Selasa, 07 Februari 2012

NDE/NDT/Pengujian Tidak Merusak


Non destrtructive testing (NDT)
Non destrtructive testing (NDT) adalah aktivitas tes atau inspeksi terhadap suatu benda untuk mengetahui adanya cacat, retak, atau discontinuity lain tanpa merusak benda yang kita tes atau inspeksi. Pada dasarnya, tes ini dilakukan untuk menjamin bahwa material yang kita gunakan masih aman dan belum melewati damage tolerance. Material pesawat diusahakan semaksimal mungkin tidak mengalami kegagalan (failure) selama masa penggunaannya.NDT dilakukan paling tidak sebanyak dua kali. Pertama, selama dan diakhir proses fabrikasi, untuk menentukan suatu komponen dapat diterima setelah melalui tahap-tahap fabrikasi. NDT ini dijadikan sebagai bagian dari kendali mutu komponen. Kedua, NDT dilakukan setelah komponen digunakan dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya adalah menemukan kegagalan parsial sebelum melampaui damage tolerance-nya.
Metode utama Non Destructive Testing meliputi:
Visual Inspection
Sering kali metode ini merupakan langkah yang pertama kali diambil dalam NDT. Metode ini bertujuan menemukan cacat atau retak permukaan dan korosi. Dalam hal ini tentu saja adalah retak yang dapat terlihat oleh mata telanjang atau dengan bantuan lensa pembesar ataupun boroskop.
Description: http://i3.photobucket.com/albums/y95/azq_hakim/aeroBlog/NDT-0.jpg
Visual inspection dengan boroskop
Liquid Penetrant Test
Metode Liquid Penetrant Test merupakan metode NDT yang paling sederhana. Metode ini digunakan untuk menemukan cacat di permukaan terbuka dari komponen solid, baik logam maupun non logam, seperti keramik dan plastik fiber. Melalui metode ini, cacat pada material akan terlihat lebih jelas. Caranya adalah dengan memberikan cairan berwarna terang pada permukaan yang diinspeksi. Cairan ini harus memiliki daya penetrasi yang baik dan viskousitas yang rendah agar dapat masuk pada cacat dipermukaan material. Selanjutnya, penetrant yang tersisa di permukaan material disingkirkan. Cacat akan nampak jelas jika perbedaan warna penetrant dengan latar belakang cukup kontras. Seusai inspeksi, penetrant yang tertinggal dibersihkan dengan penerapan developer.
Description: Liquid penetrant test
Kelemahan dari metode ini antara lain adalah bahwa metode ini hanya bisa diterapkan pada permukaan terbuka. Metode ini tidak dapat diterapkan pada komponen dengan permukaan kasar, berpelapis, atau berpori.
Magnetic Particle Inspection
Dengan menggunakan metode ini, cacat permukaan (surface) dan bawah permukaan (subsurface) suatu komponen dari bahan ferromagnetik dapat diketahui. Prinsipnya adalah dengan memagnetisasi bahan yang akan diuji. Adanya cacat yang tegak lurus arah medan magnet akan menyebabkan kebocoran medan magnet. Kebocoran medan magnet ini mengindikasikan adanya cacat pada material. Cara yang digunakan untuk memdeteksi adanya kebocoran medan magnet adalah dengan menaburkan partikel magnetik dipermukaan. Partikel-partikel tersebuat akan berkumpul pada daerah kebocoran medan magnet.
Description: http://i3.photobucket.com/albums/y95/azq_hakim/aeroBlog/NDT-2.gifDescription: http://i3.photobucket.com/albums/y95/azq_hakim/aeroBlog/NDT-3.gif
Kelemahannya, metode ini hanya bisa diterapkan untuk material ferromagnetik. Selain itu, medan magnet yang dibangkitkan harus tegak lurus atau memotong daerah retak serta diperlukan demagnetisasi di akhir inspeksi.
Eddy Current Test
Inspeksi ini memanfaatkan prinsip elektromagnet. Prinsipnya, arus listrik dialirkan pada kumparan untuk membangkitkan medan magnet didalamnya. Jika medan magnet ini dikenakan pada benda logam yang akan diinspeksi, maka akan terbangkit arus Eddy. Arus Eddy kemudian menginduksi adanya medan magnet. Medan magnet pada benda akan berinteraksi dengan medan magnet pada kumparan dan mengubah impedansi bila ada cacat.

Description: Eddi Current Test
Keterbatasan dari metode ini yaitu hanya dapat diterapkan pada permukaan yang dapat dijangkau. Selain itu metode ini juga hanya diterapkan pada bahan logam saja.
Ultrasonic Inspection
Prinsip yang digunakan adalah prinsip gelombang suara. Gelombang suara yang dirambatkan pada spesimen uji dan sinyal yang ditransmisi atau dipantulkan diamati dan interpretasikan. Gelombang ultrasonic yang digunakan memiliki frekuensi 0.5 – 20 MHz. Gelombang suara akan terpengaruh jika ada void, retak, atau delaminasi pada material. Gelombang ultrasinic ini dibnagkitkan oleh tranducer dari bahan piezoelektri yang dapat menubah energi listrik menjadi energi getaran mekanik kemudian menjadi energi listrik lagi.
Description: Ultrasonic Inspection
Radiographic Inspection
Metode NDT ini dapat untuk menemukan cacat pada material dengan menggunakan sinar X dan sinar gamma. Prinsipnya, sinar X dipancarkan menembus material yang diperiksa. Saat menembus objek, sebagian sinar akan diserap sehingga intensitasnya berkurang. Intensitas akhir kemudaian direkam pada film yang sensitif. Jika ada cacat pada material maka intensitas yang terekam pada film tentu akan bervariasi. Hasil rekaman pada film ini lah yang akan memeprlihatkan bagian material yang mengalami cacat.

Inspeksi ultarasonik adalah salah satu metode uji tak rusak (NDT) dimana gelombang suara dengan frekuensi tinggi dilewatkan pada material untuk mendeteksi cacat di permukaan dan di bawah permukaan (subsurface) material. Ultrasonic adalah gelombang suara dengan frekuensi 0.1 s/d 25 Mhz, frekuensi ini jauh di atas daerah pendengaran manusia.
Inspeksi Ultrasonik merupakan suatu metode NDT yang sangat sensitif untuk menginspeksi part part yang terbuat dari metal, non metal, dan non magnetik. Dengan metoda ultrasonik ini, dapat diketahu/disetimasi letak dan ukuran cacat yang kecil walaupun hanya dengan satu sisi permukaan part yang dapat diakses. Kseusksesan dari suatu inspeksi ultarasonik sangat tergantung pada kondisi permukaan subjek, ukuran butir dan arah butir, dan impedansi magnetik.
Inspeksi ultrasonik menggunakan energi akustik pada frekuensi yang tinggi. Energi tersebut diarahkan langsung ke spesimen yang akan diuji dan jumlah energi yang direfleksikan  atau ditransmisikan oleh spesimen dimonitor sehingga dapat diindikasikan kondisi dari spesimen yang diuji tersebut.
Ultrasonik beroperasi dengan dari gelombang suara yang ditransmisikan dan dipantulkan. Suatu gelombang ultrasonik berjalan dari satu medium ke medium lain haus melewati suatu permukaan atau lapisan batas. Pada permukaan ini, sebagian energi akustik dipantulkan kembali dan sisanya diserap. Jumlah dari energi yang dipantulkan tergantung dari ketidak samaan kedua media. Karena  sifat akustik udara sangat jauh berbeda denga logam, retak dan rongga memberikan persentasi refleksi yang lebih tinggi.
Inspeksi ultrasonic adalah salah satu metode NDT yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi cacat internal, cacat di permukaan, untuk menentukan karaktersitik perekatan (bond characteristic), juga untuk mengukur ketebalan dan lebar korosi. Pada metoda ultrasonic ini biasanya juga digunakan couplant yaitu cairan yang berguna sebagai medium perambatan yang baik dari transducer ultrasonic dengan benda yang akan diuji. Hal ini dilakukan karena gelombang suara yang dihasilkan mempunyai sifat perambatan  yang kurang baik diudara.
Description: Ultrasonic Test : Tampilan dilayar jika terdapat retak
Ultrasonic Test : Tampilan dilayar jika terdapat retak
Metoda ultrasonic memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut:
·         Mempunyai kekuatan penetrasi yang tinggi sehingga bisa digunakan pada material dengan ketebalan samapi 6 meter.
·         Memiliki sensitivitas tinggi, sehingga bisa mendeteksi cacat yang sangat kecil
·         Memiliki akurasi yang lebih baik dari metode NDT lainnya dalam menentukan posisi, orientasi ukuran, dan bentuk cacat internal
·         Hanya membutuhkan satu permukaan yang dapat diakses
·         Tidak berbahaya bagi operator dan orang di sekitarnya
·         Bersifat portable
·         Outputnya bisa diproses dengan computer untuk mengetahui karakteristik cacat dan untuk menentukan sifat sifat material.
Kekurangan metoda ultrasonic
·         Pengoperasian secara manual harus dilakukan  oleh teknisi yang berpengalaman
·         Pengetahuan taknik yang baik dibutuhkan untuk mengembangkan prosedur inspeksi
·         Bagian yang tidak rata, ketidakteraturan bentuk, komponen yang sangat kecil atau sangat tipis, atau yang tidak homogen sulit diinspeksi
·         Dibutuhkan couplant antara transducer ultrasonic dengan bagian yang sedang diinspeksi
·         Dibutuhkan reference standards untuk pengkalibrasian dan untk mengetahui karakteristik cacat

Fracture adalah pemutusan atau putusnya suatu bagian struktur dari bagian lainnya menjadi dua bagian atau lebih akibat dari beban statik (tekanan, kompressi, dan torsi) yang dibebankan baik dengan besar yang konstan maupun berubah terhadap waktu pada suhu yang relatif rendah jika dibandingkan dengan suhu leleh. Singkatnya, fracture adalah satu bagian putus jadi dua bagian atau lebih, karena beban statik, pada suhu yang rendah. Terdapat dua jenis fracture yaitu ductile dan brittle yang keduanya didasarkan atas kemampuan material untuk mengalami deformasi plastic. Ductile materials adalah material yang ulet. Material ini biasanya dapat berdeformasi plasti yang baik. Dengan kemampuannya berdeformasi plastis yang besar, material ductile dapat menyerab energi yangg besar pula. Sebaliknya yang terjadi pada briitle material (material kaku). Biasanya kekakuannya tinggi (elastisitas tinggi atau harga E besar). Akibatnya materil ini biasanya hanya dapat berdeformasi plastis itupun hanya dengan strain (deformasi) yang kecil sehingga tidak bisa mengalami deformasi plastik. Akibtany material brittle hanya menyerap energi yang kecil. Prosesnya, fracture terbagi menjadi dua langkah yaitu crack formation dan propagation. Fracture sangat bergantung pada mekanisme dari crak propagation. Ductile fracture ditandai dengan adanya necking awal, pembentukan lubang lubang kecil, penggabungan dari lubang lubang kecil, crack propagation dan dan fracture akhir. Brittle fracture terjadi tanpa deformasi, tanpa crack propagation yang banyak, dan arah dari crack propagation tegak lurus terhadap arah beban yang diberikan. Pada brittle material , crack propagation bergantung pada ikatan atom yang terpututs sepanjang rangka kristalografik.

Description: Fracture Propagation
Fatigue adalah bentuk dari kegagalan yang terjadi pada struktur yang terjadi karena beban dinamik yang berfluktuasi dibawah yield strength yang terjadi dalam waktu yang lama dan berulang-ulang. Ingat, kata kuncinya adalah beban dinamik, berualng, dalam jangka waktu yang lama. Fatigue crack biasanya bermula deri permukaan yang merupakan tempat beban berkonsentrasi. Fatigue menyerupai brittle farcture yaitu ditandai dengan deformasi plastic yang sangat sedikit. Proses terjadinya fatigue ditandai dengan crack awal, crack propagatin dan fracture akhir. Permukaan fracture biasanya tegak lurus terhadap beban yang diberikan. Dua sifat makro dari kegagalan fatigue adalah tidak adanya deformasi plastic yang besar dan farcture yang menunjukkan tanda tanda berupa ‘beachmark’ atau‘camshell’. Tanda tanda makro dari fatigue adalah tanda garis garis pada pemukaan yang hanya bisa dilihat oleh mikroskop electron.
Creep adalah deformasi plastis yang terjadi pada material karena diberi beban konstan pada temperature yang tinggi. Creep hanya terjadi jika kedua sifat diatas (beban dan suhu yang tinggi) terjadi pada waktu yang bersamaan. Pada logam, creep terjadi ketika suhu kerja lebih tinggi dari 0,4 kali suhu leleh (suhu absolute K). Jenis test creep ialah melatakkan specimen pada beban konstan pada temperature tinggi yang konstan dan deformasi diukur sebagai fungsi dari waktu. Kurava creep terdiri dari tiga wilayah yaitu creep primer atau transient yaitu meningkatnya creep rate. Wilayah kedua adalah steady state creep yaitu wilayah dengan creep rate yang konstan.. Wilayah ketiga adalah creep tersier yaitu creep rate yang diperbesar sampai kegagalan puncak. Kegagalan ini merupakan hasil dari perubahan mikrostruktur seperti pemisahan batas nutir dan pembentukan keretakan dalam. Yang terjadi pada temperature dibawah 0,4 kali temperatur leleh. Untuk tahanan creep yang lebih baik dilakukan pemilihan bahan yang memiliki temperatur lelh yang lebih tinggi, modulus elastis yang lebih besar, dan ukuran butir yang lebih besar. Contoh bahan yang memiliki sifat tersebut adalah stainlees steel. Cara lebih lanjut untuk meningkatkan tahanan creep adalah menggunakan teknik untuk memproduksi bahan yang memiliki butir yang panjang dan komponen kristal yang single/berdiri sendiri.

Hydrogen cracking
Hydrogen cracking also known as cold cracking or delayed cracking. The main feature of this type of crack is that it occurs in ferritic weldable steels, and generally occurs immediately on welding or after a short time after welding, but usually within 48hrs.


Identification

Visual appearance of Hydrogen Cracking

Hydrogen cracks can be usually have the following characteristics:
  • In C-Mn steels, the crack will normally originate in the heat-affected zone (HAZ) but may also extend into the weld metal (Fig 1).
  • Cracks may also occur in the weld bead, normally transverse to the welding direction at an angle of 45 to the weld surface. They are near straight, follow a jagged path.
  • In low alloy steels, the cracks can be transverse to the weld, perpendicular to the surface of the weld, but do not branch and are planar (Planar Defect).


On breaking open the weld, the surface of the cracks will normally not be oxidised, even if they are surface breaking, indicating they were formed when the weld was at or near ambient temperature. A slight blue tinge may be seen from the effects of preheating or welding heat.

Metallography

Cracks, which originate in the HAZ, are usually associated with the coarse grain region, (Fig 1). The cracks can be intergranular, transgranular or a mixture. Intergranular cracks are more likely to occur in the harder HAZ structures formed in low alloy and high carbon steels. Transgranular cracking is more often found in C-Mn steel structures.  
In fillet welding, cracks in the HAZ are usually associated with the weld root and parallel to the weld. In butt welds, the HAZ cracks are normally oriented parallel to the weld bead. Fig. 1 Hydrogen Crack along the coarse grain structure in the HAZ (note hardness values).
Description: http://www.sale-associates.com/image002.gif 




Possible Causes
There are three factors, which can cause  hydrogen cracking:
  • Hydrogen generated by the welding process, or by contamination of the weld area (paint?).
  • A hard brittle structure, which is susceptible to cracking.
  • Residual tensile stresses acting on the welded joint (restraint).
Cracking is caused by the diffusion of hydrogen to the highly stressed, hardened part of the weldment.
In C-Mn steels, because there is a greater risk of forming a brittle microstructure in the HAZ, most of the hydrogen cracks are likely to be found in the parent metal. Using the correct choice of electrodes, the weld metal will have a lower carbon content than the parent metal and, hence, a lower carbon equivalent (CE). However, transverse weld metal cracks can occur especially when welding thick sections.
In low alloy steels, as the weld metal structure is more susceptible than the HAZ, cracking may be found in the weld bead.
The effects of specific factors on the risk of cracking are::
  • Weld metal hydrogen
  • Parent material composition
 
  • Description: equationParent material thickness
  • Stresses acting on the weld
  • Heat input

Weld metal hydrogen content

One of the principal source of hydrogen is the moisture contained in the flux ie the coating of MMA electrodes, the flux in cored wires and the flux used in submerged arc welding. Mainly the electrode type determines the amount of hydrogen generated. Basic electrodes normally generate less hydrogen than rutile and cellulosic electrodes.
It is important to note that there can be other significant sources of hydrogen eg moisture from the atmosphere or from the material where processing or service history has left the steel with a significant level of hydrogen. Hydrogen may also be derived from the surface of the material or the consumable, or from oil and paint etc,.
Sources of hydrogen include:
  • Oil, grease and dirt
  • Rust
  • Paint and coatings
  • Cleaning fluids

Parent metal composition

This has a major influence on hardenability and, with high cooling rates, the risk of forming a hard brittle structure in the HAZ. The hardenability of a material is usually expressed in terms of its carbon content or, when other elements are taken into account, its carbon equivalent (CE) value.
The higher the CE value, the greater the risk of hydrogen cracking. Generally, steels with a CE value of <0.4 are not susceptible to HAZ hydrogen cracking as long as low hydrogen welding consumables or processes are used.

Material thickness

Material thickness will influence the cooling rate and therefore the hardness level, microstructure produced in the HAZ and the level of hydrogen retained in the weld.
The 'combined thickness' of the joint, i.e. the sum of the thicknesses of material meeting at the joint line, will determine, together with the joint geometry, the cooling rate of the HAZ and its hardness. Consequently, as shown in Fig. 3, a fillet weld will have a greater risk than a butt weld in the same material thickness.
Description: http://www.sale-associates.com/image005.gif
Fig.3 Combined thickness measurements for butt and fillet joints (general guide only)

Stresses which act on the weld

The stresses generated across the welded joint as it contracts will be greatly influenced by external restraint, material thickness, joint geometry and fit-up. Areas of stress concentration are more likely to initiate a crack at the toe and root of the weld.
Poor fit-up in fillet welds markedly increases the risk of cracking. The degree of restraint acting on a joint will generally increase as welding progresses due to the increase in stiffness of the fabrication.

Heat input

The heat input to the material from the welding process, together with the material thickness and preheat temperature, will determine the thermal cycle and the resulting microstructure and hardness of both the HAZ and weld metal.
A high heat input will reduce the hardness level.
Heat input per unit length is calculated by multiplying the arc energy by an arc efficiency factor according to the following formula:

Description: equationV = arc voltage (V)
A = welding current (A)
S = welding speed (mm/min)
k = thermal efficiency factor
In calculating heat input, the arc efficiency must be taken into consideration. The arc efficiency factors given in BS EN 1011-1: 1998 for the principal arc welding processes, are:
Submerged arc
(single wire)
1.0
MMA
0.8
MIG/MAG and flux cored wire
0.8
TIG and plasma
0.6
In MMA or stick  welding, heat input is normally controlled by means of the run-out length from each electrode which is proportional to the heat input. As the run-out length is the length of weld deposited from one electrode, it will depend upon the welding technique eg weave width /dwell.

How to Weld 6061 Without Hot Cracking

6061-T6 is probably the most common aluminum alloy any of us encounter. We all know that it’s welded everyday, so we assume it must be easy to weld. Unfortunately, this just isn’t so. In fact, 6061, and all of the other alloys in the 6XXX series, are relatively sensitive. It isn’t uncommon at all for people to have cracking problems with them.
All cracking in aluminum alloys is hot cracking. That is, the crack forms as the weld is solidifying and cooling. While other factors, such as joint restraint, can influence the tendency to hot crack, by far the most important reason for hot cracking is the chemistry of the solidifying weld. Some chemistries are inherently resistant to hot cracking. Most of the 5XXX series fall into this category. For instance, if you were welding 5083, you would probably have no problem welding it without filler metal. Such a weld is called an autogenous weld.
However, the chemistry of 6061, which is roughly 1.0% magnesium, 0.6% silicon, and the balance aluminum, is very prone to hot cracking. At first glance, that doesn’t seem to make sense. If it’s so prone to hot cracking, how do we weld it? The answer is that we can weld it easily if we add filler metal of a very different chemical composition. The weld will be an alloy of the filler metal we add and the parent material that gets melted into the weld. If we use a filler metal with a very different chemistry from 6061, the solidifying weld will have a chemistry that isn’t anywhere as prone to cracking as 6061.
Did you ever wonder why there is no 6061 filler metal made? The reason is simple. If we made 6061 into filler wire, welds made using it would crack. It would be a really poor choice for a weld filler.
Instead, we weld 6061 easily using either 4043 or 5356 filler metals. 4043 is basically aluminum with 5% silicon added to it and 5356 is aluminum with 5% magnesium added to it. Either alloy makes a good filler metal for 6061. If we use 5356, we might get a weld chemistry, depending on dilution, that is 97% aluminum, 3% magnesium, and 0.3% silicon. Such a weld will be much more resistant to hot cracking than is 6061. In a similar way, a weld made with 4043 filler is even more resistant to hot cracking than one made using 5356 filler.
So, what’s the answer to your cracking problem? Simple. You must add filler metal to welds in 6061. You cannot weld 6061 autogenously. Since we always add filler in MIG welding, the problem of hot cracking is less common than it is in TIG welding.
In fact, it’s not only important to add filler metal, it’s important to add enough filler metal. If you don’t, you can still crack. For this reason, aluminum should be welded using convex weld passes, not concave. Thin, concave root passes should be avoided in favor of heavier, convex passes.
Some 6XXX aluminum alloys, such as 6111 and 6013, also contain copper. These alloys can be very crack sensitive. The magnesium – containing filler metals like 5356 should not be used on these alloys, because they can crack. Instead, a high – silicon alloy, such as 4043, 4047 (12% silicon), or even 4145, which contains copper additions, should be used.
I’ll end this answer with an old welder’s trick. If you’re welding and getting a crack in these alloys, begin the weld in the center of the seam and weld toward the ends. Often, this will solve a really persistent cracking problem that you see when the weld start is at a free edge.





1 komentar: