PEREMPUAN itu terus saja menenteng ijazah anaknya. Setiap tempat di kotanya telah ia datangi, tetap dengan membawa ijazah tersebut. Kemudian, ia mulai menyusuri tempat lain dengan merambah tempat-tempat lain di sekitar kota kelahirannya.
Tak terbilang, sudah berapa jarak, waktu, dan biaya yang telah ia hamburkan demi obsesinya, namun dari wajahnya senantiasa terpancar semangat yang berpendar. Perempuan itu kini sedang mengejar mimpinya yang telah raib. Mimpi bertemu dengan anaknya yang telah menghilang setahun belakangan ini.
Sebenarnya sederhana saja, ia ingin tahu di mana anaknya. Meski hanya sedetik pun, bertemu dengan anaknya akan menjadi suatu hal terindah dalam hidupnya kini. Walaupun untuk membayar hal itu kemungkinan terburuknya adalah dia harus tega apabila mendapati mayat buah hatinya sekalipun. Telah ia teguhkan hatinya untuk menghadapi kenyataan pahit itu.
Tekad kuatnya kemudian membawanya menjadi musafir. Atau lebih tepatnya orang-orang melihatnya seperti gelandangan. Rumah satu-satunya yang tak bagus itu sudah dijualnya untuk bekal selama perjalanan dan keperluan lain-lainnya menyangkut sang anak. Dengan berbekal foto yang menempel di ijazah SUP sang anak, ia tetap merambah tiap sudut-sudut kota.
"Aku hanya ingin ketemu anakku," katanya dengan disertai isak tangis yang menderu.
"Aku tidak peduli dengan hartaku. Semua itu tak berarti tanpanya," lanjut dia di salah satu acara berita kehilangan di sebuah TV swasta.
Yang masih kuingat sampai kini ialah isak tangisnya waktu berkata, "Pulanglah Nak, Ibu merindukanmu." Aku hanya melenguh saja membayangkannya berkata seperti itu.
***
"Bu, tak perlu bersedih, aku ada di sini. Pencarian Ibu telah terbayar bukan, sekarang Ibu bisa memandangku puas, bisa bertemu denganku lagi," tuturku kepada Ibu di suatu sore yang cerah.
Angin beranda menerpa wajahku. Ketika aku berkata demikian, Ibu hanya diam. Beliau memandang jauh ke depan. Di sela kerut-kerut usianya yang semakin tergambar jelas, kulihat matanya berkaca-kaca dan tiba-tiba dikeluarkannya cairan bening dari sudut matanya.
"Oh, Ibu... Kenapa menangis? Ada apa? Apakah anakmu salah bicara?" Tanyaku dengan sedikit rasa penyesalan karena sudah membuat ibu menangis.
Aku beringsut mendekati, lalu kugenggam tangannya. Aku berusaha meminta maaf kepadanya atas ucapanku tadi, namun ibu masih saja diam sambil menatap ke depan dengan mata berlinang. Aku jadi semakin serbasalah. Kutundukkan wajahku pada dua cangkir teh yang masih berkepul asap. Sejurus kemudian, aku ikut terdiam dan membisu.
Lama tak terdengar suara dari kami, aku tak tahan melihat keadaan ini. Dengan lembut aku bertanya lagi kepada ibu, "Bu, ada apa? Apakah kata-kataku tadi yang menjadi biang ibu bersedih? Bukankah benar, sekarang ibu bisa puas memandangku lekat-lekat. Aku sudah berada di rumah dan tak meninggalkan ibu lagi."
Lama tak kudapatkan jawaban dari bibirnya yang mengerut. Ibu masih saja diam dengan air mata terus berderai tanpa dihapusnya. Sibuk menenangkan hatiku yang serbasalah, tiba-tiba pikiranku tentang peristiwa itu berkelebatan.
***
Meninggalkan ibu yang amat kucintai merupakan hal terberat dalam hidupku. Tapi, itu tak jadi soal karena aku merasa bahwa ini lebih baik. Aku pergi dari rumah waktu itu agar ibu merasa kehilanganku. Aku melakukannya karena aku merasa sudah tidak dihiraukannya lagi sebagai anak. Kini aku ingin membalasnya dengan memberikan luka bahwa anaknya telah hilang meninggalkannya.
Benar saja, sebulan setelahnya aku dianggapnya hilang, ibu tak pernah berhenti mencariku. Rupanya, meskipun aku hanyalah anak haram, niatnya untuk mencariku tidak surut. Aku sendiri menikmati betul kepanikannya.
Apalagi setelah rumah satu-satunya warisan kakek itu dijual untuk biaya mencariku ke seluruh pelosok kota. Aku serasa menjadi manusia yang utuh. Di TV, radio, surat kabar, serta dinding-dinding kota, namaku selalu disebut orang.
Aku bangga menjadi seorang anak. Aku puas telah membuat ibu berbuat demikian. Sesaat tebersit kerinduan pada ibu, dan tanpa kusadari, aku semakin bangga memiliki ibu sepertinya.
Meskipun, aku tak pernah mengenal ayahku. Ibu sendiri tidak pernah mengenalkannya kepadaku. Mungkin predikat "anak haram" membuatnya malas untuk menjelaskannya kepadaku.
Ah, peduli amat. Aku lahir dan dibesarkan dari rahim perempuan itu. Tidak mengenal ayahku sekalipun, aku masih memiliki orang tua. Ya, perempuan yang menenteng ijazah cum laude untuk mencari jejak anaknya itulah orang tuaku.
***
Aku terbangun dari lamunanku ketika seekor lalat menukik tajam ke cangkir teh di depanku. Kulihat ibu masih menangis. Setelah menyeka air matanya, ibu kemudian beranjak dan meninggalkanku sendiri di beranda.
Kini aku hanya termenung di beranda. Kulihat fotoku yang sedari tadi dipandangi ibu dengan deraian air mata. Haruskah kini aku menyesal? Aku pun tak mau menyesal karena bukan aku yang salah.
Aku hanya ingin melihat ibu peduli kepadaku, itu saja. Kalau kemudian tiba-tiba ada mobil yang menabrakku di tengah pelarian itu, aku anggap itu bukan salahku. Yang penting kini aku telah kembali. Tak peduli mayatku telah dimakamkan atau belum. Kalau bisa jangan sampai ibu tahu, yang kuingin dia tahu hanyalah kini aku telah kembali ke rumah. Meski kenyataannya dia tak pernah tahu... ***
Penulis adalah pelajar Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar