Non destrtructive testing (NDT)
Non destrtructive testing (NDT) adalah aktivitas tes
atau inspeksi terhadap suatu benda untuk mengetahui adanya cacat, retak, atau
discontinuity lain tanpa merusak benda yang kita tes atau inspeksi. Pada
dasarnya, tes ini dilakukan untuk menjamin bahwa material yang kita gunakan
masih aman dan belum melewati damage tolerance. Material pesawat diusahakan
semaksimal mungkin tidak mengalami kegagalan (failure) selama masa
penggunaannya.NDT dilakukan paling tidak sebanyak dua kali. Pertama, selama dan
diakhir proses fabrikasi, untuk menentukan suatu komponen dapat diterima
setelah melalui tahap-tahap fabrikasi. NDT ini dijadikan sebagai bagian dari
kendali mutu komponen. Kedua, NDT dilakukan setelah komponen digunakan dalam jangka
waktu tertentu. Tujuannya adalah menemukan kegagalan parsial sebelum melampaui
damage tolerance-nya.
Metode utama Non Destructive Testing meliputi:
Visual Inspection
Sering kali metode ini merupakan langkah yang pertama
kali diambil dalam NDT. Metode ini bertujuan menemukan cacat atau retak
permukaan dan korosi. Dalam hal ini tentu saja adalah retak yang dapat terlihat
oleh mata telanjang atau dengan bantuan lensa pembesar ataupun boroskop.
Visual inspection dengan boroskop
Liquid Penetrant Test
Metode Liquid Penetrant Test merupakan metode NDT yang
paling sederhana. Metode ini digunakan untuk menemukan cacat di permukaan
terbuka dari komponen solid, baik logam maupun non logam, seperti keramik dan
plastik fiber. Melalui metode ini, cacat pada material akan terlihat lebih
jelas. Caranya adalah dengan memberikan cairan berwarna terang pada permukaan
yang diinspeksi. Cairan ini harus memiliki daya penetrasi yang baik dan
viskousitas yang rendah agar dapat masuk pada cacat dipermukaan material.
Selanjutnya, penetrant yang tersisa di permukaan material disingkirkan. Cacat
akan nampak jelas jika perbedaan warna penetrant dengan latar belakang cukup
kontras. Seusai inspeksi, penetrant yang tertinggal dibersihkan dengan
penerapan developer.
Kelemahan dari metode ini antara lain adalah bahwa
metode ini hanya bisa diterapkan pada permukaan terbuka. Metode ini tidak dapat
diterapkan pada komponen dengan permukaan kasar, berpelapis, atau berpori.
Magnetic Particle Inspection
Dengan menggunakan metode ini, cacat permukaan
(surface) dan bawah permukaan (subsurface) suatu komponen dari bahan
ferromagnetik dapat diketahui. Prinsipnya adalah dengan memagnetisasi bahan
yang akan diuji. Adanya cacat yang tegak lurus arah medan magnet akan
menyebabkan kebocoran medan magnet. Kebocoran medan magnet ini mengindikasikan
adanya cacat pada material. Cara yang digunakan untuk memdeteksi adanya
kebocoran medan magnet adalah dengan menaburkan partikel magnetik dipermukaan.
Partikel-partikel tersebuat akan berkumpul pada daerah kebocoran medan magnet.
Kelemahannya, metode ini hanya bisa diterapkan untuk
material ferromagnetik. Selain itu, medan magnet yang dibangkitkan harus tegak
lurus atau memotong daerah retak serta diperlukan demagnetisasi di akhir
inspeksi.
Eddy Current Test
Inspeksi ini memanfaatkan prinsip elektromagnet.
Prinsipnya, arus listrik dialirkan pada kumparan untuk membangkitkan medan
magnet didalamnya. Jika medan magnet ini dikenakan pada benda logam yang akan
diinspeksi, maka akan terbangkit arus Eddy. Arus Eddy kemudian menginduksi
adanya medan magnet. Medan magnet pada benda akan berinteraksi dengan medan
magnet pada kumparan dan mengubah impedansi bila ada cacat.
Keterbatasan dari metode ini yaitu hanya dapat
diterapkan pada permukaan yang dapat dijangkau. Selain itu metode ini juga
hanya diterapkan pada bahan logam saja.
Ultrasonic Inspection
Prinsip yang digunakan adalah prinsip gelombang suara.
Gelombang suara yang dirambatkan pada spesimen uji dan sinyal yang ditransmisi
atau dipantulkan diamati dan interpretasikan. Gelombang ultrasonic yang
digunakan memiliki frekuensi 0.5 – 20 MHz. Gelombang suara akan terpengaruh
jika ada void, retak, atau delaminasi pada material. Gelombang ultrasinic ini
dibnagkitkan oleh tranducer dari bahan piezoelektri yang dapat menubah energi
listrik menjadi energi getaran mekanik kemudian menjadi energi listrik lagi.
Radiographic Inspection
Metode NDT ini dapat untuk menemukan cacat pada
material dengan menggunakan sinar X dan sinar gamma. Prinsipnya, sinar X
dipancarkan menembus material yang diperiksa. Saat menembus objek, sebagian
sinar akan diserap sehingga intensitasnya berkurang. Intensitas akhir kemudaian
direkam pada film yang sensitif. Jika ada cacat pada material maka intensitas
yang terekam pada film tentu akan bervariasi. Hasil rekaman pada film ini lah
yang akan memeprlihatkan bagian material yang mengalami cacat.
Inspeksi ultarasonik adalah salah satu metode uji tak
rusak (NDT) dimana gelombang suara dengan frekuensi tinggi dilewatkan pada
material untuk mendeteksi cacat di permukaan dan di bawah permukaan
(subsurface) material. Ultrasonic adalah gelombang suara dengan frekuensi 0.1
s/d 25 Mhz, frekuensi ini jauh di atas daerah pendengaran manusia.
Inspeksi Ultrasonik merupakan suatu metode NDT yang
sangat sensitif untuk menginspeksi part part yang terbuat dari metal, non
metal, dan non magnetik. Dengan metoda ultrasonik ini, dapat
diketahu/disetimasi letak dan ukuran cacat yang kecil walaupun hanya dengan
satu sisi permukaan part yang dapat diakses. Kseusksesan dari suatu inspeksi
ultarasonik sangat tergantung pada kondisi permukaan subjek, ukuran butir dan
arah butir, dan impedansi magnetik.
Inspeksi ultrasonik menggunakan energi akustik pada
frekuensi yang tinggi. Energi tersebut diarahkan langsung ke spesimen yang akan
diuji dan jumlah energi yang direfleksikan atau ditransmisikan oleh
spesimen dimonitor sehingga dapat diindikasikan kondisi dari spesimen yang
diuji tersebut.
Ultrasonik beroperasi dengan dari gelombang suara yang
ditransmisikan dan dipantulkan. Suatu gelombang ultrasonik berjalan dari satu
medium ke medium lain haus melewati suatu permukaan atau lapisan batas. Pada
permukaan ini, sebagian energi akustik dipantulkan kembali dan sisanya diserap.
Jumlah dari energi yang dipantulkan tergantung dari ketidak samaan kedua media.
Karena sifat akustik udara sangat jauh berbeda denga logam, retak dan
rongga memberikan persentasi refleksi yang lebih tinggi.
Inspeksi ultrasonic adalah salah satu metode NDT yang
paling banyak digunakan untuk mendeteksi cacat internal, cacat di permukaan,
untuk menentukan karaktersitik perekatan (bond characteristic), juga untuk
mengukur ketebalan dan lebar korosi. Pada metoda ultrasonic ini biasanya juga
digunakan couplant yaitu cairan yang berguna sebagai medium perambatan yang
baik dari transducer ultrasonic dengan benda yang akan diuji. Hal ini dilakukan
karena gelombang suara yang dihasilkan mempunyai sifat perambatan yang
kurang baik diudara.
Ultrasonic Test : Tampilan dilayar jika terdapat retak
Metoda ultrasonic memiliki beberapa
keuntungan sebagai berikut:
·
Mempunyai
kekuatan penetrasi yang tinggi sehingga bisa digunakan pada material dengan
ketebalan samapi 6 meter.
·
Memiliki
sensitivitas tinggi, sehingga bisa mendeteksi cacat yang sangat kecil
·
Memiliki
akurasi yang lebih baik dari metode NDT lainnya dalam menentukan posisi,
orientasi ukuran, dan bentuk cacat internal
·
Hanya
membutuhkan satu permukaan yang dapat diakses
·
Tidak
berbahaya bagi operator dan orang di sekitarnya
·
Bersifat
portable
·
Outputnya
bisa diproses dengan computer untuk mengetahui karakteristik cacat dan untuk
menentukan sifat sifat material.
Kekurangan metoda ultrasonic
·
Pengoperasian
secara manual harus dilakukan oleh teknisi yang berpengalaman
·
Pengetahuan
taknik yang baik dibutuhkan untuk mengembangkan prosedur inspeksi
·
Bagian yang
tidak rata, ketidakteraturan bentuk, komponen yang sangat kecil atau sangat
tipis, atau yang tidak homogen sulit diinspeksi
·
Dibutuhkan
couplant antara transducer ultrasonic dengan bagian yang sedang diinspeksi
·
Dibutuhkan
reference standards untuk pengkalibrasian dan untk mengetahui karakteristik
cacat
Fracture
adalah pemutusan atau putusnya suatu bagian struktur dari bagian lainnya
menjadi dua bagian atau lebih akibat dari beban statik (tekanan, kompressi, dan
torsi) yang dibebankan baik dengan besar yang konstan maupun berubah terhadap
waktu pada suhu yang relatif rendah jika dibandingkan dengan suhu leleh.
Singkatnya, fracture adalah satu bagian putus jadi dua bagian atau lebih,
karena beban statik, pada suhu yang rendah. Terdapat dua jenis fracture yaitu
ductile dan brittle yang keduanya didasarkan atas kemampuan material untuk
mengalami deformasi plastic. Ductile materials adalah material yang ulet.
Material ini biasanya dapat berdeformasi plasti yang baik. Dengan kemampuannya
berdeformasi plastis yang besar, material ductile dapat menyerab energi yangg
besar pula. Sebaliknya yang terjadi pada briitle material (material kaku).
Biasanya kekakuannya tinggi (elastisitas tinggi atau harga E besar). Akibatnya
materil ini biasanya hanya dapat berdeformasi plastis itupun hanya dengan
strain (deformasi) yang kecil sehingga tidak bisa mengalami deformasi
plastik. Akibtany material brittle hanya menyerap energi yang kecil. Prosesnya,
fracture terbagi menjadi dua langkah yaitu crack formation dan propagation.
Fracture sangat bergantung pada mekanisme dari crak propagation. Ductile
fracture ditandai dengan adanya necking awal, pembentukan lubang lubang kecil,
penggabungan dari lubang lubang kecil, crack propagation dan dan fracture
akhir. Brittle fracture terjadi tanpa deformasi, tanpa crack propagation yang
banyak, dan arah dari crack propagation tegak lurus terhadap arah beban yang
diberikan. Pada brittle material , crack propagation bergantung pada ikatan
atom yang terpututs sepanjang rangka kristalografik.
Fatigue
adalah bentuk dari kegagalan yang terjadi pada struktur yang terjadi karena
beban dinamik yang berfluktuasi dibawah yield strength yang terjadi dalam waktu
yang lama dan berulang-ulang. Ingat, kata kuncinya adalah beban dinamik,
berualng, dalam jangka waktu yang lama. Fatigue crack biasanya bermula deri
permukaan yang merupakan tempat beban berkonsentrasi. Fatigue menyerupai
brittle farcture yaitu ditandai dengan deformasi plastic yang sangat sedikit.
Proses terjadinya fatigue ditandai dengan crack awal, crack propagatin dan
fracture akhir. Permukaan fracture biasanya tegak lurus terhadap beban yang
diberikan. Dua sifat makro dari kegagalan fatigue adalah tidak adanya deformasi
plastic yang besar dan farcture yang menunjukkan tanda tanda berupa ‘beachmark’
atau‘camshell’. Tanda tanda makro dari fatigue adalah tanda garis garis pada
pemukaan yang hanya bisa dilihat oleh mikroskop electron.
Creep
adalah deformasi plastis yang terjadi pada material karena diberi beban konstan
pada temperature yang tinggi. Creep hanya terjadi jika kedua sifat diatas
(beban dan suhu yang tinggi) terjadi pada waktu yang bersamaan. Pada logam,
creep terjadi ketika suhu kerja lebih tinggi dari 0,4 kali suhu leleh (suhu
absolute K). Jenis test creep ialah melatakkan specimen pada beban konstan pada
temperature tinggi yang konstan dan deformasi diukur sebagai fungsi dari waktu.
Kurava creep terdiri dari tiga wilayah yaitu creep primer atau transient yaitu
meningkatnya creep rate. Wilayah kedua adalah steady state creep yaitu wilayah
dengan creep rate yang konstan.. Wilayah ketiga adalah creep tersier yaitu
creep rate yang diperbesar sampai kegagalan puncak. Kegagalan ini merupakan
hasil dari perubahan mikrostruktur seperti pemisahan batas nutir dan
pembentukan keretakan dalam. Yang terjadi pada temperature dibawah 0,4 kali
temperatur leleh. Untuk tahanan creep yang lebih baik dilakukan pemilihan bahan
yang memiliki temperatur lelh yang lebih tinggi, modulus elastis yang lebih
besar, dan ukuran butir yang lebih besar. Contoh bahan yang memiliki sifat
tersebut adalah stainlees steel. Cara lebih lanjut untuk meningkatkan tahanan
creep adalah menggunakan teknik untuk memproduksi bahan yang memiliki butir
yang panjang dan komponen kristal yang single/berdiri sendiri.
Hydrogen
cracking
Hydrogen cracking also known as cold cracking or delayed cracking. The main
feature of this type of crack is that it occurs in ferritic weldable steels,
and generally occurs immediately on welding or after a short time after
welding, but usually within 48hrs.
Identification
Visual appearance of Hydrogen Cracking
Hydrogen cracks can be usually have the following
characteristics:
- In C-Mn steels, the crack will normally originate in the
heat-affected zone (HAZ) but may also extend into the weld metal (Fig 1).
- Cracks may also occur in the weld bead, normally transverse
to the welding direction at an angle of 45 to the weld surface. They are
near straight, follow a jagged path.
- In low alloy steels, the cracks can be transverse to the
weld, perpendicular to the surface of the weld, but do not branch and are
planar (Planar Defect).
On breaking open the weld, the surface of the
cracks will normally not be oxidised, even if they are surface breaking,
indicating they were formed when the weld was at or near ambient temperature. A
slight blue tinge may be seen from the effects of preheating or welding heat.
Metallography
Cracks, which originate in the HAZ, are usually associated
with the coarse grain region, (Fig 1). The
cracks can be intergranular, transgranular or a mixture. Intergranular cracks
are more likely to occur in the harder HAZ structures formed in low alloy and
high carbon steels. Transgranular cracking is more often found in C-Mn steel
structures.
In fillet welding, cracks in the HAZ are usually
associated with the weld root and parallel to the weld. In butt welds, the
HAZ cracks are normally oriented parallel to the weld bead. Fig. 1 Hydrogen Crack along the coarse grain
structure in the HAZ (note hardness values).
|
|
Possible Causes
There are three factors, which can cause hydrogen cracking:
- Hydrogen generated by the welding process, or by
contamination of the weld area (paint?).
- A hard brittle structure, which is susceptible to cracking.
- Residual tensile stresses acting on the welded joint
(restraint).
Cracking is caused by the diffusion of hydrogen
to the highly stressed, hardened part of the weldment.
In C-Mn steels, because there is a greater risk
of forming a brittle microstructure in the HAZ, most of the hydrogen cracks are
likely to be found in the parent metal. Using the correct choice of electrodes,
the weld metal will have a lower carbon content than the parent metal and,
hence, a lower carbon equivalent (CE). However, transverse weld metal cracks
can occur especially when welding thick sections.
In low alloy steels, as the weld metal structure
is more susceptible than the HAZ, cracking may be found in the weld bead.
The effects of specific factors on the risk of
cracking are::
- Weld metal hydrogen
- Parent material composition
- Parent
material thickness
- Stresses acting on the weld
- Heat input
Weld metal hydrogen content
One of the principal source of hydrogen is the moisture
contained in the flux ie the coating of MMA electrodes, the flux in cored wires
and the flux used in submerged arc welding. Mainly the electrode type
determines the amount of hydrogen generated. Basic electrodes normally generate
less hydrogen than rutile and cellulosic electrodes.
It is important to note that there can be other
significant sources of hydrogen eg moisture from the atmosphere or from the
material where processing or service history has left the steel with a
significant level of hydrogen. Hydrogen may also be derived from the surface of
the material or the consumable, or from oil and paint etc,.
Sources of hydrogen include:
- Oil, grease and dirt
- Rust
- Paint and coatings
- Cleaning fluids
Parent metal composition
This has a major influence on hardenability and, with high
cooling rates, the risk of forming a hard brittle structure in the HAZ. The
hardenability of a material is usually expressed in terms of its carbon content
or, when other elements are taken into account, its carbon equivalent (CE)
value.
The higher the CE value, the greater the risk of hydrogen
cracking. Generally, steels with a CE value of <0.4 are not susceptible to
HAZ hydrogen cracking as long as low hydrogen welding consumables or processes
are used.
Material thickness
Material thickness will influence the cooling rate and
therefore the hardness level, microstructure produced in the HAZ and the level
of hydrogen retained in the weld.
The 'combined thickness' of the joint, i.e. the
sum of the thicknesses of material meeting at the joint line, will determine,
together with the joint geometry, the cooling rate of the HAZ and its hardness.
Consequently, as shown in Fig. 3, a fillet weld will have a greater
risk than a butt weld in the same material thickness.
|
Fig.3 Combined thickness
measurements for butt and fillet joints (general guide only)
|
Stresses which act on the weld
The stresses generated across the welded joint as it
contracts will be greatly influenced by external restraint, material thickness,
joint geometry and fit-up. Areas of stress concentration are more likely to
initiate a crack at the toe and root of the weld.
Poor fit-up in fillet welds markedly increases
the risk of cracking. The degree of restraint acting on a joint will generally
increase as welding progresses due to the increase in stiffness of the
fabrication.
Heat input
The heat input to the material from the welding process,
together with the material thickness and preheat temperature, will determine
the thermal cycle and the resulting microstructure and hardness of both the HAZ
and weld metal.
A high heat input will reduce the hardness level.
Heat input per unit length is calculated by
multiplying the arc energy by an arc efficiency factor according to the
following formula:
V =
arc voltage (V)
A = welding current (A)
S = welding speed (mm/min)
k = thermal efficiency factor
In calculating heat input, the arc efficiency must be taken into
consideration. The arc efficiency factors given in BS EN 1011-1: 1998 for the
principal arc welding processes, are:
Submerged
arc
(single wire)
|
1.0
|
MMA
|
0.8
|
MIG/MAG
and flux cored wire
|
0.8
|
TIG
and plasma
|
0.6
|
In MMA or stick
welding, heat input is normally controlled by means of the run-out
length from each electrode which is proportional to the heat input. As the
run-out length is the length of weld deposited from one electrode, it will
depend upon the welding technique eg weave width /dwell.
How to Weld 6061 Without Hot
Cracking
6061-T6 is probably the most common aluminum alloy any of us encounter. We all
know that it’s welded everyday, so we assume it must be easy to weld.
Unfortunately, this just isn’t so. In fact, 6061, and all of the other alloys
in the 6XXX series, are relatively sensitive. It isn’t uncommon at all for
people to have cracking problems with them.
All cracking in aluminum alloys is hot cracking. That
is, the crack forms as the weld is solidifying and cooling. While other
factors, such as joint restraint, can influence the tendency to hot crack, by
far the most important reason for hot cracking is the chemistry of the
solidifying weld. Some chemistries are inherently resistant to hot cracking.
Most of the 5XXX series fall into this category. For instance, if you were
welding 5083, you would probably have no problem welding it without filler
metal. Such a weld is called an autogenous weld.
However, the chemistry of 6061, which is roughly 1.0%
magnesium, 0.6% silicon, and the balance aluminum, is very prone to hot
cracking. At first glance, that doesn’t seem to make sense. If it’s so prone to
hot cracking, how do we weld it? The answer is that we can weld it easily if we
add filler metal of a very different chemical composition. The weld will be an
alloy of the filler metal we add and the parent material that gets melted into
the weld. If we use a filler metal with a very different chemistry from 6061,
the solidifying weld will have a chemistry that isn’t anywhere as prone to
cracking as 6061.
Did you ever wonder why there is no 6061 filler metal
made? The reason is simple. If we made 6061 into filler wire, welds made using
it would crack. It would be a really poor choice for a weld filler.
Instead, we weld 6061 easily using either 4043 or 5356
filler metals. 4043 is basically aluminum with 5% silicon added to it and 5356
is aluminum with 5% magnesium added to it. Either alloy makes a good filler
metal for 6061. If we use 5356, we might get a weld chemistry, depending on
dilution, that is 97% aluminum, 3% magnesium, and 0.3% silicon. Such a weld
will be much more resistant to hot cracking than is 6061. In a similar way, a
weld made with 4043 filler is even more resistant to hot cracking than one made
using 5356 filler.
So, what’s the answer to your cracking problem?
Simple. You must add filler metal to welds in 6061. You cannot weld 6061
autogenously. Since we always add filler in MIG welding, the problem of hot
cracking is less common than it is in TIG welding.
In fact, it’s not only important to add filler metal,
it’s important to add enough filler metal. If you don’t, you can still crack.
For this reason, aluminum should be welded using convex weld passes, not
concave. Thin, concave root passes should be avoided in favor of heavier,
convex passes.
Some 6XXX aluminum alloys, such as 6111 and 6013, also
contain copper. These alloys can be very crack sensitive. The magnesium –
containing filler metals like 5356 should not be used on these alloys, because
they can crack. Instead, a high – silicon alloy, such as 4043, 4047 (12%
silicon), or even 4145, which contains copper additions, should be used.
I’ll end this answer with an old welder’s trick. If you’re
welding and getting a crack in these alloys, begin the weld in the center of
the seam and weld toward the ends. Often, this will solve a really persistent
cracking problem that you see when the weld start is at a free edge.