Meski kompetisi kasta tertinggi sepakbola Indonesia, Superliga sudah usai, namun masih menyisakan banyak perkara. Selain masalah tanding ulang Persik Kediri lawan Persebaya Surabaya, problem lainnya adalah gaji pemain yang belum terbayarkan oleh beberapa klub. Lantas siapa yang patut disorot dalam masalah ini.
Salah satu contoh kasusnya menimpa tim jawara musim 2009/2010, Arema Indonesia. Singo Edan, julukan Arema, masih bermasalah dengan gaji. Selama dua bulan, manajemen tim yang berbasis di Kota Apel ini belum melunasi kewajibannya ke pemain. Tak hanya masalah gaji, manajemen Ongis Nade juga telat memberikan bonus juara ke pemain.
Selain masalah gaji dan bonus yang belum terbayar, rencana untuk melakukan pemusatan latihan di Pulau Dewata, Bali, selama lima hari pun batal. Alasannya tetap sama, yakni uang. Akibat kondisi ini, aksi mogok latihan sempat dilakukan anak asuh Robert Albert. Bahkan, pelatih asal Belanda ini pernah meninggalkan tim dan kembali ke Malaysia untuk melepas penat.
Tak hanya Arema, tetangga mereka, Persebaya juga bernasib sama. Gara-gara gaji sebulan dan 25 persen kontrak yang belum dibayar manajemen, kondisi internal Bajul Ijo menurun drastis. Pemain sudah lesu darah untuk berlatih, bahkan pelatih kepala Rudy William Keeltjes dan asistennya, Ibnu Grahan jatuh sakit.
Selain Persebaya dan Arema, klub milik pengusaha Nirwan Bakrie, Pelita Jaya Karawang juga mengalami nasib serupa. Bahkan, kasus terburuk musim ini menimpa klub yang terdegradasi ke Divisi Satu, Persis Solo, lebih tragis. Pemain sampai harus membeli nasi bungkus untuk makan sehari-hari gara-gara gaji yang nunggak selama berbulan-bulan.
Menyimak masalah ini, siapa yang patut disalahkan. Apakah manajemen yang telat membayar gaji pemain, atau pemain yang seharusnya bisa faham dengan kondisi tim. Padahal Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid jauh hari mengklaim dan mengharuskan seluruh klub Superliga adalah klub profesional dan kompetisi Indonesia adalah salah satu yang terbaik di Asia.
Dalam menyikapi masalah ini, kita harus berhati-hati. Sebab, meski menyandang kata-kata profesional, tapi pada prinsipnya sepakbola kita masih amatir dalam transisi olahraga sosial menuju olahraga Industri. Hingga saat ini, supremasi masih dijadikan tolak ukur utama, padahal di Inggris atau Spanyol, titel juara sudah tidak menjadi target utama, melainkan bagaimana mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Pertanyaannya, siapa yang patut disalahkan dalam masalah keuangan yang menyangkut kesejahteraan pemain khususnya. Dalam hal ini manajemen memang menjadi sorotan utama. Sebagai 'calon' klub profesional, setidaknya mereka harus belajar bagaimana menangani klub secara profesional. Masalah gaji tentu menjadi salah satu hal wajib dan harus diutamakan.
Tapi sekali lagi, tidak ada klub di Indonesia yang sempurna. Meski nafas sepakbola industri sudah dihembuskan, toh selama ini tidak ada satu pun yang memiliki pendapatan dari sepakbola, justru yang terjadi sebaliknya. Banyak klub yang merugi dan pengurus juga harus menyisihkan uangnya demi kesejahteraan timnya.
Di tanah air, banyak klub yang masih mengandalkan APBD. Hanya beberapa klub saja yang mampu mandiri, meski statusnya sementara. Contoh paling kongkrit menimpa mantan jawara Liga Indonesia, Petrokimia Gresik. Ketika PT Petrokimia sudah melepas klub ini dan berganti nama menjadi Gresik United, maka nasib pun terkatung-katung.
Apalagi Pemkab Gresik sendiri tidak terlalu mendukung keberadaan sepakbola di Kota Pudak. Meski mengucurkan dana APBD, namun nilainya sangat kecil dan pas-pasan. Akibatnya, atmosfer sepakbola di Gresik pun menurun drastis. Lihat saja, Ketika GU bertanding, bangku penonton tidak pernah penuh. Padahal ketika Petro berjaya, tiket pertandingan selalu 'sold out'.
Sedangkan pemain juga harus bersikap profesional. Sah-sah saja mereka menuntut pembayaran gaji tepat waktu, kerena memang itu haknya. Tapi ketika bertanding di lapangan, mereka harus allout. Mereka harus mempersembahkan permainan terbaik yang dimiliki. Jangan hanya menuntut hak tapi tidak memberikan kewajibannya dengan baik.
Tak hanya di lapangan, sikap profesional juga harus ditunjukkan di luar lapangan hijau. Sebagai atlet, mereka juga harus hidup dengan pola hidup atlet. Makan teratur, istirahat teratur, kalau perlu perbanyak latihan pribadi untuk meningkatkan potensi individu. Hal inilah yang masih belum dilakukan pesepakbola Indonesia.
Saya jadi ingat apa yang dikatakan Kim Jeffrey Kurniawan, salah satu gelandang berdarah Indo-Jerman asal klub FC Heidelsheim, salah satu dari pemain 'naturalisasi' yang diundang penyelenggera 'charity game' untuk Lucky Acub Zaenal dan Rusdi Bahalwan.
Ketika panitia pertandingan mengajak 'nongkrong' di rumah makan cepat saji, Bandara Soetta, Kim hanya minum air mineral. Ketika ditawarin makan pun, Kim dengan santun menolak, sekaligus menjelaskan, "Saya akan makan tiga jam lagi sesuai disiplin pemain bola, dan menu makanan juga harus sesuai standart atlet sepak bola," demikian kata Kim.
Nah, itulah yang dmaksud profesional, bisa menjaga, mengatur dan memanajemen diri layaknya pemain profesional. Tapi, semua itu mayoritas tidak dimiliki pemain Indonesia.
Menyikapi kasus ini, saya menghimbau agar pemain dan manajemen berbenah. Bagaimana bisa label profesional melekat jika sikap dan tindakan masih belum mencerminkan sisi profesional. Jadi, kalau Anda tanya apakah sepakbola Indonesia saat ini sudah profesional? Pasti akan saya jawab, Belum.
0 komentar:
Posting Komentar