Minggu, 01 Agustus 2010

MEMINTA, MELACUR, MENGEMIS?

Meminta?

Memang ada orang yang baik hati, tapi sedikit sekali di dunia ini orang yang semacam itu—apalagi saat kapitalisme telah menghujamkan watak individualisme pada masyarakat, mereka beranggapan bahwa semua hal adalah urusan sendiri-sendiri. Dibungkus dengan hubungan cinta, bisa jadi seorang perempuan miskin mencari suami yang kaya agar bisa naik kelas—perempuan ini adalah tipe seorang ‘social climber’ yang tentu saja biasanya bukan bermodalkan cinta, tetapi mungkin adalah kecantikan tubuhnya atau pengabdiannya seperti budak yang mempertukarkan tubuhnya untuk upah berupa perlindungan dan kehidupan yang layak bersama tuannya (suaminya).


Melacur?

Kata Pramoedya Ananta Toer: "Mendapat upah karena menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan kata hati sendiri, kan itu dalam seni namanya pelacuran?” Tentunya, mempertukarkan tubuh dengan uang adalah cara hidup yang sebenarnya keterpaksaan. Sebab setiap perempuan punya naluri untuk memberikan tubuh dan sekaligus menikmati kepuasan tubuhnya dengan laki-laki yang dicintai dan mencintainya. Tetapi karena ia terpaksa butuh uang untuk bertahan hidup—bahkan untuk menghidupi orang lain seperti anak [yang butuh makanan, kesehatan , dan pendidikan] dan orangtuanya—, dijuallah tubuh dan alat kelaminnya pada laki-laki yang berhubungan dengannya untuk mendapatkan kepuasan badan semata. Kalau kita jeli, pelacuran jumlahnya semakin banyak.

Larangan-larangan terhadap pelacuran baik dari agama dan negara (seperti munculnya Paraturan Anti-Maksiat bukannya dapat mengurangi dan menghilangkan pelacuran. Pelacuran baik yang secara terang-terangan maupun yang secara sembunyi-sembunyi tetap terjadi. Mustahil gejala itu dapat dihilangkan tanpa menghilangkan kemiskinan, ketimpangan, dan kapitalisme yang berpilar pada ideologi komersialisme.

Mengemis?

Nyatanya memang semakin banyak orang yang mengemis di jalan-jalan, di tempat-tempat keramaian, dan bahkan mendatangi rumah-rumah. Bahkan beberapa pemerintahan kota merasa kebingungan untuk menghadapi para pengemis daln gelandangan (GEPENG) itu. Mereka merazia para gepeng tetapi tidak memberikan solusi yang tepat, sekedar diusir dan dilarang.

Setelah mencari kerja, meminta, mengemis, melacur tidak mendapatkan suatu pendapatan yang dapat membuatnya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya (bertahan, survive), apa yang harus dilakukan? Tak sedikit yang memilih bunuh diri. Tetapi juga tak sedikit yang menggunakan cara-cara yang kemudian disebut kejahatan (kriminalitas): Mencuri, kalau perlu dengan membunuh dan menyakiti.

***
Itulah yang terjadi pada masyarakat miskin untuk bertahan hidup. Kualitas kemanusiaannya menurun karena mereka dipandang ‘sampah masyarakat’ dan hanya dipahami secara statistik oleh pemerintah dan dianggap ‘menjijikkan’ oleh orang-orang kaya. Imbas dari ideologi kepemilikan pribadi dan kapitalisme yang dicirikan dengan ketimpangan kelas telah menyebabkan kontradiksi hubungan antara satu dengan manusia lainnya pula.

0 komentar:

Posting Komentar