This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 05 September 2009

Fiberglass

Aku mau bilang ( dan jangan pernah percaya ya..hehehe ). Jika fRP ato fiberglass ini dikembangkan dan dilakukan reseach secara lebih mendalam lagi. believe me that bahan ini akan bisa menyaingi baja. Lebih atraktif dan kind dibanding baja. Mengenai masaLah lingkungan itu bisa diatur dan lebih dinimalkan bahkan bisa dihilangkan sama-sekali....
Aku mau berbagi metode buat pengerjaan pembuatan FiberGlass. Semakin sering berlatih dan trial and eror, tentu aja kita kan semakain expert dalam proses ini. Dan siapa tahu aja, ucapan aku yang diatas bisa terjadi lebih cepat dari yang aku perkirakan.


Fiberglass

Bahan-bahan:
- Serat Fiber Glass/Mat Fiber
- Resin
- Catalyst

Formula:
- 8 tetes Catalyst
- 1 Cup Air/resin

Untuk membeli bahan bahan Fiberglass ( Mat, Resin, Catalyst, Pigment, Wqx, dll ) dapat dibeli di toko-toko kimia yang ada baik di Jakarta maupun di kota-kota lain.
Untuk pembelian dalam quantity yang besar dapat membelinya langsung kepada produsen, importir maupun ke agen penjualan.

Untuk cara pembuatan Fiberglass itu sendiri tergantung dari produk yang akan dibuat.

Proses pembuatannya secara umum adalah sebagai berikut.
Pertama-tama harus ada cetakan (Moulding) untuk membuat bentuk yang diinginkan.
Lalu permukaannya diberi wax yang fungsinya sebagai release agent.
Setelah itu diberi gelcoat (resin yang sudah dimix dengan pewarna/pigment).
Biarkan beberapa saat untuk gelcoat mengering.
Dan diatasnya dilapisi kain mat, kemudian diberi resin yang sudah diberi campuran catalyst sampai keseluruh permukaan mat.
Tunggu hingga resin menggering, produk fiberglass siap dilepas dari cetakan dan selesai.

Ini salah satu proses pembuatan produk fiberglass. Masih ada beberapa proses pembuatan tergantung produk yang dibuat.

Kiranya dapat bermanfaat.

BAHAN BAKU FIBERGLASS
Fiberglass adalah bahan paduan atau campuran beberapa bahan kimia (bahan komposit) yang bereaksi dan mengeras dalam waktu tertentu. Bahan ini mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan bahan logam, diantaranya: ringan, mudah dibentuk, dan murah.

Erosil
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berbentuk bubuk sangat halus seperti bedak bayi berwama putih. Berfungsi sebagai perekat mat agar Fiberglass menjadi kuat dan tidak mudah patah/pecah.

Resin
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berujud cairan kental seperti lem, berkelir hitam atau bening. Berfungsi untuk mengeraskan semua bahan yang akan dicampur.

Katalis
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berwarna bening dan berfungsi sebagal pengencer. Zat kimia ini biasanya dijual bersamaan dengan resin. Perbandingannya adalah resin 1 liter dan katalisnya 1/40 liter.

PIGMEN
adalah zat pewana sebagai pencampur saat bahan Fiberglass dicampur.

Mat
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berupa anyaman mirip kain dan terdiri dari beberapa model, dari model anyaman halus sampai dengan anyaman yang kasar atau besar dan jarang-jarang. Berfungsi sebagai pelapis campuran adonan dasar Fiberglass, sehingga sewaktu unsur kimia tersebut bersenyawa dan mengeras, mat berfungsi sebagai pengikatnya. Akibatnya Fiberglass menjadi kuat dan tidak getas.

Talk
merupakan bahan pembuat Fiberglass yang berupa bubuk berwarna putih seperti sagu. Berfungsi sebagai campuran adonan Fiberglass agar keras dan agak lentur.
Diposting oleh ENDO FIBERGLASS di 20:50

Proses Pembuatan Fiberglass
(a) mencampur 6 (enam) bahan utama menjadi bahan dasaran;
(b) membuat campuran penguat; dan
(c) finishing atau penyempurnaan.

Agar dapat dihasilkan kualitas Fiberglass yang kuat,campuran bahan untuk master cetakan harus lebih tebal dari pada Fiberglass hasil, yaitu sekitar 2-3 mm atau dilakukan 3-4 kali pelapisan. Sebagai gambaran misalnya akan membuat sebuah komponen bodi kendaraan.

Proses membuat campurannya adalah sebagai berikut :
Resin sejumlah 1,5 — 2 liter dicampur dengan talk dan diaduk rata. Apabila campuran yang terjadi terlalu kental maka perlu ditambahkan katalis.

Penggunaan katalis harus sesuai dengan perbandingan 1 : 1/40. Oleh karena itu apabila resinnya 2 liter, maka katalisnya 50 cc.

Selanjutnya ditambahkan erosil antara 400 — 500 gram pada campuran tersebut dan ditambahkan pula pigmen atau zat pewarna.

Apabila semua campuran tersebut diaduk masih terlalu kental, maka perlu ditambahkan katalis dan apabila campurannya terialu encer dapat ditambahkan aseton.

Pemberian banyak sedikitnya katalis akan mempengaruhi cepat atau lambatnya proses pengeringan.

Pada cuaca yang dingin akan dibutuhkan katalis yang lebih banyak.

Setelah campuran bahan dasar dibuat, langkah berikutnya adalah memoles permukaan cetakan dengan mirror (sebagai pelicin dan pengkilap) dan dilakukan memutar sampai lapisannya benar-benar merata.

Agar didapatkan hasil yang lebih baik, perlu ditunggu beberapa menit sampai pelicin tersebut menjadi kering.Untuk mempercepat proses pengeringan, dapat dijemur di terik matahari.

Apabila mirror sudah terserap, permukaan cetakan dapat dilap dengan menggunakan kain bersih hingga mengkilap. Selanjutnya permukaan cetakan dioleskan PVA untuk menjaga agar permukaan cetakan tidak lengket dengan Fiberglass hasil.

Langkah berikutnya adalah mengoleskan permukaan cetakan dengan adonan/campuran dasar sampai merata, dan ditunggu sampai setengah kering.

Selanjutnya di atas campuran yang telah dioleskan dapat diberi selembar mat sesuai dengan kebutuhan, dan dilapisi lagi dengan adonan dasar.

Untuk menghindari adanya gelembung udara, pengolesan adonan dasar dilakukan sambil ditekan, sebab gelembung akan mengakibatkan Fiberglass mudah keropos.

Jumlah pelapisan adonan dasar disesuaikan dengan keperluan, makin tebal lapisan maka akan makin kuat daya tahannya.

Selain itu sebagai penguat dapat ditambahkan tulangan besi atau tripleks, terutama untuk bagian yang lebar. Tujuannya adalah agar hasilnya tidak mengalami kebengkokan.

Apabila diperlukan, dilakukan pengerolan menyesuaikan alur-alur atau lekukan-lekukan yang ada di cetakan. Untuk mempercepat proses pengeringan, dapat dijemur di terik matahari.

Pelepasan Fiberglass hasil dilakukan apabila lapisan adonan tersebut sudah kering dan mengeras, sebab apabila dilepas sebelum kering dapat terjadi penyusutan.

Pada langkah finishing, dilakukan pengamplasan permukaan Fiberglass, pendempulan, dan pengecatan sesuai dengan warna yang diinginkan.

Stainless steels

Pernah lihat pisau>>/??. Itu lho yang sering dipAke ibu masak di dapur. Yang warnanya mengkilat dan bikin grrrr...hehehe. Tau nggak knp pisau itu bisa begitu mengkilaT??
Ini raHasianya. Ada dibalik lapisan yang digunakan....


Stainless steels

Stainless steels are chromium containing iron-based alloys, used in applications demanding thermal or corrosion resistance.

Stainless steels may be grouped into four types:
• austenitic (non-hardenable) (16-26%Cr)
• ferritic (non-hardenable) (10.5-30%Cr)
• martensitic (hardenable)(10.5-18%Cr)
• precipitation hardened (10.5-30%Cr)

These materials can be brazed by all the common processes available; however, they require rigid process control, i.e. combined braze cycle and heat treatment in order to maintain their characteristic properties.
Filler metals

Filler metals used for joining stainless steels include copper, silver, nickel, platinum, palladium and gold based alloys.

For applications where corrosion resistance is required, then silver-based filler metals with nickel should be used. If possible this brazing operation should be carried out in a protective atmosphere without flux.

Nickel-based filler metals offer excellent corrosion resistance, high temperature strength, and oxidation resistance up to 1090°C.

The precious metal based alloys such as, gold, platinum and palladium offer good joint ductility, high operating temperature capabilities along with minimal formation of intermetallics with the base metal.


Golf shoe spikes
(Courtesy of Trisport)

Joint performance

The most frequently used protective atmospheres for furnace brazing of stainless steels are dissociated ammonia and dry hydrogen. They are effective in reducing the surface oxides, protecting the base metal and promoting filler metal flow. However, they have associated handling problems due to their potentially explosive nature.

The use of carbon jigging must be avoided, due to the formation of methane with the hydrogen. Designing parts to be self-jigging will remove problems associated with differential expansion between parts and fixtures.

Care should be taken with dissociated ammonia and nitrogen atmospheres as nitriding of the steel surface may result.

The use of vacuum brazing offers excellent corrosion resistance due to the elimination of fluxes. Brazing under vacuum may also eliminate the need for nickel plating (to reduce surface oxidation) for some steels.

PENGARUH PENGGUNAAN KAWAT LAS ER5556A & ER5087 TERHADAP POROSITAS LASAN ALUMINUM 5083

PENGARUH PENGGUNAAN KAWAT LAS ER5556A & ER5087 TERHADAP POROSITAS LASAN ALUMINUM 5083

Alumunium itu ibarat cewek adalah cewek yang gampang-gampang susah. Bukan cewek murahan, tapi cewek yang imut. Jadi sebagai penakluk cewek, alumunium adalah tantangan yang harus kita taklukkna.. Hadeewww,kug jadi mbahas cewek sech??heheh
Oke dah. Langsung aja, ini ada sedikit share ttg gmn caranya menaklukkan alumunium yang terkenal unik ini..Lets EnjOy it guys...




PENGARUH PENGGUNAAN KAWAT LAS ER5556A & ER5087 TERHADAP POROSITAS LASAN ALUMINUM 5083


Winarto
Departemen Metalurgi & Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
Kampus Baru UI Depok – 16424
Telp/Fax (021) 7863510 / 7872350
Email: winarto@metal.ui.ac.id


Abstrak
Porositas lasan merupakan permasalahan yang sering terjadi pada industri manufaktur pengelasan aluminium dan paduannya. Banyak faktor yang berpengaruhi terhadap cacat porositas lasan aluminium dan salah satunya adalah penggunaan logam pengisi (filler wire) yang berpengaruh terhadap mekanisme proses pembekuan di kampuh lasan (weld metal). Ada 2 jenis kawat las (ER5556A & ER5087) yang digunakan untuk meneliti pengaruh porositas lasan aluminium paduan 5083 yang dilas dengan metoda las MIG. Jumlah persentase porositas lasan diukur menggunakan metoda analisa gambar (image analyses). Hasil penelitian menunjukan bahwa persentase porositas lasan 5083 yang menggunakan kawat las ER5087 memiliki persentase yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan kawat las ER5556A.

Kata kunci : Aluminum Paduan 5083; Kawat Las ER5556A & ER5087; Porositas Lasan


A. Pendahuluan
Umumnya pengelasan aluminium paduan sangat rentan terhadap terbentuknya porositas yang berlangsung selama proses pembekuan logam lasan. Keberadaan porositas akan secara langsung menurunkan sifat kekuatan mekanis hasil lasan. Oleh karena itu, kontrol terhadap terbentuknya porositas dan pengaruh keberadaan porositas terhadap sifat hasil lasan pada material aluminium dan paduannya merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti. Menurut AWS D1.2 [1], porositas didefinisikan sebagai cacat jenis lubang yang terbentuk oleh adanya gas yang terperangkap selama proses pengelasan. Banyak faktor yang diketahui berkontribusi terhadap cacat porositas lasan aluminium. Salah satu faktor utama penyebab porositas adalah gas pelindung yang terkontaminasi oleh atmosfir udara.[2] Penyebab lainnya adalah preparasi yang kurang baik dan faktor kebersihan dari logam induk dan logam pengisi sebelum dilakukan pengelasan.[3]-[6] Semua studi diatas tentang faktor penyebab porositas lasan aluminum sangat bervariasi dan sulit untuk didefinisikan. Meskipun demikian faktor yang paling diterima sebagai penyebab utama porositas adalah larutnya gas hidrogen kedalam kampuh las selama pengelasan berlangsung.
Secara umum ada 2 jenis klasifikasi cacat porositas berdasarkan ukuran, bentuk dan lokasinya. Jenis porositas yang pertama adalah porositas antar dendrit (interdendritic porosity) yang terjadi jika gelembung gas terperangkap diantara tangan atau cabang dendrit yang merupakan sub-struktur dari pembekuan kampuh las. Jenis porositas yang kedua adalah porositas bulat (bulk pores or spherical pores) yang terjadi akibat larut jenuh (supersaturation) gas-gas di kawah las (weld pool). Namun, secara umum faktor penyebab terjadinya kedua jenis porositas diatas tergantung dari jumlah gas-gas yang terlarut dan dari parameter proses pengelasan termasuk jenis kawat las yang digunakan.
Aluminium paduan 5083 dipilih dalam penelitian ini mengingat jenis paduan 5083 ini memiliki ketahanan korosi dan kekuatan mekanis yang cukup tinggi, sehingga material jenis ini banyak sekali digunakan untuk aplikasikan pada temperatur dibawah nol derajat (cryogenic), tangki-tangki LNG, bejana tekan temperature rendah (unfired pressure vessel), peralatan kelautan (marine component), rig pengeboran dan struktur rangka bangunan. Namun demikian, jika material aluminium paduan 5083 ini dilakukan manufaktur dengan menggunakan proses pengelasan, lasan paduan aluminium 5083 akan mengalami penurunan (degradasi) sifat mekanisnya dengan terbentuknya porositas akibat proses pengelasannya.[7]


Oleh sebab itu dalam makalah ini akan dikaji pengaruh 2 jenis kawat las berbeda (ER5556A dan ER5087) yang digunakan untuk mengelas aluminum paduan AA5083 dengan metoda las MIG, sehingga dari kajian tersebut dapat diketahui sejauh mana pengaruh penggunaan kedua kawat las tersebut terhadap jumlah persentase porositas yang terjadi di kampuh lasannya (weld metal) dengan cara mengukur melalui metoda analisa gambar (image analysis).

B. Prosedur Penelitian

B.1. Preparasi Bahan.
Logam dasar pada penelitian ini adalah menggunakan jenis paduan aluminium 5083. dalam bentuk pelat dengan ketebalan 5mm, panjang 300mm dan lebar 100mm. Selain itu 2 jenis logam pengisi (filler wires) yaitu ER-5556A and ER-5087 digunakan dalam bentuk gulungan (reels) seberat 6.5 kilogram dengan ukuran diameter kawat 1.6mm. Adapun komposisi kimiawi material dasar AA5083 dan kedua logam pengisi tertera dalam Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Komposisi kimia logam dasar AA-5083 (sesuai standar BSEN-573-3, 1994) [8]

AA-5083 %Si %Fe %Cu % Mn % Mg % Cr %Zn %Ti Other % Al
Standar 0.4 0.4 0.10 0.40-1.0 4.0-4.9 0.05-0.25 0.25 0.15 0.15 REM
Hasil Uji 0.9 0.24 0.01 0.6 4.7 0.1 0.02 0.01 0.15 REM


Tabel 2. Komposisi kimia logam pengisi (sesuai standar BS-2901-4) [9]

ER-5556A %Si %Fe %Cu % Mn % Mg % Cr %Zn %Ti %Be Other %Al
Standar 0.25 0.40 0.10 0.6-1.0 5.0-5.5 0.05-0.20 0.20 0.05-0.20 0.0008 0.15 Rem
Hasil Uji 0.07 0.19 0.002 0.72 5.4 0.0932 0.000 0.118 0.0007 0.0042 Rem

ER-5087 %Si %Fe %Cu % Mn % Mg % Cr %Zn %Ti %Be %Zr %Al
Standar 0.25 0.40 0.05 0.7-1.1 4.5-5.2 0.05-0.25 0.25 0.15 0.0008 0.1-0.2 Rem
Hasil Uji 0.08 0.2 0.0149 0.68 4.61 0.0963 0.011 0.128 0.0004 0.12 Rem



B.2. Proses Pengelasan.
Proses pengelasan material AA 5083 dengan menggunakan 2 jenis kawat las berbeda didisain untuk menghasilkan lasan penetrasi penuh material AA 5083 dengan parameter las sesuai Tabel 3 berikut ini :

Tabel 3. Parameter Las dalam mengelas pelat AA 5083 dengan 2 jenis kawat las
No. Kawat Las Tegangan
(Volt) Arus
(Ampere) Kecepatan
(mm/s) Masukan Panas
(kJ) Lin-Energy
(J/mm)
1. ER 5556A 22.3 250 8.33 5.6 669
2. 22.8 266 9.43 6.1 643
3. 23.4 270 10.49 6.3 602

1. ER 5087 23.1 252 8.22 5.8 708
2. 24.5 267 9.55 6.5 685
3. 24 271 10.68 6.5 609



B.3. Perhitungan Prosentase Porositas Lasan.
Proses perhitungan persentase porositas lasan dilakukan pada daerah penampang melintang lasan AA 5083 dengan menggunakan teknik Analisa Gambar (Image Analyses). Tujuan dari perhitungan ini adalah untuk membandingkan penggunaan logam pengisi (filler wire) yang berbeda pada pengelasan pelat AA5083 terhadap terbentuknya porositas di lasan.
Jumlah persentase porositas dihitung didaerah kampuh lasan (weld metal) untuk semua parameter lasan dengan menggunakan mikroskop optik. Selanjutnya gambar yang direkam dan persentasenya dengan menggunakan perangkat lunak (software) analisa gambar (image analyses).
Adapun prosedur untuk analisa gambar (image analyses) adalah sebagai berikut:
(a) Gambar struktur mikro penampang melintang (cross section) daerah kampuh las (weld metal) direkam menjadi file.
(b) Hasil perekaman dalam bentuk file selanjutnya di buat bentuk gambar biner (2 warna : hitam dan merah).
(c) Gambar dalam bentuk biner dianalisa dengan perangkat lunak untuk dihitung persentase porositasnya.
Gambar daerah yang diukur dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini:















Gambar 1. Foto luas penampang melintang struktur makro daerah kampuh las
untuk perhitungan persentase porositas lasan-nya.

C. Hasil Penelitian
Seluruh data hasil pengelasan diperoleh dan ditabulasikan dimana parameter las yang digunakan dibuat untuk menghasilkan lasan dengan penetrasi penuh (full penetration). Analisa difokuskan pada pengaruh penggunaan logam pengisi (filler wire) terhadap jumlah persentase porositas hasil lasan AA 5083 seperti terlihat pada Tabel 4 dan Gambar 2.
Tabel 4. Persentase porositas lasan AA 5083 dengan 2 jenis kawat las yang berbeda
No. Kawat Las Lin-Energy
( J/mm ) Porositas
( % )
1. ER 5556A 669 3.36
2. 643 1.11
3. 602 0.77

1. ER 5087 708 0.74
2. 685 0.29
3. 609 0.52



Gambar 2. Grafik hubungan antara Enerji Linier vs Persentase Porositas

C.1. Foto Makro Porositas Lasan pada Penggunaan Kawat Las ER 5556A.
Foto makro lasan yang dihasilkan dengan menggunakan ER5556A memiliki persentase porositas yang bervariasi jumlahnya terhadap parameter las (inerji liniar – joule per milimeter) pada semua lasan yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai energi liniar (J/mm) yang diberikan maka semakin besar jumlah porositas yang dihasilkan seperti terlihat pada Gambar 3.
Foto makro struktur pada Gambar 3 (a) tersebut terlihat bahwa nilai porositas tertinggi adalah 3,36% pada enerji linear sebesar 669 Joule/mm. Semakin rendah nilai Enegi Linier-nya hingga 602 J/mm, maka nilai persentase porositasnya akan semakin mengecil hingga 0,77 %, seperti terlihat pada Gambar 3 (c).

C.2. Foto Makro Porositas Lasan pada Penggunaan Kawat Las ER 5087.
Foto makro lasan yang dihasilkan dengan menggunakan ER5087 juga memiliki persentase porositas yang bervariasi terhadap parameter las (inerji liniar – joule per milimeter) pada semua lasan yang dihasilkan. Trend persentasenya mirip dengan penggunaan kawat las ER 5087 dimana semakin tinggi nilai energi liniar (J/mm) yang diberikan maka semakin besar jumlah porositas yang dihasilkan seperti terlihat pada Gambar 4.
Foto makro struktur pada Gambar 4 (a) terlihat bahwa nilai porositas terbesar adalah 0,77 % pada enerji linear sebesar 708 Joule/mm. Dengan diturunkannya nilai Enegi Linier-nya hingga 685 J/mm, maka nilai persentase porositasnya mengecil hingga 0,29 %, seperti terlihat pada Gambar 4 (b). Namun Bila enerji linearnya diturunkan hingga 609 J/mm, maka persentase porositasnya sedikit meningkat hingga 0,52 %, seperti terlihat pada Gambar 4 (c).

C.3. Perbandingan Porositas Lasan pada Kawat las ER5556A dan ER5087.
Untuk membandingkan penggunaan kedua jenis kawat las ER5556A dan ER5087 terhadap persentase porositas yang terjadi, maka diambil beberapa parameter las yang sama, terutama adalah besarnya enerji linier (Joule/mm) yang sama pada setiap lasan yang dihasilkan.
Dari foto makro lasan pada Gambar 2, 3 dan 4, terlihat bahwa persentase porositas pada lasan dengan kawat las ER 5087 memiliki jumlah persentase yang lebih kecil dibandingkan dengan persentase porositas lasan dengan menggunakan kawat las ER5556A.




( a )



( b )



( c )





( a )



( b )



( c )




D. Analisa Hasil
Perbedaan antara kawat las ER5087 dan ER5556A yang digunakan untuk mengelas pelat AA 5083 terletak pada penambahan unsur paduan Zirconium (Zr) yang terkandung pada ER5087. Adanya unsur paduan Zirconium ini berpengaruh pada proses pembekuan di daerah logam lasan (weld metal). Adanya unsur Zr ini pada kawat las ER5087 menghasilkan persentase porositas pada lasan yang lebih kecil dibandingkan dengan persentase porositas lasan dengan menggunakan kawat las ER5556A.
Adanya kandungan zirconium (Zr) and sedikit titanium (Ti) berperan sebagai paduan penghalus butir (grain-refiner). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Matsuda dan kawan-kawan [10] tentang pengaruh parameter las pada lasan aluminium komersial yang diberikan penghalus butir diperoleh bahwa tingkat penghalusan butir meningkat dengan meningkatnya masulan panas dan kecepatan las. Atau dengan kata lain menurun-nya nilai enerji linier, hal ini akan menyebabkan menurunnya ratio G/R dan selanjutnya akan menyebabkan meningkatnya kecepatan pembekuan. Dengan meningkatnya kecepatan pembekuan maka akan menurunkan persentase porositas yang terjadi. [11,12]. Oleh karena itu hasil yang diperoleh pada penelitian seperti yang terlihat pada Table 4 dan Gambar 2 menunjukan bahwa menurunnya enegi linier yang diberikan cenderung menurunkan persentase porositas lasan-nya.
Pengaruh Zirconium (Zr) yang ditambahkan pada paduan aluminium juga diteliti oleh Kashyap dan kawan-kawan [13], hasil penelitian menunjukan bahwa selama proses pembekuan Zirconium akan membentuk partikel ZrAl3. Partikel ini sangat halus sekitar 100 nm dan partikel ini akan mengunci (pinning) dibatas butir dan mencegah terjadinya pertumbuhan butir (grain growth) pada paduan aluminium. Dengan mekanisme ini secara bersamaan ukuran porositas-pun akan menurun (halus) sehingga persentase porositas menjadi menurun.

E. Kesimpulan
Berdasarkan data dan hasil yang diperoleh dari penelitian pengaruh penggunaan kawat las yang berbeda terhadap lasan AA 5083, maka diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut ::
1. Porositas lasan yang diamati pada semua lasan AA-5083 bervariasi persentasenya dan tergantung dari parameter lasan yang diberikan serta jenis kawat las yang digunakan.
2. Persentase porositas lasan AA-5083 yang menggunakan kawat las ER5087 memiliki persentase yang lebih kecil dibandingkan dengan lasan yang menggunakan kawat las ER5556A.

F. Daftar Pustaka
[1] Annual Book of American Welding Society (AWS) standard 2004, AWS D 1.2 – 2004.
[2] Collins, F. R., "Porosity in Aluminium Alloyed Welds", Welding Journal , 37 (6), 586-593 (1958).
[3] Howden, D. G. “An Up-to-Date Look at Porosity Formation in Aluminium Weldments”, Welding Journal, February 1971.
[4] Meyers, J.C., "Problematic Weld Discontinuities and Their Prevention", The Welding Journal , 74 (6), 1995 pp. 45 - 47.
[5] Hinchen, J., "Avoiding Problems When Welding Aluminium", Welding and Metal Fabrication, April 1988. pp. 132 - 138.
[6] Dickerson, P.B., Irving, B., Welding Aluminium: It’s Not As Difficult As It Sounds”, Welding Journal, Vol. 71, No.4, April 1992. pp. 45 - 50.
[7] Polmear, I. J., "Light Alloys; Metallurgy of the Light Metals", 3rd Ed. Arnold, London, 1995.
[8] BS 3571: 1985: Part 1. Specification for MIG Welding of Aluminium and aluminium alloys.
[9] BS 2901: 1990: Part 4. Filler Rods and Wires for Gas Shielded Arc Welding of Aluminium , Aluminium Alloys and Magnesium Alloys.
[10] Arata, Y., Matsuda, F., Senda, T., : Wel. Res. Inst., Vol. 3, 1974, p.89.
[11] Ramirez, J.E., Han, B., Liu, S., “Effect of Welding Variables and Solidification Substructure on Weld Metal Porosity”, Metallurgical and Materials Transaction A, 25A (10): pp. 2285 - 2294, October 1994.
[12] Kou, S. Le, Y. "Welding Parameters and The Grain Structure of Weld Metal - A Thermodynamic Consideration", Metallurgical Transaction , Vol. 19A, 1988 pp. 1075 - 1082
[13] K T Kasyaf, Chandra shekar.,. ”Effects and mechanisms of grain refinement in aluminium alloys”. Bull. Mater. Sci., Vol. 24, No. 4, August 2001, pp. 345–353.

Rabu, 01 Juli 2009

PLASMA WELDING

Plasma welding merupakan salah satu teknologi baru yang berkembang di dunia pengelasan Indonesia. Basic dari Plasma welding ini adalah las SMAW.


Plasma Welding



Process characteristics



Plasma welding is very similar to TIG as the arc is formed between a pointed tungsten electrode and the workpiece. However, by positioning the electrode within the body of the torch, the plasma arc can be separated from the shielding gas envelope. Plasma is then forced through a fine-bore copper nozzle which constricts the arc. Three operating modes can be produced by varying bore diameter and plasma gas flow rate:

1. Microplasma: 0.1 to 15A.
The microplasma arc can be operated at very low welding currents. The columnar arc is stable even when arc length is varied up to 20mm.

2. Medium current: 15 to 200A.
At higher currents, from 15 to 200A, the process characteristics of the plasma arc are similar to the TIG arc, but because the plasma is constricted, the arc is stiffer. Although the plasma gas flow rate can be increased to improve weld pool penetration, there is a risk of air and shielding gas entrainment through excessive turbulence in the gas shield.

3. Keyhole plasma: over 100A.
By increasing welding current and plasma gas flow, a very powerful plasma beam is created which can achieve full penetration in a material, as in laser or electron beam welding. During welding, the hole progressively cuts through the metal with the molten weld pool flowing behind to form the weld bead under surface tension forces. This process can be used to weld thicker material (up to 10mm of stainless steel) in a single pass.


Power source

The plasma arc is normally operated with a DC, drooping characteristic power source. Because its unique operating features are derived from the special torch arrangement and separate plasma and shielding gas flows, a plasma control console can be added on to a conventional TIG power source. Purpose-built plasma systems are also available. The plasma arc is not readily stabilised with sine wave AC. Arc reignition is difficult when there is a long electrode to workpiece distance and the plasma is constricted, Moreover, excessive heating of the electrode during the positive half-cycle causes balling of the tip which can disturb arc stability.

Special-purpose switched DC power sources are available. By imbalancing the waveform to reduce the duration of electrode positive polarity, the electrode is kept sufficiently cool to maintain a pointed tip and achieve arc stability.

Arc starting

Although the arc is initiated using HF, it is first formed between the electrode and plasma nozzle. This 'pilot' arc is held within the body of the torch until required for welding then it is transferred to the workpiece. The pilot arc system ensures reliable arc starting and, as the pilot arc is maintained between welds, it obviates the need for HF which may cause electrical interference.

Electrode

The electrode used for the plasma process is tungsten-2%thoria and the plasma nozzle is copper. The electrode tip diameter is not as critical as for TIG and should be maintained at around 30-60 degrees. The plasma nozzle bore diameter is critical and too small a bore diameter for the current level and plasma gas flow rate will lead to excessive nozzle erosion or even melting. It is prudent to use the largest bore diameter for the operating current level.

Note: too large a bore diameter, may give problems with arc stability and maintaining a keyhole.

Plasma and shielding gases

The normal combination of gases is argon for the plasma gas, with argon plus 2 to 5% hydrogen for the shielding gas. Helium can be used for plasma gas but because it is hotter this reduces the current rating of the nozzle. Helium's lower mass can also make the keyhole mode more difficult.





Applications

• Microplasma welding
Microplasma was traditionally used for welding thin sheets (down to 0.1 mm thickness), and wire and mesh sections. The needle-like stiff arc minimises arc wander and distortion. Although the equivalent TIG arc is more diffuse, the newer transistorised (TIG) power sources can produce a very stable arc at low current levels.

• Medium current welding
When used in the melt mode this is an alternative to conventional TIG. The advantages are deeper penetration (from higher plasma gas flow), and greater tolerance to surface contamination including coatings (the electrode is within the body of the torch). The major disadvantage lies in the bulkiness of the torch, making manual welding more difficult. In mechanised welding, greater attention must be paid to maintenance of the torch to ensure consistent performance.

• Keyhole welding
This has several advantages which can be exploited: deep penetration and high welding speeds. Compared with the TIG arc, it can penetrate plate thicknesses up to l0mm, but when welding using a single pass technique, it is more usual to limit the thickness to 6mm. The normal methods is to use the keyhole mode with filler to ensure smooth weld bead profile (with no undercut). For thicknesses up to 15mm, a vee joint preparation is used with a 6mm root face. A two-pass technique is employed and here, the first pass is autogenous with the second pass being made in melt mode with filler wire addition.

As the welding parameters, plasma gas flow rate and filler wire addition (into the keyhole) must be carefully balanced to maintain the keyhole and weld pool stability, this technique is only suitable for mechanised welding. Although it can be used for positional welding, usually with current pulsing, it is normally applied in high speed welding of thicker sheet material (over 3 mm) in the flat position. When pipe welding, the slope-out of current and plasma gas flow must be carefully controlled to close the keyhole without leaving a hole.

Senin, 29 Juni 2009

Berita mengejutkan dari Jawa Timur, para ulama Pondok Pesantren se Jawa-Madura yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pondok Pesantren Putri (FMP3) menyatakan fatwa Haram bagi Facebook. Pernyataan ini dikeluarkan saat pembahasan di forum Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtdien Lirboyo, Kelurahan Lirboyo, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.“Ini merupakan hasil pembahasan terakhir yang kami lakukan semalam. Intinya, larangan ini kami keluarkan sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam...

“Ini merupakan hasil pembahasan terakhir yang kami lakukan semalam. Intinya, larangan ini kami keluarkan sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam ketentuan agama,” kata salah satu anggota perumus Komisi C FMP3,
Masruhan. (dikutip KabarIT dari Detikinet)

Namun fatwa ini menuai kecaman dari beberapa pengguna Facebook. Bapak Blogger Indonesia dan pengamat internet Enda Nasution menganggap itu kurang kerjaan dan terkesan seperti fatwa lucu-lucuan ala ulama.

“Tanggung, kalau gara-gara penggunaan Facebook berlebihan, terus dikeluarkan fatwa haram. Sekalian saja penggunaan internet, ponsel, dan semua hal yang berlebihan di fatwa-kan haram,” tegas Enda yang juga anggota Facebook aktif. (dikutip KabarIT dari Okezone)

Para ulama menganggap pertemanan spesial berlebihan yang dilakukan di Facebook haram, karena pada Facebook pertemanan yang secara spesial tanpa tujuan keseriusan. Jika pertemanan spesial untuk mengenal dan diteruskan dalam hubungan pernikahan diperbolehkan, namun pada Facebook tidak seperti proses khitbah (pinangan atau lamaran),.

Jadi pengharaman ini hanya berlaku untuk pertemanan spesial yang berlebihan saja, namun tetap halal jika sesuai manfaat dan penggunaannya. (http://kabarit.com/2009/05/facebook-haram/)

Selasa, 14 April 2009

Amandel adalah penyakit yang sebenarnya g terlalu berbahaya. Akan tetapi cukup menjengkelkan juga bila sampai menyerang kita. Mau makan sakit,minum g bisa bahkan buat nelan ludah aja rasanya kayak nelen durian lengkap ma kulitnya..hehehe
Sebagai orang teknik yang tentu aja g bisa kerja di dalam kantor dengan ruang ber-AC yang sejuk dan nyaman (Sesekali kan juga mesti turun ke lapangan untuk inspeksi..hihi) kita mesti merencanakan jika suatu hari nanti penyakit ini ' Hinggap ' di tenggorokan kita. G lucu kan jika kita harus KO hanya karena daging kecil yang tumbuh di dalam leher??
So semoga pstingan dibawah ini bisa anda jadikan pedoman hiduP (kyk Pancasila gitu maunya aku...xixix)


oleh : tedifa
Pengarang : Prof. H.M. Hembing Wijayakusuma
Diterbitkan di: April 08, 2008
Amandel atau tonsil merupakan kumpulan jaringan
limfoid yang terletak pada kerongkongan di belakang kedua ujung lipatan
belakang mulut. Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke
seluruh tubuh dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung,
dan kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan.
Peradangan pada tonsil disebut dengan tonsilitis, penyakit ini merupakan salah
satu gangguan THT (Telinga Hidung & Tenggorokan). Tonsilitis dapat bersifat
akut atau kronis. Bentuk akut yang tidak parah biasanya berlangsung sekitar 4-6
hari, dan umumnya menyerang anak-anak pada usia 5-10 tahun. Sedangkan radang
amandel/tonsil yang kronis terjadi secara berulang-ulang dan berlangsung lama.
Pembesaran tonsil/amandel bisa sangat besar sehingga tonsil kiri dan kanan
saling bertemu dan dapat mengganggu jalan pernapasan. Peradangan tonsil yang
akut ataupun pembengkakan tonsil yang tidak terlalu besar dan tidak menghalangi
jalan pernapasan, serta tidak menimbulkan komplikasi tidak perlu dilakukan
pembedahan/operasi, karena tonsil yang terbuat dari jaringan getah bening dapat
berfungsi mencegah tubuh agar tidak terkena penyakit yang berhubungan dengan
infeksi. Untuk perawatan dan pengobatannya dilakukan beberapa langkah sebagai
berikut :
- Diusahakan untuk minum banyak air atau cairan
seperti sari buah, terutama selama demam.
- Jangan minum es, sirop, es krim, makanan dan
minuman yang didinginkan, gorengan, makanan awetan yang diasinkan, dan manisan.
- Berkumur air garam hangat 3-4 kali sehari.
- Menaruh kompres hangat pada leher setiap hari.
- diberikan terapi antibiotik (atas petunjuk
dokter) apabila ada infeksi bakteri dan untuk mencegah komplikasi.
Berikut ini beberapa contoh ramuan tumbuhan obat
yang dapat digunakan untuk radang amandel (tonsilitis) :
- Bubuk sambiloto sebanyak 3 - 4,5 gram diseduh
dengan 200 cc air panas, tambahkan 1 sendok makan madu, diaduk, lalu diminum
hangat-hangat. Atau 30 gram sambiloto segar/15 gram yang kering, direbus dengan
800 cc air hingga tersisa 400 cc, disaring, airnya ditambahkan 200 cc jus buah
nanas, diaduk, lalu diminum untuk 3 kali sehari, setiap kali minum 200 cc.
(untuk tonsilitis akut)
- 2 buah mengkudu/pace matang + 20 gram kunyit,
dicuci dan dihaluskan, disaring dan diambil airnya, tambahkan air perasan 1
buah jeruk nipis, dan 1 sendok makan madu, diaduk, lalu diminum. Lakukan 2-3
kali sehari. (untuk tonsilitis akut).
- 30 gram benalu jeruk nipis atau benalu teh + 30
gram temu putih + 10 gram sambiloto kering + 20 gram kunyit, direbus dengan 800
cc air hingga tersisa 400 cc, disaring, airnya diminum untuk dua kali sehari,
setiap kali minum 200 cc. (Untuk tonsilitis kronis dengan pembesaran tonsil
yang agak besar).
- 10 lembar daun cocor bebek dihaluskan atau dijus,
airnya digunakan untuk berkumur di tenggorokan. Lakukan 2-3 kali sehari.
- 30-60 gram akar kembang pukul empat dijus,
airnya digunakan untuk berkumur di tenggorokan, lalu ditelan. Lakukan 2 kali
sehari.


Resep tradisional
Bahan :
- Air perasan mengkudu 3 sdk makan
- air perasan jeruk nipis 1 sdk the
- air perasan kunyit 1 sdk the
- madu murni 1 sdk makan
- air matang 3 sdk makan
Cara membuat
Semua bahan aduk merata.
Ambil 3 sdk makan campuran tadi – campur dengan 1/2 gelas air matang & aduk.

Ramuan ini diminum 3x sehari sesudah makan.
Coba selama seminggu berturut-turut, bila belum sembuh
coba lagi hingga sembuh.


IT DiAgRaM

Diagram Transformasi Isothermal disebut juga sebagai IT atau TTT Diagram merupakan salah satu jenis dari diagram material yang bisa digunakan uNtuk memPreDiksi hasiL akhir dari suatu transformasi. IT diagram lebih sederhana daripada Fe-C diagram. Perbedaan mendasar antara keduanya akan saya bahas pada postingan selanjutnya...

DIAGRAM TRANSFORMASI ISOTHERMAL (IT DIAGRAM)
Diagram transformasi baja pada kondisi ekuilibrium memberikan sedikit sekali
pengetahuan tentang pendinginan baja pada kondisi non-ekuilibrium. Banyak ahli
metallurgi berpendapat bahwa waktu dan temperatur transformasi austenite mempunyai
pengaruh yang besar terhadap produk hasil transformasi dan properties baja. Karena
austenit tidak stabil di bawah temperatur kritis bawah, sangat penting untuk diketahui
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk austenit selesai bertransformasi, dan
bertransformasi menjadi apa pada akhirnya austenit tersebut pada temperatur konstan di
bawah temperatur kritis bawah. Proses transformasi tersebut dinamakan Isothermal
Transformation (IT).
Untuk mengetahui proses transformasi isothermal, maka dilakukan percobaan
dengan menggunakan baja eutectoid (0.8% C). Langkah-langkah yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Mempersiapkan sample dalam jumlah yang besar yang diambil dari bahan yang
sama
2. Menempatkan sample pada furnace atau molten salt bath pada temperatur
austenisasi hingga sample seluruhnya bertransformasi menjadi austenit.
3. Pindahkan sample ke molten salt bath yang bertemperatur konstan di bawah
temperature kritis bawah, sebagai contoh 1300oF. Lama sample dalam molten salt
bath divariasikan.
4. Setelah memvariasikan lama waktu dalam molten salt bath, setiap sample
kemudian diquenching dengan menggunakan media air dingin atau iced brine.
5. Setelah didinginkan, setiap sample diuji kekerasannya dan strukturmikronya.
6. Mengulangi langkah 3 sampai 5 dengan temperature yang berbeda, sehingga
diperoleh cukup data untuk membuat IT diagram.
Gambar 1. Sample yang digunakan untuk membuat diagram IT
Sangat penting untuk diketahui transformasi austenit yang terjadi pada temperatur
1300oF, tetapi kita tidak bisa mempelajari langsung pada temperature tersebut. Karena itu,
kita harus bisa menghubungkan strukturmikro pada temperature kamar dengan
strukturmikro yang terjadi pada temperatur 1300oF. Ada dua fakta yang harus dijadikan
pegangan:
1. Martensit terbentuk hanya dari austenit secara instant pada temperatur rendah.
2. Jika austenit bertransformasi pada temperatur tinggi menjadi suatu struktur
dimana struktur tersebut stabil pada temperatur kamar, pendinginan cepat tidak
akan merubah struktur tersebut. Dengan kata lain, jika perlit terbentuk pada
temperatur 1300oF, perlit tersebut akan tepat sama pada temperatur kamar tidak
peduli seberapa cepat quenching yang dilakukan, karena tidak ada alasan untuk
perlit bertransformasi.
Gambar 2. Transformasi austenit menjadi perlit pada temperatur 1300oF
Gambar 3. Kurva IT austenit ke perlit untuk baja eutectoid pada temperatur 1300oF
Langkah 3, 4 dan 5 ditunjukkan oleh gambar 2. Sample 1, setelah 30s pada
temperature 1300oF dan diquenching, menunjukkan hanya martensit pada temperatur
kamar. Karena martensit hanya terbentuk dari austenit pada temperatur rendah, itu berarti
strukturmikro di akhir 30s pada temperatur 1300oF hanya terdiri dari austenit dan
transformasi austenit belum terjadi.
Sturkturmikro pada temperature kamar ditunjukkan oleh gambar 3, dimana yang
berwarna terang adalah martensit dan yang berwarna gelap adalah perlit. Sample 2,
setelah 6 jam pada temperatur 1300oF dan diquenching, menunjukkan 95% martensit dan
5% perlit kasar pada temperatur kamar. Hal ini berarti strukturmikro di akhir 60 jam pada
temperatur 1300oF terdiri dari 95% austenit dan 5% perlit kasar. Transformasi austenit
sudah terjadi dan hasilnya adalah perlit kasar. Dengan mengunakan alasan yang sama,
sample 3, 4, 5 dan 6 akan dapat diketahui strukturmikronya pada temperatur 1300oF.
Hasil dari percobaan ini, dua titik dapat diplot pada temperatur 1300oF, yaitu
waktu awal terjadi transformasi dan waktu akhir setelah selesai transformasi. Selain itu
juga umum memplot titik waktu dimana transformasinya masih 50%. Percobaan
dilakukan kembali dengan temperatur yang berbeda hingga didapatkan cukup data untuk
mengambar diagram IT (gambar 4)
Gambar 4. Pembuatan diagram IT.
Gambar 5. Diagram IT baja eutecoid.
Diagram IT untuk baja eutectoid ditunjukkan pada gambar 5. Diatas Ae1 austenit
stabil. Area di sebelah kiri dari awal transformasi adalah area dimana austenit tidak stabil.
Area di sebelah kanan dari akhir transformasi adalah area produk dari transformasi
austenit. Area di antara awal dan akhir transformasi adalah area yang terdiri dari 3 fasa
yaitu austenit, ferit dan carbida atau austenit ditambah hasil produk dari transformasi
austenit. Titik pada awal transformasi yang menjorok ke kanan disebut nose.
Garis horizontal Ms menunjukkan awal terjadinya martensit. Tanda panah
menunjukkan temperatur dimana 50% dan 90% austenit ketika diquenching akan
bertransformasi menjadi martensit. Produk transformasi diatas nose adalah perlit yang
terdiri dari susunan lamelar ferit dan cementit. Sedikit dibawah garis Ae1 terbentuk perlit
dengan lamelar yang kasar, semakin turun temperatur, terbentuk perlit dengan lamelar
yang semakin halus hingga spasi antar lamelar tidak bisa dibedakan dengan
menggunakan mikroskop cahaya (gambar 6).
Gambar 6. Perlit yang terbentuk dari transformasi austenit dengan variasi temperatur: (a) 1300oF,
(b) 1225 oF, (c) 1150 oF, (d) 1075 oF. Perbesaran 1500X. Perhatikan bahwa semakin turun
temperature maka perlit yang terbentuk semakin halus.
Produk transformasi di antara nose dan Ms adalah bainit. Bainit yang terbentuk
pada temperatur yang lebih tinggi menyerupai perlit dan disebut upper bainit atau
feathery bainit (gambar 7). Pada temperatur yang lebih rendah terbentuk bainit dengan
struktur seperti jarum hitam menyerupai martensit dan disebut lower bainit atau acicular
bainit (gambar 8).
Gambar 7. (a) Feathery bainit dan fine perlit di dalam martensitik (putih) matrik, 1000X. (b)
Mikrostruktur bainit pada temperatur 850oF, diambil dengan menggunakan mikroskop electron,
15000X.
Gambar 8. (a) Acicular atau lower bainit (jarum hitam) di dalam martensitik (putih) matrik,
2500X. (b) mikrostruktur bainit pada temperatur 500oF, diambil dengan menggunakan mikroskop
electron, 15000X.
KURVA PENDINGINAN (COOLING CURVES)
Diagram transformasi dapat dipakai untuk meramalkan struktur yang akan terjadi
bila baja didinginkan dari temperatur austenisasi dengan laju pendinginan tertentu. Untuk
meramal struktur yang dapat terjadi ini maka pada diagram transformasi digambarkan
kurva pendinginan yang akan dialami baja itu. Sebagai contoh pada gambar 9, dimana
digambarkan beberapa kurva pendinginan pada diagram transformasi dari baja karbon
eutectoid.
Gambar 9. Kurva pendinginan.
Kurva pendinginan 1 menggambarkan pendinginan yang sangat lambat (seperti
pada annealing konvensional), baja akan meulai bertransformasi pada titik x1 dan selesai
pada x1’, dan akan menghasilkan perlit kasar. Ini terjadi karena transformasi berlangsung
pada temperatur yang sangat tinggi. Kekerasannya sekitar Rc 15.
Kurva pendinginan 2 menggambarkan pendinginan seperti pada proses
“isothermal annealing”, proses dilakukan dengan mendinginkan cepat sampai ke
temperatur di bawah temperatur kritis (diatas daerah nose diagram). Pada kurva 2
transformasi berlangsung pada temperatur yang lebih rendah, akan dihasilkan perlit yang
lebih halus, kekerasan sekitar Rc 30.
Kurva pendinginan 3 menggambarkan pendinginan yang agak cepat, seperti pada
normalizing. Disini tampak bahwa transformasi dimulai dan selesai pada temperatur yang
berbeda, sehingga akan diperoleh perlit dengan ukuran butir yang bervariasi. Yang terjadi
pada temperatur lebih tinggi akan lebih kasar dan yang terjadi pada temperatur lebih
rendah akan lebih halus, sehingga ada sebagian perlit kasar dan sisanya perlit medium.
Perlit yang lebih halus akan dihasilkan dengan kurva pendinginan 4 yang lebih cepat lagi,
seperti pada iol quench.
Kurva pendinginan 5, pendinginan yang cukup cepat, transformasi menjadi perlit
mulai lebih awal, tetapi akan berhenti ketika kurva pendinginan menyinggung kurva
transformasi 25% (transformasi baru berlangsung 25%). Transformasi akan mulai lagi
ketika mencapai temperatur Ms, austenit akan menjadi martensit. Sehingga setelah akhir
transformasi akan diperoleh 25% perlit dan 75% martensit.
Kurva pendinginan 6 menggambarkan pendinginan yang sangat cepat, seperti
pada water quench. Tidak terjadi transformasi sebelum mencapai temperatur Ms,
transformasi selesai pada temperatur Mf, struktur seluruhnya martensit. Struktur yang
seluruhnya martensit juga masih dapat dicapai dengan laju pendinginan yang sedikit lebih
lambat, tetapi paling tidak laju pendinginannya harus seperti kurva pendinginan 7, bila
lebih lambat akan ada sebagian austenit yang menjadi perlit. Karena itu laju pendinginan
yang tepat menghasilkan 100% martensit disebut laju pendinginan kritis atau Critical
Cooling Rate (CCR).
Pada baja karbon bainit baru dapat diperoleh bila dilakukan pendinginan secara
isothermal, seperti pada kurva pendinginan 8. cara seperti ini dilakukan pada proses
austempering.
DIAGRAM TRANSFORMASI PENDINGINAN KONTINYU (CCT DIAGRAM)
Sebenarnya memplot kurva pendinginan pada diagram IT tidak tepat karena
transformasi yang digambarkan dengan diagram IT adalah transformasi pada temperatur
konstan, sedangkan pendinginan yang dialami suatu benda pada proses laku panas
biasanya pendinginan yang kontinyu. Letak kurva transformasi akan bergeser bila
transformasi berlangsung pada temperatur yang menurun. Karena itu perlu dibuat suatu
diagram transformasi pada pendingian kontinyu.
Diagram transformasi semacam ini dinamakan diagram transformasi pendinginan
kontinyu atau diagram CCT (Continuous Cooling Transformation). Bentuknya agak
berbeda dibandingkan dengan diagram IT, lihat gambar 10. kurva transformasi tergeser
sedikit ke kanan bawah, dan pada baja karbon tidak terdapat daerah transformasi austenitbainit.
Ini disebabkan karana kurva awal transformasi austenit-bainit terhalang oleh kurva
transformasi austenit-perlit.
Tetapi dari gambar 10 yang menggambarkan kurva transformasi pendinginan
kontinyu (garis tebal) yang disuperimpose pada diagram IT (garis tipis) baja karbon
eutectoid, tampak bahwa dengan pendinginan kontinyu lebih mudah diperoleh martensit,
karena kurva transformasi bergeser ke kanan. Misalnya pada kurva pendinginan dengan
laju 250 oF/s, untuk kurva transformasi pendinginan kontinyu akan merupakan laju
pendinginan kritis, akan menghasilkan 100%, tetapi pada kurva transformasi isothermal
masih akan menghasilkan sedikit perlit sebelum menjadi martensit.
Gambar 10. diagram CCT baja karbon eutectoid diturunkan dari diagram IT.
Pada proses laku panas biasanya pendinginan dilakukan dengan pendinginan
kontinyu, sehingga biasanya diagram CCT lebih banyak digunakan. Sedangkan diagram
IT digunakan untuk proses laku panas tertentu yang dilakukan dengan pendinginan
isothermal.
PENGARUH KOMPOSISI KIMIA PADA KURVA IT
Ada 2 faktor yang mempengaruhi kurva dari diagram IT, yaitu komposisi kimia
dan ukuran butir austenit. Dengan sedikit pengecualian, peningkatan kadar karbon atau
unsur paduan atau ukuran butir austenit selalu memperlambat transformasi (menggeser
kurva ke kanan), setidaknya pada temperatur pada atau di atas daerah nose. Hal ini
memperlambat laju critical cooling sehingga lebih mudah membentuk martensit.
Efek dari peningkatan kadar karbon dapat dilihat dari gambar 11 dan 13. Gambar
11 menunjukkan diagram IT dari 1035 steel. Temperatur Ms kira-kira 750oF. Karena ini
adalah diagram IT baja hypoeutectoid maka terdapat daerah transformasi austenit
menjadi ferlit di atas nose. Perhatikan bahwa nose dari kurva ini tidak terlihat, hal ini
mengindikasikan sangat sulit sekali mendinginkan baja ini dengan sangat cepat supaya
terbentuk hanya martensit. Mikrostruktur dari baja karbon rendah ini setelah diquenching
dengan air terdiri dari network ferit (putih) mengelilingi martensit karbon rendah (gray)
(gambar 12).
Gambar 11. Diagram IT dari baja 1035.
Gambar 12. Strukturmikro baja 1035. (a) 100X; (b) 500X.
Gambar 13 menunjukkan diagram IT baja 1050. Peningkatan kadar karbon
menggeser kurva cukup jauh ke kanan sehingga nose dapat terlihat dan temperatur Ms
berkurang menjadi 620oF. Secara teori, untuk membentuk martensit maka dibutuhkan
pendinginan dengan cepat ke temperatur 1000oF selama 0.7 detik. Strukturmikro dari
baja karbon medium ini terdiri dari daerah gelap fine perlit, beberapa feathery bainit
gelap dan matrix martensit yang lebih banyak dibandingkan pada baja karbon rendah
(gambar 14).
Gambar 13. Diagram IT dari baja 1050.
Gambar 14. Strukturmikro baja 1035. (a) 100X; (b) 750X.

Meningkatkan Efektifitas Karburisasi Padat pada Baja Karbon
Rendah dengan Optimasi Ukuran Serbuk Arang Tempurung Kelapa
Mujiyono dan Arianto Leman Sumowidagdo
Jurusan Pendidikan Teknik Mesin, Fakultas Teknik
Universitas Negeri Yogyakarta
Email: mujiyonouny@yahoo.com
ABSTRAK
Karburising padat merupakan metode karburisasi yang paling sederhana, yaitu menggunakan
serbuk arang sebagai penambah unsur Karbon. Tujuan penelitian adalah untuk
meningkatkan efektivitas hasil proses karburising yang menggunakan serbuk arang tempurung
kelapa pada Baja Carbon Rendah. Arang tempurung kelapa dibuat serbuk dan diayak dengan
ukuran butir 150, 250, 279, 600, 850 dan 2000 μm. Benda uji yang digunakan adalah baja karbon
rendah dengan kandungan 0,082% C. Proses karburising padat dilakukan pada suhu 850 0C
selama 4 jam. Proses pengerasan dilakukan dengan memanaskan ulang benda uji pada suhu 850
0C, ditahan 5 menit, kemudian dicelup ke dalam air bersuhu 28 0C. Struktur Martensit yang
terbentuk diamati dengan mikroskop dan diuji dengan Micro Vickers Hardness Tester. Dari
penelitian ini disimpulkan bahwa serbuk tempurung kelapa dengan ukuran antara 250 hingga
600 μm efektif digunakan untuk proses karburising padat pada Baja Karbón Rendah. Dengan
waktu tahan karburising selama 4 jam, maka akan terjadi difusi Karbón hingga kedalaman 1200
μm dan kekerasan permukaan baja dapat meningkat hingga 250% dari kekerasan semula.
Kata kunci: Kaburising padat, difusi karbon, ukuran serbuk arang, Martensit.
ABSTRACT
Pack carburizing is the simplest method of carburizing process that use charcoal powder as
carbon element adder. The research target is to increase the effectiveness of charcoal powder as pack
carburizing media. Coconut shell charcoal was made into powder then sifted with size of 150, 250,
279, 600, 850 and 2000 μm. Specimens were Low Carbon Steel which contain 0,082 % C. The pack
carburizing process was conducted for 4 hours at 850 0C. The hardening process was done by
reheating at 850 0C with 5 minutes holding time and quenched into water of 28 0C to form
Martensite structure that was observed by optic microscope and Micro Vickers Hardness Tester. The
conclusion of the research are that 250 until 600 μm powder size of coconut shell charcoal can use to
pack carburizing media. With 4 hours for pack carburizing process, case depth of carbon diffusion on
surface specimen is about 1200 μm and surface hardness specimen increase 250% to base material
Keywords: Pack carburizing, carbon diffusion, charcoal powder size, Martensite.
PENDAHULUAN
Karburising adalah sebuah proses penambahan
unsur Karbon pada permukaan logam dengan cara
difusi untuk meningkatkan sifat fisis dan mekanisnya.
Pada umumnya proses karburisasi diikuti
dengan perlakuan Pendinginan Cepat (quenching)
untuk meningkatkan kekerasannya sehingga permukaan
logam menjadi lebih tahan aus [1]. Metode
proses ini dibedakan menurut media karburasinya
yaitu gas, cair dan padat. Proses karburisasi telah
dikembangkan sedemikian rupa menggunakan teknologi
canggih, misalnya metode karburisasi cair
sistem vakum untuk pembuatan roda gigi helix [2].
Namun demikian, karburisasi padat yang merupakan
metode yang paling sederhana masih digunakan
pada industri-industri kecil di Indonesia. Misalnya
untuk penyepuhan pisau yang memanfaatkan arang
baterai bekas [3].
Berbagai usaha telah dilakukan untuk memperbaiki
proses karburisasi padat dengan menambahkan
energizer atau bahan pengaktif seperti Barium
Karbonat [4,5], Natirum Karbonat [6,7] dan Kalsium
Karbonat [8]. Bahan pengaktif tersebut akan mempercepat
terbentuknya gas CO yang dibutuhkan
untuk proses difusi Karbon pada permukaan Baja
Karbon Rendah. Usaha lain yang belum diteliti
adalah penggunaan ukuran butir serbuk media
karburasi yang optimal.
Pada metode karburisasi padat, komponen yang
akan dikarburisasi ditempatkan dalam kotak yang
berisi media penambah unsur karbon atau media
8
Mujiyono, Meningkatkan Efektifitas Karburisasi Padat pada Baja Karbon
9
karburasi, kemudian dipanaskan pada suhu austenisasi
(842–953 0C). Akibat pemanasan ini, media
karburasi akan teroksidasi menghasilkan gas CO2
dan CO [9]. Gas CO akan bereaksi dengan permukaan
baja membentuk atom Karbon yang kemudian
berdifusi ke dalam baja mengikuti persamaan:
2CO + Fe → Fe (C) + CO2 (1)
Gas CO2 ini sebagian akan bereaksi kembali
dengan karbon dari media karburasi membentuk CO
dan sebagian lagi akan menguap. Ini berarti bahwa
Oksigen harus tersedia cukup dalam kotak agar
proses dapat berlangsung dengan baik. Media karburasi
yang berbentuk serbuk akan memunculkan
rongga-rongga di dalam kotak. Semakin besar
ukuran serbuk maka semakin besar rongganya,
namun akan semakin sedikit kontak antara media
karburasi dengan permukaan komponen. Ukuran
serbuk yang besar juga akan mengurangi efektifitas
proses karburisasi padat, terutama jika komponen
yang dikarburisasi memiliki bentuk yang rumit. Di
sisi lain, semakin kecil ukuran serbuk semakin kecil
rongganya sehingga mengurangi jumlah Oksigen
dalam kotak. Bagaimanapun juga, rongga ini
diperlukan untuk menjamin pergerakan gas-gas yang
muncul selama proses di dalam kotak. Oleh sebab itu,
ukuran butir serbuk yang efektif pada proses
karburising padat perlu ditentukan agar proses
menjadi optimal.
METODE PENELITIAN
Penyiapan Bahan
Bahan untuk karburising padat dibuat dari
arang tempurung kelapa yang digiling dengan
blender menjadi serbuk. Selanjutnya diayak berturutturut
mulai dari ayakan dengan ukuran mesh 100,
60, 50, 30, 20, dan 10 sehingga diperoleh serbuk
dengan ukuran butir 150, 250, 279, 600, 850 dan 2000
μm. Penyaringan dengan mesh 100 menghasilkan
serbuk arang dengan ukuran butir 150 μm, mesh 60
menghasilkan ukuran butir 250 μm dan seterusnya.
Sedang Baja Karbon Rendah yang digunakan merupakan
batang lonjoran dengan penampang lingkaran
berdiameter 22 mm dan setelah diuji di PT.
Itokoh Ceperindo, Klaten ternyata memiliki
komposisi kimia seperti pada Tabel 1.
Bahan baja tersebut dibubut sehingga diameternya
menjadi 20 mm, kemudian dipotong menjadi
benda uji dengan tebal 10 mm. Selanjutnya, permukaan
benda uji diamplas secara bertahap mulai
dari amplas nomor 150, 240, 400, 600, 800, 1000 dan
1500, serta dipoles dengan Batu Langsol sehingga
diperoleh permukaan yang bersih dan halus. Untuk
masing-masing variabel ukuran serbuk arang,
disiapkan 3 buah replikasi benda uji.
Prosedur Pengujian
Benda uji diletakkan dalam media karburasi
pada pipa baja berdiameter 76,2 mm yang bagian
bawah dan atasnya ditutup campuran pasir semen.
Proses karburisasi dilakukan pada Dapur Pemanas
Wilmonn dengan siklus seperti pada Gambar 5.
Proses pengerasan dilakukan dengan memanaskan
kembali benda uji pada suhu 850 0C, ditahan selama
5 menit, kemudian seluruh benda uji dicelup secara
bersamaan ke dalam air bersuhu 28 0C.
45
t (menit)
T (0C)
850 0C
240 Didinginkan di
udara terbuka
Gambar 1. Siklus pemanasan proses karburising
Perubahan fasa akibat perlakuan karburisasi
dan pengerasan diamati menggunakan Mikroskop
Optik Olympus. Tebal lapisan difusi (case depth) yang
diperoleh dari hasil proses karburisasi ditentukan
melalui pengukuran kekerasan dari tepi benda uji
menggunakan Micro Vickers Hardness Tester Shimadzu
HMV-2 dengan beban penekanan 1 kg. Sesuai
dengan metode yang dikemukakan oleh Budinski [9]
untuk mengukur case depth dapat menggunakan
indikator perubahan kekerasan permukaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Karburisasi
Waktu proses karburisasi 4 jam menghasilkan
proses difusi Karbon ke permukaan baja cukup
dalam, tetapi belum maksimal karena bila ada
penambahan waktu terjadi kedalaman difusi yang
Tabel 1. Komposisi Kimia Baja Carbon Rendah.
Unsur Fe C Si Mn P S
Komposisi (%berat) 99,04 0,082 0,067 0,475 0,016 0,018
Unsur Ni Cr Mo Cu Nb V W
Komposisi (%berat) 0,134 0,072 0,004 0,027 0,01 0,01 0,06
JURNAL TEKNIK MESIN Vol. 10, No. 1, April 2008: 8–14
10
meningkat [5,7,8]. Pemilihan waktu proses karburisasi
4 jam dengan asumsi jumlah atom Karbon yang
terdifusi ke permukaan benda uji sudah cukup,
namun tidak mencapai maksimal. Hal ini dimaksudkan
agar perubahan yang terjadi sebagai akibat
perbedaan ukuran butir arang tempurung kelapa
dapat diamati. Air dipilih sebagai media pendingin
untuk menjamin terbentuknya struktur Martensit
yang keras sehingga diperoleh perubahan kekerasan
pada permukaan komponen secara signifikan.
Setelah pencelupan suhu air ternyata naik menjadi
30 0C. Hal ini berarti jumlah air yang digunakan
sudah mencukupi untuk pengerasan.
Desain kotak karburisasi pada penelitian ini
dapat menahan udara masuk ke dalam media
karburasi dan mengurangi terjadinya proses oksidasi
sehingga proses pembentukan gas CO lebih efektif.
Hal ini menunjukkan bahwa disain tabung yang
ditutup dengan pasir semen cukup efektif untuk
proses karburasasi padat sehingga menghasilkan
benda uji bersih dari kerak dan tidak berwarna
hitam. Arang dalam kotak karburising masih
berwarna merah walaupun dibuka setelah 30 menit
dari dapur pemanas. Fenomena ini menunjukkan
energi panas yang tersimpan di dalam tabung masih
tinggi sehingga terjadi proses oksidasi ketika
bersentuhan dengan udara. Pada serbuk dengan
ukuran butir 600 μm, ketika benda uji dikeluarkan
dari media karburasi permukaannya sedikit teroksidasi
oleh udara luar akibat tingginya energi
panas dalam kotak karburisasi seperti terlihat pada
Gambar 2c.
Pengamatan Struktur Mikro
Setelah melalui proses karburisasi dan pengerasan,
benda uji diamati struktur mikronya menggunakan
mikroskop optik sebagaimana Gambar 3.
Struktur Martensit terbentuk pada permukaan
hingga kedalaman antara 1100-1350 μm seperti
terlihat pada Gambar 3a dan 3b. Batas antara
struktur Martensit dan Ferit terlihat pada Gambar
3c, menunjukkan batas difusi Karbon ke Baja Karbon
Rendah. Setelah tidak ada difusi Karbon, struktur
mikro yang terbentuk adalah Ferit walaupun sudah
mengalami proses pengerasan. Hal ini terjadi karena
kurangnya Karbon yang terjebak di sel satuan Body-
Centered Cubic (BCC) sehingga tidak dapat membentuk
Martensit. Pada temperatur di atas Garis A2
dalam Diagram Fasa Fe-C, yaitu garis batas
perubahan fasa dari Ferit berubah menjadi Austenit
yang mempunyai sel satuan Face-Centered Cubic (fcc)
dengan daya larut Karbon hingga 0,8%. Pendinginan
hingga di bawah Temperatur Austenisasi, terjadi
perubahan fase dari Austenit ke Ferit yang mempunyai
sel satuan BCC dengan daya larut Karbon
hanya 0,25%. Pendinginan yang lambat memberikan
kesempatan pada Karbon keluar dari sel FCC
sehingga perubahan ke sel BCC berjalan dengan baik
sedangkan Karbon yang keluar membentuk Karbida
Besi Fe3C. Tetapi sebaliknya, pendinginan cepat akan
mengakibatkan perubahan fase dari FCC ke BCC
juga sangat cepat sehingga karbon tidak sempat
keluar dan terjebak di dalam sel BCC karena daya
larut terhadap Karbon lebih kecil dibanding FCC. Hal
Gambar 2. Hasil karburising dengan ukuran serbuk arang tempurung kelapa: (a) 2000; (b)
850; (c) 600; (d) 279; (e) 250; dan (f) 150 μm.
Mujiyono, Meningkatkan Efektifitas Karburisasi Padat pada Baja Karbon
11
ini berakibat pada terbentuknya struktur sel BCC
yang terdeformasi oleh atom Karbon. Struktur baru
ini adalah Martensit dengan sifat sangat keras tetapi
getas. Apabila kandungan Karbon kurang dari 0,25
%, Martensit tidak akan terbentuk meskipun sudah
di didinginkan cepat karena semua Karbon yang ada
dalam Austenit masih dapat larut dalam Ferit.
Bahan logam awal (base material) yang mempunyai
kandungan karbon 0,082% tidak terbentuk
fasa Martensit meskipun sudah mengalami pendinginan
cepat, tetapi didominasi oleh Ferit. Pada
kedalaman lebih besar dari 1300 μm tidak tampak
fasa Martensit tetapi hanya Ferit saja karena
kandungan karbonnya kurang dari 0,25 % seperti
terlihat pada Gambar 2d. Hal ini mengindikasikan
bahwa difusi Karbon dari proses karburisasi tidak
sampai pada kedalaman ini sehingga tidak terbentuk
Martensit, konsekuensinya mempunyai sifat ulet
pada bagian dalam dan keras pada bagian permukaan.
Komposisi ini dapat menghasilkan komponen
yang ulet tetapi tahan aus.
Tebal Lapisan Difusi (Case Depth)
Uji kekerasan menggunakan Microhardness
Vickers Tester Shimadzu HMV-2 untuk mengetahui
kedalaman lapisan keras struktur martensit yang
terbentuk akibat proses karburisasi dan pengerasan.
Struktur Martensit ini mengindikasikan kedalaman
difusi Karbon, karena sebelum di karburisasi, baja
dengan kandungan Karbon 0,082%, tidak dapat
membentuk Martensit sehingga pada kedalaman
tertentu terjadi perbedaan kekerasan.
Base material yang tidak dikarburising memiliki
kekerasan yang hampir sama baik di permukaan
maupun di kedalaman tertentu meskipun sudah di
keraskan karena tidak terbentuk martensit. Ukuran
butiran serbuk arang mempunyai pengaruh terhadap
difusi Karbon ke dalam permukaan bahan seperti
terlihat pada Gambar 4. Semakin dalam, kekerasannya
menurun karena jumlah Karbon yang berdifusi
semakin sedikit. Pada kedalaman lebih dari 1300
μm, tidak terjadi perbedaan kekerasan dengan base
material yang mengindikasikan tidak ada penambahan
Karbon selama proses karburasi sehingga
tidak dapat membentuk Martensit lagi.
Data hasil pengujian tersebut menunjukkan
bahwa ukuran butir serbuk arang yang digunakan
untuk media karburisasi berpengaruh terhadap
difusi Karbon kedalam Baja Karbon Rendah. Waktu
tahan (soaking) yang digunakan untuk proses
karburisasi adalah 4 jam dengan case depth mencapai
1000 μm. Peningkatan kekerasan permukaan antara
340 sampai 429 VHN atau 178 % sampai dengan 250
% dari kekerasan base material 122 VHN.
(a) Martensit di permukaan
(b) Martensit pada kedalaman ± 400 μm
(c) Batas martensit dan ferit pada
kedalaman 1300 μm
(d) Ferite pada kedalaman
lebih dari 1500 μm
Gambar 3. Struktur Mikro Hasil Karburisasi dan Pengerasan
JURNAL TEKNIK MESIN Vol. 10, No. 1, April 2008: 8–14
12
R2 = 0.87
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
0 500 1000 1500
Jarak dari permukaan (μm)
Kekerasan (VHN)
Mesh 10
Base Material
R2 = 0.79
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
0 500 1000 1500
Jarak dari permukaan (μm)
Kekerasan (VHN)
Mesh 20
Base Material
(a) Ukuran serbuk 2000 μm (mesh 10) (b) Ukuran serbuk 850 μm (mesh 20)
R2 = 0.96
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
0 500 1000 1500
Jarak dari permukaan (μm)
Kekerasan (VHN)
Mesh 30
Base Material
μ
R2 = 0.98
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
0 500 1000 1500
Jarak dari permukaan (μm)
Kekerasan (VHN)
Mesh 50
Base Material
(a) Ukuran serbuk 600 μm (mesh 30) (b) Ukuran serbuk 279 μm (mesh 50)
R2 = 0.95
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
0 500 1000 1500
Jarak dari permukaan (μm)
Kekerasan (VHN)
Mesh 60
Base Material
μ
R2 = 0.89
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
0 500 1000 1500
Jarak dari permukaan (μm)
Kekerasan (VHN)
Mesh 100
Base Material
(a) Ukuran serbuk 250 μm (mesh 60) (b) Ukuran serbuk 150 μm (mesh 60)
Gambar 4. Case Depth Hasil Karburisasi
Mujiyono, Meningkatkan Efektifitas Karburisasi Padat pada Baja Karbon
13
Grafik kekerasan terhadap kedalaman dari permukaan
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
0 500 1000 1500
Jarak dari tepi (μm)
Kekerasan (VHN)
Tanpa karburising 279 μm
600 μm
250 μm
850 μm
150 μm
2000 μm
Gambar 5. Perbandingan Ukuran Butir Serbuk
Terhadap Case Depth
Serbuk berukuran 250, 279, 600, 850 dan 2000
μm mempunyai ukuran yang seragam (monomize),
tetapi serbuk berukuran 150 μm tidak monomize.
Kondisi ini disebabkan oleh metode penyaringan
bertingkat mulai dari ayakan ukuran mesh 100. Sisa
serbuk arang yang tidak lolos disaring kembali
dengan ayakan mesh 60 dan seterusnya. Akibatnya
untuk serbuk yang lolos ayakan mesh 100 tidak
monomize karena serbuk yang lolos terdiri dari
serbuk yang masih dapat lolos ayakan mesh 100, 200,
300 dan seterusnya. Tetapi untuk serbuk yang lolos
ayakan ukuran mesh 10 sampai dengan 60 dapat
dipastikan mempunyai ukuran yang relatif seragam
karena serbuk yang lolos berukuran sesuai lubang
ayakan sehingga tidak mungkin lebih besar karena
akan tertahan sedangkan yang lebih kecil sudah lolos
pada pengayakan sebelumnya.
Karburisasi dengan ukuran serbuk arang 150,
850 dan 2000 μm memberikan case depth antara
1100–1200 μm yang berarti lebih rendah bila
dibandingkan dengan ukuran serbuk 250, 279 dan
600 μm yaitu antara 1300–1350 μm. Difusivitas
Karbon ke dalam Baja Karbon Rendah, meningkat
mulai dari ukuran serbuk 2000 dan 850 μm ke
ukuran serbuk 600 dan 279 μm. Pada ukuran serbuk
250 μm difusivitas Karbon mulai menurun dan
ukuran serbuk 150 μm memberikan difusivitas
terendah (Gambar 5).
Serbuk arang tempurung kelapa berukuran 600
sampai 250 μm relatif lebih efektif untuk media
karburasi. Hal ini disebabkan oleh faktor luas
permukaan kontak serbuk dengan benda uji dan
kelancaran pergerakan Oksigen diantara celah-celah
serbuk media karburasi. Serbuk berukuran 2000 dan
850 μm mempunyai sirkulasi Oksigen yang sangat
baik, tetapi luas permukaan kontak antara media
karburasi dan benda uji lebih rendah dibanding
serbuk berukuran 600, 279 dan 250 μm. Serbuk
dengan ukuran butir 150 μm mempunyai difusivitas
Karbon terendah karena pergerakan gas di antara
butiran-butiran serbuk arang tidak bagus akibat
celah yang sangat sempit, walaupun luas permukaan
kontaknya paling besar. Di sisi lain, pada serbuk 150
μm ukurannya tidak monomize, di dalamnya masih
terdapat serbuk-serbuk arang yang ukurannya lebih
kecil sehingga celah-celah di antara serbuk semakin
sempit. Akibatnya pergerakan oksigen dalam kotak
semakin terbatas.
Pengamatan lebih lanjut terhadap Gambar 5,
ukuran serbuk 600 μm memberi hasil sedikit lebih
baik dari pada serbuk ukuran 279 dan 250 μm. Ini
sesuai dengan pembahasan di atas bahwa energi
dalam kotak untuk media karburasi ukuran 600 μm
cukup tinggi, terbukti benda uji sedikit mengalami
oksidasi ketika dikeluarkan dari kotak
KESIMPULAN
Serbuk tempurung kelapa dengan ukuran antara
250 hingga 600 um dapat digunakan untuk proses
karburisasing padat pada Baja Karbon Rendah.
Dengan waktu karburisasi padat selama 4 jam, maka
akan terjadi difusi Karbon hingga kedalaman 1200
μm dan kekerasan permukaan baja meningkat 250%
dari kekerasan semula
DAFTAR PUSTAKA
1. Rajan, T.V., Sharma, C.P., dan Sharma, A., Heat
Treatment–Principles and Techniques, revised
edition, Prentice Hall of India, New Delhi, India,
1997.
2. Poor, R., dan Verhoff, S., “New Technology is The
Next Step In Vacuum Carburizing”, Surface
Combution Inc., Maumee, Ohio, USA, Industrial
heating oktober 2002.
3. Arbintarso, E., Penggunaan media arang baterai
untuk meningkatkan kualitas karbonisasi pada
industri pembuatan pisau, Prosiding Seminar
Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2003,
Institut Sains & Teknologi AKPRIND, 18 Oktober
2003.
4. Suryanto, H., Malau, V., dan Samsudin, ”Pengaruh
Penambahan Barium Karbonat pada Media
Karburasi terhadap Karakteristik Kekerasan
Lapisan Karburasi Baja Karbon Rendah”, Proceeding
Seminar Nasional Teknik Mesin 2003,
Universitas Brawijaya, Malang, Oktober 2003.
5. Tiwan dan Mujiyono, “Pengaruh Penambahan
Barium Karbonat (BaCo3), Temperatur Dan
Lama Pemanasan Terhadap Peningkatan Kekerasan
Baja Karbon Rendah Pada Proses Karburising
Dengan Media Serbuk Tempurung
Kelapa”, Laporan Penelitian, FT-UNY, Yogyakarta,
2005.
JURNAL TEKNIK MESIN Vol. 10, No. 1, April 2008: 8–14
14
6. Sudarsono., Ferdian, D., dan Soedarsono, J.W.,
“Pengaruh Media Celup dan Waktu Tahan Pada
Karburasi Padat Baja AISI SAE 1522”, Prosiding
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi
2003, Institut Sains & Teknologi AKPRIND, 18
Oktober 2003.
7. Mujiyono dan Soemowidagdo, A.,L., “Pemanfaatan
Natrium Karbonat Sebagai Energizer Pada Proses
Karburising Untuk Meningkatkan Kekerasan
Baja Karbon Rendah”, Laporan Penelitian, FTUNY,
Yogyakarta, 2005.
8. Soemowidagdo, A,.L., “Kalsium Karbonat Sebagai
Energizer Pada Proses Karburising Untuk
Meningkatkan Kekerasan Baja Karbon Rendah”,
Laporan Penelitian, FT-UNY, Yogyakarta, 2005.
9. Budinski, G., dan Budinski., K., Engineering
Materials-properties and selection, 6th edition,
Prentice Hall International, Inc., New Jersey, USA
1999.



Senin, 06 April 2009

PENGARUH PROSES PENDINGINAN PASKA PERLAKUAN PANAS TERHADAP UJI KEKERASAN ( VICKERS ) DAN UJI TARIK PADA BAJA TAHAN KARAT 304 PRODUKSI PENGECORAN LOGAM DI KLATEN

Hmmmm...Judulnya lumayan asik nech..heheh
Aku berharap juga demikian buat temen-temen laskar pengelasan Indonesia dimanapun berada. Sebuah karya penelitian dari bapak Rubijanto ini bisa kita gunakan sebagai acuan untuk lebih memperhatikan proses pendinginan ketoka sedang melakukan perlakuan panas-heat treatment (lebih pasnya,paska perlakuan panas dilakukan)

Traksi. Vol. 4. No. 1, Juni 2006 191 2
PENGARUH PROSES PENDINGINAN PASKA PERLAKUAN PANAS
TERHADAP UJI KEKERASAN ( VICKERS ) DAN UJI TARIK PADA BAJA
TAHAN KARAT 304 PRODUKSI PENGECORAN LOGAM DI KLATEN
Rubijanto * )
ABSTRAK
Banyak dipakainya baja tahan karat pada industri dan perabot rumah tangga mengakibatkan bahan
tersebut harus mengalami penyesuaian pada sifat mekanis yang diinginkan oleh pemakainya,salah
satu langkah yang dapat diambil adalah dengan melakukan proses perlakuan panas,proses ini akan
sangat bergantung pada sifat mekanis bahan,suhu pemanasan, waktu tahan dan proses
pendinginan.Kombinasi dari hal tersebut akan mengakibatkan perbedaan pada kekuatan
tarik,kekerasan dan struktur mikro.
Kata kunci : Perlakuan panas,proses pendinginan.
PENDAHULUAN
Sebagai upaya mencari sifat logam yang sesuai dengan yang dibutuhkan
diantaranya adalah dengan cara perlakuan panas.Perlu tidaknya perlakuan panas dan
bagaimana perlakuan panas yang dilakukan tergantung pada sifat coran dan
penggunaanya.Untuk itu perlu diketahui secara mendalam mengenai sifat-sifat baja cor
tersebut.Yang dimaksud dengan perlakuan disini adalah proses untuk memperbaiki sifatsifat
dari logam dengan jalan memanaskan coran sampai temperatur yang cocok dibiarkan
beberapa waktu pada temperatur itu,kemudian didinginkan ke temperatur yang lebih rendah
dengan kecepatan yang sesuai.Selain perlakuan panas yang dilakukan sifat mekanis baja
juga akan dipengaruhi oleh proses pendinginan yang dilakukan,apakah ada perbedaan
perubahan sifat mekanis dari baja yang diperlakukan panas dengan proses pendinginan
yang berbeda adalah satu hal yang dicari dalam penulisan ini.
TINJAUAN PUSTAKA
Ø Perlakuan panas
Definisi
Perlakuan panas adalah proses untuk memperbaiki sifat-sifat dari logam dengan
jalan memanaskan coran sampai temperatur yang cocok, lalu dibiarkan beberapa waktu
pada temperatur itu,kemudian didinginkan ke temperatur yang lebih rendah dengan
kecepatan yang sesuai.Perlakuan panas yang dilaksanakan pada coran adalah: pelunakan
temperatur rendah,pelunakan,penormalan,pengerasan dan penemperan. ( Surdia,
Tata,1996:186 )
Heat treatment hanya bisa dilakukan pada logam campuran yang pada temperatur kamar
mempunyai struktur mikro dua fase atau lebih.Sedang pada temperatur yang lebih tinggi
fase-fase tersebut akan larut menjadi satu fase.
Cara yang dipakai ialah dengan memanaskan logam sehingga terbentuk satu fase, kemudian
diikuti dengan pendinginan cepat. Dengan cara ini pada temperatur kamar akan terbentuk
satu fase yang kelewat jenuh. Bila logam dalam keadaan tersebut dipanaskan maka fasefase
yang larut akan mengendap.( Sumanto,13,14 )
* ) Staf Pengajar Jurusan Mesin UNIMUS
Traksi. Vol. 4. No. 1, Juni 2006 191 3
Macam - macam perlakuan panas
Secara umum langkah pertama heat treatment adalah memanaskan logam atau
paduan itu sampai suatu temperatur tertentu,lalu menahan beberapa saat pada temperatur
tersebut,kemudian mendinginkanya dengan laju pendinginan tertentu. Komposisi dari baja
sangat mempengaruhi struktur mikro yang akan terjadi,disamping perlakuan-perlakuan
yang dialami logam atau baja sebelumnya.
Secara garis besar proses perlakuan panas dapat dibedakan menurut tingginya temperatur
dan laju pendinginanya.Proses laku panas dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
· Proses perlakuan panas yang menghasilkan struktur yang seimbang,seperti :
anealling,normalizing.
· Proses perlakuan panas yang menghasilkan struktur yang tidak seimbang seperti
halnya pada hardening
§ Aneal ( Pelunakan Coran )
Aniliasi ( pelunakan ) coran dilakukan dengan memanaskanya sampai
temperatur yang cukup tinggi kemudian didinginkan perlahan-lahan dalam
tungku yang dipakai untuk melunakan.(Tata Surdia:1996,186 )
Dalam proses anealing baja harus dipanaskan melalui suhu pengkristalan
kembali untuk membebaskan tegangan–tegangan dalam baja.Kemudian
mempertahankan pemanasanya pada suhu tinggi untuk membuat sedikit
pertumbuhan butir–butiran dan suatu struktur austenit,seterusnya didinginkan
secara perlahan-lahan untuk membuat suatu struktur perlit.Baja menjadi cukup
lunak sehingga dapat dikerjakan dengan mesin.Baja anil kurang keuletanya
dibandingkan dengan hasil laku panas lainya akan tetapi baja anil membentuk
geram yang baik sewaktu pemesinan.
§ Normalisasi
Normalisasi dilakukan untuk mendapatkan struktur mikro dengan butir yang
halus dan seragam.Proses ini dapat diartikan sebagai pemanasan dan
mempertahankan pemanasan pada suhu yang sesuai diatas batas perubahan
diikuti dengan pendinginan secara bebas didalam udara luar supaya terjadi
perubahan ukuran butiran-butiran.Hal tersebut membuat ukuran menjadi
seragam dan juga untuk memperbaiki sifat-sifat mekanik dari baja tersebut.
Pada proses ini baja dipanaskan untuk membentuk struktur austenit direndam
dalam keadaan panas,dan seterusnya didinginkan secara bebas di
udara.Pendinginan yang bebas akan menghasilkan struktur yang lebih halus
daripada struktur yang dihasilkan dengan jalan anealing.Pengerjaan mesin juga
akan menghasilkan permukaan yang lebih baik.
§ Pengerasan ( Hardening )
Pengerasan biasanya dilakukan untuk memperoleh sifat tahan aus yang tinggi
atau kekuatan yang lebih baik.Pengerasan dilakukan dengan memanaskan baja
sampai ke daerah austenit lalu mendinginkanya dengan cepat,dengan
pendinginan yang cepat ini terbentuk martensit yang kuat.
Temperatur pemanasanya,lama waktu tahan dan laju pendinginan untuk
pengerasan banyak tergantung pada komposisi kimia dari baja.Kekerasan
maksimum yang dapat dicapai tergantung pada kadar karbon dalam
baja.Kekerasan yang terjadi pada benda akan tergantung pada temperatur
Traksi. Vol. 4. No. 1, Juni 2006 191 4
pemanasan,waktu tahan dan laju pendinginan yang dilakukan pada proses laku
panas,disamping juga pada harden ability baja yang dikeraskan.
METODOLOGI
Langkah sebelum pengujian adalah penyiapan material untuk pengujian yang akan
dilakukan,Pengujia n tersebut adalah uji tarik,uji kekerasan dan struktur mikro yang
sebelumnya didahului dengan uji komposisi kimia.Setelah terbukti bahwa baja tersebut
adalah baja tahan karat dengan kandungan 8 Ni 18 Cr, maka dilakukan pemanasan pada
suhu 9500C dan waktu tahan 60 menit yang meliputi :
1.Pendinginan di udara bebas
2.Pendinginan didalam oven dengan cerobong terbuka
3.Pendinginan didalam oven dengan cerobong tertutup
Heat Treatment ini bertujuan untuk mendapatkan perubahan sifat-sifat tertentu dan
kekerasan dari baja.
R
B
W
A
L
C
T
G
Gambar 1. Spesimen uji tarik
G = 32+0,08 mm T = Thickness of materist
L = 60 mm B = 10 mm
W = 8 + 0,05 mm R = 8 mm
A = 32 mm C = 11 mm
DATA DAN ANALISA HASIL PENELITIAN
Hasil Penelitian Uji Komposisi Kimia
Tabel 1. Hasil Penelitian Uji Komposisi Kimia
No Unsur % No Unsur % No Unsur %
1. Fe 71,17 6. Ti 0,01 11. P 0,042
2. Si 0,376 7. Nb 0,02 12. Cr 18,359
3. V 0,03 8. Mn 1,329 13. S 0,025
4. Cu 0,217 9. Ni 8,229 14. o 0,102
5. C 0,045 10. Al 0,002 15. W 0,04
Traksi. Vol. 4. No. 1, Juni 2006 191 5
Ø Analisa Komposisi Kimia
- Merupakan baja karbon rendah karena C = 0,045 %
- Dengan Paduan 18,359%Cr, 8,229%Ni, 0,376%Si dan 1,329%Mn maka termasuk
golongan baja tahan karat austenit yang memiliki sifat tahan korosi,mampu bentuk
dan mampu las yang baik,sangat cocok digunakan untuk perabotan rumah tangga.
- Dengan 0,045 %C, 18,359%Cr, 8,229%Ni, tidak bisa dikeraskan dengan quenching
( pendinginan ), karena termasuk baja tahan karat austenit yang bersifat lunak..
Ø Analisa Pengujian Kekerasan
- Dari angka-angka menunjukan bahwa harga kekerasan sample uji yang mengalami
perlakuan panas lebih kecil daripada kekerasan sample uji tanpa perlakuan panas.
- Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan waktu pada saat pendinginan,dimana
semakin cepat waktu pendinginan yang terjadi maka butir yang terbentuk akan
menjadi lebih besar,sedangkan butir yang lebih besar akan membuat kekerasan baja
menjadi lebih rendah.
No. Tanpa perlakuan
panas
Pendinginan
udara bebas
Pendinginan
cerobong terbuka
Pendinginan
cerobong tertutup
1. 356 213 217 246
2. 370 215 222 251
3. 348 216 211 253
4. 366 220 217 251
5. 370 218 217 249
.
Gambar 2. Grafik uji kekerasan
Traksi. Vol. 4. No. 1, Juni 2006 191 6
Ø Analisa Pengujian Kekuatan Tarik
- Dari angka-angka menunjukan bahwa harga kekuatan tarik sample uji yang
mengalami perlakuan panas lebih kecil daripada kekuatan tarik sample uji tanpa
perlakuan panas.
- Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan waktu pada saat pendinginan,dimana
semakin cepat waktu pendinginan yang terjadi maka butir yang terbentuk akan
menjadi lebih besar,sedangkan butir yang lebih besar akan membuat kekuatan tarik
baja menjadi lebih rendah.
Tabel 2. Hasil Pengujian Kekuatan Tarik
No. Tanpa
perlakuan panas
Pendinginan
udara bebas
Pendinginan
cerobong terbuka
Pendinginan
cerobong tertutup
1. 91,36 74,94 74,1 84,64
2. 92,81 75,28 75,2 84,64
3. 91,8 75,28 74,77 85,2
Gambar 3. Grafik uji kekuatan tarik
Traksi. Vol. 4. No. 1, Juni 2006 191 7
Ø Data dan Analisa Uji Struktur Mikro.
· Data Uji Struktur Mikro
Dengan pembesaran 135x Dengan Pembesaran 665x
Gambar 4. Struktur mikro benda tanpa perlakuan panas
Dengan pembesaran 135x Dengan Pembesaran 665x
Gambar 5. Struktur mikro dengan pendinginan cerobong tertutup
Traksi. Vol. 4. No. 1, Juni 2006 191 8
Dengan pembesaran 135x Dengan Pembesaran 665x
Gambar 6. Struktur mikro dengan pendinginan cerobong terbuka
Dengan pembesaran 135x Dengan Pembesaran 665x
Gambar 7. Struktur mikro dengan pendinginan udara bebas
· Analisa Pengujian Struktur Mikro
§ Pada dasarnya semua benda uji baik yang mengalami perlakuan panas atau
yang tidak mengalami perlakuan panas,struktur mikronya terdiri dari ferit dan
perlit.Bila dilihat dari hasil pengujian untuk benda sebelum mengalami
perlakuan panas perlit lebih banyak ( mendominasi ).dan mempunyai ukuran
butir yang lebih kecil bila dibandingkan dengan benda setelah mengalami
perlakuan panas.Hal ini yang menyebabkan benda uji mempunyai harga
kekerasan yang paling tinggi.
Traksi. Vol. 4. No. 1, Juni 2006 191 9
§ Dan untuk benda uji setelah mengalami perlakuan panas ferit lebih
mendominasi dan mempunyai ukuran yang lebih besar bila dibandingkan
dengan benda uji sebelum mengalami perlakuan panas.Hal ini yang
menyebabkan harga kekerasanya menurun.
KESIMPULAN
Dari data hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Berdasarkan komposisi kimia
Dilihat dari kandungan karbon dalam baja yang diuji maka baja tersebut termasuk
baja karbon rendah, dan dari kandungan nikel dan khrom yang tinggi maka baja
tersebut termasuk baja tahan karat.
2. Berdasarkan uji kekerasan
Dengan adanya kandungan karbon yang rendah maka baja tahan karat austenit
hanya terdiri dari fasa perlit dan ferit baik pada suhu pemanasan atau suhu
pendinginan, sehingga harga kekerasanya menurun untuk masing-masing benda uji
pada saat pendinginan yang berbeda
3. Berdasarkan uji kekuatan tarik
Berdasarkan uji kekuatan tarik, benda yang telah mengalami perlakuan panas dan
pendinginan,baik pendinginan di udara bebas,pendinginan di oven dengan cerobong
tertutup ataupun pendinginan di oven dengan cerobong terbuka,mempunyai
kekuatan tarik yang menurun apabila dibandingkan dengan benda sebelum
mengalami perlakuan panas,hal ini disebabkan karena lambatnya laju pendinginan
yang terjadi,sehingga akan menimbulkan butiran yang terbentuk menjadi
besar.Butir yang besar akan membuat kekuatan baja menjadi rendah sehingga baja
mudah putus.
4. Berdasarkan uji struktur mikro ( Metallografi )
Berdasarkan dari hasil penelitian benda uji yang mempunyai struktur ferit lebih
banyak dan mempunyai ukuran butir yang besar maka benda uji itu akan
mempunyai harga kekerasan yang kecil
DAFTAR PUSTAKA
1. Sumarto, Harsono Wiryo. Teknik Pengelasan logam. Jakarta : Pradnya
Paramitha,2000.
2. Jensen, H chenoweth. Kekuatan Bahan Terapan. Jakarta : Erlangga, 1991
3. Sumanto.Pengetahuan Bahan Untuk Mesin dan Listrik. Yogyakarta: andi offset .
4. Suherman, Wahid. Perlakuan Panas, Surabaya : ITS Press.
5. Van Vleck, Lawrence H. Ilmu dan Teknologi Bahan, Jakarta: Erlangga.
6. Surdia,Tata. Teknik Pengecoran Logam. Jakarta : Pradnya paramitha 1996
7. Sebayang, Darwin. Ilmu Kekuatan Bahan. Jakarta : Erlangga 1995
8. Smallman, R E. dan R J Bishop Metalurgi Fisik Modern dan Rekayasa Material.
Jakarta :Erlangga 2000
9. E Dieter, George.Metalurgi mekanik. Jakarta : Erlangga 1996.

Meningkatkan Efektifitas Karburisasi Padat pada Baja Karbon Rendah dengan Optimasi Ukuran Serbuk Arang Tempurung Kelapa

Postingan ini saya peroleh dari kolega saya yang kuliah di UGM-Yogja.. Dari judulya saja,saya langsung tertarik untuk membacanya. Bayangin aja, serbuk arang dari tempurung kelapa ( orang jawa menyebutnya areng )bisa digunakan untuk ningkatin EfEktiVitas kArburasi...ckckckc
Padahal kalau di kampung saya ( Trenggalek yang asri dan damai..xixixixi) serbuk arang ini seperti tiada artinya. Dibuang gitu aja atau dipake just untuk sekedar membakar/memanggang ketela pohon,jagung dan dipake klu pas lagi musim dingin gitu...
Hal ini tentu saja sangat menarik,untuk orang yang tahu-tahu aja tentunya..hehehe.. Bagi yang tidak tahu ya bisa dijadikan bahan bacaan yang saya rasa lumayan menarik.Kita bisa memanfaatkan arang ini untuk keperluan yang luhur dan mulia bagi peradaban besi-baja di alam semesta ini..wkwkwkw
Ah, daripada terus2n ngomong yang nggak penting,mending langsung aja 'disantap' menu arang baja gurih ini..heheh

Meningkatkan Efektifitas Karburisasi Padat pada Baja Karbon
Rendah dengan Optimasi Ukuran Serbuk Arang Tempurung Kelapa
Mujiyono dan Arianto Leman Sumowidagdo
Jurusan Pendidikan Teknik Mesin, Fakultas Teknik
Universitas Negeri Yogyakarta
Email: mujiyonouny@yahoo.com
ABSTRAK
Karburising padat merupakan metode karburisasi yang paling sederhana, yaitu menggunakan
serbuk arang sebagai penambah unsur Karbon. Tujuan penelitian adalah untuk
meningkatkan efektivitas hasil proses karburising yang menggunakan serbuk arang tempurung
kelapa pada Baja Carbon Rendah. Arang tempurung kelapa dibuat serbuk dan diayak dengan
ukuran butir 150, 250, 279, 600, 850 dan 2000 μm. Benda uji yang digunakan adalah baja karbon
rendah dengan kandungan 0,082% C. Proses karburising padat dilakukan pada suhu 850 0C
selama 4 jam. Proses pengerasan dilakukan dengan memanaskan ulang benda uji pada suhu 850
0C, ditahan 5 menit, kemudian dicelup ke dalam air bersuhu 28 0C. Struktur Martensit yang
terbentuk diamati dengan mikroskop dan diuji dengan Micro Vickers Hardness Tester. Dari
penelitian ini disimpulkan bahwa serbuk tempurung kelapa dengan ukuran antara 250 hingga
600 μm efektif digunakan untuk proses karburising padat pada Baja Karbón Rendah. Dengan
waktu tahan karburising selama 4 jam, maka akan terjadi difusi Karbón hingga kedalaman 1200
μm dan kekerasan permukaan baja dapat meningkat hingga 250% dari kekerasan semula.
Kata kunci: Kaburising padat, difusi karbon, ukuran serbuk arang, Martensit.
ABSTRACT
Pack carburizing is the simplest method of carburizing process that use charcoal powder as
carbon element adder. The research target is to increase the effectiveness of charcoal powder as pack
carburizing media. Coconut shell charcoal was made into powder then sifted with size of 150, 250,
279, 600, 850 and 2000 μm. Specimens were Low Carbon Steel which contain 0,082 % C. The pack
carburizing process was conducted for 4 hours at 850 0C. The hardening process was done by
reheating at 850 0C with 5 minutes holding time and quenched into water of 28 0C to form
Martensite structure that was observed by optic microscope and Micro Vickers Hardness Tester. The
conclusion of the research are that 250 until 600 μm powder size of coconut shell charcoal can use to
pack carburizing media. With 4 hours for pack carburizing process, case depth of carbon diffusion on
surface specimen is about 1200 μm and surface hardness specimen increase 250% to base material
Keywords: Pack carburizing, carbon diffusion, charcoal powder size, Martensite.
PENDAHULUAN
Karburising adalah sebuah proses penambahan
unsur Karbon pada permukaan logam dengan cara
difusi untuk meningkatkan sifat fisis dan mekanisnya.
Pada umumnya proses karburisasi diikuti
dengan perlakuan Pendinginan Cepat (quenching)
untuk meningkatkan kekerasannya sehingga permukaan
logam menjadi lebih tahan aus [1]. Metode
proses ini dibedakan menurut media karburasinya
yaitu gas, cair dan padat. Proses karburisasi telah
dikembangkan sedemikian rupa menggunakan teknologi
canggih, misalnya metode karburisasi cair
sistem vakum untuk pembuatan roda gigi helix [2].
Namun demikian, karburisasi padat yang merupakan
metode yang paling sederhana masih digunakan
pada industri-industri kecil di Indonesia. Misalnya
untuk penyepuhan pisau yang memanfaatkan arang
baterai bekas [3].
Berbagai usaha telah dilakukan untuk memperbaiki
proses karburisasi padat dengan menambahkan
energizer atau bahan pengaktif seperti Barium
Karbonat [4,5], Natirum Karbonat [6,7] dan Kalsium
Karbonat [8]. Bahan pengaktif tersebut akan mempercepat
terbentuknya gas CO yang dibutuhkan
untuk proses difusi Karbon pada permukaan Baja
Karbon Rendah. Usaha lain yang belum diteliti
adalah penggunaan ukuran butir serbuk media
karburasi yang optimal.
Pada metode karburisasi padat, komponen yang
akan dikarburisasi ditempatkan dalam kotak yang
berisi media penambah unsur karbon atau media
8
Mujiyono, Meningkatkan Efektifitas Karburisasi Padat pada Baja Karbon
9
karburasi, kemudian dipanaskan pada suhu austenisasi
(842–953 0C). Akibat pemanasan ini, media
karburasi akan teroksidasi menghasilkan gas CO2
dan CO [9]. Gas CO akan bereaksi dengan permukaan
baja membentuk atom Karbon yang kemudian
berdifusi ke dalam baja mengikuti persamaan:
2CO + Fe → Fe (C) + CO2 (1)
Gas CO2 ini sebagian akan bereaksi kembali
dengan karbon dari media karburasi membentuk CO
dan sebagian lagi akan menguap. Ini berarti bahwa
Oksigen harus tersedia cukup dalam kotak agar
proses dapat berlangsung dengan baik. Media karburasi
yang berbentuk serbuk akan memunculkan
rongga-rongga di dalam kotak. Semakin besar
ukuran serbuk maka semakin besar rongganya,
namun akan semakin sedikit kontak antara media
karburasi dengan permukaan komponen. Ukuran
serbuk yang besar juga akan mengurangi efektifitas
proses karburisasi padat, terutama jika komponen
yang dikarburisasi memiliki bentuk yang rumit. Di
sisi lain, semakin kecil ukuran serbuk semakin kecil
rongganya sehingga mengurangi jumlah Oksigen
dalam kotak. Bagaimanapun juga, rongga ini
diperlukan untuk menjamin pergerakan gas-gas yang
muncul selama proses di dalam kotak. Oleh sebab itu,
ukuran butir serbuk yang efektif pada proses
karburising padat perlu ditentukan agar proses
menjadi optimal.
METODE PENELITIAN
Penyiapan Bahan
Bahan untuk karburising padat dibuat dari
arang tempurung kelapa yang digiling dengan
blender menjadi serbuk. Selanjutnya diayak berturutturut
mulai dari ayakan dengan ukuran mesh 100,
60, 50, 30, 20, dan 10 sehingga diperoleh serbuk
dengan ukuran butir 150, 250, 279, 600, 850 dan 2000
μm. Penyaringan dengan mesh 100 menghasilkan
serbuk arang dengan ukuran butir 150 μm, mesh 60
menghasilkan ukuran butir 250 μm dan seterusnya.
Sedang Baja Karbon Rendah yang digunakan merupakan
batang lonjoran dengan penampang lingkaran
berdiameter 22 mm dan setelah diuji di PT.
Itokoh Ceperindo, Klaten ternyata memiliki
komposisi kimia seperti pada Tabel 1.
Bahan baja tersebut dibubut sehingga diameternya
menjadi 20 mm, kemudian dipotong menjadi
benda uji dengan tebal 10 mm. Selanjutnya, permukaan
benda uji diamplas secara bertahap mulai
dari amplas nomor 150, 240, 400, 600, 800, 1000 dan
1500, serta dipoles dengan Batu Langsol sehingga
diperoleh permukaan yang bersih dan halus. Untuk
masing-masing variabel ukuran serbuk arang,
disiapkan 3 buah replikasi benda uji.
Prosedur Pengujian
Benda uji diletakkan dalam media karburasi
pada pipa baja berdiameter 76,2 mm yang bagian
bawah dan atasnya ditutup campuran pasir semen.
Proses karburisasi dilakukan pada Dapur Pemanas
Wilmonn dengan siklus seperti pada Gambar 5.
Proses pengerasan dilakukan dengan memanaskan
kembali benda uji pada suhu 850 0C, ditahan selama
5 menit, kemudian seluruh benda uji dicelup secara
bersamaan ke dalam air bersuhu 28 0C.
45
t (menit)
T (0C)
850 0C
240 Didinginkan di
udara terbuka
Gambar 1. Siklus pemanasan proses karburising
Perubahan fasa akibat perlakuan karburisasi
dan pengerasan diamati menggunakan Mikroskop
Optik Olympus. Tebal lapisan difusi (case depth) yang
diperoleh dari hasil proses karburisasi ditentukan
melalui pengukuran kekerasan dari tepi benda uji
menggunakan Micro Vickers Hardness Tester Shimadzu
HMV-2 dengan beban penekanan 1 kg. Sesuai
dengan metode yang dikemukakan oleh Budinski [9]
untuk mengukur case depth dapat menggunakan
indikator perubahan kekerasan permukaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Karburisasi
Waktu proses karburisasi 4 jam menghasilkan
proses difusi Karbon ke permukaan baja cukup
dalam, tetapi belum maksimal karena bila ada
penambahan waktu terjadi kedalaman difusi yang
Tabel 1. Komposisi Kimia Baja Carbon Rendah.
Unsur Fe C Si Mn P S
Komposisi (%berat) 99,04 0,082 0,067 0,475 0,016 0,018
Unsur Ni Cr Mo Cu Nb V W
Komposisi (%berat) 0,134 0,072 0,004 0,027 0,01 0,01 0,06
JURNAL TEKNIK MESIN Vol. 10, No. 1, April 2008: 8–14
10
meningkat [5,7,8]. Pemilihan waktu proses karburisasi
4 jam dengan asumsi jumlah atom Karbon yang
terdifusi ke permukaan benda uji sudah cukup,
namun tidak mencapai maksimal. Hal ini dimaksudkan
agar perubahan yang terjadi sebagai akibat
perbedaan ukuran butir arang tempurung kelapa
dapat diamati. Air dipilih sebagai media pendingin
untuk menjamin terbentuknya struktur Martensit
yang keras sehingga diperoleh perubahan kekerasan
pada permukaan komponen secara signifikan.
Setelah pencelupan suhu air ternyata naik menjadi
30 0C. Hal ini berarti jumlah air yang digunakan
sudah mencukupi untuk pengerasan.
Desain kotak karburisasi pada penelitian ini
dapat menahan udara masuk ke dalam media
karburasi dan mengurangi terjadinya proses oksidasi
sehingga proses pembentukan gas CO lebih efektif.
Hal ini menunjukkan bahwa disain tabung yang
ditutup dengan pasir semen cukup efektif untuk
proses karburasasi padat sehingga menghasilkan
benda uji bersih dari kerak dan tidak berwarna
hitam. Arang dalam kotak karburising masih
berwarna merah walaupun dibuka setelah 30 menit
dari dapur pemanas. Fenomena ini menunjukkan
energi panas yang tersimpan di dalam tabung masih
tinggi sehingga terjadi proses oksidasi ketika
bersentuhan dengan udara. Pada serbuk dengan
ukuran butir 600 μm, ketika benda uji dikeluarkan
dari media karburasi permukaannya sedikit teroksidasi
oleh udara luar akibat tingginya energi
panas dalam kotak karburisasi seperti terlihat pada
Gambar 2c.
Pengamatan Struktur Mikro
Setelah melalui proses karburisasi dan pengerasan,
benda uji diamati struktur mikronya menggunakan
mikroskop optik sebagaimana Gambar 3.
Struktur Martensit terbentuk pada permukaan
hingga kedalaman antara 1100-1350 μm seperti
terlihat pada Gambar 3a dan 3b. Batas antara
struktur Martensit dan Ferit terlihat pada Gambar
3c, menunjukkan batas difusi Karbon ke Baja Karbon
Rendah. Setelah tidak ada difusi Karbon, struktur
mikro yang terbentuk adalah Ferit walaupun sudah
mengalami proses pengerasan. Hal ini terjadi karena
kurangnya Karbon yang terjebak di sel satuan Body-
Centered Cubic (BCC) sehingga tidak dapat membentuk
Martensit. Pada temperatur di atas Garis A2
dalam Diagram Fasa Fe-C, yaitu garis batas
perubahan fasa dari Ferit berubah menjadi Austenit
yang mempunyai sel satuan Face-Centered Cubic (fcc)
dengan daya larut Karbon hingga 0,8%. Pendinginan
hingga di bawah Temperatur Austenisasi, terjadi
perubahan fase dari Austenit ke Ferit yang mempunyai
sel satuan BCC dengan daya larut Karbon
hanya 0,25%. Pendinginan yang lambat memberikan
kesempatan pada Karbon keluar dari sel FCC
sehingga perubahan ke sel BCC berjalan dengan baik
sedangkan Karbon yang keluar membentuk Karbida
Besi Fe3C. Tetapi sebaliknya, pendinginan cepat akan
mengakibatkan perubahan fase dari FCC ke BCC
juga sangat cepat sehingga karbon tidak sempat
keluar dan terjebak di dalam sel BCC karena daya
larut terhadap Karbon lebih kecil dibanding FCC. Hal
Gambar 2. Hasil karburising dengan ukuran serbuk arang tempurung kelapa: (a) 2000; (b)
850; (c) 600; (d) 279; (e) 250; dan (f) 150 μm.
Mujiyono, Meningkatkan Efektifitas Karburisasi Padat pada Baja Karbon
11
ini berakibat pada terbentuknya struktur sel BCC
yang terdeformasi oleh atom Karbon. Struktur baru
ini adalah Martensit dengan sifat sangat keras tetapi
getas. Apabila kandungan Karbon kurang dari 0,25
%, Martensit tidak akan terbentuk meskipun sudah
di didinginkan cepat karena semua Karbon yang ada
dalam Austenit masih dapat larut dalam Ferit.
Bahan logam awal (base material) yang mempunyai
kandungan karbon 0,082% tidak terbentuk
fasa Martensit meskipun sudah mengalami pendinginan
cepat, tetapi didominasi oleh Ferit. Pada
kedalaman lebih besar dari 1300 μm tidak tampak
fasa Martensit tetapi hanya Ferit saja karena
kandungan karbonnya kurang dari 0,25 % seperti
terlihat pada Gambar 2d. Hal ini mengindikasikan
bahwa difusi Karbon dari proses karburisasi tidak
sampai pada kedalaman ini sehingga tidak terbentuk
Martensit, konsekuensinya mempunyai sifat ulet
pada bagian dalam dan keras pada bagian permukaan.
Komposisi ini dapat menghasilkan komponen
yang ulet tetapi tahan aus.
Tebal Lapisan Difusi (Case Depth)
Uji kekerasan menggunakan Microhardness
Vickers Tester Shimadzu HMV-2 untuk mengetahui
kedalaman lapisan keras struktur martensit yang
terbentuk akibat proses karburisasi dan pengerasan.
Struktur Martensit ini mengindikasikan kedalaman
difusi Karbon, karena sebelum di karburisasi, baja
dengan kandungan Karbon 0,082%, tidak dapat
membentuk Martensit sehingga pada kedalaman
tertentu terjadi perbedaan kekerasan.
Base material yang tidak dikarburising memiliki
kekerasan yang hampir sama baik di permukaan
maupun di kedalaman tertentu meskipun sudah di
keraskan karena tidak terbentuk martensit. Ukuran
butiran serbuk arang mempunyai pengaruh terhadap
difusi Karbon ke dalam permukaan bahan seperti
terlihat pada Gambar 4. Semakin dalam, kekerasannya
menurun karena jumlah Karbon yang berdifusi
semakin sedikit. Pada kedalaman lebih dari 1300
μm, tidak terjadi perbedaan kekerasan dengan base
material yang mengindikasikan tidak ada penambahan
Karbon selama proses karburasi sehingga
tidak dapat membentuk Martensit lagi.
Data hasil pengujian tersebut menunjukkan
bahwa ukuran butir serbuk arang yang digunakan
untuk media karburisasi berpengaruh terhadap
difusi Karbon kedalam Baja Karbon Rendah. Waktu
tahan (soaking) yang digunakan untuk proses
karburisasi adalah 4 jam dengan case depth mencapai
1000 μm. Peningkatan kekerasan permukaan antara
340 sampai 429 VHN atau 178 % sampai dengan 250
% dari kekerasan base material 122 VHN.
(a) Martensit di permukaan
(b) Martensit pada kedalaman ± 400 μm
(c) Batas martensit dan ferit pada
kedalaman 1300 μm
(d) Ferite pada kedalaman
lebih dari 1500 μm
Gambar 3. Struktur Mikro Hasil Karburisasi dan Pengerasan
JURNAL TEKNIK MESIN Vol. 10, No. 1, April 2008: 8–14
12
R2 = 0.87
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
0 500 1000 1500
Jarak dari permukaan (μm)
Kekerasan (VHN)
Mesh 10
Base Material
R2 = 0.79
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
0 500 1000 1500
Jarak dari permukaan (μm)
Kekerasan (VHN)
Mesh 20
Base Material
(a) Ukuran serbuk 2000 μm (mesh 10) (b) Ukuran serbuk 850 μm (mesh 20)
R2 = 0.96
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
0 500 1000 1500
Jarak dari permukaan (μm)
Kekerasan (VHN)
Mesh 30
Base Material
μ
R2 = 0.98
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
0 500 1000 1500
Jarak dari permukaan (μm)
Kekerasan (VHN)
Mesh 50
Base Material
(a) Ukuran serbuk 600 μm (mesh 30) (b) Ukuran serbuk 279 μm (mesh 50)
R2 = 0.95
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
0 500 1000 1500
Jarak dari permukaan (μm)
Kekerasan (VHN)
Mesh 60
Base Material
μ
R2 = 0.89
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
0 500 1000 1500
Jarak dari permukaan (μm)
Kekerasan (VHN)
Mesh 100
Base Material
(a) Ukuran serbuk 250 μm (mesh 60) (b) Ukuran serbuk 150 μm (mesh 60)
Gambar 4. Case Depth Hasil Karburisasi
Mujiyono, Meningkatkan Efektifitas Karburisasi Padat pada Baja Karbon
13
Grafik kekerasan terhadap kedalaman dari permukaan
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
0 500 1000 1500
Jarak dari tepi (μm)
Kekerasan (VHN)
Tanpa karburising 279 μm
600 μm
250 μm
850 μm
150 μm
2000 μm
Gambar 5. Perbandingan Ukuran Butir Serbuk
Terhadap Case Depth
Serbuk berukuran 250, 279, 600, 850 dan 2000
μm mempunyai ukuran yang seragam (monomize),
tetapi serbuk berukuran 150 μm tidak monomize.
Kondisi ini disebabkan oleh metode penyaringan
bertingkat mulai dari ayakan ukuran mesh 100. Sisa
serbuk arang yang tidak lolos disaring kembali
dengan ayakan mesh 60 dan seterusnya. Akibatnya
untuk serbuk yang lolos ayakan mesh 100 tidak
monomize karena serbuk yang lolos terdiri dari
serbuk yang masih dapat lolos ayakan mesh 100, 200,
300 dan seterusnya. Tetapi untuk serbuk yang lolos
ayakan ukuran mesh 10 sampai dengan 60 dapat
dipastikan mempunyai ukuran yang relatif seragam
karena serbuk yang lolos berukuran sesuai lubang
ayakan sehingga tidak mungkin lebih besar karena
akan tertahan sedangkan yang lebih kecil sudah lolos
pada pengayakan sebelumnya.
Karburisasi dengan ukuran serbuk arang 150,
850 dan 2000 μm memberikan case depth antara
1100–1200 μm yang berarti lebih rendah bila
dibandingkan dengan ukuran serbuk 250, 279 dan
600 μm yaitu antara 1300–1350 μm. Difusivitas
Karbon ke dalam Baja Karbon Rendah, meningkat
mulai dari ukuran serbuk 2000 dan 850 μm ke
ukuran serbuk 600 dan 279 μm. Pada ukuran serbuk
250 μm difusivitas Karbon mulai menurun dan
ukuran serbuk 150 μm memberikan difusivitas
terendah (Gambar 5).
Serbuk arang tempurung kelapa berukuran 600
sampai 250 μm relatif lebih efektif untuk media
karburasi. Hal ini disebabkan oleh faktor luas
permukaan kontak serbuk dengan benda uji dan
kelancaran pergerakan Oksigen diantara celah-celah
serbuk media karburasi. Serbuk berukuran 2000 dan
850 μm mempunyai sirkulasi Oksigen yang sangat
baik, tetapi luas permukaan kontak antara media
karburasi dan benda uji lebih rendah dibanding
serbuk berukuran 600, 279 dan 250 μm. Serbuk
dengan ukuran butir 150 μm mempunyai difusivitas
Karbon terendah karena pergerakan gas di antara
butiran-butiran serbuk arang tidak bagus akibat
celah yang sangat sempit, walaupun luas permukaan
kontaknya paling besar. Di sisi lain, pada serbuk 150
μm ukurannya tidak monomize, di dalamnya masih
terdapat serbuk-serbuk arang yang ukurannya lebih
kecil sehingga celah-celah di antara serbuk semakin
sempit. Akibatnya pergerakan oksigen dalam kotak
semakin terbatas.
Pengamatan lebih lanjut terhadap Gambar 5,
ukuran serbuk 600 μm memberi hasil sedikit lebih
baik dari pada serbuk ukuran 279 dan 250 μm. Ini
sesuai dengan pembahasan di atas bahwa energi
dalam kotak untuk media karburasi ukuran 600 μm
cukup tinggi, terbukti benda uji sedikit mengalami
oksidasi ketika dikeluarkan dari kotak
KESIMPULAN
Serbuk tempurung kelapa dengan ukuran antara
250 hingga 600 um dapat digunakan untuk proses
karburisasing padat pada Baja Karbon Rendah.
Dengan waktu karburisasi padat selama 4 jam, maka
akan terjadi difusi Karbon hingga kedalaman 1200
μm dan kekerasan permukaan baja meningkat 250%
dari kekerasan semula
DAFTAR PUSTAKA
1. Rajan, T.V., Sharma, C.P., dan Sharma, A., Heat
Treatment–Principles and Techniques, revised
edition, Prentice Hall of India, New Delhi, India,
1997.
2. Poor, R., dan Verhoff, S., “New Technology is The
Next Step In Vacuum Carburizing”, Surface
Combution Inc., Maumee, Ohio, USA, Industrial
heating oktober 2002.
3. Arbintarso, E., Penggunaan media arang baterai
untuk meningkatkan kualitas karbonisasi pada
industri pembuatan pisau, Prosiding Seminar
Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi 2003,
Institut Sains & Teknologi AKPRIND, 18 Oktober
2003.
4. Suryanto, H., Malau, V., dan Samsudin, ”Pengaruh
Penambahan Barium Karbonat pada Media
Karburasi terhadap Karakteristik Kekerasan
Lapisan Karburasi Baja Karbon Rendah”, Proceeding
Seminar Nasional Teknik Mesin 2003,
Universitas Brawijaya, Malang, Oktober 2003.
5. Tiwan dan Mujiyono, “Pengaruh Penambahan
Barium Karbonat (BaCo3), Temperatur Dan
Lama Pemanasan Terhadap Peningkatan Kekerasan
Baja Karbon Rendah Pada Proses Karburising
Dengan Media Serbuk Tempurung
Kelapa”, Laporan Penelitian, FT-UNY, Yogyakarta,
2005.
JURNAL TEKNIK MESIN Vol. 10, No. 1, April 2008: 8–14
14
6. Sudarsono., Ferdian, D., dan Soedarsono, J.W.,
“Pengaruh Media Celup dan Waktu Tahan Pada
Karburasi Padat Baja AISI SAE 1522”, Prosiding
Seminar Nasional Aplikasi Sains dan Teknologi
2003, Institut Sains & Teknologi AKPRIND, 18
Oktober 2003.
7. Mujiyono dan Soemowidagdo, A.,L., “Pemanfaatan
Natrium Karbonat Sebagai Energizer Pada Proses
Karburising Untuk Meningkatkan Kekerasan
Baja Karbon Rendah”, Laporan Penelitian, FTUNY,
Yogyakarta, 2005.
8. Soemowidagdo, A,.L., “Kalsium Karbonat Sebagai
Energizer Pada Proses Karburising Untuk
Meningkatkan Kekerasan Baja Karbon Rendah”,
Laporan Penelitian, FT-UNY, Yogyakarta, 2005.
9. Budinski, G., dan Budinski., K., Engineering
Materials-properties and selection, 6th edition,
Prentice Hall International, Inc., New Jersey, USA
1999.