibir Maria. Ia mengajak
pendengarnya berada di Mesir pada masa nabi Musa melawan Fir’aun. Ia terus
bernyanyi, seperti bidadari menyanyikan lagu surga.

Innama ilaahukumullah al ladzi laa ilaha illa huwa

wasia kulla syai in ilma

Kadzalika naqushu ‘alaika anbai ma sabaq

wa qad aatainaaka min ladunna dzikra

116 QS. Thaaha: 1-3.


(Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah,

yang tiada tuhan selain Dia, pengetahuannya

meliputi segala sesuatu.

Demikianlah kami kisahkan kepadamu

sebagian kisah umat yang telah lalu,

dan sesungguhnya telah kami berikan kepadamu

dari sisi Kami suatu peringatan

)117

Sampai ayat ini bibir Maria berhenti bergetar. Lelehan air matanya
semakin deras. Namun ia tidak juga membuka mata. Entah apa yang ia rasa. Aku
hanya bisa ikut melelehkan air mata. Berdoa. Dan memegang erat tangannya.
Sesaat lamanya keheningan tercipta. Tiba-tiba bibirnya bergerak dan
mendendangkan zikir dengan nada aneh:

Allah. Allah. Allah.

Aku ingin Allah.

Allah. Allah. Allah.

Aku rindu Allah.

Allah. Allah. Allah.

Aku cinta Allah.

Allah. Allah. Allah

Allah.

Allah.

Allah.

Allah.

Allah.

Allah. Allah. Allah.

CahayaMu Allah.

Allah. Allah. Allah.

SenyumMu Allah.

Allah. Allah. Allah.

BelaianMu Allah.

117 QS. Thaaha: 98-99


Allah. Allah. Allah.

CiumanMu Allah.

Allah. Allah. Allah.

CintaMu Allah.

Allah.

Surgamu Allah.

Allah.

Surgamu Allah.

Allah.

Surgamu Allah.

Surgamu Allah.

Surgamu Allah.

Surgamu Allah.

Allah. Allah.Allah.

Allah.

Allah.

Allah.

Semakin lama volume suaranya semakin mengecil. Lalu hilang. Hatiku
berdesir ketika melihat bulu matanya yang lentik bergerak-gerak. Perlahan ia
mengerjap. Allah. Allah. Allah. Sembari bibirnya berzikir matanya tampak mulai
terbuka perlahan. Dan akhirnya benar-benar terbuka. Subhanallah!

“Maria!” sapaku pelan.

“Fa..Fahri?” suaranya sangat lirih nyaris tiada terdengar.

“Ya. Apa yang kau rasakan sekarang, Sayang? Apanya yang sakit?”

“Tolonglah aku? Aku sedih sekali.”

“Kenapa sedih?”

“Aku sedih tak diizinkan masuk surga!”

Jawaban Maria membuat aku dan Aisha kaget bukan main. Dari mana dia
tiba-tiba dapat kekuatan untuk berkata sejelas itu? Apakah dia akan mati?
Tanyaku dalam hati. Dan cepat-cepat aku membuang pertanyaan tidak baik itu.
Tapi kenapa dia berulang-ulang menyebut-nyebut surga.


“Aku telah sampai di depan pintu surga, tetapi aku tidak boleh masuk!”
ulangnya.

“Kenapa?”

“Katanya aku tidak termasuk golongan mereka. Pintu-pintu itu tertutup
bagiku. Aku terlunta-lunta. Aku menangis sejadi-jadinya.”

“Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang kau alami, Maria. Tapi
bagaimana mulanya kau bisa sampai di sana?”

“Aku tidak tahu awal mulanya bagaimana. Tiba-tiba saja aku berada dalam
alam yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Dari kejauhan aku melihat istana
megah hijau bersinar-sinar. Aku datang ke sana. Aku belum pernah melihat
bangunan istana yang luasnya tiada terkira, dan indahnya tiada pernah terpikir
dalam benak manusia. Luar biasa indahnya. Ia memiliki banyak pintu. Dari jarak
sangat jauh aku telah mencium wanginya. Aku melihat banyak sekali manusia
berpakaian indah satu persatu masuk ke dalamnya lewat sebuah pintu yang tiada
terbayangkan indahnya. Kepada mereka aku bertanya, “Istana yang luar biasa
indahnya ini apa?” Mereka menjawab, “Ini surga!” Hatiku bergetar. Dari pintu
yang terbuka itu aku bisa sedikit melihat apa yang ada di dalamnya. Sangat
menakjubkan. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan. Tak ada pikiran yang
mampu melukiskan. Aku sangat tertarik maka aku ikut barisan orang-orang yang
satu persatu masuk ke dalamnya. Ketika kaki mau melangkah masuk seorang
penjaga dengan senyum yang menawan berkata padaku, “Maaf, Anda tidak boleh
lewat pintu ini. Ini namanya Babur Rayyan. Pintu khusus untuk orang-orang yang
berpuasa.118 Anda tidak termasuk golongan mereka!” Aku sangat kecewa. Aku
lalu berjalan ke sisi lain. Di sana ada pintu yang juga sedang penuh dimasuki anak
manusia berpakaian indah. Aku mau ikut masuk. Seorang penjaga yang ramah
berkata, “Maaf, Anda tidak boleh lewat pintu ini. Ini Babush Shalat. Pintu khusus
untuk orang-orang shalat. Dan Anda tidak termasuk golongan mereka!” Aku
sangat sedih. Hatiku kecewa luar biasa. Aku melihat di kejauhan masih ada pintu.
Aku berjalan ke sana dengan harapan bisa masuk lewat pintu itu. Namun ketika
hendak masuk seorang penjaga yang wajahnya bercahaya berkata, “Maaf, Anda

118 Imam Syamsuddin Al-Qurthubi (w. 671 H.) dalam kitabnya At Tadzkirah banyak
menjelaskan tentang deskripsi surga sesuai dengan yang dijelaskan dalam hadits-hadits nabi,
termasuk jumlah pintu surga dan nama-namanya.


tidak boleh masuk lewat sini. Ini Babuz Zakat. Pintu khusus untuk orang-orang
yang menunaikan zakat. Ada banyak pintu. Dan setiap kali aku hendak masuk
selalu dicegah penjaganya. Sampai di pintu terakhir namanya Babut Taubah. Aku
juga tidak boleh masuk. Karena itu khusus untuk orang-orang yang taubatnya
diterima Allah. Dan aku tidak termasuk mereka. Aku kembali ke pintu-pintu
sebelumnya. Semuanya tertutup rapat. Orang-orang sudah masuk semua. Hanya
aku sendirian di luar. Aku menggedor-gedor pintu bernama Babur Rahmah. Tak
ada yang membuka. Aku hanya mendengar suara, “Jika kau memang penghuni
surga kau tidak perlu mengetuknya karena kau pasti punya kuncinya. Bukalah
pintu-pintu itu dengan kunci surga yang kau miliki!” Aku menangis sejadi-
jadinya. Aku tidak memiliki kuncinya. Aku berjalan dari pintu satu ke pintu yang
lain dengan air mata menetes di sepanjang jalan. Aku putus asa. Aku tergugu di
depan Babur Rahmah. Aku mengharu biru pada Tuhan. Aku ingin menarik belas
kasihNya dengan membaca ayat-ayat sucinya. Yang kuhafal adalah surat Maryam
yang tertera di dalam Al-Qur’an. Dengan mengharu biru aku membacanya penuh
penghayatan. Selesai membaca surat Maryam aku lanjutkan surat Thaha. Sampai
ayat sembilan puluh sembilan aku berhenti karena Babur Rahmah terbuka
perlahan. Seorang perempuan yang luar biasa anggun dan sucinya keluar
mendekatiku dan berkata,

“Aku Maryam. Yang baru saja kau sebut dalam ayat-ayat suci yang kau
baca. Aku diutus oleh Allah untuk menemuimu. Dia mendengar haru biru
tangismu. Apa maumu?”

“Aku ingin masuk surga. Bolehkah?”

“Boleh. Surga memang diperuntukkan bagi semua hamba-Nya. Tapi kau
harus tahu kuncinya?”

“Apa itu kuncinya?”

“Nabi pilihan Muhammad telah mengajarkannya berulang-ulang. Apakah
kau tidak mengetahuinya?”

“Aku tidak mengikuti ajarannya.”

“Itulah salahmu.”

“Kau tidak akan mendapatkan kunci itu selama kau tidak mau tunduk
penuh ikhlas mengikuti ajaran Nabi yang paling dikasihi Allah ini. Aku


sebenarnya datang untuk memberitahukan kepadamu kunci masuk surga. Tapi
karena kau sudah menjaga jarak dengan Muhammad maka aku tidak
diperkenankan untuk memberitahukan padamu.”

Bunda Maryam lalu membalikkan badan dan hendak pergi. Aku langsung
menubruknya dan bersimpuh dikakinya. Aku menangis tersedu-sedu. Memohon
agar diberitahu kunci surga itu. “Aku hidup untuk mencari kerelaan Tuhan. Aku
ingin masuk surga hidup bersama orang-orang yang beruntung. Aku akan
melakukan apa saja, asal masuk surga. Bunda Maryam tolonglah berilah aku
kunci itu. Aku tidak mau merugi selama-lamanya.” Aku terus menangis sambil
menyebut-nyebut nama Allah. Akhirnya hati Bunda Maryam luluh. Dia duduk
dan mengelus kepalaku dengan penuh kasih sayang,

“Maria dengarkan baik-baik! Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan
kunci masuk surga. Dia bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu dengan baik, kemudian
mengucapkan: Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan
abduhu wa rasuluh (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi
sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya) maka akan dibukakan
delapan pintu surga untuknya dan dia boleh masuk yang mana ia suka!’ 119 Jika
kau ingin masuk surga lakukanlah apa yang diajarkan olah Nabi pilihan Allah itu.
Dia nabi yang tidak pernah bohong, dia nabi yang semua ucapannya benar. Itulah
kunci surga! Dan ingat Maria, kau harus melakukannya dengan penuh keimanan
dalam hati, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Tanpa
keimanan itu, yang kau lakukan sia-sia. Sekarang pergilah untuk berwudhu. Dan
cepat kembali kemari, aku akan menunggumu di sini. Kita nanti masuk bersama.
Aku akan membawamu ke surga Firdaus!”

Setelah mendengar nasihat dari Bunda Maryam, aku lalu pergi mencari air
untuk wudhu. Aku berjalan ke sana kemari namun tidak juga menemukan air. Aku
terus menyebut nama Allah. Akhirnya aku terbangun dengan hati sedih. Aku ingin
masuk surga. Aku ingin masuk surga. Aku ingin ke sana, Bunda Maryam
menungguku di Babur Rahmah. Itulah kejadian atau mimpi yang aku alami. Oh
Fahri suamiku, maukah kau menolongku?”

“Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Maria?”

119 Hadits riwayat Imam Muslim.


“Bantulah aku berwudhu. Aku masih mencium bau surga. Wanginya
merasuk ke dalam sukma. Aku ingin masuk ke dalamnya. Di sana aku berjanji
akan mempersiapkan segalanya dan menunggumu untuk bercinta. Memadu kasih
dalam cahaya kesucian dan kerelaan Tuhan selama-lamanya. Suamiku, bantu aku
berwudhu sekarang juga!”

Aku menuruti keinginan Maria. Dengan sekuat tenaga aku membopong
Maria yang kurus kering ke kamar mandi. Aisha membantu membawakan tiang
infus. Dengan tetap kubopong, Maria diwudhui oleh Aisha. Setelah selesai, Maria
kembali kubaringkan di atas kasur seperti semula. Dia menatapku dengan sorot
mata bercahaya. Bibirnya tersenyum lebih indah dari biasanya. Lalu dengan suara
lirih yang keluar dari relung jiwa ia berkata:

Asyhadu an laa ilaaha illallah

wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh!

Ia tetap tersenyum. Menatapku tiada berkedip. Perlahan pandangan
matanya meredup. Tak lama kemudian kedua matanya yang bening itu tertutup
rapat. Kuperiksa nafasnya telah tiada. Nadinya tiada lagi denyutnya. Dan
jantungnya telah berhenti berdetak. Aku tak kuasa menahan derasnya lelehan air
mata. Aisha juga. Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun!

Maria menghadap Tuhan dengan menyungging senyum di bibir. Wajahnya
bersih seakan diselimuti cahaya. Kata-kata yang tadi diucapkannya dengan bibir
bergetar itu kembali terngiang-ngiang ditelinga:

“Aku masih mencium bau surga. Wanginya merasuk ke dalam sukma.
Aku ingin masuk ke dalamnya. Di sana aku berjanji akan mempersiapkan
segalanya dan menunggumu untuk bercinta. Memadu kasih dalam cahaya
kesucian dan kerelaan Tuhan selama-lamanya.”

Sambil terisak Aisha melantunkan ayat:

Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah

irji’ii ilaa Rabbiki

raadhiyatan mardhiyyah

Fadkhulii fii ‘ibaadii

wadkhulii jannatii




(Hai jiwa yang tenang

Kembalilah kamu kepada Tuhanmu

dengan hati puas lagi diridhai

Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu

Maka masuklah ke dalam surga-Ku.120

)

Saat itu Madame Nahed, terbangun dari tidurnya dan bertanya sambil
mengucek kedua matanya, “Kenapa kalian menangis?”

Kaca jendela mengembun. Musim dingin sedang menuju puncaknya. O,
apakah di surga sana ada musim dingin? Ataukah malah musim semi selamanya?
Ataukah musim-musim di sana tidak seperti musim yang ada di dunia?







Selesai, Rabu 8 Oktober 2003

Pukul 01: 03 dini hari.

Bangetayu Wetan, Semarang







120 QS. Al-Fajr: 27-30


Kitab-kitab yang mendampingi penulisan novel ini:



1. As-Sunnah wal Bid’ah, (Sunah dan Bid’ah), karya Syaikh Prof. Dr. Yusuf
Al-Qaradhwi, Maktabah Wahbah, Cairo, Cet. I, 1999.
2. At Tadzkirah (Peringatan), karya Imam Syamsuddin Al-Qurthubi, Dar
Ibnu Khadun, Alexandria, Cet. I, 1997.
3. Fatawa Mu’ashirah (Fatwa-fatwa Kontemporer) Juz II & III, karya
Syaikh Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Darul Qalam, Cairo. Cet. I, 2001.
4. Kitab Ar-Ruuh (Kitab Ruh) karya Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah,
Darul Fajr, Cairo, Cet I, 1999.
5. Limadza Yakhafunal Islam? (Kenapa Mereka Takut Kepada Islam?),
karya Prof. Dr.Abdul Wadud Syalabi, Darul I’tisham, Cairo, 1999.
6. Makanatul Mar’ah Fil Islam (Posisi Wanita dalam Islam), karya Prof.
Dr. Muhammad Biltaji, Darus Salam, Cairo, Cet.I, 2000.
7. Manahilul ‘Irfan fi Ulumil Quran (Sumber Pengetahuan Ilmu-ilmu Al-
Qur’an), karya Syaikh Prof. Muhammad Abdul Adhim Az-Zarqani,
Muassasah At Tarikh Al Arabiy, Beirut-Lebanon, Cet. III, 1991.
8. Tuhfatul ‘Arus aw Az Zawaj Al Islamiy As Sa’id, (Hadiah Untuk
Pengantin atau Perkawinan Islami Yang Bahagia), karya Syaikh Mahmud
Mahdi Al-Istanbuli, Al Maktabah Al Islamiyyah, Amman, 1410 H.
9. Tuhfatul ‘Aris wal ‘Arus (Hadiah untuk Pengantin Lelaki dan Pengantin
Perempuan), karya Syaikh Muhammad Ali Qutb, Darul Anshar, Cairo,
tanpa tahun.

0 komentar:

Posting Komentar